33 | Sudah Terlalu Sakit

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Mobil Muaz kembali melaju dengan kecepatan normal. Setelah mendengar suara Arraya yang histeris, seolah menyerah untuk hidup, akhirnya Muaz berani mengambil kesimpulan jika Arraya memang sedang memiliki masalah. Ia bisa melihat bagaimana rapuhnya seorang Arraya malam ini. Arraya sedang tidak baik-baik saja. Dan itu semua tergambar dalam sosok Arraya yang kini sedang terlelap di sampingnya.

Muaz tidak mengerti. Berusaha mengerti pun ia sulit, ia benar-benar tidak mengerti. Ke mana suami Arraya saat ini ketika Arraya terlihat begitu frustasi di tengah jalan seperti tadi? Bagaimana jika ia tidak muncul tepat waktu? Bagaimana jika kejadian yang tidak diinginkan menimpa Arraya? Kalau saja Allah membelokkan skenario-Nya, Muaz tidak bisa lagi membayangkan apa yang akan terjadi pada Arraya. Beruntungnya ia, kebetulan sedang lewat juga di jalan besar itu.

Awalnya, Muaz sama sekali tidak berniat melalui pertigaan besar tersebut. Karena Muaz pikir, pertigaan itu akan selalu macet dan padat seperti biasanya. Makanya, jalan tersebut termasuk jalan yang selalu Muaz hindari. Tapi entah mengapa, tadi, Muaz malah membelokkan stir kemudinya ke arah pertigaan jalan tersebut. Dan di sanalah, ia melihat Arraya yang ada di tengah jalan besar dengan suara klakson mobil dan motor yang terdengar dari seluruh penjuru jalan tersebut.

Mobil telah sampai di sebuah bangunan putih bertingkat. Pagar hitamnya berdiri kokoh melindungi rumah tersebut. Muaz yakin jika rumah tersebut memanglah rumah di mana Arraya tinggal. Petunjuk yang ia gunakan melalui Google Maps pun mengatakan hal serupa, bahwa ia telah sampai di tujuan.

Muaz menolehkan kepalanya perlahan. Arraya masih terlelap di sampingnya. Arraya tertidur dengan wajah menoleh ke sisi jendela, sehingga Muaz tidak dapat melihat wajah Arraya. Entah, apakah perempuan di sampingnya itu benar-benar tertidur atau terpaksa tertidur karena terlalu lelah dan tak ingin berhadapan dengannya. Wajah Arraya terlihat pucat. Sepasang tangan yang semula bergetar hebat saat ia memaksa perempuan itu masuk ke dalam mobil kini sudah tidak lagi bergetar. Muaz menurunkan pandangannya. Ia merasa bersalah jika terus saja mengambil kesempatan untuk menatap seseorang yang sudah menjadi milik orang lain.

"Arraya, bangun. Kita sudah sampai."

"Arraya!"

Arraya masih belum juga mau terbangun. Dan Muaz tidak tahu mau berbuat apa. Melihat Arraya yang terlihat begitu lelap, Muaz jadi merasa tidak enak membangunkannya. Sehingga Muaz pun tidak berusaha lebih untuk membangunkan Arraya.

Hampir 5 menit Muaz tetap diam, menunggu Arraya terbangun dengan sendirinya. Hujan di luar semakin lebat berjatuhan massal membasahi bumi. Sesekali kilat menyambar di atas langit beserta suara gemuruhnya yang menakutkan.

Yang ditunggu akhirnya datang, Arraya mulai mengerjapkan kelopak matanya dan membuka sepasang matanya perlahan. Saat ia melihat rumah Adnan di samping, ia cukup terlonjak kaget. Apalagi saat Arraya menolehkan kepalanya dan menemukan Muaz yang ada di sampingnya.

"Maaf, saya tidak bermaksud membangunkan kamu."

"Maaf jika saya merepotkan." Arraya terburu-buru membuka seatbelt yang menekan tubuhnya. Tapi saat ia hendak membuka pintu mobilnya, Muaz berkata, "Saya bawa payung, Ra."

