25 | Awal Yang Baru

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Maya tersenyum haru melihat wajah putrinya yang tampak berbinar pagi hari ini. senyum yang sudah jarang sekali ia lihat dalam wajah putrinya. Tak ada lagi kebahagiaan seorang ibu melainkan karena melihat anaknya yang bahagia. Maya sangat bersyukur melihat Adnan dan Arraya yang sudah kembali berbaikan. Ia harap, tak ada lagi ujian dalam rumah tangga Adnan dan Arraya ke depannya.

"Mama bahagia melihat Arraya kembali bersama dengan Adnan?"

Maya segera menoleh kala mendengar suara suami di samping kanan tubuhnya. Adam melingkarkan lengannya di atas bahu Maya. "Kalau Raya bahagia, Mama juga bahagia, Pa. Sudah lama sekali Mama tidak melihat Raya tersenyum seperti itu. Rasanya seperti mimpi..."

Adam tersenyum. Keduanya menatap Arraya yang sedang asyik berada di dapur untuk membuat sarapan dari dekat ruang tamu. Maya bahkan sampai harus menyingkir dari dapur karena Arraya yang memaksa. Arraya ingin memasak untuk Adnan dan juga kedua orangtuanya.

Tangan Adam mengerat di atas bahu sang istri. "Kebahagiaan Papa adalah saat melihat Mama dan Arraya bahagia. Jika kalian berdua bahagia, maka Papa juga akan merasa bahagia. Terlalu banyak pelajaran yang Allah kasih untuk Papa atas apa yang Raya alami. Tapi semuanya sudah terjadi sampai sekarang, jadi Papa tidak bisa lagi melakukan apa pun selain mendoakan mereka berdua agar bisa hidup bahagia bersama. Papa berharap Adnan tidak akan pernah lagi menyakiti putri kita dan bisa melupakan masa lalunya."

"Mama juga selalu berdoa hal yang sama seperti Papa."

"Ya udah yuk, lebih baik kita jalan santai muterin komplek pagi ini. Mumpung hari sabtu dan Papa lagi libur."

Maya mengangguk. "Mama juga mau sekalian beli buah di Mang Ujang. Semoga aja ibu-ibu komplek belum nyerbu apel kesukaan Mama di Mang Ujang."

Adam mencubit hidung istrinya gemas. Terkadang, jika persediaan buah dan sayur yang mereka beli di supermarket sedang habis, istrinya itu biasa beli di tukang sayur keliling bernama Mang Ujang yang biasanya berjualan dengan mengelilingi area perkomplekan rumah mereka.

Tak lama setelah Maya dan Adam pergi keluar rumah, Adnan keluar dari kamarnya. Kepalanya celingak celinguk mencari penghuni rumah ini, ia bungung. Saat matanya menangkap sosok Arraya, ia bernapas lega. Adnan mendekati Arraya yang ada di dapur tanpa ragu.

Adnan berhenti di langkah kesekiannya dan berdiri memperhatikan Raya dari belakang. Ia memperhatikan gelagat istrinya yang sibuk memasak. Adnan tersenyum tanpa sadar. Ia kembali mengucap syukur atas rahmat dan kasih sayang yang Allah berikan padanya. Adnan sangat bersyukur karena ia sudah berbaikan dengan Arraya, bisa kembali bersama Arraya, dan bisa mengungkapkan perasaaan sebenarnya pada Arraya.

Semalam, rasanya masih seperti mimpi. Saat suara lantang gadis itu memanggilnya di bawah guyuran hujan. Saat tangan gadis itu menyelinap ke punggungnya dan memeluknya. Saat kepala gadis itu mengangguk atas permintaan maafnya.

Dan yang paling berkesan pada hari ini adalah saat di mana ia menjadi imam solat untuk pertama kalinya. Ia menikmati bagaimana debaran jantungnya dan juga desiran halus aliran darahnya yang mengiringi solat tahajudnya bersama Arraya. Walau hanya dilakukan secara singkat, Adnan tetap merasakan kenyamanan dan ketenangan yang luar biasa. Dan tentu saja, kesan itu ditutup dengan cara yang tak kalah indahnya. Saat di mana ia dan Arraya saling bicara dari hati ke hati. Saling meminta maaf dan memaafkan.

