16. Bertemu Kembali

Sebuah kisah singkat dari cinta Aisyah dan Nabi Muhammad SAW❤

🌹🌹🌹

Aisyah binti Abu Bakar Asshiddiq adalah salah satu perempuan yang paling penting dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. Sejarah juga mencatat ia sebagai orang yang mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran ajaran-ajaran Islam.

Aisyah dikenal sebagai periwayat hadis terbesar pada masanya. Dia juga merupakan seorang yang cerdas, fasih, dan mempunyai ilmu bahasa yang tinggi. Ia dilahirkan di Makkah, sekitar tahun kedelapan sebelum Hijriah.

Ketika Khadijah meninggal dunia, Rasulullah merasa amat sedih. Saat tekanan kesedihan mereda, beliau sering mengunjungi rumah sahabat, termasuk Abu Bakar Ash-Shiddiq. Saat itu ia berkata, “Wahai Ummu Ruman, jagalah Aisyah anak perempuanmu itu dengan baik dan peliharalah dia.”

Karena pesan Rasulullah ini, Aisyah jadi punya kedudukan istimewa dalam keluarganya. Sejak Abu Bakar masuk Islam hingga masa hijrah, Rasulullah selalu mengunjungi rumah Abu Bakar dan keluarganya.

Hingga akhirnya Rasulullah pun menikahi Aisyah atas petunjuk Allah. Aisyah sudah memiliki garis takdir penting dalam perjalanan hidupnya dan Islam. 

Pernikahan ini terjadi di Makkah pada bulan Syawal, tiga tahun sebelum Hijrah. Pada saat itu, Aisyah berumur tujuh tahun. Rasulullah baru membangun bahtera rumah tangga dengan Aisyah ketika ia berumur sembilan tahun di Madinah pada bulan Syawal tahun pertama Hijrah. 

Rasulullah banyak mengajarkannya fiqih dan ilmu-ilmu tentang perempuan. Aisyah adalah seorang wanita yang paling beruntung yang dimilikinya dan paling dicintainya diantara istri-istri Rasul yang lain.

Saking cintanya Rasulullah SAW pada Aisyah, beliau mendoakannya dengan doa, “Ya Allah, ampunilah Aisyah dari dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, yang tersembunyi dan yang terlihat.”

Aisyah juga amat mencintai Rasulullah SAW. Namun, perjalanan mereka tidak selalu mulus. Banyak masalah, iri, cemburu, dan lainnya yang menghampiri mereka. Hingga pada suatu ketika, Nabi SAW datang padanya dan menawarkan perpisahan.

Rasulullah berkata, “Aku akan menawarkan padamu suatu perkara, kau tidak perlu terburu-buru untuk memutuskannya hingga kau berdiskusi dengan kedua orang tuamu.” Aisyah bertanya, “Tentang apa ini, ya Rasulullah?”

Kemudian Nabi Muhammad SAW membacakan ayat Alquran, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.” (QS Al-Ahzab: 28-29).

Aisyah berkata, “Lalu untuk apa kau menyuruhku berunding dengan kedua orang tuaku, padahal aku telah tahu. Demi Allah, kedua orang tuaku tidak akan menyuruhku untuk berpisah darimu. Bahkan aku telah memutuskan untuk memilih Allah, Rasul-Nya dan akhirat.” Rasulullah pun merasa gembira dan takjub dengan jawaban Aisyah. 

Kecintaan besar yang dinikmati Aisyah dari Nabi Muhammad SAW tentu saja merupakan faktor pemicu pada sebagian orang untuk merasa iri dan cemburu. Sehingga banyak yang melemparkan tuduhan pada wanita suci ini. Namun Allah selalu membebaskan dirinya dari segala tuduhan tersebut. Kedudukan Aisyah hingga kini tetaplah mulia. Rasulullah SAW pun tidak pernah berhenti mencintainya.

