27 | Secarik Foto

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Follow ig dan wattpad : @hapsyahnurfalah

Mungkin ini adalah pertama kalinya Arraya menampakkan binar bahagia tulus di wajahnya sejak kehilangan Luthfi. Bulan sabit tergambar di lekung matanya. Garis pipinya terlihat karena ia tersenyum kala membayangkan apa yang baru saja terjadi antara dirinya dengan Adnan.

Arraya melirik arlojinya. Berkat Adnan, ia tidak terlambat. Suaminya itu mengantarkan dirinya hingga sampai selamat di depan perusahaan. Suaminya itu juga tersenyum padanya, melambai padanya, dan mencium bibirnya hingga Arraya sulit mengendalikan bibirnya untuk tidak tersenyum.

"Kamu terlihat begitu bahagia setelah membuat seisi kantor ini mengkhawatirkan dirimu." Muaz menertawakan dirinya sendiri. Padahal tidak sampai lebay seisi kantor mengkhawatirkan Arraya, hanya saja ia memang merasa sangat khawatir.

Mendengar suara pria yang sudah tidak asing lagi untuknya, Arraya langsung memutar kepalanya.

"Pak Muaz?" Arraya bergeser ke samping sedikit. Memberikan ruang untuk pria itu di depan pintu lift.

Muaz membalas tatapan Raya. Untuk beberapa detik Raya menatap Muaz hingga akhirnya gadis itu memilih menundukkan kepalanya. Untuk sesaat, Muaz membiarkan matanya memandangi Arraya. Dari senyum yang ia lihat hari ini, ia bisa tahu jika kondisi gadis itu pasti sudah lebih dari baik-baik saja.

Senyum itu, entah kapan terakhir kalinya Muaz lihat tercetak di wajah Arraya. Muaz mengingatnya lagi, gadis itu juga pernah bahkan sering tersenyum seperti itu jika sedang bersama Luthfi.

"Maaf Pak, karena saya baru bisa masuk pagi ini."

"Bagaimana keadaan kamu sekarang?"

"Saya—" Raya menjeda kalimatnya begitu pintu lift terbuka dengan lebar. Muaz berdeham pelan dan akhirnya masuk ke dalam lift, sementara Arraya tetap berdiam di tempat tak bergerak.

"Kamu tidak masuk, Ra?" Muaz menekan tombol tahan agar pintu lift tetap terbuka untuk Arraya.

"Bapak duluan saja, saya bisa ambil lift berikutnya."

Gurat kecewa Muaz tampakkan di wajahnya secara samar. Ingin mengajak Arraya untuk satu lift dengannya, tapi bibirnya kelu. Ia mengingatkan dirinya sendiri untuk bisa bersikap profesional di tempat kerja.

Arraya masuk ke dalam lift setelah lift berikutnya terbuka. Ia melangkah pasti menuju kubikel kerjanya. Untuk hari ini, Arraya membiarkan bisikan rekan kerjanya yang kembali membicarakan dirinya. Kabar mengenai Muaz yang menjenguknya di rumah sakit saat itu rupanya sudah tersebar ke seluruh sudut gedung perusahaan itu.

Arraya kembali dicap sebagai perempuan kegatelan yang kerjaannya menarik simpati atasan yang tajir dan single. Astaghfirullah, Raya beristighfar dalam hati.

Matanya tak sengaja menatap pohon kaktus kecil yang berada di sudut meja kerjanya. Pohon kaktus sederhana dengan bentuk bulat itu merupakan hadiah yang pernah diberikan oleh Luthfi. Katanya, Arraya juga perlu menyegarkan mata melihat kehijauan di meja kerjanya agar tidak merasa suntuk. Dan bukan hanya satu, Muaz pernah memberikan beberapa pohon kecil untuk Arraya, yang sampai saat ini masih ia simpan dengan baik.

"Mas Luthfi, terima kasih atas doa kamu dari atas sana. Aku tetap merasa bahagia hari ini, walaupun ada sesuatu yang mengganjal di kepalaku," ucapnya pelan sambil memegang pohon kaktus itu sambil membayangkan wajah Luthfi yang sedang tersenyum tulus padanya. Ia yakin, Allah pasti memberikan tempat terbaik untuk pria baik seperti Luthfi.

