31 | Bagaimana Jika?

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Adnan mengerjapkan matanya saat mendengarkan suara alarm ponsel berdering dengan saura yang cukup nyaring. Matanya yang terbuka sedikit itu mencoba meraih ponsel miliknya yang ada di atas nakas. Alarm berbunyi pada pukul 3. Percaya atau tidak, Adnan mulai mencoba membiasakan diri untuk solat tahajud seperti istrinya. Karena Arraya sering terbangun di antara pukul 3-4, maka Adnan juga tak mau kalah baik, ia berusaha untuk memasang alarm pada jam 3 dengan harapan ia akan bangun dan tahajud bersama Arraya.

Saat Adnan ingin terbangun, ia malah baru sadar jika ada tangan yang melingkar di atas pinggangnya. Adnan menoleh, tersenyum menatap wajah istrinya yang masih terlelap memeluknya. Rasanya masih tidak bisa dipercaya. Semalam mereka sudah melakukan hubungan suami istri. Pengalaman yang tak akan pernah terlupakan untuknya maupun untuk Arraya.

Adnan mengintip ke dalam selimut putih. Wajahnya sontak memerah karena tubuh Arraya yang masih polos sama seperti dirinya. Hanya selimut putih yang menutupi tubuh mereka berdua. Adnan kembali menutupi selimut itu hingga sebatas leher Arraya. berjaga-jaga agar Raya tidak kedinginan. Padahal semalam rasanya begitu panas dan gerah, tapi kini tubuhnya malah menggigil kedinginan karena suhu AC yang mencapai 16 derajat celcius.

Tangan besarnya meraih punggung Arraya. Membuat tubuhnya dan tubuh Arraya melekat seperti lem yang sulit dipisahkan. Adnan menatap kedua mata Arraya yang masih juga terpejam. Ia mengecup kedua mata itu secara bergantian. Mata yang semalam menitikkan air mata saat ia berusaha menerobos masuk ke dalam mahkota suci Arraya yang telah terjaga selama ini.

"Mas mencintaimu, Arraya..."

🥀🥀🥀

Pagi tadi, Raya sudah memulai hari dengan membersihkan diri atas bukti cinta dengan Adnan semalam sesaat ia terbangun karena Adnan. Saat Adnan bicara, atau saat Adnan menatap matanya, Arraya selalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Rasanya malah malu untuk menatap wajah suami tampannya itu. Kenangan semalam, justru membuat otak dan pikiran Arraya terus mengingat kejadian semalam. Makanya ia selalu tak mau menatap Adnan jika lelaki itu ingin bicara padanya.

Adnan juga jadi gemar menggoda Arraya. Semakin memerah wajah istrinya, maka Adnan jadi terus ingin menggoda Arraya.

Mencium aroma sedap dari luar kamarnya membuat hidung pria tampan itu terus mengendus dan beranjak segera dari kursi kerjanya menuju dapur. Bibir Adnan tersenyum saat melihat sosok istrinya sedang sibuk bersama Bi Ira di dapur.

Saat mata Adnan bertemu dengan Bi Ira, Adnan langsung memberikan intruksi tanpa suara agar Bi Ira segera pergi dari dapur. Ia meminta Bi Ira masuk ke dalam kamar dan diam di sana untuk beberapa saat.

Arraya memekik kaget saat kedua tangan besar memeluk dirinya secara tiba-tiba dari belakang. Dan saat orang itu juga mengecup pipi kanannya, Arraya langsung meneriaki nama Adnan.

Adnan terkekeh, "Kaget ya?" tanyanya jail.

Raya mendengus sebal. "Menurut Mas?"

Tawa Adnan kembali menyapa telinga Raya. Adnan memeluk Arraya dari belakang, meletakkan dagunya di atas bahu gadis itu, dan mencium aroma tubuh yang amat ia sukai itu.

"Mas jangan begini atuh. Aku kan lagi masak." Sebenarnya bukan karena merasa terganggu, hanya saja Arraya merasa merinding karena Adnan yang sejak tadi meniupkan udara kecil dari dalam mulutnya.