"Tidak perlu repot, Pak."

"Jangan membantah, Arraya. Hujannya sangat deras, kamu bisa sakit. Tunggu di sini, dan jangan keluar sebelum saya suruh." Ujar Muaz dengans segera turun dari mobilnya untuk ke belakang guna mengambil payung.

Arraya menghela napas panjang. Ia menutup seluruh wajahnya dengan kedua tangan. Jujur, ia sudah sadar apa yang tadi ia lakukan sebelumnya di mobil. Ia juga tidak mengerti kenapa ia bisa berteriak dan membentak Muaz yang bahkan telah menyelamatkannya. Arraya juga tidak mengerti kenapa dirinya melakukan hal yang bisa membayakan nyawanya di tengah jalan seperti tadi. Saat itu, kepalanya tidak bisa memikirkan apa pun. Sehingga yang mendominasi adalah sepasang kakinya yang ternyata menolak untuk berjalan dan akhirnya ia malah berdiri di tengah jalan seperti tadi.

Arraya menoleh begitu pintu mobilnya dibukakan oleh Muaz dari luar. "Ayo keluar, saya antar kamu sampai depan rumah."

"Saya bisa sendiri, Pak."

"Arraya, lakukan saja apa yang saya mau. Ini sudah malam dan kamu harus segera istirahat." Arraya menghela napas panjang lagi dan akhirnya menurut untuk turun dari mobil.

"Maaf. Tapi kamu tidak perlu takut, saya tidak akan menyentuh kamu lagi." Seakan mengerti mengapa Raya begitu menjaga jarak dengannya, Muaz mengalah dan menjauhkan diri dari payung sehingga bajunya langsung basah dalam hitungan detik.

"Maaf, karena saya baju Bapak jadi basah."

Muaz berdeham pelan sebagai jawaban. Ia menutup kembali pintu samping mobilnya dan hendak mengantar Arraya sampai pada pintu rumah perempuan itu. Tapi bertepatan saat mereka akan mendekati pintu pagar sekitar 3 langkah lagi, sepasang kaki yang muncul dengan membuka pintu pagar dari dalam cukup membuat Muaz terkejut.

Adnan muncul secara tiba-tiba dengan sebuah payung di tangan. Air muka lelaki itu begitu terlihat terkejut dan khawatir saat melihat sosok Arraya yang baru saja sampai di rumah.

"Arraya?!" Adnan langsung berlari dan berhambur memeluk tubuh istrinya. Membuat Muaz yang secara tidak langsung terpaksa menyingkir dari dekat pasangan suami istri tersebut.

"Kamu ke mana aja, Ra? Aku khawatir banget sama kamu. Aku cari kamu ke mana-mana, tapi nggak ketemu. Aku pikir kamu langsung pulang ke rumah, tapi ternyata di rumah juga nggak ada. Aku teleponin nomor kamu berkali-kali tapi selalu gagal. Nomor kamu nggak aktif. Aku khawatir, Ra..."

Di dalam pelukan Adnan, satu bibir Arraya tertarik sedikit, tersenyum miris. Bukankah tadi Adnan yang meninggalkannya seorang diri?

"Syukurlah kamu akhirnya pul--" kalimat yang hendak Adnan ucapkan terpaksa terhenti saat ia merasakan ada kedua tangan yang mendorong dadanya pelan ke belakang. Adnan menatap Arraya tak percaya. Arraya mendorong tubuhnya hingga pelukannya pada Arraya terpaksa terlepas.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Arraya langsung berlari masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Adnan yang menatap kepergiannya dengan tatapan kosong.

"Arraya hampir saja kehilangan nyawanya karena Anda." kalimat yang meluncur dari bibir Muaz langsung menghentikan langkah kaki Adnan yang ingin menyusul kepergian Arraya.

