44 | Kehilangan

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Note : Bagian awal part ini adalah awalan dari kecelakaan  Luthfi yg terjadi di Part 1.

Follow dulu, follow sebelum baca 😌

Playlist : Mahen - Datang Untuk Pergi

🌹🌹🌹

"Sejak kapan kamu berhubungan dengan dia?" tanya Adnan dengan mata yang menatap nanar gadis yang ia cintai.

Afifah menangis, sesenggukan di hadapan Adnan. "Mas, maafin aku..."

Adnan tersenyum miris. "Tega banget kamu sama aku, Fah. Kamu tau aku cinta banget sama kamu, tapi kamu malah kayak gini. Bulan depan kita akan menikah, tapi kamu malah tega berbuat sejauh ini?"

"Mas, aku nggak selingkuh. Aku cuma lagi bingung aja. Aku juga nggak tahu apa yang aku lakuin sama Rizki."

"Kamu pelukan sama dia, Fah!" teriak Adnan. "Dia bahkan cium kening kamu! Terus sekarang kamu masih bilang kamu nggak selingkuh?!"

"Mas, maaf. Aku -" belum selesai Afifah bicara, Adnan sudah memotong.

"Kamu udah gila, Fah. Aku kecewa sama kamu. Cukup sampai di sini hubungan kita. Pernikahan itu, tidak akan pernah terjadi." Ujar Adnan dengan menggertakan giginya kencang. Urat lehernya timbul, tangannya terkepal erat. Menahan bagaimana hancur hatinya setelah mengetahui kebenaran yang teramat membuat luka.

Adnan langsung berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Air matanya langsung menetes tanpa bisa ia cegah. Ia mengusap kasar pipinya, meratapi miris nasibnya karena cinta. Dulu, ia tidak bisa mencintai perempuan yang ia suka karena perempuan itu menikah dengan lelaki lain. Dan kini, ia terpaksa harus merelakan karena perempuan yang ia cintai saat ini selingkuh dengan lelaki lain.

Saat Adnan hendak menginjak pedal gasnya, pintu kiri mobilnya yang terbuka dari luar membuat Adnan menoleh kaget. Afifah masuk dan duduk tepat di sampingnya.

"Apa sih yang kamu lakuin?"

"Aku mau jelasin semuanya, Mas. Mas nggak bisa pergi gitu aja tanpa denger penjelasan aku."

Adnan mendengus pelan. "Ternyata kamu lebih egois dari yang aku pikir."

Tanpa mau mendengarkan penjelasan Afifah, Adnan melajukan mobilnya dengan kecepatan cepat. Ia tidak peduli bagaimana takutnya Afifah yang ia tumpangi dengan kecepatan di atas rata-rata.

"Mas, jangan begini. Bahaya. Dengerin penjelasan aku dulu."

"Lima tahun!" Adnan berteriak. Rahangnya mengeras dengan pandangan yang ia paksakan fokus ke depan walau sulit. "Kenapa harus nunggu lima tahun kalau kamu mau selingkuh? Kenapa harus nunggu lima tahun buat sakitin aku? Kenapa, Fah?!"

Air mata Afifah terus berjatuhan. Padahal awalnya ia sama sekali tidak berniat untuk selingkuh. Ini semua karena sikap Adnan yang akhir-akhir ini sedikit lebih cuek padanya. Adnan juga semakin sibuk bekerja, hingga terkadang tidak punya waktu untuk bertemu dengan Afifah. Dan pada saat itu, temannya yang bernama Rizki hadir mengisi tempat ketika Adnan sedang tidak ada.

"Mas, dengerin aku..." suara Afifah terdengar merengek, tapi Adnan seolah tak mendengar. Mobilnya terus melaju cepat.

Dengan ide gilanya yang ingin menghentikan mobil Adnan, Afifah mengulurkan kedua tangannya pada stir kemudi mobil Adnan.

"Berhenti, Mas. Aku bilang berhenti!" tak ada cara lain yang bisa Afifah pikirkan selain ide gilanya yang entah ia dapat dari mana.

"Afifah lepas. Kamu udah gila ya?!"

"Berhenti, Mas!"

Mobil yang semula akan berbelok justru Afifah putar lagi stir kemudinya hingga mobil mengarah ke jalan depan yang besar.

Adnan membulatkan matanya begitu melihat jalurnya sudah memasuki lampu merah. Namun saat ia mencoba untuk menginjak pedal rem, semuanya menjadi sulit. Sebuah mobil hitam yang melaju dari arah kiri tengah melaju ke depan dan berada tepat di tengah jalan perempatan.