Arraya juga sudah menduga jika pekerjaannya hari ini pasti sangat banyak dan menumpuk. Selama ia di rumah sakit dan dirawat di rumah, Arraya memang sama sekali tidak masuk kerja. Kondisinya sangat tidak memungkinkan untuknya bekerja walaupun ia sangat ingin.

"Ra, jangan lupa kerjain laporan yang diminta Bos waktu itu. Lo kan udah nggak masuk lama tuh." Suara itu membuyarkan konsentrasi yang dibangun oleh Raya. Raya menoleh cepat, Mba Siska sudah menatapnya tajam melalui kedua matanya yang ditempeli oleh kontak lens berwarna cokelat.

"Iya Mba, saya usahakan selesai besok sambil saya ngerjain yang lain untuk hari ini."

"Ya jangan besok lah. Kalau besok baru lo selesein gimana gue laporan ke Bu Uwi? Departemen kita udah cukup ngaret gara-gara lo nggak masuk."

"Saya usahakan hari ini selesai, Mba." Hanya itu yang bisa Raya sampaikan. Mungkin hari ini ia harus lembur sampai malam. Maklum, Mba Siska adalah senior yang sudah bekerja hampir 10 tahun di perusahaan itu. Sikap ketus dan galaknya juga berlaku untuk semua rekan departemennya, jadi bukan untuk Arraya saja.

Mba Siska langsung beranjak meninggalkan kubikel kerja dengan wajah masam. Raya mengembuskan napas panjangnya. Ia harus mulai mengerjakan pekerjaannya yang menumpuk. Jangan sampai laporan yang diminta Mba Siska akan menjadi boomerangnya lagi.

🥀🥀🥀

Begitu jarum panjang menyentuh angka 12, Muaz langsung beranjak dari kursi kerjanya. Ia menyambar kunci mobil dan bergegas keluar dari ruangan.

"Pak, mau makan siang bareng?" salah seorang staff perempuannya langsung menyerukam sebuah tawaran begitu melihat Muaz sudah keluar ruangan.

"Tidak, makasih." Muaz menjawabnya tanpa berbalik ataupun menolehkan kepalanya. Pandangannya lurus ke depan dan fokus. Tujuannya siang ini sudah jelas.

Lift yang ia naiki berhenti tepat di lantai Arraya bekerja. Muaz memang sengaja memencet tombol itu, karena tujuannya hanyalah satu, mengajak Arraya makan siang bersama.

"Arra—" panggilannya menggantung. Ia sudah tak melihat Arraya ada di kursi kerjanya. Beberapa staff yang melihat kehadiran Muaz langsung menghampirinya dan langsung menawarinya makan siang bersama. Banyak wanita yang mengajaknya makan siang, tapi wanita yang ia harapkan begitu cepat berlalu. Ia sering kehilangan kesempatan.

"Astaghfirullah, kesempatan apa yang sedang aku cari ini Ya Allah?"  Muaz langsung beristighfar begitu menyadari kelakuannya. Tak sepantasnya ia memikirkan istri orang, apalagi jika sampai berpikiran memiliki hati wanita itu.

Langkah kakinya terasa ringan. Angin seperti membantu kakinya untuk bergerak lebih cepat namun ia tetap merasa santai dan tidak terburu-buru. Arraya melirik makan siang di tangan kanannya yang memang sejak awal sudah ia siapkan sejak pagi. Tatapannya memancarkan binar bahagia. Walau sudah berkali-kali ia melirik makan siangnya itu, tetap saja ia merasa bahagia.

Arraya menatap luas ke arah depan. Memandang situasi dan kondisi betapa ramainya kantor suaminya siang ini. Siang ini, Arraya memang sengaja berkunjung ke kantor Adnan. Ia membawakan makan siang, sekaligus ingin makan bersama. Pernah beberapa kali saat Raya membaca sebuah cerita novel, maka sang istri akan datang ke kantor suaminya untuk membawakan bekal makan siang. Maka dari itu, Arraya begitu bersemangat siang ini.