"Ra..." suara Adnan terdengar berat di telinganya.

"Hm?"

"Mau itu..." kini tangan Adnan malah merambat naik dan mengusap bahu milik Arraya. Membuat Arraya harus menahan napas karenanya.

"Mau apa?" Arraya masih mencoba untuk bersikap jernih.

"Itu..."

"Itu apa?"

"Yang semalam..."

Permintaan Adnan barusan sukses membuat Arraya sulit berpijak dengan kedua kakinya sendiri. Setelah mendapatkan jatah pertamanya tadi malam, kini Adnan sudah menagih jatah selanjutnya. Padahal nyeri di bagian tubuh bawahnya, masih Arraya rasakan.

"Nanti malam aja, Mas. Mas harus sarapan dulu–——Maass!!!" pekik Arraya saat Adnan langsung menggendong tubuhnya ala bridal style.

"Aku emang lapar, tapi maunya makan kamu aja."

🥀🥀🥀

"Ra, kamu bosen nggak?"

Arraya menaikkan sebelah alisnya. Ia menyingkirkan buku dari pandangannya lalu beralih menatap wajah suaminya dari bawah. Kini Arraya sedang bersantai di atas paha Adnan sambil membaca sebuah buku novel. Novel bernuansa islami yang mengisahkan tentang perjuangan seorang istri untuk membuat suaminya jatuh cinta. Membaca novel tersebut, Raya jadi mengingat kenangan silam antara dirinya dengan Adnan.

"Mas bosan?"

Adnan mengangguk semangat. Jemarinya memainkan surai hitam Arraya. "Nonton mau?"

"Nonton bioskop?" Adnan mengangguk lagi.

"Kok tumben ngajak nonton?"

"Aku justru belum pernah ngajak kamu nonton, Ra. Kita bahkan belum pernah jalan ke mana-mana."

Arraya tersenyum senang. "Boleh," jawabnya. "Jadi kita mau nonton apa hari ini?"

Adnan menaikkan kedua alisnya. Terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Apa aja yang ada. Ayo, lebih baik kita siap-siap untuk kencan!"

Arraya tertawa kala mendengar ucapan 'kencan' dari sang suami.

"Kencan?" ulang Raya.

Adnan mengangguk semangat. "Kita kan belum pernah kencan berdua," ucapnya sambil terkekeh. Ia langsung menarik tangan sang istri untuk segera bangkit berdiri.

Untuk kencan pertamanya, Adnan tampil santai dengan tetap mempertahankan penampilannya. Ia memilih polo shirt berwarna hitam dengan celana berwarna cokelat muda dan juga sepatu dan topi berwarna putih. Jam tangan hitam juga melingkari pergelangan tangannya. Tak lupa parfum ia semprotkan ke sekitar tubuhnya, menambah aura maskulin yang Adnan miliki.

Sementara itu, Adnan tak henti mengalihkan tatapannya dari wajah Arraya yang kini sedang bersiap di depan cermin. Bibirnya tersenyum kala melihat bagaimana Arraya yang tampak sedang memoles wajah.

"Mas jangan diliatin," keluh Raya dengan wajah malu-malu. Adnan tertawa, lantas semakin mendekati istrinya. Ia menopang tubuhnya dengan kedua lutut menempel lantai.

"Kamu jadi makin cantik kalau dandan, aku suka."

Yang dipuji bersemu malu-malu. "Kalau Mas nggak keberatan, aku akan tampil seperti ini juga di rumah. Hitung-hitung menyenangkan suami dan menambah pahala."

Adnan mengangguk semangat. "Boleh banget," kata Adnan sambil mengecup singkat pipi kanan Arraya. Dengan wajah merah merona, Arraya kembali melanjutkan dandanannya. Setelah menggunakan pelembab dan bedak tipis, Arraya mengambil lipbalm berwarna pink dengan rasa strawberry yang ia poles langsung ke permukan bibirnya.

"Itu apa namanya?"

"Lip balm, Mas."