Sorot mobilnya yang kuat ke depan, memperlihatkan seorang lelaki yang berada di dalam mobil. Adnan mencoba menginjak rem kakinya sekuat yang ia bisa, namun mobil yang sedang dalam keadaan cepat, tak mampu berhenti sesuai yang ia inginkan.

BRAK!!

Tabrakan pun tak dapat dihindari. Mobil Adnan menabrak kencang mobil di depannya hingga mobil tersebut terdorong jauh dan setelahnya Adnan sudah tak ingat apa-apa lagi.

Kening Adnan mengeluarkan darah, kakinya juga terjepit. Sementara itu, keadaan Afifah jauh lebih mengenaskan karena perempuan itu tak mengenakan seatbelt nya. Afifah pingsan dengan kepala membentur kencang dashboard mobil. Kepala dan wajahnya hampir tertutupi dengan kentalnya darah segar.

Flashback off

🥀🥀🥀🥀🥀

Arraya menggigit bibir bawahnya. Menekan semua air matanya agar tak ada yang menetes di depan Adnan, juga menekan semua perasaan hatinya sekuat yang ia bisa.

"Mari kita bercerai, Mas. Mari kita berpisah, agar kamu bisa bebas mencintai perempuan yang kamu cintai."

Detik itu juga, Adnan merasa dunia yang ia bangun selama ini untuk Arraya runtuh tanpa sisa.

"Jangan bercanda, Ra..." seolah gemuruh langit berpindah ke dalam dadanya. Berharap apa yang ia dengar barusan hanyalah sebuah mimpi buruk yang tak akan pernah menjadi kenyataan.

"Yang selalu bercanda adalah Mas. Mas juga yang selalu bercanda dengan perasaan aku."

Setiap kata-kata yang meluncur dari bibir Arraya sukses menghantam jantung Adnan. Ia merasa kerongkongannya tercekat. Kilatan mata Arraya, baru kali ini ia melihatnya. Yang ada di hadapannya kini seperti bukan Arraya. Tak ada tatapan teduh yang dipancarkan oleh kedua manik hitamnya. Tak ada lagi tutur lembutnya ketika berbicara. Dan tak ada lagi senyum yang selalu membuat Adnan jatuh cinta kala melihatnya.

"Ra..."

Adnan baru hendak mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah Arraya, ketika perempuan itu mundur selangkah ke belakang.

"Jangan sentuh aku!"

Adnan membeku seketika. Ia mematung di posisinya. Entah bagaimana caranya menyembuhkan luka yang sudah terlanjur membekas. Adnan seolah tenggelam dalam emosi yang saat ini tercipta pada diri perempuan yang teramat ia cintai.

"Ra, maafin Mas..." Adnan tak tahu lagi harus berbuat apa. Arraya sama sekali tak mau mendengarkan semua hal yang ingin ia jelaskan.

"Maaf Mas selalu palsu!" Arraya mengatakannya sambil berteriak. Dan pada saat itu, air mata yang sejak tadi ia tahan setengah mati akhirnya menetes membasahi pipinya. Adnan terkesiap lagi.

"Dengerin penjelasan Mas biar kamu bisa mengerti dan nggak salah paham begini, sayang."

"Selama ini!" Arraya kembali berteriak. "Berapa banyak kepura-puraan yang Mas beri untuk aku?" mata Arraya menatap nanar manik hitam milik Adnan. Ada getaran kesepian juga kebencian di sana.

"Aku emang bodoh. Sampai detik ini, aku bahkan masih sangat mencintai Mas yang jelas-jelas nggak pernah mencintai aku." Arraya berbicara pelan, nyaris berbisik namun masih bisa sangat didengar jelas oleh Adnan.

Adnan menghela napas tak percaya. Kalimat Arraya seolah menghancurkan Adnan menjadi kepingan penyesalan yang teramat dalam. Bibirnya sudah bungkam, tak lagi sanggup membuka suara. Matanya hanya menatap nanar memandang istrinya yang kini masih menatapnya penuh emosi.

"Mas cinta kamu, Sayang... Mas cinta sama kamu."

"Mas ingat yang dulu pernah Mas ucapin ke aku?" Raya bertanya. "Persis di tempat ini kita berdiri, Mas bilang seperti ini; Pernikahan kita itu hanya formalitas tanggungjawab. Dan sekarang, semuanya sudah tercapai bukan? Pernikahan yang Mas anggap formalitas tanggungjawab itu akhirnya berakhir seperti yang Mas dulu impikan."

