18 | Sulit Memahami Perasaan

Surga Dalam Luka 

Alya menatap cemas pesan yang dikirimkan oleh mamanya Raya beberapa saat yang lalu. Alya baru saja mendapat kabar dari mamanya Raya, bahwa sahabatnya itu dirawat di Rumah Sakit Harapan Kasih. Katanya, Arraya sudah hampir menginap selama 3 hari 2 malam.

Alya menutup ponselnya dan beranjak dari duduknya mendekati Althaf yang sedang sibuk mengerjakan pekerjaan kantor di meja kerjanya.

"Mas?" Althaf hanya berdeham pelan mendengar panggilan Alya tanpa menoleh.

"Mas Althaf?" panggil Alya sekali lagi.

Althaf akhirnya menoleh. Ia menemukan Alya yang menatapnya dengan tatapan sendu dan sedih. Mata istrinya berkaca-kaca, seperti ingin menangis.

"Hei ... Kenapa sayang?" Althaf meraih lengan Alya dan mengusap pipi istrinya. "Kok mukanya sedih?" tanya Althaf lembut.

"Arraya sakit, Mas." Ujar Alya dengan suara bergetar. "Kata Tante Maya, Raya udah 2 hari di Harapan Kasih."

Althaf tersenyum tipis. Kini ia mengerti kenapa istrinya terlihat sedih. Ia pasti mengkhawatirkan keadaan sahabatnya.

"Lalu kamu mau menjenguknya? Di jam segini?"

Alya melirik jam yang tertera di sudut layar laptop Althaf. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam.

"Apa tidak boleh, Mas?" tanya Alya terselip nada harap.

"Bukannya tidak boleh, Sayang, tapi jam besuk juga pasti sudah selesai. Raya pasti juga sedang istirahat. Lagi pula kalau kamu tetap pergi, sampai sana pasti akan semakin malam."

"Tapi perasaanku nggak enak, Mas. Aku ingin cepet ketemu Raya." Air mata Alya akhirnya jatuh. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Menangis tersedu sambil membayangkan wajah sahabat tercintanya.

Sudah beberapa hari ke belakang, Alya memang sering memimpikan Raya. Setiap ia tersadar dari mimpi itu, hatinya seperti dipelintir. Setiap ia memikirkan Raya, ia jadi merasa sesak sendiri. Dadanya seolah ikut dipenuhi rasa sedih, yang ia sendiri tak tahu apa maksudnya.

Althaf menggenggam erat kedua tangan istrinya. Jemarinya mengusap kedua pipi Alya yang basah.

"Besok saja kita jenguk Raya sama-sama, ya? Sekarang kamu kirimkan dulu doa untuk Raya. Semoga Raya segera Allah angkat penyakitnya dan Allah ganti dengan pahala kebaikan atas sakit yang menimpanya."

Alya mengangguk kecil dengan kepala menunduk. Rasanya memang kurang tepat jika ia ingin berkunjung malam-malam. Lebih baik esok, setelah Althaf pulang dari kantornya.

鹿鹿鹿

Bi Ira membuka pintu ruang rawat Arraya dengan perlahan. Wanita paruh baya itu sudah dipersilahkan menjenguk oleh kedua orangtua Raya.

Bi Ira mendekati ranjang Raya. Sore ini, gadis itu masih tetap memejamkan matanya. Dapat Bi Ira lihat, kalau wajah Raya memang terlihat tirus dan sangat pucat. Seolah tak ada kehidupan dalam raga yang berbaring itu. Bi Ira menyeka sudut matanya yang basah.

Tangannya bergerak menyentuh jemari Raya yang panas.

"Non Raya... Bangun Non, Bibi di sini jenguk Non Raya..." suara Bi Ira semakin terdengar parau. Ia tidak tega melihat Raya yang sudah ia anggap anak sendiri pucat dan lemas di atas tempat tidur.

"Bibi bawakan Non bubur ayam yang Non suka... Nanti kalau Non Raya sudah bangun, Non harus banyak makan ya. Biar cepat sehat..."

"Non Raya...." tangis Bi Ira pecah.

"Bibi?" lirih suara pelan itu terdengar menyapu gendang telinga Bi Ira. Bi Ira terkesiap. Ia mendapati kelopak mata Raya yang bergetar ingin terbuka.

"Non Raya?!"

