09 | Usaha Seorang Istri

Pagi ini, Arraya membantu Bibi Ira di dapur untuk memasak. Ia sudah memutuskan untuk melupakan kejadian menyakitkan semalam. Semua yang sudah terjadi tak dapat diulang. Sekarang, Arraya hanya perlu maju ke depan. Berusaha untuk mengambil hati Adnan dan menyelamatkan pernikahan mereka.

"Non, nggak papa? Muka Non pucet, loh. Bibi takut Non Arraya sakit."

Arraya menoleh dan memberikan senyum simpulnya pada Bi Ira. "Raya nggak papa, Bi. Lagian Arraya mau bantu Bibi buatkan sarapan untuk Mas Adnan."

"Tapi muka Non pucet. Non pasti lagi sakit, kan?"

Arraya menggeleng lagi. "Nggak, Bi. Raya nggak sakit kok. Raya sehat," ucap Arraya dengan memberikan tawa pelan pada Bi Ira. Meyakinkan Bi Ira kalau ia dalam kondisi baik-baik saja. Walaupun kepalanya memang sedang sangat pusing.

"Jangan-jangan Non Raya udah hamil ya?" mendengar kalimat antusias Bi Ira membuat Arraya tersenyum miris. Bagaimana mungkin hamil, disentuh suaminya saja ia belum.

"Belum atuh, Bi. Doakan saja ya, semoga disegerakan sama Allah." Bi Ira mengaminkannya. Arraya pun sama. Ia bahkan mengucap aamiin berulang kali di dalam hati. Walau Adnan masih sering berkata dingin dan kejam padanya, ia tetap berharap jika suatu saat nanti Allah dapat membolak-balikkan hati suaminya menjadi lebih hangat dan bisa menyayanginya. 

Keduanya kembali melanjutkan acara memasak. Sesekali Arraya bertanya makanan apa yang disukai oleh Adnan. Rupanya jika pagi hari, Adnan selalu memakan apa pun yang Bi Ira hidangkan. Arraya tentu saja merasa bersyukur, karena kebetulan ia sangat suka memasak. Ia sudah berdiskusi dengan Bi Ira, jika ke depannya Arraya sendirilah yang akan menentukan menu masakan untuk suaminya, sedangkan Bi Ira hanya membantu gadis itu menyiapkannya. 

Hingga Arraya mendengar suara langkah kaki dari atas, ia menoleh. "Mas Adnan," panggilnya.

Adnan sempat berhenti di anak tangga ketiga dari atas. Ia juga menoleh dan melihat sosok Arraya sedang berada di dapur. Apa yang gadis itu lakukan di dapur? Bukankah sudah pernah ia katakan untuk tidak perlu repot membantu pekerjaan pembantu? Dan ada apa dengan ekspresi gadis itu?

Tersenyum? Arraya tersenyum pada Adnan? 

Apa Adnan bermimpi? Bagaimana bisa gadis itu tersenyum setelah mereka berdebat hebat semalam? Bukankah semalam gadis itu menangis karenanya? Bukankah semalam ia sudah kelewat menyakiti gadis itu?

Lalu kenapa kini gadis itu malah tersenyum ke arahnya?

"Mas, sini sarapan."

Adnan semakin tertegun mendengar suara lembut milik Arraya yang kembali menyapa pendengarannya. Ia menyadarkan dirinya dan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Adnan berhenti di samping meja makan. Ia juga sudah membawa tas kerja dan kunci mobilnya. Bersiap untuk berangkat kerja pagi ini.

Adnan menatap isi meja makan sesaat. Ada bubur ayam dan juga sandwich dengan isi daging asap dan sayur. Ada juga teh hangat dan susu putih. Adnan akui, ia tergiur dan merasa kelaparan saat ini.

"Aku langsung ke kantor. Ada meeting pagi."

Rupanya gengsi terlalu menguasai. Adnan berbohong. Tidak ada yang namanya meeting pagi. Ia hanya sedang menghindari Arraya. Rasanya ia bahkan tidak sanggup jika harus menatap wajah gadis itu, mengingat bagaimana kasarnya kata-kata yang meluncur dari bibirnya semalam. 

"Kalau gitu Mas bawa ini ke kantor, ya?" 

Adnan melirik kotak bekal yang ternyata sudah disiapkan oleh Arraya. Lagi-lagi Adnan bertanya dalam kepalanya sendiri. Ada apa dengan Arraya? Kenapa gadis itu mau melakukan semua ini?

"Tidak perlu repot."

"Nggak repot kok, Mas. Raya bantu bawa ke mobil, ya?"