"Ada rasanya?" alis Adnan terangkat sebelah.

"Ada, rasa strawberry."

"Oh ya?" Adnan semakin penasaran.

"Iya, Mas. Ini kan ada namanya---" kalimat yang hendak Arraya selesaikan mendadak terjeda karena Adnan yang maju dengan cepat meraup bibir Arraya dengan bibirnya.

"Oh iya, kamu bener. Ada rasa strawberry nya." Adnan menjauhkan wajahnya seraya mengusap sekitar bibir Arraya yang jadi sedikit basah karena ulahnya. Adnan terkekeh melihat ekspresi terkejut sang istri.

"Jangan kasih aku liat ekspresi kamu yang gemesin itu, aku jadi pengen nyosor lagi."

"Mas, ihh! Nyebelin!!" seru Raya saat telah menyadarkan dirinya. Karena Adnan, ia jadi harus mengulang dandanannya di area bibir. Tapi tak apa, ia justru menyukai sikap Adnan yang kini mulai berani. Tak ada lagi rasa canggung yang Adnan perlihatkan padanya. Kini yang Arraya lihat dari kedua mata Adnan adalah rasa sayang dan cinta yang tulus untuknya.

Setelah mereka berdua siap untuk pergi, Adnan terus menggandeng tangan sang istri keluar rumah hingga masuk dengan aman ke dalam mobil. Sepanjang mobilnya membelah jalan Jakarta siang ini, Adnan dan Arraya tak berhenti mengobrol. Mereka membicarakan kenangan kuliah mereka yang menyenangkan. Sesekali juga Adnan mencurhatkan betapa banyak pekerjaannya di kantor karena jabatan barunya yang tinggi itu.

Begitu bangunan mall terlihat, Adnan sudah tersenyum girang melihatnya. Membayangkan bagaimana kencan pertamanya dengan Raya akan berjalan lancar membuatnya kelewat excited.

Arraya ikut senang jika melihat suaminya bahagia. Perlakuan Adnan yang manis ini membuatnya juga tak ragu membalas genggaman tangan Adnan. Kedua tangan yang kian mengerat dan tak mau saling lepas.

"Kamu mau nonton film apa?" tanya Adnan ketika mereka sedang berada dalam antrian membeli tiket film bioskop.

"Yang itu!" Arraya menunjuk salah satu poster film yang sedang tayang.

"Oke. Kamu tunggu sambil duduk di sana aja ya, biar aku yang ngantri untuk beli tiketnya." Arraya tersenyum seraya mengangguk. Dengan senang hati ia duduk di salah satu sofa panjang yang memang disediakan di dalam bioskop. Tak lama setelahnya, Adnan datang dengan membawa satu popcorn dan juga lemon tea berukuran besar. Tak lupa dua tiket yang ia masukkan ke dalam sakunya.

"Untung kita datengnya nggak terlalu siang, jadinya kita cuma nunggu lima belas menit lagi." Arraya hanya mengangguk kecil. Menunggu satu jam pun tak masalah untuknya jika bersama seseorang yang ia cintai.

Selagi menunggu pintu teater dua dibuka, Adnan mengajak Arraya untuk berselfie ria. Awalnya Raya menolak karena malu banyak orang. Raya juga tidak menyangka jika Adnan akan senarsis itu mengajaknya selfie bersama.

"Malu, Mas..."

"Ih, kenapa malu? Kan yang pegang hapenya aku."

"Banyak orang," cicit Raya. Wajahnya ia sembunyikan dibalik bahu Adnan, membuat Adnan tertawa geli karena tingkahnya.

"Ih, gemesin banget sih!" Adnan menghadiahi cubitan gemas di kedua pipi Arraya. Membuat jejak kemerahan di sana yang juga menimbulkan ringisan dari si pemilik pipi.

"Sakit, Mas!"

"Makanya jangan gemesin!" Adnan kembali tertawa, sedangkan Raya mengerucutkan bibirnya maju.

"Jangan dimajuin gitu kalau nggak mau ada ikan yang nyosor." Adnan langsung mendapat pukulan di punggungnya setelah mengatakan satu kalimat itu.

