13. Masa Lalu

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
(QS. Al Baqarah: 216)

🍁🍁🍁

"Luka tak pernah lupa. Pada siapa ia pernah lemah, berdarah, terjatuh. Meski semua itu telah jauh tertinggal di masa lalu, semua luka itu akan tetap abadi. Tidak akan pernah menua. Karena luka adalah keabadian yang palaing perih."

-Cinta Dalam Luka-

🍁🍁🍁

Gadis itu tersenyum lebar saat menerima pesan dari seseorang yang sangat ia sukai bahkan mencintai. Bayu nama pemuda itu.

Gadis itu memang benar mencintai. Sangat. Lihatlah betapa senangnya dia saat akan diajak untuk melihat balap motor bersama, menjadi pendukung kekasihnya. Sangat menyenangkan bagi gadis itu saat melihat pertunjukkan yang menegangkan. Bayu pria penyuka kebebasan pembalam motor ugal-ugalan. Namun anehnya Gadis itu sangat mencintai pemuda yang bernama Bayu. Sudah hampir tiga tahun mereka berpacaran dan tidak pernah ada kabar buruk yang menerpa hati gadis itu. Semuanya masih sangat baik.

Gadis itu selalu terlihat cantik walaupun tanpa make up sekalipun, apalagi sekarang memakai make up, sungguh sangat cantik. Sayangnya rok pendek, seragam sekolah kentat yang sampai memperlihatkan dada, membentuk lengkuk tubuhnya,  rambut tergerai, wangi parfurm yang semerbak. Membuat gadis itu cantik namun terlihat biasa saja jika dipandang, tidak ada cahaya yang menyejukkan.  Gadis itu bernama Khalisa Nayyara Zahabiya.

"Re, mau ikut nonton balap motor gak sore ini?" Khalisa bertanya dengan teman sebangkunya. Rebeca wanita yang pertama kali menjodohkan Khalisa dengan Bayu.

Gadis itu menatap dengan sedikit berpikir. "Bayu balap motor lagi?"

Khalisa mengangguk mantap. Tersenyum bangga.

"Sama siapa?"

"Rangga."

"Kamu yakin, bukannya mereka berdua itu musuhan? Terus kalau salah satu diantara mereka kalah, kamu gak takut bakal terjadi perkelahian seperti tempo hari. Ingat Sa, Bayu pernah koma karena berkelahi dengan Rangga."

Khalisa gadis itu tersenyum menanggapi. "Yaampun Ra, itu kejadian udah satu tahun yang lalu, kamu masih aja ingat." Jeda tiga detik, "aku jamin itu semua tidak akan terjadi lagi." Yakin Khalisa.

"Yadeh Ratunya Bayu. Aku ikut biar jaga-jaga." Rebeca tersenyum.

"Gitu dong. Thanks ya." Kekeh Khalisa. Rebecca tersenyum simpul.

Berbeda dengan kembarannya. Khaila Nayyara Zahabiya. Gadis itu terbungkus anggun dengan balutan jilbab yang menutup sempurna. Wajahnya selalu damai bila dipandang. Meski mereka satu sekolah namun mereka beda kelas, jika Khaila berada dikelas unggul sedangkan Khalisa berada dikelas pencetak terbanyak anak nakal.

Meski kembar kehidupan mereka sangatlah berbeda. Khaila yang agamis, dan Khalisa yang menyukai pergaulan bebas. Berulang kali Khalisa dinasehati berulang kali pula gadis itu memberontak. Berulang kali ditegur berulangkali pula ia melawan. Gadis itu sudah kebal oleh wajengan dari orang tuanya apalagi Kakak lima menitnya.

"Ca, berapa kali Mbak bilang, Bayu bukan pria baik buat kamu!" Khalisa mulai kembali menegur.

Keadaan sepi. Hanya mereka berdua yang ada di rumah. Orang tua mereka seperti biasa pergi keluar kota, urusan orang dewasa.