Adnan tersenyum kala mengingatnya.

Adnan menangkap kedua kaki Raya yang tampak berjinjit untuk mengambil sesuatu dari lemari di rak paling atas. Matanya tertuju pada sebuah mangkuk keramik berwarna putih besar yang sepertinya menjadi tujuan Raya.

Arraya menahan napasnya saat merasakan tubuhnya terhimpit maju dan ketika ada tangan panjang yang terulur untuk mengambil sesuatu yang ia inginkan.

"Mas Adnan?" Arraya hanya bisa menolehkan kepalanya saja, karena tubuh Adnan yang masih menghimpit tubuhnya dari belakang.

Adnan tersenyum kecil setelah memberikan mangkuk besar itu untuk Arraya. Ia bergerak mundur menciptakan jarak dengan istrinya. "Lain kali kalau butuh bantuan, bilang aja sama aku, Ra."

Arraya mengerjap beberapa kali. Padahal Adnan hanya melakukan hal sederhana begitu, tapi jantungnya sudah berdebar tak karuan.

"Kamu lagi masak apa? Mau aku bantu?"

Arraya menggeleng. "Nggak usah, Mas. Sebentar lagi juga udah selesai kok."

"Aku emang nggak bisa masak, tapi aku bisa kok kalau cuma cuci sayuran dan semacamnya."

Arraya tersenyum geli mendengarnya. "Nggak perlu, Mas. Mas duduk aja di kursi, aku udah selesai kok. Tinggal masukin sayurnya aja ke mangkuk."

"Baiklah..." Adnan mengulurukan tangannya untuk menggapai puncak kepala Raya. "Aku ingin makanan enak buatan istriku pagi ini..."

Arraya memalingkan wajahnya yang seketika bersemu karena ucapan Adnan. "Iya Mas, insyaAllah akan Raya buatkan makanan yang enak untuk Mas hari ini."

"Makasih ya, Sayang."

Raya sontak termangu mendengar kata panggilan terakhir dari Adnan. Ia terdiam menatap wajah Adnan yang melukiskan senyum simpul di depannya. Mungkinkah ia bermimpi pagi ini? Rasanya tidak.

🥀🥀🥀

Acara sarapan pagi keluarga Adam berjalan dengan lancar walaupun Adam dan Maya masih lebih banyak diam. Tapi bukan berarti keduanya sengaja memperlalukan Adnan dengan dingin. Walaupun Adnan banyak melakukan kesalahan pada anak mereka, tetapi Maya dan Adam tetap memperlakukan Adnan dengan baik. Maya bahkan memperlakukan Adnan seperti anaknya sendiri. Ia memberikan perhatian kepada Adnan dengan caranya sendiri. Memperlakukan Adnan sama dengan Arraya.

Sesekali Adam membantu mencairkan suasana dengan bertanya seputar pekerjaan Adnan juga keluarga lelaki itu. Memang, keluarga Arraya dengan keluarga Adnan sendiri bisa dibilang belum terlalu dekat. Adam bahkan hanya tahu sedikit seputar menantunya itu. Pernikahan mereka saja bahkan bisa dikatakan berjalan dengan terpaksa dan memaksa.

Adnan menyusul kepergian Arraya ke kamar setelah acara sarapan dan juga perbincangan singkatnya dengan Adam selesai. Awalnya Adnan kira ia akan mendapat ceramah luar dalam oleh Adam, ternyata Adam hanya bercerita soal tanaman kesukaan Maya yang mereka tanam bersama di halaman belakang sejak kehadiran Arraya di dunia ini.

Langkah Adnan terhenti begitu ia melihat ada mamahnya Arraya di dalam kamar. Tanpa sadar ia berdiri di balik dinding, dan mendengarkan kegelisahan ibu mertua serta istrinya itu. Kakinya enggan beranjak dari posisinya.

"Kamu yakin mau pergi hari ini, Ra? Mama bahkan belum hilang kangennya sama kamu."

Raya tersenyum sambil menatap lekat mamahnya. "Raya kan nggak keluar negeri, Mama. Raya masih suka tinggal di Jakarta tau." Raya terkekeh kecil karena bermaksud bercanda.

"Ra ... Boleh Mama jujur?"

