10 | Hancur

Surga Dalam Luka 

Arraya menghela napas panjangnya. Melepaskan semua kegelisahannya pagi ini. Langkah kakinya sudah mantap untuk memasuki gedung kantornya. Sejak menikah dengan Adnan, Arraya memang masih terikat kerja dengan perusahaannya. Hanya saja Arrayya mengambil jatah cuti menikah, sedangkan Adnan tidak karena waktu pernikahan mendadak yang tidak memungkinkan bagi orang sepertinya cuti mendadak.

Arraya terus maju selangkah demi selangkah. Melewati lobby, masuk ke dalam lift, dan berdesakan dengan rekan sekantornya yang lain di dalam lift. Kepalanya diam menunduk. Sesuai dugaan, ia memang akan mendengar gunjingan dari orang-orang tentang dirinya. Tentang pernikahannya. Tentang Luthfi dan juga Adnan.

"Kasihan ya Luthfi."

"Gila, gue nggak nyangka. Kelihatannya doang tuh cewek alim."

"Luthfi meninggal, dia malah nikah sama cowok lain."

"Harusnya emang dari awal Luthfi nggak usah deketin si Raya. Raya aja nggak setia gitu."

"Amit-amit deh gue kalau gue punya calon istri model begitu."

"Atau mungkin aja dari awal si Raya emang udah selingkuh sama suaminya yang sekarang. Cuma Luthfi aja yang nggak tau."

Katakan bagaimana caranya agar Arraya tak mendengar kalimat menyakitkan yang dilontarkan oleh rekan kerjanya jika saja mereka mengatakan itu semua dengan suara yang tidak pelan? Seolah semua sindiran itu memang sudah seharusnya didengar oleh Arraya dan Arraya harus tahu akan hal itu.

Tangan Arraya mengerat pada tali tasnya. Ia berharap hari ini akan segera berakhir.

"Cewek nggak tau diri."

Raya merasa tubuhnya ditubruk berkali-kali oleh semua orang yang ada di dalam satu lift dengannya.

Raya bahkan tak sadar jika pintu lift hampir saja tertutup dan ada satu orang pria yang masuk ke dalam lift. Untuk beberapa detik pria itu menatap Arraya yang masih menunduk.

Ting.

"Apa kamu akan ikut saya ke lantai atas, Arraya?"

Mendengar namanya disematkan dalam pertanyaan, Raya langsung mengangkat kepalanya. Ia mendapati ada sepasang mata cokelat gelap yang sedang menatapnya lekat.

"Apa?" Arraya mengerjaplan matanya beberapa kali. Membuang semua lamunannya. "Oh... tidak, Pak." Arraya baru sadar kalau ternyata ia sudah sampai di lantai tujuannya.

"Kalau begitu keluarlah, dan jangan melamun lagi." Arraya hanya mengangguk dengan kepala menunduk malu. Ia pun keluar dari dalam lift. Membungkukkan sedikit kepalanya saat pintu lift akan kembali tertutup dan menghilangkan tubuh atasannya.

Muaz namanya. Pria berumur 30 tahun itu memiliki darah Indonesia - Jerman dari kedua orangtuanya. Arraya pernah beberapa kali berinteraksi dengan Muaz. Itu pun karena Muaz adalah sahabat dekat Luthfi. Tapi karena Muaz juga pria yang tak banyak bicara sehingga Arraya pun menjadi tak banyak bicara jika bersama Muaz.

Bisa dikatakan jika hubungan Arraya dan Muaz hanyalah sebatas rekan kerja dan saling kenal. Berbeda divisi dengan Muaz membuat Arraya juga tak banyak berinteraksi langsung dengan Muaz.

"Baik, maaf Pak." Setelahnya Arraya sudah tak lagi melihat pria itu karena pintu lift yang telah tertutup dengan sempurna.

Arraya segera menuju bilik kerjanya. Ia duduk di sana dengan menghela napas lagi. Ini barulah permulaan, dan Arraya sudah merasa sangat tidak nyaman.

Semua rekan kerjanya membicarakan dirinya. Mengatakan kalau ia hanya wanita munafik. Wanita sok suci yang mendekati atasannya. Wanita tak tahu diri yang menikah dengan pria lain ketika ditinggal mati calon suaminya.

Mendengarnya membuat hati Arraya sesak. Seperti tangisan yang berusaha ditahan sekuat mungkin.