Adnan menggeleng lemah. "Nggak, Ra. Nggak ada yang perlu berakhir sekarang."

Arraya menepis kasar airmatanya. Mencoba kuat dan tegar ternyata lebih menyakitkan. "Jadi mari kita berpisah. Mari kita hidup masing-masing, biar nggak ada lagi hati yang sakit karena semua hubungan ini. Karena pernikahan terlalu suci jika hanya untuk sebuah formalitas."

Arraya mengalihkan pandangannya ke arah lain dan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia menarik kopernya dan langsung pergi meninggalkan Adnan yang kini mematung di tempatnya tanpa pamit.

"Hargai keputusan aku seperti kebohongan yang selama ini sudah Mas rencanakan dengan begitu sempurna."

Bertepatan saat tubuh Arraya sudah melewati tubuhnya, kepala Adnan langsung jatuh menunduk dalam. Terlihat beberapa tetesan air yang menetes tepat ke lantai saat kepalanya menunduk dalam. Bahunya bergetar. Adnan sudah mencoba untuk tidak menangis, tapi ia tidak mampu bagaimana caranya menghentikan airmatanya. Setiap ia ingin menahannya, maka gerombolan airmata itu akan menjebol pertahanannya.

Hancur sudah. Hancur lebur dunia Adnan. Kepergian Arraya sudah membawa seluruh hidupnya tanpa sisa. Bahkan harapan-harapan kecilnya juga ikut terbawa lagi. Hanya tinggal ruang kosong yang sepi dan hampa.

Tak ada lagi kesempatannya bicara. Tak ada lagi kesempatan untuknya menjelaskan, karena perpisahan kini ada di depan mata.

🥀🥀🥀

Arraya keluar dari rumah dengan perasaan campur aduk, hingga ia merasa tubuhnya sudah tak mampu lagi melangkah ke depan. Arraya berhenti lagi di ambang gerbang ketika panggilan lirih suaminya memanggil. Arraya mengeratkan pegangan tangannya di koper. Ia mencoba menguatkan dirinya sendiri untuk tak lagi menoleh ke belakang. Menoleh ke belakang dan melihat wajah seseorang yang begitu ia cintai hanya akan membuat luka semakin melebar.

"Ra, tolong jangan pergi seperti ini!"

Raya sudah menggigit bibir bawahnya kuat, tapi airmatanya itu tak bisa diajak kompromi. Ia menyadari dirinya bukanlah perempuan teguh yang tak mudah menangis. Ia menyadari jika dirinya hanyalah perempuan yang mudah mencintai dan mudah merasa terluka jika dikhianati.

"Maafkan hamba, Ya Allah... maaf, jika hamba menyerah pada hal yang tak seharusnya. Maaf, jika hamba harus memberikan pernikahan ini dengan sesuatu yang teramat Engkau benci."

Dengan langkah berat yang sudah ia usahakan cepat, Raya segera masuk ke dalam taksi yang pintunya sudah terbuka lebar. "Jalan sekarang, Pak!" perintah Raya dengan suara bergetar.

"Arraya, Mas mencintai kamu!!"

Suara teriakan yang terdengar hingga masuk ke dalam mobil, tak dapat menahan Arraya untuk tidak menoleh. Arraya menolehkan kepalanya sempurna untuk melihat ke belakang sana. Saat ia melihat Adnan berdiri menatap kepergiannya sambil menangis, Arraya langsung menggigit jarinya. Dan dalam hitungan detik, tangisnya ikut pecah. Ia menutup wajahnya dengan rapat. Meremas erat dadanya yang begitu penuh sesak dan sakit di dalam sana.

🥀🥀🥀

Adnan menutup pelan pintu mobilnya. Ia berdiri di posisinya dan menatap ke arah rumahnya. Baru melihatnya dari luar saja, Adnan sudah bisa merasakan bagaimana kosongnya rumah itu. Bagaimana sepinya dan bagaimana hampanya, Adnan seolah sudah bisa merasakan.

Adnan memejamkan matanya. Ia berdoa pada sisa-sisa harapannya, jika Arraya sudah kembali ke rumahnya. Ia berdoa pada sisa-sisa harapannya jika Arraya tidak jadi pergi meninggalkan dirinya. Saat ia ingin menyusul kepergian Arraya dengan mobil, Rangga terus meneleponnya dan meminta Adnan untuk segera ke kantor karena meeting yang Adnan minta harus segera dilangsungkan. Ia tidak punya pilihan. Ia bertanggungjawab sebagai pimpinan di kantor, walau hatinya berat hati melakukannya.