Raya menghentikan kekehannya saat melihat wajah sang mama berubah serius. "Boleh, Ma. Memangnya Mama mau bicara apa?"

Maya menatap lekat kedua mata putrinya. Jemarinya membelai wajah Arraya. Hangat dan lembut yang Arraya rasakan. Belaian sang ibu memanglah yang terbaik.

"Mama takut kalau kamu akan bersedih lagi nantinya. Mama takut kalau kamu akan disakiti lagi nantinya, Ra. Kamu itu anak satu-satunya Mama dan Papa. Cuma kamu yang kita punya. Cuma kamu satu-satunya kebahagiaan Papa dan Mama."

Arraya diam termangu. Mendengar tiap bait kata suara mamanya yang bergetar. Arraya tidak tahu, jika sebenarnya mamanya menyimpan perasaan seperti ini. Arraya pikir, kedua orang tuanya sudah memaafkan Adnan begitu saja.

"Yang Mama inginkan adalah melihat kamu bahagia. Tapi jika kamu tidak bahagia, itu akan sangat menyakiti hati Mama dan Papa. Arraya ngerti kan maksud Mama?"

Arraya memaksakan segaris senyum di wajahnya. Ia mengusap air mata yang membasahi wajah sang mama. "Mama tenang aja, insyaAllah Mas Adnan benar-benar sudah berubah. Mas Adnan juga sudah janji sama Arraya, kalau Mas Adnan akan mencintai Raya dan menjadi suami yang baik. Mama dan Papa nggak perlu khawatir lagi, Raya dan Mas Adnan pasti bisa mempertahankan rumah tangga kami berdua."

Tangis Maya pecah. Tanpa aba-aba lagi ia langsung memeluk tubuh putrinya dengan erat. "Janji sama Mama kalau kamu tidak akan pernah menangis nantinya. Janji sama Mama kalau kamu akan bahagia dengan Adnan. Janji sama Mama kalau kamu tidak akan lagi menyembunyikan apa pun dari Mama."

Arraya menyeka air mata yang diam-diam terjatuh. Ia membalas dekapan sang mama tak kalah eratnya. "InsyaAllah Mah, Raya janji ...."

Adnan yang masih berada di luar sontak tergugu diam. Tubuhnya membeku di tempat. Hatinya kembali diliputi rasa bersalah. Harusnya memang ia lebih bersikap sadar diri. Senyum yang dipancarkan oleh kedua orang tua Arraya dan Arraya belum tentu senyum yang sebenarnya. Bisa saja senyum itu adalah senyum yang mereka gunakan untuk menutupi rasa sakit hati mereka atas apa yang sudah ia lakukan sebelumnya.

🥀🥀🥀

"Ra... kamu beneran nggak papa kalau ikut aku pulang hari ini?" Adnan kembali memastikan.

Raya menoleh sekilas seraya melempar senyum. "Nggak papa. Memangnya kenapa?"

"Aku cuma takut kalau kamu masih mau di sini sama Papa dan Mama kamu."

"Raya kan istri Mas, jadi Raya harus ikut sama Mas. Lagi pula, Mama dan Papa juga sudah setuju kalau Raya kembali ke rumah Mas Adnan hari ini."

"Beneran nggak papa?" tanya Adnan memastikan. Adnan hanya tidak ingin kembali membuat kedua orang tua Arraya khawatir karena ulahnya.

"Nggak papa, Mas."

Adnan menghela napas pasrah. "Baiklah," katanya.

Selesai menemani Arraya bersiap dan memakai kerudungnya, Adnan menggandeng tangan Raya keluar kamar. Kedua mertua Adnan duduk menunggu di ruang tamu.

"Pa! Ma!"

Adam dan Maya kompak menoleh lalu bangkit berdiri saat suara putri sematawayang mereka memanggil.

"Raya sama Mas Adnan pergi sekarang ya?"

Adnan bisa melihat jelas gurat khawatir yang tergambar dari wajah Maya, sedangkan untuk Adam, yang Adnan lihat hanyalah senyum tipis dengan tatapan lekat untuk Arraya. Ah, rasanya Adnan tidak tega seperti ini, jika harus memisahkan Arraya kembali dari kedua orang tuanya.

Tekadnya untuk membawa Arraya pulang ke rumahnya hari ini sudah bulat, yaitu membahagiakan Arraya dan tidak akan membuat khawatir kedua orang tua Arraya.