"Apaansih mbak! Ini hidup aku. Terserah aku mau lakuin apa! Aku berhak mencintai siapa saja menyukai orang yang kusuka termasuk juga mencintai Bayu. Mbak, tau apa soal Bayu! Bayu baik Mbak, dia selalu buat Ica tertawa, Ica senang pacaran sama Bayu."

"Kamu mau buat Ayah masuk neraka gara-gara kamu. Usia kamu udah bukan anak-anak lagi, Ca. Sudah seharusnya kamu menutup aurat dengan sempurna, meninggalkan kebiasaan yang membuat otak kamu menjadi seperti sekarang. Tinggalin dunia pacaran kamu, Ca. Mbak mohon..."

"Sekarang Mbak mau tanya. Apa seorang pria ngajak pacaran, gandengan, bocengan, bahkan ciuman. Apa itu dibilang cowok baik? Astaghfirullah hal adzim. Istighfar, Ca. Demi Allah dia adalah lelaki buruk seburuk buruknya laki-laki." Khaila mengatur napasnya yang tersengal seakan kehilangan oksigen. Berulangkali ia menasihati adiknya itu, agar berhenti berhubungan dengan lawan jenis yang tidak halal.

"Mbak gak ngerti bagaimana bahagia hidup ini. Makanya sesekali Mbak ikut aku. Biar gak usah ceramah mulu. Aku capek Mbak dengarnya." Khalisa kembali berteriak amarah yang tak pernah terkontrol. Gadis itu tidak mau mendengar sekalipun itu untuk kebaikkannya.

Gadis itu pergi tanpa pamitan, menutup keras pintu kamar. Menyisakan isakan tangis dari seorang Khaila menatap adiknya pergi dengan aurat terbuka, berpakaian kurang kain.

"Maafkan Khaila Ayah Bunda. Tak bisa menjaga dengan baik Khalisa." Gadis itu menutup wajahnya menangis disana.

***

"BAYU!!!" Gadis itu berteriak sekuat mungkin. Wajahnya sangat antusias menyambut kekasihnya itu sebentar lagi melewati garis finish. Ia tahu kekasihnya tidak akan pernah kalah.

Pria itu memberhentikan motornya, menoleh kearah gadis cantik berambut lurus itu, mereka berdua saling melempar senyum, dengan bangga hati pria itu menghampiri gadis itu.

"Selamat ya!"

Pria itu tersenyum lantas memeluk tubuh mungil kekasihnya. "Makasih sayang..."

***

Didalam kamar yang sepi, gadis itu menangis bersama pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawab.

Kenapa aku? Kenapa ini semua berbeda? Kenapa ini semua terasa tidak adil? Apa salah aku? Kenapa aku yang terluka?

Khaila selalu seperti itu. Menangis sendiri dalam diam. Tidak ada yang pernah tahu tentang kesedihan yang ia punya. Luka dengan rasa sesak yang ada. Sudah kebal gadis itu selalu menerima kesalahan orang lain padahal dia tidak pernah melakukannnya. Dari kecil. Memang tugasnya seperti itu. Disalahkan tanpa pernah salah. Dibentak meski sekalipun benar. Meminta maaf meski tak pernah salah. Khaila sungguh tak mengerti kenapa kedua orang tuanya memperlakukan dia dan kembarannya sangat berbeda, yang ia tahu sebaik apapun dia didepan orang tuanya,dia tetap kalah dengan kembarannya. Dari kecil. Khaila tak pernah menemukan jawaban atas segala pertanyaannya itu. Yang ia tahu dari kecil mereka berdua selalu diperlakukan berbeda.

"Khaila, apa yang kamu lakukan? Kenapa adik kamu menangis?" Ainun bertanya, menahan segala emosi yang siap meledak kapan saja.

"Aila gak lakuin apapun Bunda. Ica yang nakal, Ica duluan yang jahatin Aila. Ica nya aja yang cengeng." Khaila kecil mulai memberontak. Tak terima jika segala kesalahan kembarannya itu harus ia yang tanggung sendiri.

"Khaila Nayyara Zahabiya! Kamu gak boleh ngomong seperti itu. Minta maaf sekarang!"