Kakinya mendekat ke arah meja respsionis. Memorinya mencoba mengingat wajah respsionis menyebalkan yang waktu itu pernah mengusirnya kala ia ingin menemui Adnan. Ia lupa wajahnya, tapi ia masih ingat nama resepsionis itu. Namanya Windi, tapi sayang, respsionis yang saat ini ada di hadapannya bukanlah Windi.

"Selamat siang, Ibu. Ada yang bisa saya bantu?" Arraya mengamati wajah resepsionis itu. Wajahnya memang ramah dan senyumnya juga manis. 

"Saya ingin bertemu Mas—— Pak Adnan maksud saya."

"Sudah ada janji sebelumnya Bu, dengan Pak Adnan?"

"Hm, belum tuh Mba. Tapi coba disampaikan aja dulu ke Pak Adnan kalau saya menunggu di bawah."

Resepsionis yang Arraya ketahui bernama 'Melati' dari tag namanya itu kembali tersenyum pada Arraya. "Mohon maaf jika saya lancang bertanya. Tapi boleh saya tau ada  keperluan apa Ibu mencari Pak Adnan?"

"Emm..." Raya berpikir sejenak. "Sebenarnya saya istrinya Mbak." Arraya berucap kemudian. Tatapannya serius, ia yakin menjelaskan title dirinya di kantor suaminya itu.

Senyum Melati terlihat berubah samar. Ia menatap tiap inchi wajah Arraya. Menatap wajah perempuan yang mengaku sebagai istri eksekutif muda nomor 1 di perusahaan tersebut.

Melati mencoba mengingat seseorang yang sedang berusaha ia ingat. Adnan pernah beberapa kali terlihat bersama dengan seorang perempuan sekitar 2 bulan yang lalu.

"Maaf, apakah nama Ibu, Afifah?"

"Afifah?" ulang Arraya. Wajahnya berubah sendu mendengar nama itu. Nama yang sebenarnya tak ia harapkan ia dengar saat ini. Padahal Arraya sedang berusaha melupakan nama itu seharian ini.

"Iya. Yang saya tahu terakhir kali, Pak Adnan akan menikahi seseorang yang bernama Afifah. Apa benar nama Ibu adalah Afifah?"

".............."

Arraya hanya diam tanpa bisa menjawab. Pandangannya menunduk ke bawah. Ia tak mampu berkata-kata lagi. Arraya ingin pulang saat ini juga.

"Arraya!"

Arraya menolehkan kepalanya perlahan ke sumber suara bariton yang memanggilnya. Sedikit tak percaya melihat Adnan berdiri gagah tak jauh darinya, memanggil namanya dengan senyum yang terukir indah.

"Mas Adnan?"

Adnan berlari kecil menghampiri Arraya. Adnan menghiasi wajahnya dengan senyum merekah. Senyum yang tak luput dari kedua mata Arraya. Adnan seolah begitu bahagia melihat kehadiran Arraya.

"Kamu ngapain di sini? Sudah makan siang?" Arraya sedikit terkejut saat merasakan tangan Adnan yang memeluk pinggang belakangnya dengan posesif. 

"Mas kok bisa di sini?"

Adnan terkekeh kecil mendengar pertanyaan balik istrinya. "Ini kan kantor aku. Harusnya kamu yang jawab pertanyaan aku, bukannya balik bertanya."

"Emm... Sebenarnya aku bawain Mas makan siang. Mas mau?"

Adnan langsung melirik objek yang dimaksud Arraya. "Of course, Honey, why not?" Adnan tersenyum dan langsung menggandeng tangan Arraya dengan erat. Arraya sampai membulatkan matanya karena kaget melihat sikap Adnan. Banyak sekali pasang mata yang sedang menatap mereka saat ini.

"Pak Adnan, maaf, Ibu ini...."

Adnan menoleh tajam ke arah Melati. "Ini istri saya, namanya Arraya. Tadi adalah terakhir kalinya saya lihat kamu bersikap tidak sopan pada istri saya. Jika kamu berani, maka lakukanlah lagi, tapi dapat saya pastikan kamu akan langsung saya pecat."

Mata Melati membulat. Ia tidak menyangka jika bosnya melihat apa yang ia lakukan pada Arraya tadi. "Maaf, Pak!" Melati langsung menundukkan punggungnya secara sempurna. Kedua tangannya tertaut gugup di depan perut. "Maafkan kekeliuran saya Bu Arraya."

