7. Pernikahan dan cintanya

"Kebohongan akan membawamu kepada kebohongan berikutnya, lalu kamu akan terbiasa berbohong, hingga kamu menjadi pembohong. Pembohong yang membuat semuanya hancur."

🍁🍁🍁

"Aku telah jatuh cinta kepadamu, disaat kamu menjabat tangan ayahku dan mengucapkan namaku dengan disaksikan oleh sang pemeberi cinta 'Allah'"

-Cinta Dalam Luka-

🍁🍁🍁

Pagi-pagi sekali Khalisa bangun, sangat senang menyambut hari ini hingga hari berikutnya, selamanya. Khalisa ingin senyum terus terukir bersama kekasih halalnya. Rasa cinta itu cepat sekali tumbuh dihatinya, dan semoga dia juga sama halnya.

Kemarin menjadi hari yang melelahkan, Khalisa bersama Alif pindah rumah tak jauh dari tempat kerja Alif. Dua minggu umur pernikahan mereka, semuanya berjalan baik, hari-hari indah penuh keajaiban ia temui tiap hari, jika memandangnya tersenyumlah hati, semoga Allah meridhoi semuanya.

Rumahnya sekarang cukup luas, jika hanya untuk mereka berdua.

"Rumah ini akan ramai, dik Khalisa. Sebentar lagi." Alif tersenyum merangkul tubuh Khalisa, saat mereka baru sampai masuk ke dalam rumah baru.

"Memang siapa yang akan datang, Mas?" Khalisa menatap Alif yang tersenyum.

"Buah hati kita, sayang." Senyun Alif dengan lembut ia kecup kening Khalisa sebelum beranjak pergi.

Khalisa terpaku diam sesaat, suaminya sangat pandai merayu. Tak bisa ditutupi pipi gadis itu bersemu merah malu. Tanpa sadar tangannya mengelus perut datarnya tersenyum.

Perasaan bahagia itu kembali menyampa saat mengingat kembali, tercatat mereka berdua telah menepati rumah itu selama tujuh hari.

"Masak apa?" Pria itu memeluk Khalisa dari belakang meletakan kepalanya dibahu sang istri. Menggodanya sesekali. Gadis itu tersenyum, satu kecupan manis mendarat dipipi Khalisa berseri-seri wajah itu.

"Mas, aku lagi masak. Jangan ganggu terus."

Alif melepaskan pelukannya masih tersenyum, duduk disalah satu kursi meja makan. Tak lama itu hidangan makan tersedia, dengan telaten Khalisa melayani suaminya, keduanya saling tersenyum.

Lima belas menit berlalu dimeja makan diisi dengan pembicaraan ringan.

"Aku pergi dulu ya." Satu kecupan manis mendarat dikening Khalisa. "Assalamualaikum."

Khalisa tersenyum menyalimi pundak tangan sang suami mencium dengan khidmat penuh cinta.

"Waalaikumsalam. Hati-hati mas."

Alif tersenyum seraya mengangguk. Langkahnya segera berjalan memasuki mobil. Tak lama dari itu mobil milik Alif telah hilang, Khalisa tersenyum setelahnya masuk kembali kerumah, istana yang indah.

"Ya Allah, berkahi pernikahan kami. Tumbuhkanlah rasa cinta kepadaku dan kepadanya yang banyak. Jagalah selalu pernikahan kami."

"Aku mencintaimu, Mas."

*****

Ramai orang berlalu lalang diluar cafe yang ia kunjungi sekarang. Sudah biasa rasanya saat gadis itu selalu menjadi sorot mata setiap keluar rumah. Dinegara yang tempat ia menimba ilmu sekarang bermayoritas non muslim. Tak heran jika gadis itu menjadi sorotan, karena pakaiannya yang sangat berbeda, menggunakan ghamis dan khimar panjang hingga menutupi dada.

Perempuan itu tersenyum menatap layar ponselnya, memperlihatkan pria dan wanita bersanding tersenyum dikamera terlihat bahagia.  Dua insan itu disatukan dalam mahligai pernikahan, baju pengantin melekat ditubuh mereka. Ingin rasanya Asiyah menghubungi Alif yang jauh disana menanyakan kabar, namun urung saat rasa ragu dan gengsi mengalahkan niatnya. Lagipula rasanya tak sopan kiranya menghubungi seorang pria apalagi telah berumah tangga, takut berujung fitnah.

"Kamu menangis, Aisyah?" tanya seorang wanita disebrangnya menggunakan bahasa inggris.

Aisyah menatap teman sekamarnya yang berbeda agama. Alice menyeruput kopi miliknya.

"Aku tak menangis."

