04 | Bukan Pernikahan Impian
Surga Dalam Luka
Duduk di depan cermin dengan ukuran yang cukup besar, membuat Arraya dapat menatap pantulan wajah bahkan seluruh tubuhnya saat ini. Wajahnya telah di make-up dan tubuhnya telah dibalut oleh gaun pengantin berwarna putih.
Tak ada binar bahagia yang bisa Raya tampakkan di wajahnya saat ini. Arraya tak tahu harus memberikan ekspresi seperti apa pada hari yang seharusnya berbahagia ini. Haruskah ia tersenyum, tertawa, bahagia, atau aku harus bersedih, menangis, dan pergi meninggalkan pernikahan ini?
Wahai Allah... kenapa harus Kau hadirkan cinta dengan cara yang seperti ini?
Di hari minggu ini, akhirnya Arraya akan menikah bersama dengan Adnan. Pengantin pria pengganti dari Luthfi yang sudah meninggal dunia.
"Arraya ...."
Arraya mengangkat kepalanya perlahan. Ia melihat sahabatnya sedang melempar senyum padanya dari dalam pantulan kaca. "Alya?"
Arraya langsung berdiri dan berhambur ke dalam pelukan Alya. Berusaha untuk tidak menangis, Arraya malah tak kuasa menahannya begitu jemari Alya terus mengusap punggungnya yang dibalut dengan gaun cantik berwarna putih.
Alya adalah sahabat Arraya. Sahabat yang selalu ada di sisinya. Alya adalah orang pertama yang mampu mengajak Arraya untuk hijrah menjadi seorang muslimah yang lebih baik.
Di mata Arraya, Alya adalah perempuan yang hebat dan sempurna. Sahabatnya yang paling cantik dan pandai. Arraya selalu bersyukur melihat Alya yang saat ini hidup dalam banyak kebahagiaan. Di umur yang kedua puluh lima, Alya sudah memiliki 2 orang anak yang sangat lucu. Satu laki-laki dan satunya perempuan. Arraya jadi ingat, saat Alya menikah dulu, Arraya adalah orang yang paling banyak menangis karena saking bahagianya.
"Ra ... Kenapa kamu malah nangis?" Tangan Alya terus mengusap lembut punggung Arraya. Berusaha menenangkan sahabatnya yang kian tersedu.
"Aku takut, Al ...."
Alya menarik tubuhnya dan melepaskan pelukan mereka. Ia mengusap lembut pipi Arraya dari deraian air mata. "Jangan takut, Ra. Aku ada di sini, temani kamu dan mendoakan kamu."
"Tapi Al, Kak Adnan—"
"Ra... Ini takdir Allah untuk kamu. Kamu harus siap dan berani jalanin ini semua."
"Tapi, Al, gimana dengan Mas Luthfi? Rasanya aku nggak sanggup untuk melihat diriku di cermin, aku merasa menjadi perempuan jahat, Al."
"Ra ... kamu ingat apa yang selalu kita saling katakan kalau punya masalah?"
"Allah tidak akan memberikan ujian pada hamba-Nya kecuali hamba-Nya mampu untuk menanggung ujian tersebut. Allah tau apa yang terbaik untuk kita, sedangkan kita tidak mengetahui hal itu, Ra."
Alya membantu mengusap air mata sahabatnya yang membasahi pipi.
"Ra, Aku yakin, kamu dan Kak Adnan mampu membangun rumah tangga yang baik. Kak Adnan pasti akan melindungi dan mencintai kamu dengan segenap hatinya."
Apa yang Alya katakan tentang Adnan memang benar. Adnan memang orang yang baik. Adnan juga senior yang ramah dan murah senyum. Selalu membantu Alya maupun Arraya sebagai adik tingkatnya.
Tapi, itu semua dulu.
Dulu, saat hubungan Adnan dan Arraya hanya sebatas junior-senior.
Dulu, saat hubungan Adnan dan Arrayamasih baik-baik saja.
Dulu, saat Adnan dan Arraya tak terjebak dalam sebuah pernikahan tak direncanakan seperti ini.
Sehingga kini, apa yang Alya katakan entah kenapa Arraya jadi meragukannya.
Jujur, Arraya takut. Arraya terlalu takut untuk membayangkan kehidupan pernikahan nanti bersama Adnan jika hubungan mereka kini saja sudah diawali dengan sebuah ancaman.
"Awalnya mungkin kamu dan Kak Adnan kaget dengan semua ini, tapi aku yakin Kak Adnan akan jadi suami yang baik untuk kamu, Ra. Aku selalu mendoakan kamu, biar Allah melimpahkan kebahagiaan rumah tangga kamu dan Kak Adnan."
