40 | Cinta Dalam Luka

Part ini, mungkin akan buat readers mencak" emosyi, jadi mohon kesabarannya baca part ini 🙃

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Menantikan kehadiran seseorang di sisa waktu yang dijanjikan memang membuat rasa harap cemas. Pikiran negatif yang tadinya diminta untuk tetap jauh, kini mulai mendekat memenuhi isi kepala. Tak ingin berprasangka buruk, tapi janji yang selalu dilupakan membuat hati tak dapat lagi menahan beban.

Arraya menatap lekat ke arah jam dinding untuk ke sekian kalinya. Kali ini, jam sudah menunjukkan ke arah 4 lewat 30 menit. Sudah 30 menit berlalu, dan ia masih menunggu orang yang sama. Suaminya masih belum kunjung kembali dari waktu yang telah dinantikan.

Arraya menutup mushaf Al-Qur'annya. Waktu subuh sudah berlalu, ia bahkan juga sudah membaca Al-Qur'an hampir 3 halaman. Raya membuka mukenanya lalu menggantinya dengan khimar berwarna hitam. Ia keluar dari kamarnya dan segera turun ke lantai bawah. Tak lupa membawa ponsel di tangannya.

"Non Raya?"

Raya menghentikan langkahnya yang hampir mendekati pintu rumah, lalu menoleh hingga tubuhnya menghadap Bi Ira.

"Non mau ke mana?" Bi Ira bertanya dengan kening berkerut tipis.

"Mau buka pintu aja, Bi."

"Masih jam segini, Non. Pintu akan Bibi buka jam setengah enam nanti."

Tentu saja Bi Ira heran, karena tak biasanya Arraya meminta untuk membuka pintu rumah saat waktu subuh dan langit masih dalam gelapnya.

"Mas Adnan tadi malam keluar dan belum balik, Bi."

"Keluar? Ke mana, Non?"

Arraya menatap mata Bi Ira dengan tatapan kosong untuk beberapa detik, sebelum akhirnya ia memberikan senyum samarnya pada wanita paruh baya tersebut.

"Ada urusan mendesak katanya," dengan berat Raya mampu menjawab. Tapi ia sendiri tak dapat mempertanggungjawabkan ucapannya barusan, karena ia sendiri pun jadi meragui jawabannya.

"Kalau gitu Non nggak usah tunggu di depan atuh, tunggu di dalam aja. Di luar dingin, Non Raya kan masih belum sehat."

"Nggak papa. Sebentar aja kok." Raya tetap pada keinginannya. Ia ingin menunggu kepulangan Adnan langsung di depan pintu. Ia ingin melihat sendiri sosok suaminya yang pergi begitu saja tanpa berkabar dengannya.

Angin langsung menyeruak masuk begitu pintu terbuka lebarnya. Embusan anginnya begitu kencang. Rupanya sisa hujan semalam masih menyisakan dinginnya. Angin dan hujan memang tak terpisahkan. Selalu bersatu dan tanpa sadar memberikan dingin tanpa memberikan tempat untuk menghangatkan diri.

Raya langsung merapatkan jaketnya. Cuaca dingin seperti ini entah mengapa terasa tak asing. Raya sudah pernah merasakan ini sebelumnya. Dulu, saat Adnan juga masih tak acuh padanya, ia sering sekali menunggu Adnan pulang di luar rumah. Menunggu Adnan yang entah kapan akan pulang ke rumah. Dan kali ini, semuanya kembali terulang.

Raya menatap ponsel yang ada di tangannya. Ia buka kuncinya lalu terlihatlah layar utama yang menampilkan fotonya berdua dengan Adnan. Foto dengan senyum merekah yang begitu lebar di antara keduanya.

Sampai detik itu, Adnan belum juga memberikan kabar kepada Arraya. Maka itu Arraya tak mengerti. Ia tak mengerti kenapa Adnan tak mengabarinya. Pria itu seolah lupa jika ada seorang istri yang menunggu kehadirannya di rumah. Pria itu seolah lupa jika ada seorang istri yang mengkhawatirkan dirinya.