"Mas, jangan bicara macam-macam kalau di tempat umum."

"Kalau lagi di kamar berarti boleh?" bisik Adnan sambil menaik turunkan alisnya, menggoda Arraya.

"Mas!!"

🥀🥀🥀

Baik Adnan maupun Arraya, keduanya sama-sama menikmati waktu bersama mereka di akhir pekan ini. Adnan juga tak mengurangi sedikitpun perhatiannya untuk Arraya.

Jangan tanyakan lagi, betapa bahagianya Raya hari ini. Setelah menonton bioskop, Adnan mengajak Raya makan siang, lalu jalan-jalan, pergi ke toko buku, lalu makan lagi, lalu mampir ke toko pakaian dan membeli beberapa pakaian baru untuknya juga Arraya.

"Udah malem, kiat pulang sekarang, Ra?" Adnan masih menggenggem jemari Raya di dalam kepalan tangannya yang besar.

Arraya menurut saja. Lagipula ia juga sudah lelah karena mengitari mall hampir seharian ini. Walau lelah, tetap tak sebanding dengan betapa senangnya ia hari ini. Rasanya ingin terus mengulang kebersamaan seperti hari ini setiap saat.

"Eh, Mas, aku ke toilet dulu deh ya. Mas tunggu di depan aja."

"Mau ditemenin?"

Arraya menggeleng atas tawaran Adnan. "Aku sendiri aja, Mas."

"Oke, hati-hati, ya. Jangan sampai tersesat."

Raya tertawa kecil mendengar guyonan Adnan. Ketika melihat Raya menuju toilet perempuan, Adnan memutuskan untuk menunggu sedikit lebih jauh dari toilet tersebut.

"Mas Adnan?!"

Seorang gadis dari arah berlawanan berlari kecil menghampiri Adnan. Tasya langsung bergelayut manja di lengan Adnan.

"Hai kamu.. kok bisa di sini?"

"Iya, diajak Steven ke sini."

"Yang kamu bilang pacar itu? Yang kamu bilang cinlok di tempat kerja?"

Tasya terkekeh malu. "Iya. Dan Mas tau, ternyata ayahnya Steven salah satu investor di perusahaan Mas."

"Oh ya?" Adnan mengangkat kedua alisnya. Meladeni cerita Tasya yang terlihat begitu antusias. "Terus di mana Steven sekarang?"

"Dia lagi ke toilet. Kebanyakan makan jadi sakit perut deh dia." Adnan tersenyum kecil mendengarnya.

"Kalau Mas ngapain di Mall jam segini? Tumben banget main ke Mall? Aku pikir orang sibuk kayak Mas cuma berkutat dengan rumah dan kantor aja."

Adnan tertawa. "Mas juga kencan, lah. Memangnya kamu doang yang bisa kencan, pacaran sama Stiven?"

"Kencan?" bingung Tasya. "Mas kencan dengan siapa? Bukannya Mba--" belum sempat Tasya melanjutkan kalimatnya, bertepatan dengan itu Raya datang dari belakang. "Mas..."

Adnan berbalik. Senyumnya langsung terlukis begitu melihat sang istri sedang berjalan menghampirinya.

"Udah selesai sayang?"

Arraya tersenyum hingga kedua matanya menyipit sempurna. Tapi begitu ia menyadari ada seseorang di belakang tubuh Adnan yang tampak begitu familiar dengannya, senyum yang terpancar di wajahnya berubah menjadi sedikit berbeda. Seperti senyum yang coba dipaksakan untuk tetap terpasang walau terlihat tak sempurna.

Berbeda halnya dengan Raya yang masih mencoba untuk tetap tersenyum. Senyum yang semula terukkir di wajah Tasya sontak menghilang berubah bingung saat menatap sosok Arraya. Keningnya semakin berkerut dalam saat melihat tangan Adnan yang menggenggam tangan Arraya.

"Mas kok bisa sama...." Tasya menggantung kata-katanya. Raut wajahnya berubah semakin kesal saat mendapati Arraya sedang tersenyum menatapnya.

