17 | Membahagiakan Arraya?

Surga Dalam Luka

Mata Adnan terbuka saat mendengar dering alarm dari ponselnya yang ada di atas nakas. Matanya mengerjap lalu terbuka sempurna. Ia meraih ponsel hitamnya tersebut. Matanya membulat saat mengetahui jam yang tertera di ponselnya adalah jam 6 pagi.

Adnan menghela napas panjang. Ia refleks melempar ponselnya ke atas kasur dan segera bangkit untuk mandi. Ia harus berangkat kerja hari ini. Ini akan menjadi hari pertamanya bekerja setelah 3 hari tidak masuk kerja. Ia bisa pastikan bahwa pekerjaannya pasti sudah menanti setinggi gunung.

Setelah mandi, Adnan langsung memakai kemeja abunya. Ia memakai celana panjang berwarna hitam. Menyisir rambutnya lalu beralih mengambil dasi berwarna hitam dari dalam laci lemari pakaian.

"Biar Raya bantu, Kak."

Adnan mengerjap. Ia sontak memutar kepalanya untuk mencari asal suara. Ternyata tak ada siapapun. Yang ada di kamar besar itu hanyalah dirinya. Mungkinkah ia mulai berhalusinasi jika barusan ia mendengar suara Arraya?

Adnan diam membisu untuk beberapa saat. Ia kembali memegang dasinya dan merangkai dasinya dengan gerakan pelan.

"Ini pertama kalinya Raya memakaikan dasi ke laki-laki lain selain Papa."

Ini aneh. Adnan merasa ada yang aneh. Ia kembali mendengar suara Arraya. Seolah gadis itu berada di dekatnya. Berdiri di depannya dan membantunya memakai dasi seperti saat itu.

Adnan menggeleng. Ia tidak boleh memikirkan Arraya. Biarlah jika memang gadis itu ingin pergi, Adnan tidak akan menahannya.

Selesai memakai kemeja juga dasi secara sempurna di lehernya, Adnan menyempurnakan penampilannya dengan jas hitam. Ia juga menyisir rambutnya dengan gel dan memakai arloji berwarna silver di pergelangan tangannya. Tak lupa parfume yang ia semprot di lehernya.

Adnan keluar dari kamar dengan menenteng tas kerja dan juga kunci mobilnya. Ia duduk di meja makan. Bi Ira masih terlihat sibuk mencuci peralatan masak. Karena kejadian kemarin malam, ia dan Bi Ira terlibat mode saling diam. Baik Adnan maupun Bi Ira sama-sama tidak ada yang membuka suara.

Adnan enggan mengeluarkan suaranya untuk sekedar menyapa Bi Ira. Ia enggan untuk sekedar menanyakan apakah Bi Ira masih marah padanya atau tidak. Intinya Adnan enggan dan jadilah mereka berdua tidak ada yang saling mengucap suara.

Adnan mengambil sepotong sandwich dan ia letakkan di atas piring putihnya. Ia meneguk segelas teh hangat yang dibuatkan oleh Bi Ira. Rasanya sedikit berbeda dengan yang dibuatkan oleh Raya. Jika Raya yang membuatnya, maka rasanya akan sangat pas dengan seleranya. Tapi jika Bi Ira yang membuatnya, maka rasanya akan menjadi sedikit lebih manis.

Suara dering telepon rumah membuat fokus Adnan menjadi terbelah. Ia menolehkan kepalanya ke arah telepon rumah. Saat ia hendak berdiri, rupanya Bi Ira sudah lebih dulu meraih gagang telepon.

"Assalamu'alaikum." 

Adnan mendengar suara Bi Ira mengucap salam. Entah mengapa Adnan malah ingin menguping.

Beberapa detik Bi Ira terdiam. Begitu fokus mendengarkan suara di seberang sana yang entah siapa Adnan tidak kenal.

"Astaghfirullah Non Raya... Non Raya sejak kapan Bu di rumah sakit?"

Mata Adnan sedikit membulat. Jadi benar yang dikatakan Bi Ira kalau Arraya sedang sakit? Dan gadis itu berada di rumah sakit? Sejak kapan? Dan sakit apa sebenarnya Arraya?

"Iya iya, Ya Allah Bu.. Saya doakan semoga Non Raya bisa segera sehat ya. Saya kangen sama Non Raya. Kalau saya niat berkunjung ke rumah sakit, apakah diperbolehkan Bu?"

"Alhamdulillah, terima kasih banyak ya, Ibu."

Adnan melihat Bi Ira yang mengusap kedua mata. Dapat lelaki itu prediksi kalau Bi ira menangis.

