07 | Terluka (2)

Surga Dalam Luka 

Arraya terduduk dengan memandang ke arah jalan besar di depannya. Tampak padat dan ramai. Beberapa orang ia lihat berlari kecil mengejar busway agar tak ketinggalan. Beberapa orang lainnya sedang sibuk dengan ponselnya masing-masing. Tapi di antara semua itu, ada satu pemandangan yang sejak tadi membuat Arraya terpaku. Sepasang pasangan muda duduk tak jauh dari tempatnya. Mereka berdua sepertinya sedang menunggu busway yang akan mereka naiki.

"Apa tidak lebih baik kita pulang dengan taksi saja? Aku takut kamu cape berdiri."

"Nggak papa, Mas. Aku kuat kok, lagi pula kan ada kursi prioritas. Aku bisa duduk karena sedang hamil."

"Kamu yakin tidak apa-apa?"

"Iya Mas, makasih sudah mengkhawatirkan aku."

"Aku ingin kamu dan anak kita selalu baik-baik saja."

"InsyaAllah Mas, Allah pasti akan melindungi aku, kamu, dan anak kita."

Kedua sudut bibir Raya tertarik. Rasanya begitu damai melihat pasangan itu berbincang. Suaminya yang terlihat begitu khawatir dan menyayangi istri dan juga calon buah hatinya, juga istrinya yang mencoba untuk menenangkan suaminya.

Arraya jadi berpikir, bisakah suatu saat nanti ia akan seperti itu bersama Adnan?

"Sejak dulu, aku selalu menganggap kamu sebagai adik."

"Aku tidak pernah dan tidak akan mencintaimu."

Rasanya menyedihkan jika mengingat kembali kata demi kata yang pernah Adnan katakan padanya. Seminggu paska pernikahan, rasanya seperti sudah sebulan. Tiap detiknya seperti roda yang berputar dengan sangat pelan. Seperti tak ada kaki yang mengayuh sepeda itu agar roda bisa berputar cepat dan akhirnya bisa sampai di tujuan dengan akhir bahagia.

Arraya mendongakkan kepalanya saat merasakan matanya buram akan air mata. Ia tak ingin menangisi hidupnya dengan Adnan. Ia juga tak ingin menyesali pernikahannya yang telah terjadi dengan Adnan.

Suara klakson dari mobil yang baru saja berhenti di depannya membuat lamunannya berguguran. Arraya menyipitkan matanya. Rupanya yang baru saja tiba adalah Adnan yang sudah sampai di halte untuk menjemputnya. Perempuan itu segera masuk ke dalam mobil dan memakai seatbelt. Karena pernikahan yang tidak pernah direncanakan sebelumnya, Adnan jadi tidak bisa mengambil jatah cuti. Lagi pula, Adnan memang tidak ingin mengambil cuti menikahnya. Untuk apa juga? Bulan madu dengan Arraya, rasanya itu tidak akan pernah terjadi.

Seperti yang sudah Arraya duga sebelumnya. Jika berdua dengan Adnan, maka mereka pasti tidak akan banyak bicara. Yang ada hanya kesunyian menyelimuti perjalanan.

Sungguh miris.

AC mobil seakan ikut menertawakan Raya saat ini. Hawa dinginnya begitu menusuk tulang. Sama seperti raut wajah dan sikap suaminya hari ini yang sejak pagi hingga saat ini hanya mendiamkannya. Seolah Arraya adalah patung yang tak harus diajak bicara.

"Ini hanya makan malam biasa." Arraya sontak menoleh mendengar kalimat pertama yang meluncur dari bibir suaminya. "Hanya ada Papa, Mama, dan juga Kakek. Ini seperti tradisi turun temurun untuk menantu baru di keluarga. Jadi tidak perlu canggung, dan bersikap saja sebagaimana mestinya pasangan suami istri."

Arraya mengangguk singkat tanpa banyak membantah. Tak berselang lama, mobil berhenti di sebuah restoran besar ala Jepang. Dekorasi halaman yang luas serta pohon rindang yang ditanam di setiap sudut menambah kesan asri restoran. Arraya meringis dalam hati, membayangkan jika makan di tempat seperti itu mungkin saja akan menghabiskan seluruh gajinya sebulan atau bahkan lebih.

Maklum, keluarga Adnan memang berasal dari keluarga yang sangat berada. Semua keluarganya rata-rata pengusaha sukses serta akademisi di kampus. Termasuk buyutnya, yang memulai karir dengan membuka bisnis dari awal yang pada akhirnya bisa mendirikan perusahaan sendiri dan memiliki ribuan orang karyawan dan cabang yang tersebar di beberapa pulai di Indonesia, hingga kini juga tersebar di Singapura dan Hongkong.

Arraya melepas seatbelt yang sejak tadi mengurung tubuhnya. Saat ia ingin membuka pintu, Arraya baru tersadar jika ia belum memeriksa penampilannya malam ini. Jangan sampai nanti ia malah mempermalukan Adnan dengan kekonyolan penampilannya yang super biasa.