"Iya dong. Kan tadi Mas sudah bilang, kalau Mas juga lagi kencan sama seperti kamu dan Stiven."

Tasya menggeleng kecil. Matanya gamang menatap kedua tangan yang saling terkait itu. "Lepasin tangan Mas Adnan! Apa-apaan sih sampe pegang-pegangan tangan segala!" Dengan kasarnya, Tasya langsung menarik lengan Arraya hingga membuat genggamannya di tangan Adnan terlepas dengan paksa. 

"Aww!!" pekik Arraya kesakitan karena cekalan tangan Tasya yang sangat kencang memegangi pergelangan tangannya saat ini.

"Tasya! Kamu kenapa sih kasar begitu?" Adnan kembali meraih tangan Arraya, mengusap bagian tangan yang tadi dikasari oleh Tasya.

"Dia drama, Mas! Baru digituin aja udah langsung kesakitan!"

"Drama gimana? Kamu memang menarik tangan Raya dengan kasar tadi."

"Dia nggak pantes Mas perlakukan kayak gitu! Dia bukan siapa-siapanya Mas!" mata Tasya nyalang menatap Arraya dengan penuh kebencian.

Adnan meringis mendengar suara Tasya yang tiba-tiba kencang. Beberapa orang yang masih berada di sekitar tempat itu tentu saja menjadikan ketiganya bahan perhatian juga pembicaraan. 

Adnan langsung menarik tangan Arrraya agar gadis itu berlindung di belakang tubuhnya. Ia sudah pernah berjanji, ia tidak mau Arraya tersakiti lagi. Ia sudah pernah berjanji kalau ia akan melindungi Arraya.

"Tasya berhentilah membenci Arraya. Mas sekarang sudah menerima Arraya seutuhnya, jadi tolong jaga sikap kamu dan berhentilah bersikap kurang sopan pada Arraya." Adnan membuka suara untuk menasehati Tasya dengan berusaha bicara selembut mugkin agar Tasya mengerti dan tidak marah lagi.

"Oh... Jadi sekarang Mas Adnan bela perempuan nggak jelas ini? Perempuan yang dengan nggak tau dirinya gantiin posisi Mba Afifah!" Tasya membalas ucapan Adnan dengan dagu naik ke atas. Ia tak juga menurunkan tatapan tajamnya untuk Arraya yang kini bersembunyi di belakang tubuh Adnan.

"Arraya tidak menggantikan posisi siapapun, Tasya. Mas menikahkan Arraya karena itu kewajiban Mas, dan Mas ingin kamu bisa berlaku baik kepada Arraya mulai saat ini."

"Dalam mimpi pun aku nggak akan sudi, Mas!"

"Tasya, sekarang Mas sudah sadar tidak seharusnya Mas bersikap tidak pantas pada Arraya dulu, dan sekarang Mas mencintai Arraya dengan tulus dan dengan sepenuh hati Mas, Tasya. Mas sangat menyayangi Arraya jadi Mas mohon kamu harus menerima Arraya sama seperti kamu menerima Afifah."

Mendengar penuturan Adnan yang terus membela juga malah mengutarakan kata cinta untuk Arraya, membuat Tasya semakin merasa geram hingga kedua tangannya terkepal erat.

"Lalu gimana dengan Mbak Afifah, Mas?" lirih Tasya. Ia menatap Adnan dengan tatapan tak percaya. "Apa Mas tega suatu saat nanti ketika Mba Afifah bangun, Mas malah melupakannya. Apa Mas pernah mikir gimana perasaan Mba Afifah?"

Adnan terdiam sesaat. Sudah punyakah ia jawaban atas pertanyaan Tasya barusan?

🥀🥀🥀

Maaf lama update ❤
Besok mau aku update lagi??
Ke depannya akan banyak kejutan, stay tune di sini ya ❤

Jangan lupa vote dan komen sebagai bentuk apresiasi kalian untuk cerita ini ❤

Jazakumullah ya Khair

Komentar