Gadis berkepang itu mulai menunduk mendengar bentakkan dari Ainun. Buliran air mata siap kapan saja keluar.

"Khaila gak salah, kenapa Khaila yang harus minta maaf. Khalisa yang hancurin mainan Khaila. Kenapa Bunda gak marah sama Khalisa? Kenapa Bunda gak minta buat Khalisa minta maaf sama Khaila?" Gadis itu sudah berkaca-kaca. Hatinya masih terlalu lemah untuk menerima semua yang ada. Memberontak itu yang dilakukan gadis kecil itu.

"BUNDA GAK PERNAH SAYANG KHAILA!" Khaila kecil berlari pergi ke kamar setelah puas mengeluarkan segala beban.

Khaila bersimpuh memeluk boneka beruang yang sudah tua. Mau kecil atau besar, kasih sayang itu takkan pernah berubah. Memang tidak adil. Gadis itu menangis semakin dalam saat satu persatu kenangan lama yang menyakitkan itu menghampiri memori ingatan.

Gadis itu menangis tersedu-sedu, meski sudah dibujuk dengan berbagai cara tetap saja gadis itu takkan pernah berhenti menangis. Gadis kecil itu merasa iri pada kembarannya sendiri.

"Mbak Aila disini aja ya sama mbok Susi. Ayah Bunda sama Dik Ica, gak lama kok pergi nya." Syakir mengusap kepala anak perempuannya itu dengan lembut.

"Kenapa Khaila ditinggal? Khaila pengen ikut Ayah Bunda." Gadis itu bertanya dengan terbata-bata.

Syakir tersenyum. "Kalau Khaila ikut terus yang jaga rumah siapa?"

Gadis itu diam.

"Khaila disini aja ya, cuman seminggu kok. Khaila disini sama mbok Susi, belajar yang rajin biar jadi wanita solehah yang hebat. Nanti kalau Ayah Bunda balik lagi, Mbak Aila mau apa? Biar Ayah Bunda beliin." Syakir terus memberi pengertian membujuk agar gadis itu tidak ikut.

"Kenapa gak Khalisa aja yang ditinggal kenapa harus Khaila. Ayah Bunda gak sayang Khaila! Khaila benci semua ini." Gadis kecil itu tak peduli dengan teriakannya, gadis itu berlari pergi menutup pintu rumah dengan sangat keras. Berlari ketempat menangis paling nyaman. Kamar.

"Allah Khaila ingin jadi Khalisa..."

Masih tersimpan dengan rapi kenangan menyesakkan itu. Bagaimana bisa dia melupakan semua itu meski sekalipun sudah beranjak dewasa.

Gadis itu sudah lelah jika harus menangis sendiri, terluka sendiri, berdarah sendiri, hancur sendiri. Gadis itu memang tumbuh menjadi anak yang membanggakan menjadi hafidz qur'an selalu mendapat peringkat pertama dikelas, menutup aurat secara sempurna, gadis itu benar-benar menjaga kehormatannya. Namun siapa sangka dibalik sikap yang terlihat bahagia ada banyak luka dan tangis yang disimpan begitu apik. Tidak ada satupun orang yang tahu tentang kesedihannya.

"Astaghfirullah Khaila, Bunda harus berapa kali menasihati kamu, tolong jaga adik kamu, jangan sampai ia terjerumus dalam pergaulan bebas seperti itu. Apa yang kamu lakukan selama Bunda dan Ayah tidak ada dirumah? Khalisa itu adik kamu Khaila, seharusnya kamu jaga dia. Kenapa semua ini bisa terjadi? "

"Maafin Khaila Bunda. Khaila sudah peringatin kok, berulangkali juga Khalisa nasehati. Tapi Khalisa tidak mau mendengar. Maafin Khaila. Khaila yang salah, dan memang akan selalu salah." Gadis itu menunduk saat dimarahi. Berusaha dengan mati-matian agar tidak menangis dihadapan perempuan yang telah melahirkannya dengan susah payah.

