46 | Kuasa Ilahi

🌹 Surga Dalam Luka 🌹
©Haphap

Cung, siapa yg belom follow?
ayo kuy follow dulu sebelum baca 🐒

🎵 Andmesh - Jangan Rubah Takdirku 🎵

🥀🥀🥀

Arraya duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong menatap jendela rumahnya yang sudah tertutup rapat. Satu tangannya masih berada di depan perut ratanya. Ia masih belum bisa percaya jika ada malaikat kecil yang telah Allah titipkan padanya. Rasanya aneh tapi juga sangat membuatnya bahagia. Rasanya seperti ia akan menjadi perempuan seutuhnya. Menjadi perempuan juga ibu dari anaknya nanti.

"Maafin Umi ya, Sayang." Arraya mengusap lembut perutnya. Itu adalah kalimat pertamanya yang ia ucapkan saat ia tahu jika ada segumpal daging hidup di dalam rahimnya.

"Maaf, karena Umi nggak bisa bawa kamu ketemu sama Abi."

Arraya menghapus airmata yang lagi-lagi mencuri-curi waktu keluar. Ia tak ingin bersedih untuk calon anaknya. Ia tak ingin bersedih untuk calon jabang bayi yang saat ini sangat butuh ketegaran dan kekuatan dirinya.

"Maaf, karena untuk saat ini kita hanya bisa tinggal bersama berdua."

Masih Raya ingat awal pertama kali ia merasa ada yang aneh dengan dirinya. Sebenarnya tak lama sepulang dari bulan madu, Raya merasa bahwa sirkulasi mesntruasinya berantakan. Raya bahkan tak sadar jika sudah sebulan lebih ia tidak menstruasi.

Hingga saat ia memutuskan kabur dari rumah, Arraya terus mual-mual dan merasa pegal di seluruh tubuhnya. Saat ia pergi ke apotek untuk mencari obat, apoteker malah menyarankannya untuk membeli alat testpack. Dan tepat saat Arraya mencoba alat testpack tersebut, ia melihat ada dua garis di sana, yang menandakan bahwa dirinya memang positif hamil.

"Kamu harus kuat ya... Umi akan kuat untuk kamu, jadi kamu juga harus kuat untuk Umi... kita harus berjuang bersama ya sayang..."

🥀🥀🥀

"Itu bukan gambar burung ih, Ayah." Hafiz merengut kesal saat melihat ayahnya menunjukkan gambar seekor burung, yang padahal sama sekali tak terlihat mirip dengan seekor burung.

"Tapi yang Ayah pelajarin kayak gitu kok. Itu beneran gambar burung, Sayang." Althaf masih membela dirinya. Saat diperhatikan lagi, gambarannya itu memang sama sekali tidak terlihat seperti burung. Yang ada justru lebih terlihat seperti angka 3 yang terbalik. Seketika Althaf merasa malu di hadapan puteranya sendiri.

"Iiih, itu mirip angka 3 kebalik, Ayah!"

Althaf mendengus tak percaya saat melihat ekspresi puteranya yang seolah begitu kesal pada dirinya. Memang apa salahnya menggambar seekor burung seperti angka 3 terbalik? Lagipula ia sudah tidak belajar menggambar lagi, jadi tidak akan mungkin ada guru yang menilai bukan?

"Sayang, Ayah nggak pandai menggambar."

Suara lembut yang mendekat itu langsung membuat Althaf menoleh cepat. Alya melangkah maju mendekati kedua orang yang sama berharga di hidupnya.

"Sama seperti Kakak yang pandai yang menggambar, Ayah pandainya berhitung dan bahasa Inggris. Jadi Ayah sama Kakak bisa saling membantu menutupi kekurangan kalian. Ayah bantu Kakak belajar berhitung, Kakak bantu Ayah menggambar."

Althaf menghela napas lega. Beruntung Alya segera datang, karena jika tidak Hafiz pasti akan menghabisi dirinya.

"Tapi kata Bu Guru, tugas gambarnya harus kerja sama dengan ayahnya masing-masing. Kalau Ayah nggak bisa gambar terus gimana sama nilai tugas aku besok, Bunda?"

Althaf meringis. Merasa bersalah pada puteranya karena ia yang tidak bisa menggambar dengan baik.

Alya justru tertawa melihat dua orang yang ia cintai sedang dalam dua ekspresi yang berbeda. Jika Hafiz masih merengut kesal karena ayahnya yang tidak pandai menggambar, Althaf justru hanya menggaruk alisnya yang tak gatal dengan kening mengerut berpikir keras bagaimana caranya ia bisa menggambar agar puteranya itu bisa mendapatkan nilai yang baik untuk tugasnya.