Arraya tersenyum haru dengan berusaha menahan tangis lagi. "Makasih, Al," ucap Arraya pelan. Ucapan Alya mungkin ada benarnya. Mungkin Adnan kaget dengan keputusan pernikahan yang terkesan mendadak. Mungkin Adnan hanya belum siap hingga dia berani membantah dan menentang pernikahan ini di depan orang tua Mas Luthfi dan orang tua Arraya.
Arraya bersyukur masih ada Alya yang mencoba menenangkannya dengan kata-kata ajaibnya. Kini, Arraya bisa sedikit lebih tenang dan berpasrah akan ketetapan yang Allah berikan padanya.
"Permisi," suara seorang wanita yang masuk ke dalam ruang perias membuat Arraya dan Alya kompak menoleh. "Ijab qabul sudah akan dilaksanakan. Pengantin wanita diminta hadir ke aula masjid."
Alya tersenyum menatap Arraya. "Ayo kita keluar, aku antar kamu."
Arraya mengangguk kecil. Alya merangkul tangan Arraya di lengannya. Mereka berdua berjalan perlahan memasuki aula masjid Ar-Rahman.
Arraya menyapu pandangannya hingga ke tiap sudut aula masjid. Masjid besar di daerah Jakarta Selatan ini sudah padat dari semua tamu undangan dan keluarga yang hadir. Suasana meriah dan mewah begitu terasa. Ruang aula besar ini dipenuhi oleh dekorasi berwarna putih.
Antara bahagia dan sedih tak dapat lagi Arraya definisikan perasaan di hatinya. Semua ini bisa terlaksana karena Luthfi adalah orang dibalik semua suasana meriah dan mewahnya Masjid Ar-Rahman. Luthfi adalah orang yang telah menyiapkan semua persiapan pernikahan, di saat Tuhan belum mengambil nyawanya di malam itu.
Undangan memang sudah terlanjur tersebar atas nama Luthfi dan Arraya, bukan atas nama Adnan dan Arraya. Semua rekan kantornya Luthfi sudah terlihat hadir, bahkan rekan kerja dari kedua orang tua Luthfi juga sudah banyak yang hadir memenuhi kursi undangan.
Arraya gugup memikirkan pikiran para undangan yang melihat Arraya bersanding dengan lelaki lain dan bukan Luthfi. Arraya tak berani membayangkannya dan Arraya tak berani menatap ke arah mereka.
"Ra?"
Arraya menoleh, matanya mengerjap beberapa kali.
"Ayo duduk di sana," ajak Alya. Ia menunjuk ke arah tamu perempuan dan juga keluarga dekat Arraya. Tempat yang akan dijadikan Arraya menunggu Adnan menyelesaikan ijab qabulnya.
Sang mama adalah yang tujuan pertama pusaran pandangan mata Arraya. Matanya berair, pasti sedang menahan tangis. Arraya langsung menundukkan kepalanya. Jika ia menatap mata mamanya lagi, sudah pasti Arraya akan langsung menangis.
Karena Arraya yang enggan menatapnya, Maya memilih berpindah duduk tepat di samping putrinya. Maya menggenggam erat jemari putrinya. Dengan berbatas kain hijab berwarna putih, mereka sama-sama menunggu saat di mana Adnan selesai menyelesaikan ijab qabul.
Tadi, Arraya sempat melihat Adnan yang sedang bersiap di depan penghulu dan para saksi. Adnan juga sempat melihat ke arahnya, tetapi itu hanya berlaku seper sekian detik, karena berikutnya Adnan mengalihkan pandangannya dengan cepat.
Setelah pembukaan singkat dari penghulu dan prakata singkat dari keluarga Kak Adnan, akhirnya acara inti pun dilanjutkan. Ijab qabul yang harus Kak Adnan lafalkan akan berlangsung. Jantungku semakin berdegup cepat. Tubuhku terasa lemas. Tak dapat dipungkiri, secuil dari diriku masih merasa takut.
Bisik-bisik dari orang sekitarnya yang mengintip ke depan dan mengatakan bahwa Adnan telah menjabat tangan penghulu, membuat bulu-bulu halus di tengkuk Arraya meremang.
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Muhammad Adnan bin Muhammad Fajar dengan Arraya Kirania binti Adam Arrafiq, dengan mas kawin berupa emas murni seberat 30 gram dan alat solat dibayar tunai."
Hening.
Baik Arraya ataupun semua saksi di sana tak ada yang mendengar suara Adnan membalas.
10 detik.
20 detik.
Arraya masih tidak mendengar suara Adnan membalas ijab yang tadi sudah dilantangkan oleh penghulu.