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik."
(QS Ali Imran: 14) 

🍁🍁🍁

"Kamu adalah orang yang membuatku gagal. Gagal dalam melupakan semua yang pernah ada anatara kita"

"Segala kepingan masa lalu yang pahit tetap terasa indah bagiku, karena didalamnya ada kamu."

-Cinta Dalam Luka-

🍁🍁🍁


Mengapa semua ini terjadi kepadaku

Tuhan maafkan diri ini
Yang tak pernah bisa menjauh dari angan tentangnya
Namun apalah daya ini
Bila ternyata sesungguhnya aku terlalu cinta dia

Sebuah kebetulan atau takdir, mereka kembali dipertemukan setelah lama berpisah. Keduanya saling menyimpan tanya namun enggan bertanya. Mereka berdua terlihat canggung. Sedaritadi hanya suara penyanyi dari cafe yang mereka kunjungi.

"Jadi udah satu bulan kamu disini?" Orang itu bertanya memecahkan keheningan.

"Iya." Gadis itu menjawab canggung.

"Apa kabar?"

"Alhamdulilah baik. Kamu gimana?"

Orang itu tersenyum tipis. "Masih sama seperti dulu."

Khaila mengeryitkan dahinya bingung, "maksudnya?"

"Mencintai kamu."

"Kuharap kamu bisa melupakan segalanya."

"Maunya sih gitu." Pria itu menarik senyum.

Khaila tersenyum melihatnya. Senyuman itu masih sama seperti dulu.

Dia Fariz lelaki yang pernah mengatakan cinta padanya saat SMA. Sekarang sudah berlalu lima tahun dan mereka dipertemukan kembali. Dengan rasa yang tidak berubah. Pria itu masih mencintai Khaila, dan Khaila masih menganggap Fariz hanya sebatas teman tidak lebih.

Sebenarnya Fariz adalah pria yang cukup sempurna, dia tampan, berkecukupan, dan sholeh. Segala hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya dari pria itu dilakukannya saat mengenal Khaila gadis yang telah memikat hatinya dengan kelembutan, dan ketaatannya pada Allah yang mempesona di hati Fariz. Pria itu mulai menunjukkan rasa sukanya, dia memulainya dengan menjadi seorang teman, selalu ada setiap waktu, lalu mereka terlihat akrab.

Fariz tak pernah mengatakan rasa sukanya. Namun siapa saja yang melihat tingkah Fariz mereka semua sudah tahu, bahwa laki-laki itu sedang jatuh cinta. Mereka tak heran jika laki-laki itu menyukai Khaila karena gadis itu memang terjaga, cantik dan sholehah. Terbesit ingin dihati mereka saat melihat Khaila. Ingin ada diposisi Khaila. Gadis cantik, sholehah, dan dicintai begitu rupa oleh Fariz. Mereka berpikir sederhana bahwa hidup Khaila sangatlah sempurna.

Hingga saat hari kelulusan pria itu memberanikan dirinya. Melamar gadis itu.

Lima tahun yang lalu. Hari kelulusan.

Fariz menyimpan sebuah benda berwarna merah itu di saku celananya. Ada sebuah cincin disana.  Pandangannya menatap disekitaran lapangan. Mencari sosok yang ingin ia temui.

Pria itu menyimpitkan matanya, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Fariz kembali dibuat kagum akan ketaatan gadisnya. Bagaimana tidak hanya gadis itu yang tidak memakai polesan make up, tanpa lipstik apalagi bulu mata dan semua nama make up yang tidak diketahui pria itu. Khaila tidak memakainya, gadis itu tetap tampil sederhana, padahal hari ini adalah hari istimewa. Hari kelulusan dan kejutan lamaran.

Fariz berharap banyak semoga lamarannya diterima. Ia berharap cinta yang ia miliki juga dimiliki oleh Khaila.

Fariz menarik napas lalu menghembuskannya pelan, "bismillah."

Selang waktu lima menit. Semua pasang mata tersorot pada satu titik. Di atas panggung sudah ada seorang pria yang sangat familiar di sekolah mereka duduk gagah dengan suara yang indah. Pria itu melantunkan surat Ar-Rahman.