"Yang tadi itu ... siapa, Bi?" Adnan akhirnya bertanya. Walau ia yakin, ia ingin memastikannya.

"Mamanya Non Raya," jawab Bi Ira singkat. Wanita itu segera kembali ke dapur dan melanjutkan acara bersih-bersihnya.

"Arraya sakit?" Adnan sangat tidak memprediksi kalau justru pertanyaan itulah yang meluncur dari bibirnya. Padahal Adnan ingin menanyakan hal lainnya.

Bi Ira sontak memutar tubuh saat mendengar pertanyaan Adnan. "Apa Aden khawatir dengan Non Raya?"

Adnan langsung bungkam. Ia diam seribu bahasa. Kepalanya mencoba mencari jawaban yang tepat, tapi tak ketemu.

"Saya bertanya, bukan berarti saya khawatir padanya. Saya tidak peduli apapun tentangnya." Adnan mendorong kursi ke belakang. Ia berdiri dan langsung pergi keluar rumah. Meninggalkan sarapannya yang baru ia sentuh sedikit.

"Astaghfirullah, Aden...." Bi Ira mengelus dada. Menatap nanar kepergian Adnan hanya karena disinggung sebuah pertanyaan sederhana dari Bi Ira.

Barusan, yang menelepon adalah Maya, ibu kandung Raya. Maya menceritakan bahwa Arraya saat ini sedang dirawat di rumah sakit. Maya juga berpesan pada Bi Ira untuk setidaknya memberitahukan kabar Raya pada Adnan. Walau ia tahu menantunya itu telah menyakiti putri sematawayangnya, Raya tetaplah masih istri sah Adnan. Sehingga mau tidak mau Maya harus memberitahukannya.

Adapun Adnan peduli atau tidak, akan menjenguk atau tidak, Maya memasrahkan semuanya pada Allah SWT.

🥀🥀🥀

Muaz menutup mushafnya dan ia masukkan kembali ke dalam tasnya. Ia telah mengirimkan doa berupa surat Al Mulk dan surat Ar Rahman untuk Arraya. Ia duduk beberapa jarak di samping ranjang Arraya. Arraya masih terlihat lelap. Wajahnya pucat. Yang Muaz dengar dari orangtuanya Arraya, Arraya mulai drop sejak kemarin dan akhirnya dibawa ke rumah sakit.

Lebih tepatnya adalah setelah Arraya menangis di pelukan mamahnya saat menceritakan tentang niat bercerai dari Adnan. Malam itu, Arraya tidak berhenti menangis. Kondisinya yang belum membaik malah semakin memperburuk kondisinya.

Demampun mulai menyerang Arraya kembali. Bahkan suhu tubuhnya hampir ke angka 40°. Infus dan obat yang diberikan dokter juga belum mampu menurunkan demam Arraya. Sehingga Maya yang merasa khawatir akan terjadi apa-apa dengan putrinya langsung membawa Arraya ke rumah sakit agar mendapat penanganan yang lebih optimal.

"Kenapa kamu sekarang terlihat begitu kurus, Arraya?" Muaz bertanya pada Raya yang memejamkan matanya rapat-rapat.

Muaz diizinkan oleh Adam dan Maya menjenguk Arraya karena Muaz adalah sahabat Luthfi. Muaz telah memperkenalkan dirinya pada kedua orangtua Raya secara singkat. Ia pun tahu kabar kalau Arraya sedang dirawat di rs dari bagian SDM di kantornya. Makanya, setelah jam pulang kerja, Muaz langsung bergegas menuju rumah sakit dan menjenguk gadis itu.

"Bukankan kamu sudah pernah saya beritahu kalau Luthfi ingin kamu bahagia, Ra? Luthfi ingin kamu sering tersenyum. Bukan seperti saat ini. Kamu terlihat pucat bahkan terlihat tidak bahagia."

"Luthfi pasti akan sedih melihatmu seperti ini."

Kepala Muaz jatuh menunduk. Ia sedih melihat keadaan Arraya. Ia bahkan semakin sedih saat mengingat bagaimana respon Adnan padanya saat bertemu di depan lift rumah sakit saat itu.

"Jika sampai waktunya kamu tak kunjung juga bahagia, mungkin saya akan melakukan satu pesan terakhir yang pernah Luthfi sampaikan pada saya."

Muaz kembali mengangkat kepalanya. Ia menatap wajah Arraya lekat sebelum akhirnya ia menurunkan kembali pandangannya.

"Jika suamimu tidak bisa membuatmu bahagia, maka izinkan saya yang akan memberikan kebahagian untuk kamu, Arraya."

🥀🥀🥀


Dikit ya?
Wkwk maapin.

Jangan lupa vote dan komeeen

Jazakumullah

Komentar