"Gini aja Kakak sayang, Kakak udah kepikiran mau gambar apa?"

"Mau buat pemandangan, Bunda."

"Nah, sekarang Kakak harus kasih Ayah arahan dengan pelan-pelan. Sama seperti Ayah yang selalu ajarin Kakak matematika dengan sabar, Kakak juga harus ajarin Ayah gambar dengan sabar. Kakak Hafiz tahu kan, kalau Allah itu suka orang yang sabar? Kalau Kakak Hafiz nggak sabaran, nanti Allah marah."

Hafiz menggeleng. Ekspresinya panik mendengar ucapan sang bunda. "Nda mau, Kakak nggak mau Allah marah."

Alya tersenyum. Ia membelai puncak kepala putranya dengan lembut. "Allah nggak akan marah kalau Kakak mau sabar. Apalagi Allah akan sayang banget sama anak-anak yang sayang sama kedua orangtuanya. Allah akan sayang banget sama anak-anak yang bicara dengan baik sama orangtuanya."

Althaf tersenyum haru, bangga dengan cara mendidik istrinya yang tetap tegas namun tak memaksa. Lebih kepada memberikan arahan daripada memarahi anak ketika salah.

"Ayah, maafin Kakak."

Althaf mengangkat satu alisnya saat mendengar Hafiz mengucap maaf. "Ayah yang harusnya minta maaf sama Hafiz. Maafin Ayah yang nggak bisa gambar ya. Itu artinya Hafiz harus sering ajarin Ayah gambar biar Ayah makin jago."

Hafiz mengangguk setuju dengan semangat. Ia langsung berhambur ke dalam pelukan ayahnya.

"Makasih, Sayang," ucap Althaf tanpa suara kepada Alya yang sedang tersenyum melihat dirinya berpelukan dengan Hafiz.

"Sama-sama, Mas sayang."

Tok tok tok!!

Suara ketukan di pintu langsung membuat ketiganya menoleh. Beberapa saat hingga ketukan ketiga berbunyi, Althaf masih belum melihat Bi Ira membukakan pintu rumah mereka. Saat Althaf berniat berdiri, Alya berujar, "Aku aja, Mas."

Alya beranjak berdiri dan menuju pintu rumah untuk membukakan pintu bagi orang yang bertamu ke rumahnya di hari libur mereka ini.

"Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam, iya sebentar!" balas Alya yang heran dengan tamunya di luar yang terdengar tak sabaran.

Bertepatan saat Alya membuka lebar pintunya, Alya membulatkan matanya sempurna. Sudah berdiri tepat di hadapannya, Adnan, kakak seniornya saat kuliah yang saat ini juga menjadi suami sahabatnya.

"Kak Adnan?"

"Di mana Arraya?"

Tanpa berbasa-basi Adnan langsung menanyakan tujuannya datang berkunjung.

Alya masih diam mencerna ucapan Adnan. Rupanya, maksud Adnan berkunjung ke rumahnya adalah untuk menanyakan keberadaan Arraya.

"Aku nggak tahu di mana Arraya."

"Bohong!"

Alya sontak membulatkan matanya karena Adnan yang tiba-tiba meninggikan suara padanya. "Kamu sahabatnya, nggak mungkin kamu nggak tahu di mana Arraya."

"Kak, di dalam ada anak dan suamiku. Jadi tolong jangan berteriak seperti itu."

"Makanya kasih tahu aku di mana Arraya sekarang." Ujar Adnan tak sabar.

"Ada apa, Sayang?" suara Althaf yang terdengar dari belakangnya langsung membuat Alya menolehkan kepalanya ke belakang. Althaf yang mendengar suara teriakan lelaki dari luar langsung memutuskan untuk keluar menyusul istrinya.

"Adnan? Ada apa ini? Ada apa Alya?" Althaf menarik pelan lengan Alya agar istrinya itu berada di belakang tubuhnya. Yang Althaf lihat saat ini adalah Adnan yang penuh emosi dan amarah.

"Saya mau cari Arraya. Katakan sama saya di mana Arraya sekarang."

Althaf sontak menolehkan kepalanya dan menatap Alya dengan tatapan meminta jawaban. Alya menggeleng kecil, pertanda ia tidak ingin menjelaskan pada Adnan di mana Arraya walaupun ia tahu.

"Arraya tidak ada di sini. Kamu bisa cari ke tempat yang lain."

"Saya sudah cari Arraya ke mana-mana, dan saya belum bisa menemukannya. Jadi katakan saja sekarang di mana Arraya."

Althaf menghela napas panjang. Wajah Adnan sudah tidak lagi bisa dikatakan ramah, yang ada justru tampang mengundang perkelahian.