"Mas, lihat bunganya! Mekar bagus banget, Mas!"

Adnan menoleh perlahan. Melihat Arraya sedang berdiri dan tersenyum cerah padanya saat memamerkan bunga bawarnya yang mulai tumbuh mekar. Adnan melangkah mendekat, tapi saat jarak sudah kian terkikis, sosok perempuan itu menhilang. Air mata Adnan jatuh saat tersadar jika apa yang ia lihat adalah halusinasi semata.

Semuanya semakin kacau saat Adnan masuk ke dalam kamar pribadinya. Kamar yang berisikan dirinya dan Arraya. Kamar di mana yang menjadi saksi bersatu cintanya dengan Arraya.

Arraya seolah memenuhi kamar itu. Di tiap sudutnya, saat matanya melihat barang Arraya membuat hati Adnan kian merasa ngilu. Seperti besi karat yang digosokkan. Arraya yang sedang menyisir rambutnya di depan cermin, Arraya yang sedang berdiri di depan jendela, Arraya yang sedang mengaji, Arraya yang sedang solat, Arraya yang sedang mencium tangannya, Arraya yang sedang menciumnya, Arraya yang sedang memeluk erat tubuhnya, semuanya membuatnya hampir menggila.

Belum ada sehari sejak kepergian Arraya, rasanya sudah seperti ditinggal untuk waktu yang teramat lama. Adnan kembali menatap nanar layar ponselnya. Puluhan panggilannya diabaikan dan ratusan pesannya tak ada yang dibalas oleh Arraya. Jangankan untuk dibalas, dibaca saja tidak. Melihat foto yang terpampang di layar ponselnya sebagai foto wallpaper, membuat Adnan merasa semakin hancur. Perempuan yang ia cintai sedang tersenyum manis sambil memeluk sebelah lengannya.

Foto pernikahannya yang terpampang besar menempel di dinding kamarnya menjadi objek penglihatan Adnan yang terakhir. Betapa banyak perjuangan yang mereka berdua lakukan untuk akhirnya bisa sama-sama saling mencintai. Betapa banyak perjuangan Adnan hingga akhirnya bisa berubah dan membuang semua rasa egonya.

Mata Adnan kembali menghangat. Baru kali ini ia merasa lemah menjadi seorang lelaki seumur hidupnya. Baru kali ini ia merasa hancur sehancur-hancurnya dalam hidup. Orang yang ia cintai, orang yang ia sayangi kini pergi meninggalkannya. Bahkan mungkin tak lagi hanya sebentar, justru mungkin akan meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Adnan mengusap kasar pipinya yang basah karena airmata. Ia sungguh tak sanggup harus kehilangan Arraya. Entah ke mana perginya Arraya. Entah di mana Arraya saat ini. Entah apa yang perempuan itu lakukan. Entah apakah perempuan itu berada di tempat yang nyaman atau tidak. Entah perempuan itu kedinginan atau tidak. Entah perempuan itu sudah makan atau belum. Yang jelas, rindunya pada Arraya terasa sangat menyakitkan. Rindu yang melubangi dadanya hingga rasanya seperti mau mati.

🥀🥀🥀

• To be Continued •

Cung, siapa yang ikutan mewek?

Apa yang mau kamu sampaikan untuk Adnan?

Apa yang mau kamu sampaikan untuk Arraya?

Apa yang mau kamu sampaikan untuk Afifah?

Apa yang mau kamu sampaikan untuk saya?😂

Ngeliat komenan kalian lutu lutu banget si wkwk.. Kenapa semuanya emot nangis?  😂

Jangan lupa vote dan komen ❤

Jazakumullah ya Khair ❤

NB : SELURUH PERBAIKAN ALUR DAN PEROMBAKAN ISI CERITA HANYA AKAN ADA DI VERSI NOVEL. NOVEL SAAT INI MASIH TAHAP REVISI, JADI BELUM TERBIT. UNTUK YANG MAU PELUK BUKUNYA SILAKAN NABUNG DARI SEKARANG. KARENA INSYAALLAH TIDAK AKAN MENYESAL BACA VERSI NOVELNYA ❤❤❤

TAMAT : 17 MEI 2020
REVISI : 2 OKTOBER 2020

Komentar