Maya kembali membelai wajah Arraya. Ia mengulas senyum di wajahnya yang mulai menua. "Hati-hati ya, Sayang. Sering-sering main ke sini lagi, dan selalu kabarin Mama jika terjadi sesuatu."

Arraya menggangguk. Tangannya balas menggenggam tangan sang mama. "Iya Ma, pasti. Jangan khawatir ya, ada Mas Adnan yang akan jaga Arraya. Ya kan, Mas?" Arraya menolehkan kepalanya dan menunggu jawaban dari suaminya.

"Eh ... Iya, Ra." Adnan menoleh sekilas pada Arraya lalu beralih menatap kedua orang tua Arraya.

Arraya memeluk erat kedua orang tuanya erat bergantian. Rasa haru mulai menguar. Rindu yang belum lama pulih kini malah menjadi semakin bertambah. Arraya berharap kedua orang tuanya itu akan senantiasa sehat selalu sampai nanti akan ada kabar bahagia yang ia dan Adnan bawa.

Selesai pamit, Raya lebih dulu masuk ke dalam mobil atas perintah papanya. Raya paham, mungkin kedua orang tuanya itu ingin bicara dengan Adnan tanpa dirinya.

"Adnan?"

Adnan memutus pandangannya yang mengekori Arraya sampai gadis itu menghilang masuk ke dalam mobil. "Ya, Pa?"

Adam menyentuh bahu Adnan. Tangannya mengerat mencengkeram bahu Adnan dengan kuat. Beberapa detik Adnan diam menunggu Adam berbicara, tapi pria aruh baya itu tak kunjung mengeluarkan sepatah kata padanya.

"Tolong kamu jaga putri saya dengan baik. Bahagiakan dia dan perlakukan dia dengan baik. Jangan lagi buat dia menangis dan jangan buat kami berdua kecewa lagi."

Adnan terdiam. Matanya menatap segan manik hitam milik Adam, papah mertuanya.

"Iya Adnan, kami titip Arraya sama kamu ya." Kini giliran Maya yang berbicara. "Arraya adalah anak satu-satunya yang kami miliki. Di umur kami ini, yang kami inginkan hanyalah melihatnya bahagia bersama laki-laki yang dia cintai. Kami berdua tidak ingin lagi melihatnya bersedih apalagi menangis."

Adnan menatap kedua mata mertuanya bergantian. Tatapan tulus yang ia coba berikan untuk kedua orang yang kini sama berartinya dalam hidupnya.

"Pa, Ma, saya tidak bisa menjanjikan apa pun saat ini. Saya tau saya sudah banyak melakukan kesalahan pada Arraya, tapi yang perlu Papa dan Mama tau, perasaan saya padanya saat ini tulus. Saya benar-benar sudah jatuh cinta pada Arraya, dan yang saya inginkan juga adalah dengan melihatnya bahagia."

"Ini adalah kesempatan terakhir yang bisa kami berikan untuk kamu, Adnan. Jika suatu saat kamu mengingkarinya lagi, maka saya benar-benar akan mengambil Arraya dari kamu."

Adnan menunduk. Ia benar-benar sudah yakin jika ia memang mencintai Arraya. Perasaannya kini tulus ia berikan. Ia tidak ingin lagi menyakiti Arraya atau membuat gadis itu kembali meneteskan air matanya. Ia akan menjaga dan melindungi Arraya dengan segenap hatinya.

"Iya, Pa. Saya janji, insyaAllah.."

🥀🥀🥀

Adnan berhasil mengemudikan mobilnya dengan aman dan selamat sampai di tujuan. Beruntung jalanan tidak terlalu padat, sehingga waktu satu setengah jam berhasil ditempuh dengan lancar. Adnan menolehkan kepalanya ke samping, memperhatikan Arraya sedang menatap fokus ke arah depan, lebit tepatnya ke arah rumahnya.

"Kamu nggak papa, Ra?"

Arraya balas menoleh. Beberapa detik ia menatap Adnan dalam diam sebelum akhirnya menjawab, "Nggak papa."

Adnan keluar dari mobilnya tanpa ingin bertanya lebih banyak lagi. Ia menggandeng tangan Arraya memasuki rumah bersamaan.