"Daripada berteriak di sini, seharusnya kamu bisa lebih fokus mencari keberadaan istrimu."

"Alya adalah sahabat Arraya. Saya yakin kalau Alya tahu di mana keberadaan Arraya," ujar Adnan.

"Kalaupun aku tahu, aku nggak akan pernah kasih tahu di mana keberadaan Arraya ke Kak Adnan." Suara Alya barusan membuat Adnan meliriknya dari balik celah tubuh Althaf.

"Apa maksud kamu, Al?"

Karena sudah terlalu menahan kesal sejak tadi, Alya menggeser tubuh suaminya ke samping. Ia menatap Adnan dengan tajam.

"Ini sudah kedua kalinya Kakak menyakiti Arraya. Arraya itu sahabatku, Kak. Dia itu perempuan baik, jadi nggak pantas Kakak sakiti terus seperti ini!"

Althaf menggenggam erat jemari Alya, mencoba menahan diri Alya agar tak ikut terpancing emosi. Ia sebenarnya sudah tahu persoalan Adnan dan Arraya dari cerita Alya kemarin. Dan ia mengerti, Alya pasti lebih mengerti harus bersikap bagaimana karena yang bertemu langsung dengan Arraya adalah Alya.

"Arraya salah paham, Al. Kamu juga salah paham," suara Adnan mulai terdengar memelan. Merintih dengan putus asa. Ia sudah tak tahu lagi harus mencari Arraya ke mana lagi. Kepergian Arraya yang seolah mampu meruntuhkan seluruh hidupnya.

"Kalau salah paham harusnya Kakak bisa jelaskan sama Raya. Kenapa harus nunggu Arraya sampai sesakit ini baru menyesal? Kenapa sampai harus membuat Arraya pergi dari rumah baru Kakak merasa kehilangan?"

"Aku kecewa sama Kak Adnan! Kakak biarkan Arraya dan bayi yang ada di dalam kandungannya merasa sedih karena semua ulah Kakak!" Alya merasa marah dengan Adnan. Ia berniat menutup pintu rumahnya, tapi gerakannya ditahan oleh tangan Adnan yang menyela menahan daun pintu agar tak tertutup.

"Ap ... Apa kamu bilang? Bayi?"

Alya menghela napas panjang. Saat manik hitamnya bergeser dan mendapati mata Althaf yang sedang menatapnya dalam, Arraya kembali menghela napas panjang. Althaf menganggukkan kepalanya pada Alya, hingga membuat perempuan itu mengerti harus bagaimana.

🥀🥀🥀

Adnan menghentikan kendaraan roda empatnya, begitu ia telah sampai pada sebuah rumah kecil dengan cat berwarna putih. Rumah sederhana yang berada di ujung jalan. Rumah kecil di daerah yang terbilang sepi.

Adnan turun dari dalam mobilnya. Matanya memandang dengan fokus rumah yang terlihat di hadapannya. Ia merasa jantungnya bertalu-talu di dalam dada. Rasanya takut dan khawatir. Ia masih belum bisa percaya apakah yang dikatakan Alya mengenai deskprisi rumah di hadapannya itu sungguh rumah Arraya saat ini atau bukan.

Kedua kakinya melangkah maju mendekati rumah tersebut. Hatinya pasti akan sakit jika mengetahui fakta bahwa Arraya memang tinggal di rumah kecil sederhana tersebut. Ia terus kepikiran kata-kata Alya. Benarkah istrinya sedang hamil? Benarkah di dalam perut istrinya ada makhluk kecil di dalamnya?

Tok tok!

Adnan mengetuk pintu cokelat tersebut dengan pelan. Ia mencoba mendengar dengan seksama suara yang ada di dalam rumah tersebut. Tapi ternyata dari posisinya pun tak ada yang bisa Adnan dengar. Adnan bahkan tak mendengar ada suara langkah kaki yang mendekat ke arah pintu untuk membukakan pintu untuknya.

"Assalamu'alaikum! Ra! Arraya!" Adnan kembali mengetuk pintu rumah tersebut beserta panggilan yang ia tujukan untuk Arraya.

"Arraya!"

Awalnya hanya iseng menarik gagang pintu tersebut, namun rupanya pintu yang dikunci itu berhasil dibuka dengan mudahnya.

"Arraya!" Adnan masih bertahan di ambang pintu. Ia hanya ragu jika ternyata rumah itu tidak berisi Arraya.

"Arraya!" panggilan Adnan yang ke sekian berhenti begitu matanya menangkap sebuah tas hitam kecil yang sering Arraya pakai. Adnan tahu betul tas itu, tas itu adalah hadiah darinya untuk Arraya saat mereka pergi ke mall berdua.