Kedua mata Raya akhirnya terbuka perlahan. Ia menolehkan kepalanya dengan gerakan lambat. Tidurnya jadi terganggu karena suara tangis Bi Ira yang cukup kencang.

"Bibi berisik," sindir Raya jenaka. Walau wajah gadis itu terlihat pucat, Raya tetap bisa mengendalikan situasi agar tak terlalu terasa menyedihkan. Lagi pula ia memang hanya drop saja. Tapi entah mengapa, demamnya itu tidak kunjung turun jua, padahal ia sudah 2 malam berada di rumah sakit.

Bi Ira terkekeh lirih. "Apakah Non Raya baik-baik saja? Non kenapa bisa ada di rumah sakit?"

Bi Ira melihat bibir Raya membentuk bulan sabit yang tipis dan kecil. "Raya nggak papa, Bi. Raya baik-baik aja."

Bi Ira kembali menangis. Seperti anak kecil yang kehilangan permennya. Raya jadi tersenyum melihat wanita paruh baya itu. Walaupun ia baru mengenal Bi Ira dalam kurun satu bulan lebih, ia sudah bisa akrab dengan Bi Ira. Bi Ira adalah wanita yang baik, ramah, sopan, dan selalu memperhatikannya. Bi Ira sudah seperti ibu keduanya saat jauh dari ibu kandungnya.

"Bibi khawatir sama Non Raya... Bibi takut Non Raya kenapa-napa..."

Senyum Raya tercetak lebih lebar. "Bibi lihat sendiri kan, Raya baik-baik saja, Bi." Mata Raya bergerak ke sekitar Bi Ira. Mencari seseorang yang ia harapkan berada di ruangan yang sama dengannya saat ini.

"Mas Adnan ... Bagaimana kabar Mas Adnan, Bi?"

Bi Ira terkejut. Bukan karena bingung menjawab, tapi karena ia kaget mendengar pertanyaan Raya yang menanyakan kabar Adnan di saat gadis itu lebih banyak merasakan sakit.

"Den Adnan kabarnya baik, Non." Napas Bi Ira tercekat. Ia menahan tangisnya untuk Arraya.

Arraya tersenyum lega. Matanya menghangat, seiring air mata yang tak kuasa ia tahan saat mendengar kabar kalau Adnan baik-baik saja.

"Alhamdulillah, kalau Mas Adnan baik-baik saja, Bi." Arraya tetap mempertahankan senyum di bibirnya. Walau air mata terus terjatuh dari sudut matanya, senyum tak urung hilang. Mendengar kabar Adnan baik-baik saja, sudah cukup mengurai rindu yang menggelora dalam dada.

Bi Ira membekap bibirnya. Hatinya patah menyaksikan ketegaran Arraya dalam menghadapi Adnan.

Arraya tidak tahu, bahwa di luar pintu ada Alya yang berdiri sambil membekap erat mulutnya. Alya menahan isak tangisnya. Setelah mendengar semua cerita dari Maya, mama kandung Raya, Alya merasa hatinya ikut sakit. Ia tak menyangka jika sahabatnya akan mengalami hal menyakitkan seperti itu. Terlebih Alya tak pernah menyangka jika yang membuat sahabatnya sakit hati adalah kakak seniornya sendiri, Adnan.

鹿鹿鹿

Adnan terus menekan tombol remote televisi di tangannya. Berulang kali ia mengubah chanel, tak jua menemukan tayangan yang ia inginkan. Semuanya terasa membosankan sehingga jadi menyebalkan.

"Assalamu'alaikum," suara salam dari arah pintu membuat Adnan menolehkan kepalanya.

"Wa'alaikumsalam," jawabnya pelan. "Bi Ira?" panggilnya, karena sosok yang mengucapkan salam itu tak kunjung terlihat. Ia menghela napas lega begitu melihat Bi Ira memasuki ruang tamu.

"Bibi habis dari mana saja? Saya telepon berkali-kali kenapa tidak diangkat?"

Langkah kaki Bi Ira terhenti. Ia diam sejenak di tempatnya. Langkahnya lunglai dan tak bersemangat. Bi Ira menoleh dan menatap Adnan dengan tatapan sayu.

"Bibi habis jenguk Non Raya, Den."

"Jenguk Raya?" ulang Adnan yang seakan salah dengar.