"Aku bilang tidak usah, Raya." 

Arraya sontak memejamkan mata karena mendengar suara Adnan yang mulai meninggi. Ini masih pagi. Apakah pagi di rumah ini juga akan dimulai dengan sebuat perdebatan?

Merasa tidak perlu berpamitan pada Arraya, Adnan langsung melangkah keluar rumah. Masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Arraya yang menunduk lesu dengan menatap kotak bekal di tangannya.

Adnan merasa bahwa Arraya tidak perlu melakukan semua itu. Karena pada akhirnya mereka berpisah, jadi lebih baik untuk tidak saling mencampuri urusan satu sama lain.

Tapi Raya, ia hanya ingin melakukan tugasnya. Melayani dan taat pada suami. Ia ingin menyerahkan hidupnya pada Adnan. Taat pada Adnan. Tetapi jika Adnan bersikap seperti ini, apakah Arraya tetap harus menaatinya?

鹿鹿鹿

Adnan turun dari mobilnya dengan wajah masam. Sulit untuknya mengeluarkan senyum ketika hati dan kepalanya sedang saling berseteru. Sulit untuknya bersikap ramah. Kepalanya seakan mau pecah. Apalagi jika memikirkan sikap Arraya padanya pagi ini.

Senyum gadis itu. Apa yang sebenarnya sedang direncanakan gadis itu? Adnan benar-benar tidak mengerti.

"Adnan!" 

Tangan Adnan yang hendak meraih gagang pintu ruang kerjanya terhenti begitu mendengar panggilan untuknya. Adnan menoleh. Detik berikutnya ia mendengus pelan dan melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Kakak satu-satunya, Bima, muncul di kantornya dengan senyum yang memuakkan di mata Adnan. Adnan sama sekali tak berniat melihat kakaknya saat ini.

"Adnan! Ih, itu anak!" Bima yang tadi memanggil Adnan pun langsung melangkah cepat menuju ruang kerja Adnan. Ia membuka pintunya dengan cepat dan menepuk pantat Adnan. Membuat Adnan memutar tubuhnya cepat dan melototkan matanya.

"Ih, apaan sih! Pelecehan tau nggak, lo!"

"Ya elah, Nan. Masih pagi, udah cemberut aja sih muka lo."

"Diem! Gue lagi nggak mood buat berdebat."

Bima tertawa. Sejak dulu, adiknya itu masih saja jutek dan dingin bicara padanya. Ya walaupun Bima tahu alasan Adnan bersikap seperti ini padanya sejak dulu. Memang, sejak kecil Adnan lah yang menanggung semua permintaan kedua orang tuanya. Diatur sana sini, sedangkan Bima, Bima adalah anak yang benar-benar merasa bodo amat dan cuek. Apa pun ancaman dari papanya, tak akan mempan untuk Bima. Sedangkan Adnan, ia selalu berhenti dan akhirnya menerima semua perintah papanya karena ancaman.

Sejak kecil Adnan tidak pernah melakukan apa pun sesuai keinginannya. Bahkan untuk sekolah, kuliah, pilih jurusan, semuanya diatur oleh papanya. Adnan baru mulai merasa bebas saat lulus karena bisa bekerja di perusahaan impor-ekspor bersama Bima dan Althaf. Tapi papa mereka mengirimkan surat pengunduran diri sepihak tanpa Adnan ketahui. Dan akhirnya, Adnan terjebak di perusahaan keluarga mereka.

"Oke to the point aja, ya. Gue cuma mau tanya sama lo, ada apa dengan lo dan Arraya waktu pertemuan keluarga semalam?"

Adnan berdecih santai. Sudah ia duga Bima akan menanyakan hal itu. Kakaknya selalu saja kepo soal masalah pribadinya. "Nggak usah kepo karena gue nggak akan jawab."

"Lo baik-baik aja, kan, sama Raya?"

Adnan melonggarkan ikatan dasinya. Sesak karena pertanyaan Bima. "Kalau lo aja nggak hadir semalam, buat apa kepo urusan orang? Urusin urusan lo sendiri."

"Gue masih abang lo. Berhak untuk ikut campur ketika keadaan lo nggak baik-baik aja."

Adnan menyeringai. "Basi," sindirnya. "Waktu Papa maksa nikahin gue juga lo nggak ada pembelaan apa pun."

"Ya karena gue juga sependapat sama Papa atas masalah ini. Nikahin Raya adalah cara yang paling tepat sebagai bukti tanggung jawab lo untuk dia. Lo udah nabrak calon suaminya, dan besoknya juga mereka nikah, Nan. Ini real terjadi dalam hidup lo. Bukan cerita tayangan sinetron."