Dan rupanya, penantian Arraya tak membuahkan hasil. Matahari menampakkan pesonanya di atas langit. Menenggelamkan gelapnya langit juga hawa dinginnya. Menghilangkan semua jejak genangan hujan semalam. Adnan masih belum juga menunjukkan batang hidungnya di rumah ataupun sekadar mengabari Arraya pun tidak. Dan Arraya, sudah memutuskan untuk menahan diri dengan tidak menghubungi Adnan. Ia ingin Adnan sendirilah yang ingat dirinya dan ingat untuk pulang ke rumah.

🥀🥀🥀

Adnan terburu-buru keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah. Ia bahkan mengabaikan Pak Joni yang menyapa dirinya sebelum ia masuk ke dalam rumah.

"Aden ke mana aja?" suara Bi Ira sontak membuat Adnan menghentikan langkahnya yang setengah berlari. Ia langsung menoleh dan melihat Bi Ira yang sedang menatap makanan di atas meja makan.

"Non Raya nungguin Aden dari subuh tadi di depan rumah."

"Di mana istri saya sekarang, Bi?" alih-alih menjawab pertanyaan Bi Ira sebelumnya, Adnan malah melahirkan sebuah pertanyaan untuk Bi Ira.

"Ada di kamar, Den."

Adnan langsung berlalu pergi tanpa memberikan penjelasan apapun pada Bi Ira. Langkahnya yang terburu-buru itu hampir saja membuat dirinya terjungkal di atas anak tangga.

"Arra-" Adnan tak jadi melanjutkan panggilannya, saat ia membuka pintu ia menemukan Arraya sedang berdiri tepat di depan pintu. Keduanya sama-sama terkejut karena melihat satu sama lain.

Arraya masih melebarkan pupil matanya kala melihat sosok Adnan sudah ada di hadapannya. Ia pikir, Adnan tidak akan kembali.

"Mas habis dari mana?"

"Mmm... Mas... Mas habis dari..." tak kuasa Adnan menjawab pertanyaan kala melihat wajah tenang Arraya. Entah bagaimana harus menjelaskan.

"Mas?"

"Mas dari rumah temen tadi."

"Rumah temen?" ulang Raya dengan kening mengkerut samar.

Adnan menganggukkan kepalanya cepat, membuat Raya membuka sedikit bibir bawahnya karena terkejut dengan jawaban yang terlontar dari bibir suaminya.

"Iya. Mmm, rumahnya Rangga."

"Rumahnya Rangga?" sebuah senyum tipis mulai terbentuk di wajah Arraya. "Ada apa dengan Rangga, Mas?"

"Dia sakit, tadi pagi dia telepon Mas dan minta Mas buat ke rumahnya. Maklum Ra, dia kan tinggal sendirian di apartemen, jadi nggak ada yang bisa dia andalkan."

"Begitu ya..."

"Iya." Adnan menjawabnya dengan sedikit ragu. Matanya menatap dalam ke manik mata Arraya, mencoba mencari celah dari sikap dan gerak-gerik Arraya padanya.

"Kalau gitu Mas mandi sekarang, aku mau ke bawah dulu sebentar." Tanpa menunggu Adnan berucap, Arraya langsung keluar dari kamar dan menutup pintu kamarnya dengan rapat.

Ditinggal Arraya pergi, Adnan langsung mengusap dadanya. Merasa lega karena yang ia lihat dari sikap Arraya, Arraya tidak mengetahui apa-apa. Padahal tanpa Adnan tahu, Arraya juga sudah mengetahuinya. Arraya tahu ke mana Adnan pergi pagi tadi. Tanpa Adnan tahu, Arraya sebenarnya hanya ingin mengetahui kejujuran Adnan, yang nyatanya suaminya itu sudah mulai berbohong padanya. Entah apakah ini kebohongan pertama Adnan untuk Arraya, atau sudah ke sekian kalinya tapi tak pernah diketahui pada akhirnya.