"Iya, Den. Bibi habis jenguk Non Raya. Maaf, soalnya Bibi sudah kangen berat dengan Non Raya. Bibi juga khawatir sama Non Raya."

Adnan hanya diam tak merespon. Tangannya mengambang meremas remote di tangannya.

"Tadi, Non Raya menanyakan kabar Aden. Saat Bibi mengatakan kalau Aden baik-baik saja, Non Raya menangis. Tapi Non Raya menangis sambil tersenyum. Katanya, Non Raya senang jika Aden baik-baik saja."

Adnan berdiri tiba-tiba. Jantungnya berdetak dengan cepat. Ia tiba-tiba tidak mengerti akan dirinya sendiri. Setiap Bi Ira menyebutkan nama Arraya, atau setiap ia memikirkan gadis itu, maka jantungnya akan berulah.

"Semoga dia bisa segera baik-baik saja." Adnan langsung mengambil langkah. Ingin menjauhi Bi Ira agar tak mendengar apa pun lagi tentang Arraya.

"Bibi akan sangat bersyukur jika Den Adnan setidaknya mau menjenguk Non Raya." Kaki Adnan mendadak berhenti tanpa dipaksa.

"Non Raya pasti akan senang melihat Aden menjenguknya. Setidaknya, berikan dukungan dan doa pada Non Raya agar dia bisa segera pulih. Sama seperti saat Aden sakit, Non Raya selalu berada di sisi Aden dan mendoakan Aden."

"Bi..." Adnan ingin Bi Ira berhenti.

"Kalau Den Adnan sayang sama Mama Den Adnan, Aden pasti tidak akan memperlakukan Non Raya seperti ini. Sungguh, Aden akan menyesal kalau kehilangan istri seperti Non Raya."

"Hentikan, Bi." Ujar Adnan dengan nada memohon. "Hentikan semua omong kosong itu. Saya ngantuk, mau istirahat." Adnan langsung bergegas cepat. Bi Ira menatap punggung Adnan dengan tatapan sedih.

Adnan masuk ke dalam kamar dan mengunci rapat pintu kamarnya. Ia langsung duduk di tepi ranjang. Menjambak rambutnya karena kepalanya yang berdenyut seketika.

"Kak Adnan setelah lulus nanti, mau kerja di mana?" tanya Raya yang saat itu berdiri di dekat Adnan setelah lelaki itu sah di wisuda.

"Belum tau, Ra." Jawab Adnan jujur. Ia menoleh dan tersenyum manis pada Raya. Raya adalah sahabat dari Alya, perempuan yang ia sukai. Maka itu, Raya sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.

"Karena Kakak pintar, Kakak pasti bisa jadi orang yang sukses dan hebat." Raya menatap Adnan dengan senyum mengembangnya.

"Makasih ya, Ra. Kamu juga semangat ngerjain skripsinya."

"Pasti dong, Kak. Aku sama Alya selalu kejar setoran bimbingan sama Pak Alex."

Adnan tertawa. Melihat Adnan tertawa, Raya jadi ikut tertawa. Gadis itu bersyukur, bisa terus berada di dekat Adnan dengan menyimpan perasaannya seorang diri serapat mungkin. Jika dengan status kakak-adik tingkat saja sudah bisa membuatnya akrab dengan Adnan, Raya tak masalah.

Adnan menggeram. Ia terus menjambak rambutnya, memaksa kepalanya untuk jangan lagi memikirkan Arraya. Tapi yang ada, semakin dipaksa melupakan, ia malah akan terus teringat tentang Raya.

"Aku bahkan tidak pernah meminta Mas Adnan untuk mencintaiku, tapi bisakah kamu berhenti menyalahkan perasaanku?"

"Mulai detik ini mungkin aku akan menyerah. Di mataku saat ini, kamu bukanlah lagi lelaki yang pernah aku cintai dulu, kemarin dan dua menit sebelumnya. Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan. Aku pasrah, dan menyerahkan semuanya sama Allah."

Adnan masih ingat bagaimana perdebatannya dengan Raya kembali terjadi setelah ia siuman. Saat itu ia membentak Raya, menyalahkan perasaan Raya, dan menatap Raya penuh kebencian. Yang ada di pikirannya, hanya Raya seorang yang salah, dan gadis itu juga yang harus bertanggungjawab pada semuanya.