Semua mata dibuat terkagum mendengarnya. Siapapun yang menjadi pendamping hidup pria itu, sudah dipastikan perempuan yang mendampinginya sangat beruntung.

Lima belas menit berlalu, namun semua yang ada di lapangan seakan tersihir, tidak ada yang beranjak pergi. Mereka tetap setia mendengarkan dari awal sampai akhir.

Fariz menatap disekelilingnya ramai. Ia sekarang menjadi pusat perhatian. Pria itu sejenak menunduk. Ia menatap sangat jelas gadis yang dicintainya berdiri tersenyum melihatnya.

"Assalamualaikum semuanya, aku Fariz. Surah Ar-Rahman yang baru saja aku lantunkan adalah pembuka atas ketulusanku mencintai seseorang. Dan hari ini di depan kalian semua aku akan mengambil keputusan terindah." Jeda tiga detik, "kupikir bidadari itu ada untuk di dongeng saja, tapi ternyata aku keliru, bidadari itu ada, nyata, dan sekarang ada di bumi, bidadari itu adalah kamu. Kamu dengan segala  ketaatanmu pada Allah. Awalnya aku mengagumimu lalu aku jatuh cinta padamu. Kiranya sudah lama."

"Dan hari ini didepan kalian semua, akan kutunjukkan siapa bidadari itu." Fariz diam untuk beberapa detik, ia memerlukan oksigen untuk menenangkan dirinya yang tengah gugup, "dia ada disana." lanjutnya, mengarahkan jarinya menunjuk pada seorang gadis.

Sontak semua pasang mata mengarah pada yang ditunjuk Fariz.

Khaila menunduk malu. Dia kah bidadari yang dimaksudkannya tadi? Benar kah? Tiba-tiba saja gadis itu mendadak gugup, ia tak karuan rasa.

"Khaila Nayyara Zahabiya." Ucap Fariz begitu lantang.

"Anna uhibbuka fillah." Nada yang begitu tulus.

"Mau kah kamu beribadah bersamaku. Menyempurnakan agamaku dengan menikahimu. In Sya Allah aku akan membawamu bertemu Allah, Rassulullah disurga, kelak. In Sya Allah aku akan mencintaimu, bertanggung jawab atas dirimu, dan akan selalu menjagamu." Sambungnya lagi.

Semua orang dibuat terpana akan keberanian pria itu mengambil keputusan besar. Semua orang menjadi saksi atas keberanian Fariz dalam mengutarakan cintanya hari itu.

Fariz melamar Khaila dengan sebuah surah Ar-rahman. Itu sangat indah.

Perlahan namun pasti, Fariz telah turun dari panggung, dan Khaila sudah beridiri kikuk didepan Fariz. Mereka berdua dikelilingi. Semua orang mengabadikan momen itu dengan kamera ponsel. Wajah mereka berseri-seri ikut merasakan kebahagian.

Sorakan terima, terima, terima. Menggema dipendengaran Khaila. Gadis itu tidak tahu harus berbuat apa. Baginya ini terlalu mendadak.

"Khaila bagaimana?" Fariz bertanya.

"Katakan saja, apapun keputusanmu aku akan terima aku tidak akan memaksa." sambungnya dengan senyuman yang sangat menawan.

Khaila diam tidak menjawab. Sedetik kemudian ia menatap Fariz, ia bisa melihat ketulusan disana. Khaila bingung harus menjawab apa.

"Jika kita ditakdirkan bersama maka kita akan diikatkan dengan sebuah pernikahan oleh Allah, namun jika tidak kuharap kita bisa mengikhlaskannya tanpa terluka." Ucap Khaila begitu pelan, mungkin hanya Fariz saja yang mampu mendengarnya.