Arraya membuka bedak dan mulai berkaca menggunakan kaca yang di dalamnya. Ia memoles lagi dengan tipis permukaan wajahnya dengan bedak tersebut.

"Tidak perlu tebal."

Arraya sontak menoleh cepat. Rupanya Adnan juga sedang memperhatikan dirinya yang sedang berdandan. "Jelek ya?" cicit Arraya.

"Cantik," jawab Adnan yang langsung berlalu keluar dari mobil, meninggalkan Arraya dengan menatap kepergiannya bingung.

"Barusan dia muji aku?" Arraya menyentuh kedua pipinya yang terasa panas. Seperti ada yang mendebarkan jantungnya lagi.

"Ra, cepat!" seru Adnan dari luar mobil.

"I ... iya!" jawab Raya yang dengan gugupnya langsung menyusul kepergian suaminya.

Adnan bisa mendengar berkali-kali Raya menarik dan mengembuskan napasnya. Jelas sekali jika istrinya saat ini sedang merasa gugup.

"Tidak perlu gugup, biasa saja."

Arraya menoleh. Meringis pelan mendengar sindiran Adnan untuknya. "Maaf, Mas. Tapi aku nggak bisa berhenti deg-degan. Aku takut ...."

Kedua bola mata Arraya membulat penuh saat merasakan ada jari-jari yang menelusup ke sela jemarinya. Saat ia melihat ke bawah, senyumnya ia coba tahan sekuat mungkin. Senang sekali melihat tangan Adnan yang menggenggam tangannya dengan erat.

"Tidak perlu takut. Ini akan cepat berakhir seperti kamu bimbingan skripsi dengan Pak Alex dulu."

Karena kalimat Adnan itu, Arraya akhirnya bisa tersenyum. Adnan mengungkit satu dosen pembimbingnya dulu yang begitu nano-nano. Ada sedih, marah, kesal, juga bangga karena mendapatkan dosen pembimbing yang ketus namun sangat pandai seperti Pak Alex.

"Kakek pasti akan mengajukan beberapa pertanyaan sama kamu. Kamu harus jawab untuk memberikan kesan sopan pada Kakek. Kakek senang perempuan yang tenang dan banyak tersenyum. Jadi biar Kakek tidak curiga, kamu harus banyak tersenyum. Kalau ada pertanyaan Kakek yang ragu untuk kamu jawab, biar aku yang mengurusnya. Paham?"

"Paham," jawab Arraya singkat.

Sampai di sebuah ruangan tertutup, Adnan menghentikan kedua kakinya hingga Arraya mengikuti.

"Dengan Bapak Adnan?" seorang pelayan lelaki menggunakan seragam restoran berwarna hitam menyambut Adnan dan juga Arraya.

"Ya, saya sendiri."

"Silahkan masuk, Pak. Keluarganya sudah menunggu di dalam." Pelayan tersebut mempersilahkan Adnan dan Arraya untuk masuk ke dalam ruangan. Dekorasi dengan furniture kayu jati dan motif bunga sakura yang dijadikan wallpaper dinding membuat Arraya berdecak kagum dalam hati. Perpaduan warna cokelat klasik ini jadi menambah kesan elegan dan juga mewah yang dimiliki restoran tersebut.

"Assalamu'alaikum," Adnan memulai dengan salam.

"Wa'alaikumsalam."

"Kenapa telat, Adnan?" tanya sang mama, Lidya yang langsung menyergap Adnan dengan pertanyaan.

Adnan mencium kedua tangan orang tuanya, setelah itu ia menghampiri seorang kakek yang sejak tadi Arraya perhatikan hanya diam menatap matanya lekat. Ini adalah pertama kalinya Arraya bertemu dengan kakek kandung Adnan.

"Macet, Ma, jadi maaf jika sudah menunggu lama."

Lidya tersenyum simpul. "Tidak apa, silahkan duduk. Arraya, sini duduk, Sayang." Arraya bersyukur, setidaknya ia mendapat perhatian sendiri dari ibunya Adnan yang menyapanya dan menawarkan kursi untuknya.

"Makasih, Ma." Arraya mulai duduk di samping Adnan, di depannya ada Lidya, sedangkan Kakek duduk di kursi sendiri dengan menghadap yang lainnya. Rupanya Adnan benar, pertemuan ini memang sedikit privasi, karena hanya dihadiri oleh kedua orangtua Adnan, beserta Kakek yang sampai detik ini belum Arraya tahu seperti apa karakternya.

Acara makan malam pun berlangsung dengan suasana yang dapat Raya gambarkan kaku dan canggung. Tidak ada yang membuka suara. Baik Lidya, Fajar, bahkan Kakek, semuanya menikmati makanannya dalam diam. Padahal, Raya sudah menyiapkan diri untuk sesi wawancara yang ia prediksi akan berjalan malam ini.