🥀🥀🥀

Sejak hari itu, keseharian Adnan jadi banyak berubah. Adnan jadi sering berangkat kerja lebih awal, bahkan sering kali pulang terlambat. Dan sampai pada hari ini, Adnan selalu memberikan alasan yang sama untuk Arraya.

"Apa hari ini ada meeting dadakan lagi?" tanya Arraya sembari memasukkan bekal sarapan untuk Adnan.

"Iya, karena proyek dengan pengusaha New York itu, kita jadi sering ada meeting dadakan pagi."

"Tapi apa iya hampir setiap hari dalam seminggu, Mas?"

"Iya sayang. Kalau bukan karena proyek itu juga Mas nggak mau meeting pagi mulu."

"Terus nanti malam Mas pulang jam berapa?"

"Kemungkinan juga malam."

Mendengar jawaban itu, Arraya langsung mengangkat kepalanya dan memandang Adnan yang sedang fokus dengan sarapannya. Bukankah jawaban itu adalah jawaban yang saat ini sudah sering kali Arraya dengar.

"Ada apa lagi dengan malam ini?"

Saat menyadari Arraya sedang menatapnya intens sejak tadi, Adnan berdeham pelan. Ia langsung menenggak setengah air mineralnya. "Biasa, sayang."

"Apanya yang biasa, Mas?"

"Ya kerjaan aku lagi numpuk terus sekarang-sekarang. Pokoknya kantor lagi hactic pake banget deh." Arraya mengangguk kecil sebagai responnya.

"Kalau gitu Mas berangkat sekarang ya, Ra?" Arraya kembali mengangguk kecil. "Oh ya, kamu udah urus surat resign kamu kan dari kantor kamu?"

"Sudah. Malah sudah dipanggil HRD 2 kali."

Adnan mengangguk lega. "Mas ingin kamu segera berhenti kerja. Cukup Mas yang kerja dan pulang malam, kamu di rumah aja."

Dulu, mendengar ide Adnan itu Arraya sangat menyukainya, namun kali ini terasa biasa saja.

"Kalau gitu Mas berangkat sekarang ya, kamu hati-hati ke kantornya sama Pak Joni." Adnan menghampiri istrinya lalu menepuk puncak kepala Arraya yang juga sama telah rapih seperti dirinya untuk bersiap pergi ke kantor.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab Arraya sambil menatap kepergian Adnan yang semakin lama kian menjauh. Sekali lagi Adnan melupakan kebiasaannya dengan Arraya. Biasanya, Adnan akan selalu mengecup kening Arraya setiap ia mau berangkat kerja, tapi untuk kali ini, Adnan melupakan hal itu.

"Kamu mulai banyak berubah dan mulai banyak berbohong, Mas."

🥀🥀🥀

Sudah hampir setengah jam Adnan duduk dengan tenang memperhatikan stafnya yang sedang mempresentasikan hasil pertemuan dengan klien. Tapi sikap tenangnya ternyata tidak bertahan lama, karena Adnan mulai terusik dengan sebuah ponsel di dekat laptopnya. Pesan yang hampir terus bergetar memenuhi notif di ponselnya itu jadi membuat Adnan tidak fokus. Sesekali Adnan terpaksa sibuk untuk membalas pesan masuk tersebut di sela meeting berlangsung.

Bertepatan saat jarum panjang mengarah ke angka 12, Adnan sontak berdiri. Membuat semua peserta meeting kompak menoleh.

"Meetingnya kita lanjut besok," kata Adnan tanpa beban. Padahal materi yang akan disampaikan hanya tinggal sedikit lagi, dan hanya akan menjadi tanggungan jika diteruskan esok hari.

"Sedikit lagi ini, Nan. Nanggung kalau diterusin besok." Rangga berujar, membuat Adnan melirik dirinya.

"Gue ada urusan, gue cabut duluan." Adnan berbisik di dekat telinga Rangga. Berharap temannya itu akan mengerti alasannya.

"Tapi ini nanggung banget, Nan. Tinggal sedikit lagi soalnya."