Untuk sesaat, Adnan merasa penasaran dengan yang baru saja dikatakan oleh pria di depannya itu. "Apa maksud Anda bicara seperti itu?" Adnan balas menatap kedua mata Muaz dengan lurus. Keduanya saling balas menatap dengan sengit.

"Bagaimana menurut anda?" Muaz malah balik bertanya. "Jika saya telat menemukannya, mungkin Arraya tidak akan bisa kembali ke rumah ini. Dan anda mungkin tidak akan pernah bisa lagi melihatnya."

"Jaga mulut anda. Kita tidak saling mengenal, jadi jangan bicara sembarangan."

Muaz mengusap wajahnya yang basah karena air hujan lalu kembali menatap kedua mata Adnan dengan lurus. Ia melangkahkan kakinya beberapa langkah mendekati Adnan. "Jika anda tidak bisa melindungi Arraya dengan baik, biarkan orang lain yang sanggup melindunginya."

"Ini adalah pertemuan ketiga kalinya untuk kita, dan dalam setiap pertemuan kita, saya tidak pernah melihat adanya kebahagiaan di antara kalian berdua. Jadi jika anda tidak sanggup melindunginya, lebih baik menyerah dari pada terus membuat Arraya tersakiti."

Tanpa Adnan sadari, kedua tangannya sudah saling mengepal dengan erat, bahkan buku-buku tangannya sampai memutih karena rasa kesalnya yang membumbung tinggi karena mendengar tiap kata yang meluncur dari bibir Muaz.

"Maaf jika saya lancang mengatakannya. Saya permisi, assalamu'alaikum." Muaz langsung undur diri dari hadapan Adnan tanpa berniat mendengar jawaban Adnan selanjutnya. Melihat ekspresi Adnan yang menahan kesal padanya sudah cukup membuat Muaz merasa puas. Ia ingin Adnan sadar. Jika memang Adnan masih belum mau berubah dan Arraya tetap tersakiti, mungkin Muaz akan berpikir untuk melakukan cara yang lain.

🥀🥀🥀

Adnan menatap punggung Arraya dari belakang yang kini terlihat bergetar. Perempuan itu terisak dengan duduk di kursi kamar mereka berdua. Baju Adnan, begitu pula gamis Raya yang juga sama kuyupnya. Terngiang kembali ucapan Muaz yang mengatakan jika Arraya hampir saja kehilangan nyawanya malam ini. Memang apa yang sebenarnya terjadi pada Arraya? Apa maksudnya hampir kehilangan nyawa?

"Ra..." Adnan menghampiri Arraya dan berjongkok di depan Arraya dengan bertumpu pada kedua lututnya. "Maafin aku..."

Untuk sesaat, Adnan ingin melupakan pria bernama Muaz itu. Ia ingin lebih berfokus pada istrinya saat ini. Istrinya lebih membutuhkan dirinya, dan Muaz, ia pasti akan membuat perhitungan pada pria itu jika sampai berani melangkah maju pada garis batas yang seharusnya tak ia lewati.

Raya langsung menepis tangan Adnan yang menggenggam tangannya. Perempuan itu masih belum bisa menghentikan tangisnya. Ada Adnan di hadapannya kini, malah membuat Raya semakin ingin menumpahkan semua tangisnya.

"Maafin aku udah ninggalin kamu tadi. Aku nggak bermaksud, Ra. Aku cuma ingin bicara dengan Tasya berdua tadi, aku nggak bermaksud untuk ninggalin kamu. Sungguh, kamu harus percaya."

"Ra, jangan begini please... aku khawatir sama kamu..."

Raya kembali menepis tangan Adnan yang kembali ingin menggenggam tangannya. "Mas nggak tau perasaan aku! Mas nggak bisa mengerti apa yang aku rasain!"

Adnan sedih melihat Arraya seperti ini. Wajah gadis itu semakin terlihat pucat. Jika terus dibiarkan dengan baju basah kuyup seperti itu, Adnan khawatir jika Arraya akan sakit nantinya.