"Jika air mata keluar, apa itu tidak disebut dengan menangis?" kembali Alice bertanya.

Aisyah tersenyum, tak mejawab.

Inikah wanita yang kamu cintai, dia sangat cantik. Dia lebih terlihat seorang malaikat sungguh dia sangat pantas bersamamu.

"Ini pria yang bernama Alif?"

Aisyah menatap Alice yang tetap fokus melihat gambar di layar ponsel Aisyah.

"Iya dia Alif."

"Sepertinya dia orang yang baik. Siapa disampingnya ini?"

"Dia istrinya."

Alice memundurkan wajahnya menatap Aisyah sangat lekat.

"Jadi, ini yang membuat kamu menangis, Aisyah?" tanya Alice namun Aisyah tetap memilih diam.

"Kamu mencintainya." Sambung Alice.

"Pria itu mirip dengan Fathur."

"Mirip?"

"Fathur lelaki baik sama seperti Alif. Tidakkah ada niatan buat kamu mencintai Fathur, kurasa Fathur menyukaimu Aisyah."

Aisyah terkekeh mendengarnya, bagaimana bisa orang sebaik Fathur yang agamanya sangat terjaga bisa mencintai dirinya yang baru saja melewati start untuk berhijrah, salat saja mungkin dirinya masih banyak salah. Maka rasanya sungguh tidak mungkin seorang Fathur mencintai Aisyah, seorang gadis yang jauh dari kata sempurna.

"Fathur tidak akan mungkin jatuh cinta denganku, Alice."

*****

Alif terdiam cukup lama saat diajukan pertanyaan yang sungguh dia tidak akan mampu menjawabnya meski sesungguhnya jawaban itu hanya beberapa kata saja, Ya atau Tidak.

"Apa kau mencintainya?" Adam kembali bertanya, entah sudah berapa kali Adam mempertanyakan itu.

Alif kembali menghela nafas panjang.

"Jawab, Lif!"

Alif menggeleng lemah.

Bergantian, kini Adam yang menghela nafas panjang. "Apa selama dua minggu itu tidak cukup untuk kamu, agar berhenti mencintai kembarannya?"

"Kamu harus segera melupakannya Alif."

"Aku bodoh, Dam. Kenapa aku menerima perjodohan itu, aku bodoh! Menikahi orang yang salah. Kenapa aku tidak tahu nama panjang darinya, yang aku tahu dia hanya memiliki nama Nayyara. Nayyara dengan satu orang saja bukan dua."

"Ini semua adalah kehendak Allah, Alif. Kamu harus menerimanya."

"Cinta memang bisa datang dalam sekejap, lalu bertahta lebih lama. Tapi sekarang hal itu tidak berlaku untukmu, kamu harus melupakan Nayyara-mu."

"Melupakan tak semudah mencintai, Dam. Aku tidak bisa mencintainya. Perlakuan lembut yang kuberikan padanya semata-mata karena dia adalah istriku, tak lebih. Aku harus apa? Aku ingin Nayyara, bukan kembarannya."

Adam menghela nafas panjang.

"Jika kamu bisa mencintai Nayyara maka kamu juga bisa melupakannya. Sebaliknya jika kamu tidak mencintai Khalisa maka suatu saat nanti kamu akan bisa mencintainya. Ini pernikahan, Alif. Tak seperti pacaran jika salah pilih pasangan langsung putus. Ini berbeda. Ingat dosa, kamu memikirkan Nayyara saja sudah sangat berdosa apalagi sampai mencintainya, jangan menjadi orang yang dibenci Allah. Mana agamamu selama ini, Alif. Jangan sampai kamu kehilangan akal karena nafsu cinta yang besar."

Alif mengacak rambutnya frustasi. Sungguh dia tidak ingin berbohong, apalagi sekarang semuanya sudah berbeda, tak mungkin Alif harus selalu berbohong selama pernikahannya berpura-pura mencintai Khalisa pada kenyataannya tidak.

"Dulu kamu, mengajarkan padaku agar tak berbohong. Tapi sekarang disetiap harimu kamu selalu berbohong. Kamu menasihati seakan sudah benar kala itu agar tak terjebak dalam cinta, tapi nyatanya kamu sendiri terjebak. Boleh ku katakan bahwa kau munafik?"

Alif terdiam menatap Adam sepertinya pria yang ada dihadapannya sangat emosi padanya, yang pengecut. Alif tak melawan semua yang dikatakan Adam sangatlah benar, dia memang munafik!

"Khalisa sangatlah baik. Dia istri yang sholehah, jangan kau sakiti dia. Jika kau tak bisa mencintainya lepaskan saja dia." Adam berkata tegas.