"Ya, tidak apa, Mba. Saya bisa maklum," jawab Arraya.

"Kita naik ke atas, ya?" Adnan kembali menatap Arraya dengan seulas senyum. "Aku akan memperkenalkanmu dengan semua orang yang ada di perusahaan ini."

"Memperkenalkan aku? Nggak ah, Mas, aku belum siap untuk itu."

Adnan terkekeh pelan. "Memangnya kenapa tidak siap? Kamu kan istriku, jadi semua orang yang ada di sini juga harus tahu hal itu."

"Tapi aku lagi pakai baju biasa begini, Mas."

Adnan langsung melirik pakaian Arraya. Raya memang hanya memakai rok hitam, baju batik, kerudung berwarna merah maroon, serta sepatu flat shoes berwarna hitam. Sangat biasa, berbeda dengan Adnan yang memakai jas hitam, jam tangan mahal, juga sepatu hitam yang mengkilap.

"Kamu cantik kok. Nggak ada kurangnya sama sekali." Bibir Arraya tak kuasa menahan senyum. Gombalan Adnan mampu menerbangkan hatinya bersama dengan ribuan kupu-kupu.

"Lain kali saja ya, Mas. Lagi pula jam istirahatku kan terbatas, aku harus balik ke kantor nanti."

"Baiklah, lain kali ketika kamu jauh lebih cantik dari saat ini. Aku benar-benar akan memperkenalkanmu secara resmi pada staf dan juga rekan kolega bisnisku."

Arraya tersenyum sambil mengangguk. Ia membiarkan Adnan yang terus menggandeng tangannya memasuki lift VVIP. Arraya langsung melupakan rasa gelisahnya yang tadi sempat hadir karena Adnan yang kembali mengecup bibirnya di dalam lift.

"Mas, ada CCTV!!" pekik Raya saat matanya menangkap kehadiran benda tersebut di langit-langit lift.

Adnan terkekeh tanpa dosa. "Aku akan minta teknisi nanti untuk menghapus seluruh rekaman CCTV hari ini."

"Aw! Sakit sayang!" seru Adnan kemudian saat Raya menghadiahi sebuah cubitan di perutnya.

"Jangan nakal makanya!"

Adnan tertawa geli, sementara Arraya mendengus.

Senyum dan tawa Adnan memang telah kembali sepenuhnya padanya. Senyum dan tawa seperti 'Kak Adnan' yang dulu pernah ia kenal selama duduk di bangku perkuliahan. Jailnya Adnan juga muncul lagi. Ternyata sifat Adnan masih tak jauh berbeda dengan yang dulu. Dan Arraya bersyukur bisa kembali merasakan semua itu.

"Ini ruang kerjaku, Ra." Arraya ikut melangkahkan kakinya menginjak marmer ruangan yang Adnan sebut sebagai ruangan kerjanya. Saat di depan tadi, Arraya mendapat banyak lirikan dan tatapan aneh. Adnan yang menyadari itu hanya meminta Arraya untuk tidak terpengaruh dengan sudut pandang orang lain.

Ruang kerja Adnan sangat luas. Di meja Adnan, terdapat akrilik emas bertuliskan CEO Hutama Group. Suaminya memang eksekutif muda di perusahaan, menggantikan posisi papah mertuanya yang belum lama ini pensiun. Sofa berwarna hitam juga berjajar di depan meja kerjanya. Satu buah meja terbuat dari kayu jati menambah kesan bahwa ruangan ini memanglah ditakdirkan untuk para eksekutif.

Raya ikut duduk di atas sofa. Ia mulai membuka bekal makan siang yang ia bawa untuk Adnan.

"Silakan Mas, dimakan."

"Waaahhh... Kamu nyiapin semua ini, Ra?" mata Adnan berbinar cerah melihat makanan yang berjajar di dalam kotak bekal Arraya.

Arraya mengangguk dengan semangat. "Aku sengaja buat menu ini untuk makan siang Mas Adnan. Aku harap Mas suka."

"Sudah pasti aku akan suka makanan yang kamu buat, Ra. Bismillahirrohmanirrohim." Adnan langsung menyantap makanannya dengan lahap. Ia memakan ikan, tempe, sayur, sambal dan menghabiskan seluruh nasi yang dibawakan oleh Arraya.