"Maafin aku, Sayang..." Adnan mengangkat jemarinya mengusap air mata di pipi Raya dengan lembut. Kedua matanya menatap sendu mata Raya yang terus mengeluarkan air mata. Ia berusaha membaca kedua manik di hadapannya itu.

Tiap bulir air mata yang mengalir dari pelupuk mata Arraya, mengandung sakit yang mendalam. Rasa sakit yang begitu mempermainkan hatinya. "Mas tau? Setiap kata yang keluar dari mulut Tasya selalu ngingetin aku atas apa yang pernah Mas ucapkan ke aku dulu. Rasanya kayak ditarik lagi ke masa lalu yang menyakitkan. Dan Mas nggak akan pernah bisa ngerasain itu!"

Adnan langsung menarik tubuh Raya ke dalam dekapannya. Perempuan itu histeris dan meronta minta dilepaskan pelukannya. Tapi Adnan tak menyerah dan justru semakin mengeratkan pelukannya dengan Raya.

Adnan mengerti, ia bisa memahami bagaimana perasaan Arraya sebenarnya. Arraya memang sudah melalui banyak rasa sakit hati. Dan ia termasuk orang yang menjadi salah satu alsan dari rasa sakit Arraya. Sampai kapanpun, rasa sakit itu memang akan tetap membekas. Adnan menyesal tak dapat menghapusnya.

"Maaf sayang, maafin aku. Maaf... maafin aku..."

"Lepas! Aku benci sama kamu, Mas! Aku benci karena aku terlalu mencintai kamu!"

"Maaf, Ra. Maaf... Jangan benci aku, aku mohon... aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu dan aku nggak akan pernah ngelepasin kamu."

"Lepasin aku, Mas! Aku benci kamu!"

"Maafin aku sayang... Maafin aku... Sungguh, aku minta maaf..."

"Lepasin aku, Mas... Aku mohon lepasin aku..." Arraya yang sudah merasa lelah di seluruh bagian tubuhnya akhirnya hanya bisa diam di dalam pelukan Adnan. Tangisnya masih belum reda, tapi ia juga sudah tidak punya tenaga untuk meminta Adnan melepaskan pelukannya.

"Aku benci sama kamu, Mas. Aku benci semuanya. Apa yang aku lakukan selalu salah di mata kalian. Memangnya apa salah aku sampai kalian begitu membenci aku? Aku nggak pernah meminta pernikahan ini terjadi. Seumur hidup, aku bahkan nggak pernah berani berharap bisa nikah sama kamu. Tapi kenapa? Kenapa kalian semua begitu membenci aku? Kenapa, Mas? Kenapa?!"

Adnan ikut meneteskan air matanya. Hatinya ikut tersayat mendengar semua kata demi kata dari bibir istrinya. Adnan pernah salah. Adnan sangat tahu hal itu. Adnan juga sangat menyesali perbuatannya dulu. Ia tahu sudah banyak sekali luka yang ia torehkan untuk istri tercintanya itu. Ia sendiri bahkan tidak bisa memaafkan dirinya yang dulu selalu saja berkata kasar pada Arraya. Dan Arraya terlalu hebat dan baik telah bisa melalui semua itu sampai detik ini. Perempuan itu terlalu tangguh menghadapi tiap cobaan yang mencoba mampir ke dalam hidupnya.

Pelukan Adnan sama sekali tidak mengendur. "Maafin aku, Ra.. aku sayang kamu.. maaf..." Adnan terus mengucap kata maaf dan kata sayang untuk Raya. Entah apa kata maafnya itu akan diterima atau tidak. Yang jelas perasaan tidak ingin kehilangan Arraya begitu besar dalam dirinya. 

🥀🥀🥀

Mau update lagi besok gak?😋

Jangan lupa vote dan komentarnya yaa

Jazakumullah ya Khair

TAMAT : 17 MEI 2020
REVISI : 29 AGUSTUS 2020

Komentar