"Assalamu'alaikum, Bi Ira!" Adnan menyerukan nama asisten rumahtangganya agar segera keluar. Adnan yakin seratus persen jika Bi Ira pasti akan sangat merasa senang saat melihat Arraya telah kembali ke rumahnya.

Tak berselang lama, seorang wanita paruh baya lari tergopoh-gopoh dari halaman belakang. "Wa'alaikumsalam, Den. Ada apa toh manggil Bi______ Non Raya???"

Adnan tersenyum geli melihat ekspresi wajah Bi Ira yang sontak berubah. Wanita itu bahkan belum menyelesaikan kalimatnya karena terlanjur melihat Arraya berdiri di sampingnya sambil tersenyum simpul.

"Non Raya!!" Bi Ira segera berlari ke arah Arraya dan langsung memeluk tubuh gadis itu hingga memasksa Adnan melepaskan genggamannya secepat mungkin dan juga hampir membuat tubuh Arraya terjungkal ke belakang karena tubuh gemuknya.

Bi Ira terisak seketika. Seperti anak kecil yang kehilangan permennya. "Non Raya akhirnya pulang lagi. Bibi kangen banget sama Non Raya. Bibi pikir, Bibi nggak akan ketemu lagi sama Non Raya."

Bibir Raya membentuk senyum haru. Ia balas memeluk tubuh Bi Ira yang terlihat begitu bahagia melihat kehadirannya kembali. Jangankan Bi Ira, Raya sendiri saja tidak bisa mengukur betapa bahagianya ia bisa kembali ke rumah itu. 

"Raya juga kangen sama Bibi... Ini semua berkat doa dari Bibi, jadi Raya bisa kembali ke rumah ini. Makasih ya, Bi."

Bi Ira melepaskan pelukannya setelah mendengar bisikan terakhir ucapan dari mulut Arraya. Bi Ira menghapus jejak air matanya. Malu karena merasa terlalu berlebihan sampai menangis. "Maaf ya Non, Bibi sampai nangis begini."

Raya terkekeh, "Nggak papa kok, Bi," katanya menenangkan. 

"Bi, udah, ya? Saya masih ada urusan berdua sama Raya. Kangen-kangenannya nanti lagi aja."

Bi Ira melirik kesal ke arah Adnan. "Ini semua karena Aden udah misahin Bibi dari Non Raya. Kalau aja seminggu lagi Aden nggak bawa Non Raya ke sini, Bibi sudah pasti angkat kaki dari rumah ini!"

Adnan tertawa  kecil. Ia segera merangkul bahu Arraya agar kembali mendekat padanya. "Bi... Mulai hari ini, Raya akan tinggal lagi di rumah ini. Jadi Bibi jangan marah-marah lagi sama saya dan ngancem saya buat angkat kaki dari rumah ini kalau saya nggak bisa bawa Raya balik ke sini."

Arraya tersenyum menatap suaminya dari samping. Memandang lelaki halalnya dengan penuh cinta dan syukur.

Adnan kembali menggandeng tangan Arraya untuk naik ke lantai dua. Dibukanya pintu kamar utama, kamar miliknya yang pernah ia berikan untuk Arraya saat keduanya resmi menikah. Saat itu, Adnan sengaja memberikan kamarnya untuk Arraya dan memilih kamar lain untuk dirinya.

Adnan menyesal mengingat saat itu. Saat di mana ia merasa tak sudi jika harus berada dalam satu kamar dengan gadis yang tak ia cintai.

Arraya membuka kedua matanya lebar-lebar. Ia terperangah dan terkejut melihat isi kamar Adnan yang berbeda. Benar-benar berbeda dengan terakhir kalinya ia berada di kamar itu.

"Mas?" Arraya membekap mulutnya. Menahan tangis yang sepertinya akan muncul sebentar lagi.

Adnan mengangguk seraya tersenyum menatap Arraya. Seolah dengan tatapan dan senyumnya itu, terjawab sudah maksud yang ingin ditanyakan oleh Arraya.

Adnan ikut mengedarkan pandangannya seperti Arraya. Kamar yang sebenarnya pernah Raya impikan dalam tidurnya.