"Harusnya lo tau kalau bukan itu alasan utama Papa. Dari dulu juga Papa selalu ngelakuin hal yang menguntungkan buat dia. Dan cara agar Papa bisa lakuin semua yang Papa mau adalah dengan nikahin gue secara paksa sama cewek yang nggak gue cintai."

"Dan selain itu lo harusnya ngerti kalau itu adalah cara bijak untuk nggak nyakitin Raya yang ditinggal suaminya," balas Bima tak mau kalah.

Adnan menghela napas panjang. "Dan harusnya lo bisa ngerti seberapa besar cinta gue untuk Afifah!" Telunjuk Adnan maju dan mendorong bahu Bima tanpa ragu. Membuat Bima sontak mundur selangkah ke belakang. 

"Afifah adalah orang yang bisa buat gue move on dari masa lalu, Bim. Kenapa lo harus selalu buat gue berada di posisi terima semua permintaan konyol Papa, sedangkan lo dengan bebasnya nikah sama Rossa? Kalau lo aja nolak perjodohan lo dulu, kenapa lo sekarang malah minta gue terima semua ini?"

"Nan, jangan bahas masa lalu," ujar Bima yang ingin menghindari pembahasan tentang masa lalunya. Ia jadi ingat bagaimana perjuangannya agar bisa terbebas dari kekangan keinginan keluarganya dan memilih menikah dengan Rossa, istrinya saat ini.

"Gue nggak habis pikir kalau ternyata lo sama egoisnya sama Papa."

"Gue cuma pengen yang ter-"

"Terbaik, maksud lo? Terbaik menurut lo dan Papa, belum tentu terbaik buat gue," ucap Adnan penuh penekanan.

Bertepatan saat Bima ingin menimpali perkataan Adnan, suara ketukan dari pintu membuat keduanya menoleh. Della, sekretaris Adnan berdiri di depan pintu kaca dengan membawa sebuah berkas di tangannya.

"Lebih baik lo keluar sekarang dan balik ke kantor lo sendiri."

Bima meringis dan menghela napas panjang. Akhirnya mau tidak mau ia harus undur diri dan kembali ke kantornya, karena Adnan telah mengusir dirinya. Adnan langsung teruduk di kursi kerjanya begitu Bima telah keluar dari ruangannya.

鹿鹿鹿

Adnan menghela napas panjangnya begitu keluar dari mobil. Hari ini begitu melelahkan untuknya. Agenda meeting hampir sehari penuh membuat pikiran dan juga tenaganya terkuras. Beban pekerjaannya pun bertambah, seiring meeting RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) yang sebentar lagi akan dilaksanakan.

Adnan membayangkan saat pulang Bi Ira sudah menyiapkan air hangat untuknya mandi dan minuman hangat. Sayangnya, ia lupa memberitahukan Bi Ira kalau ia akan pulang jam 11 malam. Sedangkan untuk memberitahu Arraya, Adnan sama sekali tidak ingin memikirkannya. Ia tidak mau berhutang budi pada Arraya. Bahkan setelah perdebatan panjang mereka kemarin malam, Adnan yakin kalau Arraya pasti akan mengabaikannya.

Adnan membuka knop pintu rumahnya. Ruang tamunya ternyata masih terang benderang.

"Mas Adnan," suara lembut itu membuat Adnan menoleh dengan cepat. Di atas sofa, di depan tv, berdiri Arraya yang kini sedang melangkah menghampirinya. Dalam hati Adnan bertanya-tanya, untuk apa gadis itu masih terjaga dan belum terlelap?

"Kenapa kamu belum tidur?" tanya Adnan dengan nada yang pelan. Tak ada intonasi tinggi seperti biasanya. Tapi bukan karena maksud lain, semua itu karena Adnan sudah terlalu lelah bicara hari ini.

"Raya nunggu Mas Adnan pulang." Adnan terperangah saat gadis itu meraih tangan kanannya dan menciumnya. Dengan cepat Adnan menarik tangannya.

"Raya udah siapkan air hangat untuk Mas Adnan mandi. Mas pasti lelah, sini biar Raya yang bawa tasnya ke atas." Arraya langsung bergegas pergi meninggalkan Adnan setelah mengambil tas kerja dan jas yang berada di tangan kiri Adnan. Tak lupa senyum tipis ditampilkan gadis itu. Membuat Adnan semakin bertanya-tanya sekaligus penasaran.