Alif tertugun mendengar kata melepaskan keluar begitu saja tanpa beban dari sahabatnya. "Ma-maksud kamu apa?"

"Kau bukan orang bodoh apalagi anak kecil. Kau pasti sangat tahu kemana arah pembicaraanku, tuan Alif. Semakin kau menipunya maka semakin banyak luka yang akan kau torehkan untuknya." Ucap Adam terdengar serius. "Cepat atau lambat dia akan tahu kebenarannya."

"Ada apa denganmu, Adam?" tanya Alif heran. "Apa kamu memiliki masalah, jika iya ceritakanlah."

"Aku?" Adam terkekeh menatap remeh kearah Alif. "Kamu yang memiliki masalah, Alif."

Alif terpaku. Dia menatap tak percaya kearah sahabatnya yang sudah mulai pergi meninggalkannya sendiri didalam ruangan ber AC itu. Adam terlihat berbeda sangat berbeda. Ada apa dengan Adam?

*****

Kembali Alif terdiam. Sudah Alif tebak istrinya pasti akan menanyakan hal itu. Apa mas mencintaiku? Dengan rasa yang tak tahu. Alif hanya mampu terdiam.

Diruang tamu, sepasang kekasih itu saling bercerita, begitu hangat. Hingga pembicaraan itu terhenti ditopik yang sangat diinginkan Khalisa namun tidak diinginkan oleh Alif. Sungguh Alif selalu menghindari topik itu. Tapi malam itu, tak bisa lagi dicegah oleh Alif.

"Aku senang, Allah mempertemukan kita dalam satu hal yang indah. Aku sungguh bersyukur, Mas." Khalisa merebahkan kepalanya didada sang suami.

Alif menatap Khalisa matanya sungguh teduh bibirnya tersenyum.

"Aku juga sayang." Tangannya terulur mengusap pucuk kepala Khalisa.

"Mas boleh aku bertanya?"

Alif mengangguk, tangannya masih terus membelai pucuk kepala sang istri. Khalisa sangat senang.

"Kenapa hari itu tanpa ragu, Mas mau menjadikanku istri. Padahalkan kita tidak saling kenal sebelumnya. Apa yang membuat Mas yakin?"

Alif menghentikan gerakannya, merubah posisi tubuhnya sedikit menjauh. Khalisa menatap bingung.

"Mas, kamu kenapa?" Khalisa bertanya khawatir.

"Tak apa sayang." Ucap Alif, "kemarilah." Perintah Alif lembut agar Khalisa mendekat lagi. Khalisa mengangguk sedikit ragu, lalu ia kembali bersandar di dada bidang milik sang suami.

Maafkan aku Khalisa

Alif berkata dalam hati. Ia mencium pucuk kepala Khalisa.

"Aku mencintaimu, Mas."

Alif memejamkan matanya. "Mas tahu itu sayang."

Khalisa tersenyum, pipinya memerah menahan malu. Tak menyangka ia mengatakan cinta lebih dulu. Sedikit ragu Khalisa mendongakan kepalanya menatap Alif lebih dekat. Cukup lama mereka saling menatap.

"Apa Mas mencintaiku juga?" tanya Khalisa. Tak sabar gadis itu menunggu jawaban iya dari sang suami.

Alif terdiam, jantungnya berdetak sangat cepat. Bibirnya kelu berucap. Perlahan ia melepaskan pelukanya lantas menatap Khalisa yang terdiam bingung apa yang terjadi. Tanpa mengatakan sepatah katapun tanpa memberikan senyuman atau anggukan, Alif pergi melangkah meninggalkan Khalisa.

Mata gadis itu mulai berkaca, siapa kapan saja air mata itu turun. Khalisa tertunduk meremas gamisnya menahan isakan tangis. Suaminya masih tak mencintainya. Khalisa harus menerima itu.

"Aku mencintaimu Nayyara." Ucap Alif diambang tangga.

Khalisa mendongakkan kepalanya, bibirnya menyunggingkan senyuman yang begitu tulus, dengan cepat ia menatap sang suami.

"Katakan sekali lagi, Mas." Pinta Khalisa manja.

"Aku mencintaimu Nayyara." Ulang Alif tersenyum. Lalu tubuhnya berbalik, langkahnya kembali berjalan ke atas meninggalkan Khalisa yang sangat bahagia.

Alif bisa melihat kebahagian itu dari atas, pria itu menunduk, menatap dengan tatapan terluka.

Maafkan aku Khalisa. Aku belum bisa mencintaimu. Aku masih mencintai Khaila Nayyara kakakmu bukan Khalisa Nayyara dirimu.

Ya Allah berapa banyak lagi kebohongan akan tercipta dariku. Maafkan aku.

Komentar