"Nggak bisa, Rang. Gue harus pergi sekarang. Atau kalau lo mau, lo yang pimpin meetingnya sampai selesai, besok gue tinggal terima hasilnya, gimana?"

Rangga menghela napas panjang mendengarnya. Adnan menepuk-nepuk pundak Rangga sebagai bentuk bujuk rayunya.

"Mohon maaf semuanya karena harus saya tinggal keluar sekarang. Meeting lanjutannya akan dipimpin oleh Rangga."

Walau meninggalkan banyak tanya karena tak seperti Adnan yang biasanya, Adnan tetap pergi meninggalkan ruangan meeting. Lagipula memang sudah hak semua karyawan untuk istirahat ketika jam istirahat sudah tiba. Tapi terkadang, untuk beberapa kondisi, meeting tetap dirasa lebih penting hingga menyebabkan jam istirahat harus berkurang untuk karyawan tersebut.

Adnan langsung masuk ke dalam lift khusus VIP dengan gerakan terburu-buru. Saat keluar meninggalkan lobi ia juga berlari. Semua orang yang melihatnya pasti paham jika ia sedang dalam urusan mendesak, entah apa itu.

Dalam kepergiannya, di depan kantornya ada Arraya yang berdiri dengan tatapan bingung menatap mobilnya yang kian menjauh meninggalkan asap tipis di belakangnya. Padahal Arraya sudah meneriakkan namanya, tapi rupanya Adnan tak juga mendengar.

🥀🥀🥀

Empat roda mobil yang Raya tumpangi masih terus berputar hingga pada titik tujuan yang ia inginkan. Raya memutuskan untuk mengikuti mobil Adnan yang berada tak jauh di depannya.

"Neng, ini kita ikutin mobil hitam itu aja?"

"Iya, Pak. Ikutin aja ke mana mobil itu pergi."

Sopir taksi tersebut mengangguk semangat menuruti kemauan Arraya sebagai penumpangnya. Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan besar dengan tanda plang berbentuk + tanda medis.

Raya menatap bangunan rumah sakit besar di sampingnya. Mobil telah berhenti pada sebuah tujuan. Sopir taksi tersebut beberapa kali memanggil nama Arraya karena gadis itu terbengong dalam lamunannya sendiri.

"Neng!"

"Neng!!"

Mata Raya langsung mengerjap dan dengan cepat ia menolehkan kepalanya. "Kita sudah sampai di tujuan mobil tersebut, Neng."

Tangan Raya bergetar untuk sebuah alasan. Kakinya mendadak terasa berat untuk melangkah keluar dari mobil. Perasaannya mendadak takut. Nyalinya seketika menciut. Satu pertanyaan yang terpatri di kepalanya, mengapa tujuan Adnan adalah rumah sakit?

Kedua kaki Arraya melangkah perlahan. Tubuhnya memasuki lobi rumah sakit. Kepalanya menjelajah perlahan, mengamati seluruh pengunjung rumah sakit. Ada yang seorang diri, ada yang ditemani, ada yang sudah tua, dewasa, remaja, juga anak-anak. Raya jadi menanyakan alasan mengapa dirinya ada di tempat tersebut.

"Ada yang bisa saya bantu, Ibu?"

Tanpa sadar, kaki Raya sudah sampai di depan meja respsionis dengan sendirinya. "Emm, saya..."

"Ibu mau berobat atau menjenguk pasien?"

"Saya...."

"Mas pergi ke rumah temen Mas, Ra."

"Akhir-akhir ini Mas terpaksa harus banyak lembur di kantor karena banyak kerjaan."

"Kalau kamu udah ngantuk, langsung tidur duluan aja ya, karena Mas akan pulang tengah malam nanti."

Sejenak Raya mengulas kembali ucapan-ucapan Adnan sebelumnya. Mengenai sikap aneh Adnan, ucapan yang entah sebenarnya atau justru kebohongan.

"Ibu?"

"Saya mau bertemu Afifah, Suster."

"Oh Ibu Afifah, Ibu bisa naik ke lantai 3 dan pergi ke ruang Kamboja 3."