Selesai membersihkan tubuhnya, Adnan keluar dari kamar mandi dengan tubuh masih terlilit handuk berwarna putih. Ia sudah terlalu mengantuk saat ini. Mandi dan keramas pun ternyata belum mampu menyegarkan tubuh Adnan.

Kakinya mendekat ke arah ranjang. Sudah dapat dipastikan, tak sampai lima menit ia merebahkan tubuhnya di atas kasur itu ia pasti akan langsung tertidur. Tapi saat Adnan ingin melakukan itu, ia melihat ada nampan berisi teh hangat dan juga roti dengan isi selai keju.

"Sejak kapan ada di sini?" Adnan mengerutkan keningnya tipis. Ia mengangkat cangkirnya dan menyeruputnya perlahan. Rasanya pas. Sesuai seleranya. Padahal selama ini Bi Ira sering sekali kurang pas dalam membuatkan minuman untuknya. Entah kadang yang kurang manis atau terlalu kemanisan untuknya. Yang jelas, teh hangat yang ia minum saat ini sangat sesuai seleranya.

"Arraya?" tiba-tiba Adnan teringat Arraya. Sejak ia masuk ke dalam rumah tadi, ia memang sudah tidak melihat Bi Ira. Hanya ada Arraya yang masih terjaga dan menunggu dirinya.

Adnan menggeleng. Ia memutuskan untuk tidak terlalu ambil pusing. Ia segera menghabiskan the hangat itu dan segera beranjak tidur. Masih ada hari esok. Ia harus menyiapkan diri untuk ikut meeting BOD (Board of Director) besok.

鹿鹿鹿

Pagi ini, seperti hari-hari sebelumnya. Raya tidak pernah absen membantu Bi Ira membuatkan sarapan untuk Adnan. Walaupun Adnan masih enggan makan dengannya, walaupun Adnan masih enggan makan hasil masakannya. Walaupun Adanan tetap diam dan tanpa banyak bicara padanya, Arraya tetap berusaha. Memasak, mengantar kepergian Adnan, menyambut kepergian Adnan, dan menyiapkan air hangat untuk Adnan. Dan seperti saat ini Arraya mengikuti langkah kaki Adnan sampai ke batas pintu.

"Kamu tidak perlu antar sampai pintu. Aku masih tau jalan," ucap Adnan dengan menatap sekilas wajah Raya. Tumben sekali, Adnan lihat kalau Raya memakai baju dengan warna yang terang. Biasanya, istrinya itu hanya memakai gamis dengan tampilan sederhana. Tapi ini, Arraya memakai pakaian yang jauh lebih rapih dari sebelumnya. Jika Adnan tidak salah lihat, wajah Arraya terlihat lebih bersinar di matanya saat ini. Mungkin  karena Arraya memoles wajahnya dengan make-up. 

Adnan menggeleng. Menepis pikiran terakhirnya. Adnan ingin bertanya apakah hari ini Arraya mulai masuk bekerja atau tidak, tapi Adnan urungkan. Ia tidak ingin terlihat memedulikan apa yang gadis itu lakukan. 

"Nggak papa. Raya suka kalau antar Mas Adnan pergi dari sini. Dengan begitu hati aku akan lebih tenang."

Adnan hanya diam. Tak tahu harus mengelak ucapan Raya seperti apa.

"Aku berangkat."

Lagi-lagi, Adnan dibuat membatu dengan sikap Arraya yang kembali meraih tangannya. Dikecup punggung tangannya oleh Arraya. Gadis itu tersenyum seraya berkata. "Mas hati-hati di jalan, dan semoga pekerjaannya lancar hari ini."

Semakin hari, Raya semakin mengerti caranya membuat Adnan diam seribu bahasa. Walaupun Adnan mengelak, Adnan menolak, Raya tetap menjalankan tugasnya. Ia selalu membantu dan melayani Adnan dengan baik. Dan Adnan sangat menyadari hal itu.

"Mas?"

"Ya?"

"Hari ini Raya mulai masuk kerja."

Adnan hanya mengerjapkan matanya sekali sambil menatap Arraya. Ia benar-benar tidak terlihat tertarik. "Oh," responnya singkat. Membuat Arraya yang mendengar respon Adnan hanya bisa terdiam. 

"Nanti malam saya pulang malam. Kamu tidur duluan saja, tidak perlu menunggu." Belum sempat Raya menjawab, Adnan sudah langsung masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Raya yang menatap kepergiannya dengan sendu.

"Wa'alaikumsalam, Mas."

鹿鹿鹿

TBC

Adakah yang baru baca dan mulai menyukai cerita ini?

Jazakallah atas supportnya ❤


Penulis yang ingin liburan,


Komentar