Arraya menatap ke arah sang mama dan juga ibunda dari Adnan. Mereka berdua sama-sama tersenyum, dengan senyum yang jelas tersirat rasa khawatir. Jika mereka saja khawatir, lalu bagaimana dengan Arraya saat ini? Alya sahabatnya juga ikut tersenyum. Arraya coba abaikan semua bisik-bisik para tamu yang mulai merasa akan ada kejanggalan dalam prosesi ijab qabulnya dengan Adnan.
"Saya terima nikah dan kawinnya," akhirnya Arraya mendengar Adnan membuka suara. Orang yang ada di sekitarnya juga terdengar mengucap hamdallah dengan suara pelan yang terkesan berbisik.
"Arraya Karinina binti—"
Rasanya nyess di dada, saat Arraya mendengar Adnan salah menyebut namanya. Bagaimana bisa Adnan salah menyebutkan namanya seperti itu padahal sudah diberikan kertas panduan lafadz ijab qabul?
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Muhammad Adnan bin Muhammad Fajar dengan Arraya Kirania binti Adam Arrafiq, dengan mas kawin berupa emas murni seberat 30 gram dan alat solat dibayar tunai."
Air mata Arraya meleleh begitu penghulu kembali mengulang lafadz ijabnya agar Adnan bisa mengulanginya lagi. Apakah yang ia takutkan akan terjadi saat ini?
"Saya terima nikah dan kawinnya ... Arraya Kiranai—"
Adnan kembali berhenti. Desahan frustasinya terdengar di sudut-sudut aula karena mic masih Adnan dekatkan di bibirnya. Ia kembali mengucap salah nama panjang Arraya.
Begitu kencang debaran jantung yang Arraya rasakan karena takut jika semuanya tidak berjalan sempurna.
"Saya ulangi satu kali lagi, mohon diikuti dengan perlahan dan seksama."
Semua orang semakin berbisik mendengar suara penghulu pada Adnan. Tak ada yang tak merasa heran jika Adnan terus saja melakukan kesalahan. Tapi beberapa orang pun berpikir jika mungkin saja karena terlalu gugup.
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Muhammad Adnan bin Muhammad Fajar dengan Arraya Kirania binti Adam Arrafiq, dengan mas kawin berupa emas murni seberat 30 gram dan alat solat dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Arraya Kirania binti Adam Arrafiq dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi? sah?!"
"SAHHH!!!"
"Alhamdulillah..." ucap senua orang penuh syukur, termasuk diri Arraya sendiri. Kini, Arraya resmi menyandang gelar sebagai seorang istri. Istri dari seorang lelaki bernama Muhammad Adnan. Lelaki yang sejak dulu selalu terlihat bersinar bahkan hingga saat ini ia yang sudah berdiri di dekat Arraya dan memegang tangannya. Menjemput Arraya untuk mendekat ke tengah untuk penandatanganan buku nikah dan penyerahan mas kawin.
Arraya tersentak kaget saat tangan Adnan melingkar di pinggangnya. Arraya mendongakkan kepala dan menemukan Adnan yang tampak melampar senyum ke arah kamera. Wajahnya tidak seperti saat tadi pertama Arraya menatapnya sebelum akad berlangsung.
"Tersenyumlah. Karena setidaknya kita harus tampak bahagia walaupun dalam kepura-puraan."
Arraya mematung di tempat. Tatapannya kosong ke depan dan matanya memanas. Apakah baru saja ia tidak salah dengar?
Dengan tubuh membeku, Arraya meremas gaun putihnya.
Kepura-puraan? Apa maksudmu, Kak?
Apakah pernikahan ini hanyalah kepura-puraan untukmu?
"Tersenyumlah Arraya..."
Arraya menoleh dan mendongakkan kepalanya. Adnan balas menatap tepat di matanya. Tangannya semakin erat menyentuh pinggang Arraya. Bibirnya tersenyum, tapi matanya terlalu mengandung banyak arti.
"Setelah ini banyak yang harus kita luruskan di antara kita berdua."
"Apa maksud Kak Adnan?" tanya Arraya pelan.
"Apa pun itu kita bicarakan nanti. Setidaknya kita harus menikmati sandiwara ini bukan?"
Lagi, Adnan berhasil mematahkan kepingan hati Arraya yang belum pulih seutuhnya dengan kata-katanya.
—To be continued—
Cek kalau ada typo dan rancunya cerita ya
Vote dan komen jangan lupa sayang ❤
°Jazakumullah ya khair°
TAMAT : 17 Mei 2020
REVISI : 14 Juni 2020
Komentar
Posting Komentar