Di tengah lahapnya Adnan makan, rahangnya berhenti mengunyah. Adnan melirik istrinya yang tersenyum geli menatapnya.

"Mas udah nggak makan berapa hari?"

Adnan tersenyum kaku, merasa bersalah. "Aku baru inget, kok aku nggak tawarin kamu makan, ya?"

Jajaran gigi putih Arraya terlihat saat sedang tertawa. "Aku nggak mau makan, udah kenyang duluan liat Mas makannya lahap banget."

Adnan nyengir. "Habisnya enak. Setiap hari kamu masakin ini juga aku nggak akan bosen deh."

Selesai menghabiskan seluruh makan siangnya, Adnan menjatuhkan kepalanya di atas paha Arraya. Ia sudah tidak lagi bersikap malu dan canggung, karena ia memang sudah menganggap Arraya sebagai istrinya juga ia sangat mencintai Arraya.

"Habis makan nggak boleh tidur tau, Mas."

"Sepuluh menit aja, Ra. Kamu tau, kerjaan aku hari ini numpuk banget udah kayak menara, jadi aku butuh tidur sebentar yang berkualitas.

"Memangnya Mas bisa tidur seperti ini?"

"Bisa, karena kamu membuat aku nyaman." Adnan menarik satu tangan Arraya untuk ia genggam di depan dada. Mata Adnan terpejam beberapa saat kemudian.

Arraya tersenyum melihatnya. Tangannya bergerak mengurai rambut sang suami. Rasanya bahagia jika seperti ini. Rasanya ia tidak akan pernah bosan mengulang hal yang sama seperti ini hingga puluhan tahun ke depan.

"Ana uhibbuka fillah, Mas Adnan." Arraya berbisik pelan di telinga Adnan. Entah apa Adnan mendengarnya atau tidak, yang jelas perasaannya masih sama dan tidak pernah berubah.

Selembar uang merah yang terjatuh tiba-tiba dari saku kemeja Adnan membuat Arraya langsung mengambilnya. Ia juga menarik dompet kulit milik Adnan yang ada di atas meja. Dompet yang tadi sengaja Adnan letakkan di meja tersebut.

"Maaf ya, Mas. Aku jadi buka dompet kamu tanpa izin."

Arraya membuka dompet tersebut. Ada beberapa lembar uang merah dan juga biru di dalam dompet itu. Beberapa kartu debit juga kartu kredit tanpa limit bisa Arraya lihat ada semua di dalam dompet suaminya itu.

Secarik kertas berwarna putih yang tertutup oleh kartu nama jadi membuat Arraya penasaran. Telunjuk dan juga ibu jarinya menarik secarik kertas tersebut. Saat Raya melihat apa isi dari secarik kertas kecil tersebut, Arraya jadi diam termangu. Ia terbengong di posisinya.

Secarik kertas yang Arraya lihat ada di dompet Adnan adalah sebuah foto. Foto yang mengabadikan momen kebahagiaan 2 pasang anak Adam. Adnan berfoto di samping seorang gadis. Keduanya memang tidak saling bersentuhan, tapi sudah cukup membuktikan bahwa keduanya terlihat begitu bahagia menikmati momen sunset di foto.

Tangan Arraya bergetar kala membalik foto tersebut. Tulisan di balik foto kecil itu secara samar bertuliskan, 'Afifah, i miss you!'.

Arraya menghapus air mata yang entah kapan ada di pipinya. Ia langsung memasukkan kembali foto itu juga lembaran uang yang tadi terjatuh dari saku kemeja Adnan. Arraya menarik bantal sofa di dekatnya untuk menggantikan pahanya menjadi penopang kepala Adnan yang tertidur.

Arraya ingin kembali ke kantornya saja. Ia butuh menenangkan diri. Ia berusaha menekan pikiran buruknya yang mulai muncul satu persatu. Bagaimana pun juga, Raya memahami jika sebelumnya memang di hati Adnan sudah ada seseorang. Dan Raya hadir merusak semuanya. 

🥀🥀🥀

Semoga pada makin tambah sukak. Jangan lupa vote dan komen biar bisa sering update :))

Jazakumullah ya Khair ❤

Komentar