Kamar itu memang Adnan rombak total. Aksen warna putih kini lebih menyelimuti kamarnya. Adnan juga mengganti ukuran kasurnya dengan king bed size yang lebih besar dari sebelumnya. Seprai berwarna putih dengan ukiran bunga berwarna cokelat. Warna kalem yang Raya sukai.

Arraya tak kuasa menahan air mata saat menangkap foto pernikahannya dengan Adnan yang terpasang besar di dinding. Di atas nakas, juga banya foto yang pernah dibadikan oleh fotografer saat keduanya melakukan resepsi pernikahan.

Satu baris lemari buku Adnan yang terbuat dari kaca, penuh dengan semua foto-foto Arraya. Lemar pakaian yang Adnan beli juga jauh lebih besar. Semua pakaian Arraya dan Adnan sudah tersusun rapih di dalam sana. Mukena putih milik Arraya juga berada persis di samping baju muslim yang Adnan miliki. Di atas nakas, ada 2 mushaf Al-Qur'an yang saling bersisian.

Di depan toilet, ada dua pasang sandal yang berwarna merah muda dan juga berwarna biru. Sikat gigi yang berjumlah 2, handuk 2, dan peralatan mandi lainnya yang kini berada dalam satu toilet. Meja kerja milik Adnan juga berganti dengan ukuran yang lebih panjang, dengan dua kursi yang saling berdampingan. Tak lupa juga Adnan membelikan sebuah meja rias untuk Arraya dengan cermin berukuran besar. Rasanya seperti melihat sebuah kamar impian.

"Mas?"

Arraya menghapus air matanya dan menatap lurus mata Adnan. Ia membaca manik mata Adnan, dan menemukan adanya kejujuran dan ketulusan di dalamnya. Hilang sudah tatapan benci Adnan yang sering ia lihat dulu.

"Hm?"

Air mata yang Raya coba tahan, gagal. Air matanya berbondong-bondong membasahi pipi putihnya.

"Makasih untuk semuanya, Mas. Aku bahkan pernah berpikir, kalau aku nggak akan pernah lagi kembali ke rumah ini. Aku pernah berpikir kalau aku nggak akan pernah ketemu sama kamu lagi. Aku juga pernah berpikir kalau aku benar-benar akan kehilangan kamu. Aku bahkan pernah berpikir, kalau aku benar-benar harus melupakan kamu dan menghapus semua cinta yang aku punya untuk kamu. Semua hal yang selalu aku pikirkan, pada akhirnya hanya menciptakan ruang rindu yang aku punya untuk kamu menjadi jauh lebih besar."

Adnan mendekatkan dirinya pada Arraya. Tangannya meraih kedua pipi Arraya yang memerah juga sembab karena menangis.

"Jangan menangis, Ra. Jangan menangis..."

Tidak membuat Arraya berhenti menangis, Adnan justru membuat tangis Arraya semakin pecah saat tangan besarnya meraih pinggang Arraya dan memeluknya dengan erat.

"Maaf, Ra. Maaf, karena pernah membuat kamu begitu menderita atas sikapku. Aku yang terlalu kekanakkan. Aku yang terlalu egois sampai tidak sadar telah melukai hati kamu begitu dalam."

Arraya membalas pelukan Adnan tak kalah eratnya. Ia menumpahkan semua rasa sedih yang pernah menggerogoti perasaannya.

"Mulai hari ini, ini akan menjadi kamar kita berdua. Kamar untuk kamu dan aku dari rumah yang mulai saat ini juga menjadi rumah kamu dan aku. Di rumah ini, kita akan bina rumah tangga kita lagi dari awal. Kamu yang akan bantu aku biar aku bisa menjadi suami yang baik untuk kamu. Suami yang bertanggungjawab atas istri dan juga keluarganya."

Dalam tangisnya, Arraya tersenyum haru. Perasaannya saat ini begitu sulit ia jelaskan. Yang pasti, terlalu banyak kebahagiaan yang ia rasakan saat ini. 

"Aku cinta kamu, Ra. Aku sungguh sangat mencintaimu, Arraya Kirania."

🥀🥀🥀

Notes:

Kalau masih mau SDL terus diupdate, jangan lupa berikan vote dan juga banyak komentar untuk part Adnan dan Arraya ❤

Jazakumullah ya Khair ❤

Komentar