"Kamu laki-laki baik selama pertemanan kita, dan selama pertemanan itu aku tidak memasukan sebuah rasa yang kau punya. aku melihat sisi kuatmu di berbagai kesempatan, aku tahu kamu mempunyai hati yang kuat. Maafkan aku, jika jawabanku melukai hatimu, aku tidak bisa satu perahu bersamamu." Jujur Khaila. Setelah mengatakan itu gadis itu menunduk, air mata keluar begitu saja.

Khaila tidak ingin membuat orang lain terluka karenanya. Karena ia tahu bahwa saat terluka untuk menyembuhkannya sangat tidak mudah.

Fariz memejamkan matanya ia berusaha kuat untuk tidak menangis. Pria itu menghembuskan napas berat, setelahnya ia menatap gadis itu, kedua sudut bibirnya terangkat. Tersenyum sangat baik.

"Kamu tidak perlu merasa khawatir. Aku tidak apa. Aku suka dengan kejujuranmu." Ucap Fariz.

Khaila diam.

"Itu berarti perjuanganku dalam mendoakanmu pada Allah, akan terus berlanjut." Kata Fariz, "Allah maha membolak-balikkan hati, selama kamu belum terikat, aku akan terus berdoa pada Allah, semoga aku tidak salah dalam mencintai dan menjadikanmu bidadariku, suatu saat nanti, jika Allah ijinkan." Lanjutnya.

Khaila mendongakkan matanya. Ia tidak bisa berkata apa-apa. 

Gadis itu membentuk sebuah senyum, "assalamualaikum."

Khaila perlahan berjalan mundur, meninggalkan Fariz yang masih diam.

"Waalaikumsallam." Balas Fariz pelan. Ia sedang mengumpulkan kekuatan dihatinya. Pria itu membentuk sebuah senyum lagi.

Semua orang dibuat bingung, akan kepergian Khaila dan atas senyuman Fariz. Mereka tidak mendengar apa jawaban Khaila, gadis itu terlalu berkata pelan. Jadi lah mereka tidak tahu jawaban Khaila. Ya atau tidak.

Semua orang disana memunculkan pendapat mereka sendiri.

Menerima lamaran itu. Mereka berpikir atas perginya Khaila untuk pamit bahagia dan senyum Fariz barusan adalah bukti yang menguatkan bahwa lamarannya diterima. Lagipula lelaki se sholeh Fariz tidak mungkin ditolak, apalagi gadis itu adalah Khaila. Pikir mereka.

Menolak lamaran itu. Mereka melihat dari segi yang berbeda. Mereka berpikir atas kepergian Khaila barusan adalah penolakan halus yang berarti tidak, dan arti senyuman dari Fariz adalah senyuman untuk menutupi kesedihan dan juga kekecewaan. Itulah pikir mereka.

Kembali di dalam cafe

"Lagu yang dibawa penyanyi cafe tadi itu, kayaknya pas deh untuk aku. Yakan?" Fariz tersenyum meminta pendapat.

Sebuah lagu baru saja dinyanyikan. Rossa-Terlalu cinta.

Khaila tersenyum canggung.

"Bagaimana perasaanmu?"

"Maksudnya?" Khaila bertanya bingung.

"Tentang perasaan kamu, mungkin saja selama lima tahun ini kamu menemukan orang yang kamu cintai." Jelas Fariz.

Khaila tersenyum hambar, "tidak ada." Ia berkata spontan.

Fariz menyunggingkan senyumnya senang, "kalau sekarang aku akan berjuang terang-terangan buat dapetin kamu, gimana? Kamu izinin?"

Khaila diam. Ia tidak menyangka pertanyaan itu akan ditanyakan. Gadis itu tidak tahu jawabannya. Jika kemarin hatinya untuk menolak pria itu tanpa keraguan. Maka sekarang rasa bimbang itu ada menyelimuti hati Khaila. Ia tidak tahu kenapa. Ia tidak bisa seyakin dulu untuk menjawab tidak. Ada apa?

"Ah, maaf, kamu gak mau yaa. Lupakan saja." Pria itu berkata setengah hati.