Adnan sadar, bahwa saat itu ia memang menyakiti gadis itu. Tapi memang itu yang ingin Adnan lakukan. Ia ingin gadis itu sakit hati dan pada akhirnya menyerah.

"Kakak bahagia?"

Adnan kembali teringat pada pertanyaan yang pernah diajukan oleh Raya saat di rumah sakit. Saat di mana ia mengalami kejadian tak terduga bersama dengan Alya, Althaf, dan perempuan masa lalu Althaf.

Saat ditanya pertanyaan itu oleh Raya, Adnan menerawang mata hitam milik Raya. Mencari maksud sebenarnya dari pertanyaan gadis itu. "Apa kelihatannya aku murung dan nggak bahagia?"

"Ah, bukan gitu maksud Raya. Maksud Raya...itu...karena-"

"Aku bisa bahagia kalau melihat orang yang aku cintai bahagia."

Kalimat Adnan langsung membuat tenggorokan Raya terasa tercekat. Kini Adnan benar-benar mengatakannya dengan jujur bahwa ia memang mencintai Alya.

"Mengalami serangkaian naskah Allah hari ini membuat aku sebenarnya yakin, bahwa sebenarnya aku memang tidak ditakdirkan bersama dengan Alya. Aku tidak bisa menafikkan fakta bahwa Althaf memang benar-benar mencintai Alya."

Raya terdiam. Tergugu ingin mendengarkan semua kelanjutan ungkapan perasaan Adnan.

"Kebahagiaan tak melulu selalu mengiringi hidup kita. Jika kita melihat orang lain bahagia, maka sudah sepantasnya kita ikut merasa bahagia. Karena kebahagiaan untuk kita sendiri, pasti akan Allah kasih ketika kita mau bersikap sabar dan ikhlas. Yakin bahwa yang digariskan oleh-Nya adalah yang paling tepat. Dan Dia tau mana yang baik dan buruk untuk kita."

Raya menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum. Ia tak menyangka kalimat seperti itu akan terucap dari bibir Adnan. Secepat itu seorang Adnan mampu bersikap ikhlas.

"Kakak orang yang baik. Suatu saat Kakak pasti akan mendapatkan seseorang yang solehah, dan baik hati. Perempuan yang akan mencintai Kakak dengan tulus sepenuh hati."

Adnan refleks menoleh. Menemukan mata terang milik Raya menatapnya penuh binar. Gadis itu tersenyum, lalu memalingkan wajahnya menatap langit. Adnan pun ikut memalingkan wajahnya menatap langit. Ia tersenyum, mengamini doa Raya dalam hati.

Adnan merasakan matanya menghangat. Ia baru sadar jika ia merasa sedih dan akhirnya meneteskan air mata.

Entah apa yang ia rasakan kini, yang jelas ia begitu merasa sedih. Mengingat segala hal tentang Raya membuat hatinya sakit. Ia merasakan sesak menjalar memenuhi rongga dadanya.

Dulu, ia bisa mengatakan soal mengikhlaskan dengan mudahnya pada Raya. Dulu, ia bisa mengatakan soal kebahagiaan yang sesungguhnya pada Raya. Dulu, ia bisa mengatakan bahwa Tuhan adalah yang paling tahu baik dan buruk hidup masa depan hamba-Nya.

Tapi kenapa semuanya tak berlaku lagi saat ini. Kenapa ia tidak bisa bersikap ikhlas dan sabar seperti yang pernah ia sampaikan pada Raya dahulu?

"Kakak orang yang baik. Suatu saat Kakak pasti akan mendapatkan seseorang yang solehah, dan baik hati. Perempuan yang akan mencintai Kakak dengan tulus sepenuh hati."

Apakah Arraya masih menganggapnya orang baik? Apakah setelah semua yang ia lakukan ia masih bisa dikatakan baik? Apakah jawaban atas doa Raya dan aminan doanya malam itu, adalah Arraya Kirania sendiri? Apakah Arraya Kirania adalah jawaban Tuhan atas ikhlasnya dulu merelakan Alya?

Perasaan memang terkadang terlalu tabu untuk dipahami. Sama seperti Adnan yang tak kunjung memahami isi dan kemauan hatinya.

鹿鹿鹿

To be Continued•

Jazakumullah ya Khair

Komentar