Yakin tas itu milik Arraya, Adnan berani masuk lebih dalam. Ia mengambil tas hitam yang ada di meja dan membuka isinya. Benar, semua isinya adalah milik Arraya.

"Ra? Sayang? Kamu di mana?"

Adnan mencoba mengedarkan pandangannya ke setiap sudut rumah kecil itu. Sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka menjadi tujuan Adnan selanjutnya. Di kamar tersebut tak ada orang, tak ada Arraya di sana. Entah di mana Arraya berada.

"Arraya!"

Adnan pergi ke dapur, halaman belakang, dan Arraya tidak juga terlihat. Adnan langsung menuju kamar mandi yang berada di sudut ruang, kebetulan Adnan belum melihat kamar mandi tersebut.

"Arra—" begitu melihat apa yang ada di dalam kamar mandi tersebut, mata Adnan sukses membulat sempurna. Tubuhnya mematung di tempat. Arraya berada di dalam kamar mandi dengan tubuh yang tergeletak di lantai kamar mandi.

"Arraya!!!"

Dengan paniknya, Adnan langsung mendekat. Ia mengangkat kepala Arraya dengan perlahan. Tangannya yang bergetar mencoba menyingkirkan rambut panjang istrinya untuk melihat wajah istrinya.

"Ra, bangun, Sayang..."

Tak terasa Adnan telah menitikkan air matanya. Ia semakin panik saat melihat kening Raya mengeluarkan darah segar.

"Ra! Bangun, Sayang!"

Adnan mencoba menghapus semua darah di wajah istrinya dengan lengan kemejanya. Mendengar napas Raya yang lemah, Adnan semakin tidak bisa berpikir. Jantungnya seolah tak lagi memiliki detak. Yang ada kini hanyalah perasaan takut dan takut.

Dalam keadaan panik setengah mati, Adnan langsung membopong tubuh Arraya keluar dari dalam kamar mandi. Ia langsung membawa tubuh Raya masuk ke dalam mobil. Saking paniknya, Adnan sampai lupa memasangkan kerudung untuk menutupi mahkota istrinya. Tapi semua itu tak lagi terpikir di kepalanya, karena yang ia pikirkan hanyalah diri Arraya.

Sesampainya di rumah sakit, Adnan langsung kembali membopong tubuh Raya masuk ke dalam lobi rumah sakit.

"Dokter! Suster! Tolong istri saya!!" keringat dan airmata sudah bercampur menjadi satu melengkapi ketakutan Adnan. Ia tak bisa berhenti mengeluarkan airmata, merasakan bagaimana rasa takut menggerogoti perasaannya.

Perawat dan dokter yang ada di sana langsung mendorong brankar ke dekat Adnan dan memindahkan tubuh Arraya ke atas brankar rumah sakit.

Seorang dokter dengan jubah putihnya mengecek denyut nadi dan juga detak jantung Raya untuk sesaat.

"Bawa pasien ke UGD sekarang."

Adnan menelan salivanya susah payah saat mendengar seorang dokter memerintahkan perawat untuk membawa tubuh Raya ke ruang UGD.

"Dokter!" Adnan menahan lengan dokter yang baru ingin menyusul masuk ke dalam ruang UGD.

"Istri saya ..." bergetar suara Adnan saat bicara. Derai airmatanya yang menandakan tangis tanpa suara membuat Adnan merasakan kesesakan teramat sangat di dalam dada. "Saya mohon ... selamatkan istri saya ...."

"Tenanglah, Pak. Kami akan melakukan pemeriksaan terbaik untuk istri anda."

"Di dalam perutnya ... di dalam perut istri saya, ada makhluk kecil di sana. Mohon bantu selamatkan mereka berdua, Dok. Bantu selamatkan istri juga calon anak saya..." Adnan merasa napasnya sesak. Tubuhnya yang bergetar takut, begitu menandakan bahwa ia tak lagi ingin kehilangan. 

🥀🥀🥀

Haphap's note:

Hehe, saya gatahan liat kalian sudah bisa tersenyum lega di part kemarin wkwk. Kita sedih" lagi yukk, semoga dedek bayi dan Raya tetap baik" aja :)

Sooo, please prepare your strong heart, babe 🥀


NB : CERITA INI SEDANG DALAM MASA REVISI TOTAL. PERUBAHAN ALUR DAN PENYEMPURNAAN CERITA HANYA AKAN ADS DI VERSI NOVEL. JADI SILAKAN NABUNG DULU DARI SEKARANG, KARENA INSYAALLAH KALIAN TIDAK AKAN MENYESAL PELUK BUKU SDL ❤

Jazakumullah ya Khair

TAMAT : 17 MEI 2020
REVISI : 6 OKTOBER 2020

Komentar