Khaila tersadar dari lamunannya, "Iya."

Fariz menautkan keningnya bingung atas kalimat iya dari Khaila begitu ambigu.

"Iya apa?" Fariz bertanya gemas, "iya kamu mau jadi istriku, iya kamu mau temui orang tua ku, iya kamu juga cinta aku, iya kamu rindu aku. Iya kamu itu banyak artinya. Jadi kamu pilih iya yang mana dari yang aku sebutin tadi?" celutuk Fariz. Ia mencoba mencairkan suasana.

Khaila terkekeh mendengarnya, pria itu memang tidak berubah, masih sama seperti dulu, humoris, suka senyum, penyayang.

"Iya, kamu boleh berjuang untuk membuatku jatuh cinta padamu."

Ya Allah benarkah jalan yang hamba pilih ini?

Fariz menatap senang bukan main. Ia sungguh-sungguh mencintai Khaila. Dan sekarang, Allah memudahkan jalannya untuk mengambil hati Khaila.

"Maa Sya Allah doa ku bertahun-tahun akhirnya terkabul, terima kasih, Ai." Ucap Fariz.

Khaila tersenyum.

"Fariz, aku pamit pulang dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, kamu hati-hati ya. Jangan lupa bernapas, jangan lupa senyum, jangan lupa menabung, Jangan lupa liat kanan kiri depan tapi belakang jangan."

"Kenapa jangan lihat kebelakang?"

"Tergantung."

"Maksudnya?"

"Yaa tergantung. Kalau posisi kamu dijalan raya maka dibelakang bisa jadi kamu temukan orang pacaran, ibu-ibu bawa belanjaan, bapak-bapak angkat telepon, segeromblolan remaja cengesan, nah kalau posisi kamu di tempat gelap nan sunyi beda lagi ceritanya, maka dibelakang ada aku yang membawa lilin menemani kesendirian kamu. Jika kamu punya Allah yang tidak akan meninggalkanmu saat sendiri dan rapuh, maka kamu juga punya aku di dunia ini yang tidak akan pergi meninggalkan kamu meski dalam keadaan kamu dibuang sekalipun, aku tetap akan ada."

Khaila terpaku mendengarnya. Ia dibuat tertegun atas pernyataan pria itu. Ia tidak bisa menutupi kegugupannya sekarang. Kedua sudut bibirnya terangkat begitu saja membentuk sebuah senyuman.

"Kagum ya?" celutuk Fariz.

Khaila tersadar, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Gadis itu tidak bisa menatap senyuman dari Fariz. Pria itu terlalu murah senyum.

"A...aku pamit, assalamualaikum." Khaila segera berlalu pergi. Ia gugup.

"Waalaikumsallam bidadari." Senyum Fariz saat Khaila sudah tidak ada lagi dihadapannya.

Fariz tersenyum lega. Ia sangat gugup sedaritadi. Bayangkan saja, bertemu dengan orang yang sangat kamu cintai secara tiba-tiba. Bagaimana tidak gugup? Dan pria itu pandai dalam menyembunyikan kegugupan dengan lelucon. Namun begitu, hatinya senang akhirnya ia mempunyai kesempatan. Sebuah senyum tercetak jelas diwajah pria itu, membuat ia terlihat sangat tampan.

Khaila menghentikan langkahnya sebentar menatap pria itu, tanpa sadar kedua sudut bibir dari gadis itu membentuk sebuah lengkungan, senyuman yang sangat manis.

"Sebahagia itu kah kamu?"

Jika kamu memang takdirku maka aku akan melepaskannya. Semoga Allah menghapus segala keraguan yang ada, jika nama kita disandingkan berdua di lauhul mahfudz, sekuat apapun aku berlari untuk menjauh, kamu pasti akan datang untuk kembali. Semoga Allah menghapus segala keraguan yang ada dihatiku untukmu. Dengan akhlakmu, in Sya Allah aku akan jatuh cinta padamu.

Komentar