"Jadi, siapa nama kamu?"

Arraya sontak mengangkat kepala begitu mendengar sebuah pertanyaan yang sepertinya ditujukan untuknya.

Kakek Kak Adnan tidak tahu namaku? tanya Arraya bingung dalam hati.

"Namanya Arraya, Kek." Lidya refleks menjawab pertanyaan mertuanya yang sebenarnya ditujukan untuk Arraya.

"Saya tidak tanya kamu, Lidya. Saya bertanya pada istrinya Adnan."

Kunyahan makanan di dalam rongga mulutnya berhenti begitu Arraya mendengar kalimat sindiran dari mulut Kakek. Mendadak Arraya jadi merasa bersalah pada mertuanya. Krena dirinya, mertuanya sampai mendapat sindiran dari Kakek. Arraya juga bahkan lupa pesan Adnan yang meminta dirinya untuk menjawab segala pertanyaan yang diajukan oleh Kakek. Arraya mengunyah makanannya dengan cepat, meminum sedikit air mineral lalu bersiap untuk menjawab pertanyaan barusan.

Kakek masih setia memperhatikan Arraya dari balik kacamatanya.

"Nama saya Arraya Kirania, Kek."

Kakek menganggukkan kepalanya singkat. "Umur kamu berapa? Tinggal di mana? dan kesibukan kamu sehari-hari apa?" Kakek kembali meluncurkan pertanyaannya. Rupanya sesi wawancara baru akan dimulai.

"Umur saya 25 tahun, Kek. Saya tinggal di Jakarta Timur, dekat Matraman. Kalau sekarang saya masih aktif bekerja di salah satu perusahaan sebagai Diplomat, Kek."

Kakek masih memperhatikan wajah Arraya dengan saksama.

"Nama yang cantik seperti orangnya. Pekerjaan yang hebat juga. Saya salut dengan kamu." Kakek balas tersenyum untuk Arraya, membuat hati Arraya menghangat saat melihat senyum tipis yang tulus itu. Walau Kakek terlihat seram, tapi saat bicara tutur katanya begitu santun, menatap Arraya tanpa mengintimidasi.

"Terima kasih, Kek."

"Kalau begitu pantas jika Adnan mau menikah dengan perempuan baik seperti kamu." Kakek kembali memuji Arraya. Kakek terlihat santai membanggakan Arraya di depan cucu dan juga anaknya, padahal tanpa Kakek tahu ada seseorang yang sedang menahan kesal sejak tadi.

Ia adalah Adnan. Adnan yang mulai tak suka dengan arah pembicaraan Kakek yang terus memuji Arraya. Apalagi saat ia mengingat kalimat barusan yang meluncur dari bibir Kakek.

"Maaf, Kek. Tapi aku rasa, Kakek salah paham."

Kedua orang tua Adnan langsung melirik Adnan, termasuk Kakek dan juga Arraya yang menunggu kelajutan ucapan Adnan. "Yang mau aku menikahi Arraya bukan aku sendiri, Kek. Itu semua aturan yang Papa buat secara sepihak. Harusnya Kakek nggak lupa kalau aku sudah punya perempuan yang aku cintai sendiri."

"Adnan!" Fajar yang sejak tadi diam mulai bereaksi. Ia menyebutkan nama putranya dengan kencang, membuat suasana yang semula santai mendadak tegang.

"Jaga ucapan kamu! Kamu nggak berhak bicara seperti itu setelah apa yang sudah kamu lakukan sebelumnya."

"Papa yang nggak berhak!" balas Adnan tak terima. "Pertemuan ini harusnya nggak usah dilakukan. Semua orang di sini tau kalau aku sudah punya tunangan, tapi tetap saja memaksa aku untuk menikahi perempuan lain."

Arraya menelan salivanya susah payah. Ia langsung menunduk dan menautkan jemarinya. Rasanya seperti Adnan baru saja meninju hatinya. Sakit rasanya mendengar tiap kata yang meluncur dari bibir suaminya.

"Cukup Adnan! Saat ini yang menjadi istri sah kamu adalah Arraya, bukan Afifah. Jadi jangan sebut perempuan itu lagi!"

"Perempuan yang Papa maksud itu bukan perempuan sembarangan di hidup aku, Pa! Dia itu Afifah, perempuan yang aku cintai!" pungkas Adnan dengan suara tegasnya.

Satu bulir air mata berhasil lolos dari pelupuk mata Arraya. Pertemuan privasi yang semula ia harap akan berjalan dengan tenang dan lancar, rupanya hanya menjadi tempatnya dicaci-maki secara tidak langsung oleh Adnan. Pertemuan keluarga yang katanya hanya perkenalan biasa, rupanya seperti lubang jurang yang mendorongnya ke dalam pahit kenyataan cintanya.

Vote komennya jangan lupa ❤

TAMAT : 17 Mei 2020

REVISI : 20 Juni 2020

Jazakumullah ya Khair

Komentar