Waktu berjalan panjang bagi Arraya hari ini. Setelah solat zuhur, Arraya memutuskan untuk keluar kantor mencari makan siang. Ia melangkahkan kakinya menuju resto yang berada sekitar 100 meter dari lokasi kantornya. Ia berjalan seorang diri. Arraya memang tidak mempunyai satu pun sahabat dekat di kantornya.

Dari semua orang yang pernah ia temui, ia hanya bisa mempercayai Alya seorang. Padahal, dulu Arraya termasuk orang yang cukup bergaul. Tapi karena hampir semua orang memusuhinya di kantor karena kedekatannya dengan Luthfi saat itu, sehingga sulit untuk Arraya mencari teman dekat.

"Spaghetti carbonara 1 dan lemon tea 1." Selesai memesan dan membayar makanannya, Arraya memilih tempat duduk di pinggir jendela dan menunggu pesanannya datang.

鹿鹿鹿

"Agenda makan siang dan meeting dengan perwakilan dari kedutaan Jepang diundur pekan depan, Pak."

Muaz menghela napas panjang. Hal yang sudah ia persiapkan dengan matang malah harus dibatalkan. "Baiklah, tidak apa. Terima kasih infonya."

"Kalau begitu mau ikut makan siang dengan tim atau tidak, Pak? Kita mau ke resto sebelah." Wanita cantik berambut pirang itu masih berdiri menunggu tanggapan dari Muaz.

Muaz mengangguk sekali. "Baiklah," katanya. "Kalian duluan saja, nanti saya menyusul." Setelah anggotanya pergi, Muaz memilih untuk ke musholla terlebih dahulu. Salahnya tadi meninggalkan solat berjamaah karena merasa tanggung menyelesaikan bahan untuk meeting, yang akhirnya meeting tersebut diundur.

Muaz menyusuri jalan dengan kepala menunduk menatap layar ponsel. Dering notifikasi yang diciptakan oleh salah satu aplikasi pesan di ponsel, membuat ia terpaksa harus memainkan ponsel sambil berjalan.

Saat kakinya sudah berada di depan resto, Muaz mengangkat pandangannya. Ia memasukkan ponselnya ke saku dan masuk ke dalam resto. Menghasilkan suara dentingan pelan yang menandakan ada orang masuk ke dalam resto. Matanya menyipit. Mencari rekan-rekan kerjanya.

"Pak Muaz!!"

Seruan itu membuat Muaz dengan segera mencari ke segala arah. Ia memang berhasil menemukan rekan-rekannya, tetapi ada hal lain yang mengalihkan pandangan Muaz. Ia mendapati seorang gadis yang sedang makan sendirian dengan pandangan dibuang ke jendela.

"Pak Muaz!" sekali lagi Muaz dipanggil. Sekitar 10 orang ada di sana. 6 perempuan dan 4 laki-laki termasuk Muaz. 3 orang melambaikan tangannya pada Muaz, sedangkan yang lainnya mengulum senyum lebar.

Muaz mendekat dan duduk bersama rekannya yang lain. Selesai memesan, Muaz malah kembali teralihkan oleh gadis dengan pakaian berewarna biru.

"Kalian nyadar nggak sih, di pojok ada Arraya?" 

Muaz sontak menggeser pupil matanya saat mendengar salah satu rekannya mulai membahas topik tentang Arraya. Gadis yang memakai pakaian biru, yang sedang duduk seorang diri menatap jalan dan menjadi objek pandangan bagi Muaz saat ini.

"Iya, nyadar. Liat deh, sekarang tatapannya seolah sedih kayak gitu. Nggak nyangka aja sih gue dia bakal nikah sama cowok lain." Wanita yang memakai kemeja merah dan rambut tergerai juga ikut berkomentar.

"Iya gue juga nggak nyangka sama kelakuannya," ucap wanita lain yang memakai kemeja hitam.

"Emang dari awal itu cewek udah nggak cocok di perusahaan kita. Lebih baik ditendang aja dari kantor. Lagian ya, di kantor kedutaan mana ada orang yang masih pake kerudung norak kayak gitu. Nggak cocok dan nggak oke!" Tiga wanita itu kemudian terkekeh bersama wanita yang lain. Sedangkan 3 pria lainnya kecuali Muaz hanya mendengus pelan mendengar gosip dari rekan mereka.

"Bisakah kalian berhenti membicarakan orang lain?"

Mendengar kalimat terlontar dari mulut Muaz, semuanya kompak terdiam. Mata Muaz terlihat serius menatap mereka terutama 3 wanita yang menjelek-jelekkan Arraya.