"Makasih, Sus." Arraya berbalik dan menatap jalan di depannya. Tatapannya jauh ke depan, kepalanya sibuk berkelana, masih memikirkan alasan kenapa ia harus mengikuti Adnan sampai ke mari. Arraya merasa dirinya lebih bersalah saat mengetahui bahwa ia sama sekali tidak memiliki perasaan bahwa Adnan sedang sakit, tapi karena sekarang ia mulai mencurigai Adnan. Arraya tahu seharusnya hal ini tidak terjadi, mencurigai pasangan adalah hal yang tidak diperbolehkan.

Pikirannya memerintahkan dirinya untuk berbalik dan kembali saja ke kantor, tapi dalam lubuk hatinya terlalu kuat memerintah kedua kakinya agar terus maju. Sampai di dalam lift, telunjuk Raya menekan tombol 3. kakinya terus bergerak perlahan hingga ia tiba di lorong dengan plang nama ruangan Kamboja dan juga nama ruangan lainnya yang berasal dari nama bunga.

Kakinya semakin bergerak lambat kala matanya menangkap plang ruang Kamboja 3. Hatinya bergejolak. Antara ingin maju atau mundur pulang.

"Makasih untuk semuanya, Mas. Aku sungguh mencintai kamu. Terima kasih sudah mencintai aku sampai dengan detik ini."

Jantung Raya nyaris berhenti berdetak, kala mendengar sebuah kalimat yang secara samar masuk ke telinganya kala ia sudah berada dekat dengan ruangan tersebut. Kedua tangannya bergetar menyentuh dadanya. Kakinya terseok untuk semakin melangkah maju mendekat.

Air mata yang sejak tadi bergerumbul di dalam pelupuk matanya akhirnya berjatuhan. Tangannya langsung membekap mulutnya rapat-rapat. Mengunci isak tangis yang berusaha membobol keluar.

Arraya melihat Adnan sedang saling berbalas peluk dengan mesra bersama seorang perempuan yang Arraya yakini adalah Afifah. Arraya tahu perempuan yang saat ini sedang memeluk punggung seorang pria adalah Afifah. Arraya pernah melihat foto Afifah di dalam dompet Adnan. Dan pria yang membelakanginya itu memakai kemeja yang sama dengan kemeja yang Adnan punya dan Adnan pakai hari ini.

Katakan bagaimana caranya Raya bisa menahan pemandangan memilukan di depan matanya sendiri? Katakan bagaimana caranya agar Raya masih bisa berdiri tegap di atas kedua kakinya sendiri? Katakan bagaimana caranya agar Raya masih bisa berpikir jernih? Katakan bagaimana caranya agar Raya dapat menutup mata juga telinganya untuk sesaat?

Raya berharap ia berada di alam mimpi sekarang.

Raya berharap apa yang ia lihat dan dengar tadi hanyalah ilusi sesaatnya.

Raya mencubit lengannya dengan kuat, membuat air matanya terus berderai dengan derasnya. Nyatanya ia tidak bermimpi. Kenyataan memang terkadang menyakitkan. Tak sengaja membuat luka yang langsung terbuka, menganga dengan begitu lebarnya.

Tangan kanannya semakin erat membekap mulutnya. Isak tangis yang sudah terkurung tak lagi mampu menahan diri. Dengan kaki bergetar, Arraya langsung berbalik pergi dengan derai isak tangis yang terdengar sangat memilukan. Cintanya, mungkin akan kandas sebentar lagi. Cintanya, mungkin akan berakhir sebentar lagi. Cintanya, mungkin memang sudah ingin berbagi dengan yang lain.

🥀🥀🥀

TO BE CONTINUED •

Jangan lupa vote dan komen 🥰

❤ SELURUH PERBAIKAN ALUR DAN PEROMBAKAN ISI CERITA HANYA AKAN ADA DI VERSI NOVEL ❤

TAMAT : 17 MEI 2020
REVISI : 21 SEPTEMBER 2020

Komentar