Ainun tidak bisa berkata-kata lagi. Wanita paruh baya itu menghela napas. Berjalan pergi menuju dapur meninggalkan gadis itu.

Khaila menatap punggung wanita yang melahirkannya itu, tatapan itu sungguh sangat terluka. Bagaimana bisa ia diperlakukan sedemikian berbeda seperti ini?

Itulah kemarahan yang ia terima padahal ia tidak pernah salah. Bertahun-tahun. Gadis itu tumbuh menjadi seorang yang selalu menahan amarah.

Mungkin kasih sayang itu tidak pernah ada untukku. Semua yang kuharapkan ada pada dia yang kau anggap istimewa. Siapa aku? Aku hanya pelengkap cerita kalian.

***

Setelah satu bulan hari kelulusan. Doa Khaila dijaba, akhirnya Khalisa mau menggandeng keislaman yang sebenarnya. Menutup aurat dengan begitu sempurna, mempelajari agama dengan sangat tekun. Tidak ada lagi Khalisa yang suka kebebasan, pacaran, pelukan, dan hal-hal buruk lainnya. Semua itu ia tinggalkan. Manusia menjadi dekat kepada Allah karena ada ujian : Ujian Nikmat atau musibah. Saat teguran itu menyapa, barulah pintu hati Khalisa terketuk untuk meninggalkan kebiasaan buruknya.

Setelah balap motor itu. Menjadi hari terburuk yang pernah ada. Segala kepercayaan hilang, seakan hati dan jiwa tersesat tak tahu arah untuk pulang. Pada hari itu semuanya berubah. Pengkhianatan adalah luka yang paling kejam. Memberi cinta sedemikian rupa, tapi yang dicintai? Meninggalkan pergi tanpa ada luka. Yang terluka adalah manusia bodoh karena mencintai seseorang yang bahkan tak pernah menganggap serius adanya kamu dalam hidupnya. Bagaimana bisa cinta yang dikemas dengan janji setia harus berakhir dengan kalimat tak percaya. Semua diluar akal sehat, jauh dari khayalan.

Khalisa menyumpah begitu parah pada pria bejat itu. Baru sadar dia bahwa lelaki yang ia banggakan, ia utamakan diatas segalanya, adalah lelaki sampah yang murah. Masih sangat jelas ia mengingat setiap detik kehancuran itu. Parahnya lagi pada hari itu pula dia harus melihat dua manusia munafik. Kekasihnya dan sahabatnya.

"Anjir lu pada. Main gila dibelakang gue. Sumpah gue gak nyangka!" Gadis itu berkata sangat tajam. Berdiri tepat didepan dua anak manusia yang setengah sadar (mabuk)

Dibalik tegar dan tegasnya tersimpan amarah dan tangis. Malam yang indah bagi mereka namun malam yang hancur bagi Khalisa. Kenyataan pahit yang menjijikan.

"Khalisa..." Suara yang serba salah dari wanita yang setengah sadar, menutupi segera tubuhnya dengan selimut.

"Ngapain ditutup, orang sudah jadi barang bekas juga. Ciih..." Sorot mata tajam yang menyimpan kebencian.

Rebbeca tertunduk pasrah, tak berani menatap. Sedangkan lelaki yang selama ini ia banggakan malah berdiri melawan diri.

"Semua yang kamu lihat itu tidak benar." Bayu mencoba menyakinkan memandang tenang mendekati secara perlahan.

Khalisa tidak bodoh. Dengan kasar gadis itu menepis kasar tangan lelaki itu menjauh tiga langkah.

"Sampah lu! Setelah tiga tahun hubungan ini berjalan dengan semudah itu lu melakukan ini semua! GILA LO YA!"

Bayu mengerang mengacak rambutnya prustasi.

"Ini semua karena lu Khalisa. Coba aja lu kasih gue kebahagian seperti yang dilakuin Rebbeca ke gue. Gue gak akan setega ini sama lu. Lu selalu menghindar selalu menolak ajakan gue. Gue cowok normal Sa, gue juga punya nafsu. Gue pengen milikin lu seluruhnya. Tapi itu semua selama tiga tahun, gak pernah terjadi. Ciuman aja lu gak mau. First kiss gue pengen sama lu. Tapi lu yang selalu menolak."

"Jadi apa ini salah gue. Gak sepenuhnya Sa. Ini juga salah lu, karena memberi kesempatan orang ketiga hadir diantara kita berdua."

Plak!!!

"BANGSAT LU YA! SETELAH KESALAHAN BESAR YANG LO LAKUIN, LO MASIH BISA MELINDUGI DIRI, MEMBERI ALIBI. TUH HATI BELI DIMANA?" Khalisa tak pernah semarah ini sebelumnya.

"GUE BENCI SAMA LU! GUE KASIHAN SAMA CEWEK BEKAS YANG ADA DI KASUR ITU."

Ciih..

"CEWEK ITU PUNYA MAHKOTA HARGA DIRI DAN KURASA LO SUDAH GAK PUNYA HARGA DIRI! MENJUAL GRATIS KEHORMATAN LU SENDIRI SAMA ORANG SAMPAH SEPERTI DIA." Khalisa berteriak, meremehkan kepada orang yang berlindung takut dibalik selimut. Rebbeca tertunduk takut. menangis disana dalam perih.

Plak!!!

"PUAS LO NGOMONG!" Bayu laki-laki itu hilang kendali menahan amarah.

"LO GAK BERHAK SAKITIN DIA, LO GAK BERHAK HINA DIA. LO SIAPA? LO TAHU APA SOAL TENTANG DIA. KALAU MENGHINA JUGA HARUS ADA ETIKA."

Khalisa menatap tajam pria bejat yang sekarang tepat ada dihadapannya. Tamparan yang sangat perih.

"LO BILANG MENGHINA JUGA HARUS ADA ETIKA. KALO LO TAU TENTANG ETIKA, SEHARUSNYA JUGA LO TAHU KALAU MAU SELINGKUH JUGA HARUS ADA ETIKA. KALAU MAU HANCURIN HIDUP ORANG. DIPIKIR-PIKIR DULU. SEKARANG SIAPA YANG GAK PUNYA ETIKA? LO ATAU GUE?"

Bayu terdiam.

Khalisa untuk kesekian kalinya menderu napas, pipinya memanas akibat tamparan yang cukup keras. Terluka sudah. Hatinya hilang arah. Gadis itu menarik napasnya, menahan segala bulir air mata.

"Terima kasih telah membuang waktu saya dengan percuma karena mencintai anda. Sekarang saya sadar anda tidak lebih dari manusia gak punya hati. Cewek saja anda anggap sampah." Khalisa tersenyum memaksakan.

Khalisa memejamkan matanya sebentar, menghela napas berat. "Kepada kalian berdua, terima kasih telah membuat saya patah. Tapi setidaknya saya tidak semurah dia. Dia yang sekarang bersama anda. Dia yang mau merendahkan harga diri hanya demi cinta tolol."

"Gue doain semoga kalian cepat dianugerahi punya anak ya. Semoga aja anaknya gak sebejat ayah ibunya." Khalisa tertawa pelan.

Yang diberi sindiran terdiam kaku. Keduanya hanya bisa memandang perginya  orang itu. Wanita yang sedang patah hati.

"Astaghfirullah hal adzim..." gadis itu terus saja beristighfar. Air mata itu jatuh dengan sendirinya.

Musibah yang menimpanya malam itu tidak sampai di apartemen itu saja.

Alam seakan menyambut kepatah hatian gadis berambut lurus itu. Dengan jalan yang lengang gadis itu seketika menjadi penguasa jalan.

Pukul 01.00 dini hari. Hujan masih tak mau berhenti. Dan luka pun juga akan terus datang bertubi-tubi. Sebuah mobil putih melaju dengan kecepatan tinggi, menabrak gadis itu. Terpelanting sangat jauh, kepalanya yang sudah dibanjiri darah segar, matanya terpejam, hatinya yang mulai padam.

Ya Allah beri hamba kesempatan untuk mengenalmu.

Komentar