"Manusia diciptakan bukan hanya mulutnya saja, tapi juga punya 2 telinga. Kalau kalian tidak pernah mendengar cerita yang sebenarnya maka jangan bicara sembarangan dan menjelekkan orang lain. Dan juga, perempuan yang berkerudung tidak pantas dihina seperti itu, karena kerudung adalah hal yang wajib dalam agama Islam."

Tak ada yang berani berkomentar. Semuanya hanya bisa diam sambil melirik satu sama lain.

Muaz berdiri di saat pesanannya belum sampai di meja. Saat ia hendak keluar dari resto, matanya sempat melirik Arraya beberapa detik sebelum akhirnya menghilang keluar dari resto.

鹿鹿鹿

Arraya melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah lesu dan lemasnya. Ia sudah tak lagi bertenaga. Seharian bekerja sambil menelan gossip serta sindiran yang begitu menohok hatinya membuat Arraya semakin merasa lelah, baik fisik maupun pikiran. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah, ia ingin segera beristirahat.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, Non Raya..."

Raya tersenyum kala melihat Bi Ira mendekatinya dengan senyum yang lebar. "Non sudah makan? Kok tumben pulangnya malam?"

"Sudah tadi di kantor, Bi. Di kantor lagi banyak banget kerjaan, jadi pulangnya sedikit lebih malam."

"Ya sudah atuh kalau gitu, Non Raya langsung masuk ke kamar untuk istirahat. Den Adnan juga sudah sampai di rumah sekitar satu jam yang lalu."

Arraya mengangguk singkat lalu pamit dari hadapan Bi Ira. Ia langsung naik menuju kamarnya langsung, karena biasanya ia selalu diam dengan memandangi kamar Adnan yang selalu tertutup rapat. Dengan helaan napas panjang, Arraya melepas sepasang kaos kakinya lalu melepas kerudungnya. Dilepaskannya juga rok hitam miliknya hingga menyisakan celana panjang berwarna abu.

Bertepatan saat Arraya baru melepaskan dua kancing kemeja yang dipakainya, pintu kamarnya dibuka paksa dari luar hingga menimbulkan dentuman yang cukup kencang. Arraya beristighfar lalu menoleh dengan cepat. Adnan sudah berdiri di ambang pintu dengan tatapan super tajam yang pernah ia lihat.

"Astaghfirullah, Mas. Ada apa sampai buka pintu seperti itu?" dengan cepat Arraya kembali mengancingkan dua kancing paling atas kemejanya.

Adnan, suaminya, menatap dirinya dengan tatapan dingin dan tajam. "Bibi menemukan buku ini di bawah bantal kamu. Bisa kamu jelaskan apa ini?" Adnan mengangkat buku putih di tangannya.

Raya menyipitkan matanya. menatap buku yang ditunjukkan oleh Adnan padanya. "Itu...."

"Jelaskan, Ra!" Raya langsung memejamkan matanya karena suara Adnan yang kembali tinggi padanya.

"Mas, kembalikan bukuku. Isi buku itu sama sekali nggak penting."

"Nggak penting kamu bilang?" Adnan tertawa. Antara tertawa miris juga tertawa meremehkan.

"Kamu mencintaiku?" tanya Adnan setelah menghentikan tawanya. Ia mendekat ke tubuh Raya setelah melempar buku itu ke sembarang tempat. Membuat Raya yang melihatnya hanya bisa termangu diam.

Arraya hanya bisa terdiam menunduk. Matanya mulai buram akan air mata. Arraya benci situasi seperti ini. Situasi di mana ia hanya bisa terdiam dan tak bisa menjelaskan apa-apa walau ia sangat ingin.

"Katakan padaku yang sebenarnya. Sejak kapan kamu mencintaiku?!!"

Air mata yang sejak tadi Raya tahan akhirnya luluh lantah. Ia tak bisa menahan tangisnya lagi.

"Mas Adnan ...." Arraya tak sanggup melanjutkannya. "Kenapa Mas bisa bicara seperti itu? Memang salah jika aku mencintai kamu? Aku kan sekarang istri kamu."

"Tentu aja salah. Ini tandanya kamu memang menginginkan pernikahan ini terjadi, kan?"

Arraya menggeleng. Ia mengangkat pandangannya. Berusaha meraih tangan Adnan, tapi Adnan terlanjur mundur. "Nggak Mas. Aku juga nggak pernah meminta pernikahan ini. Ini takdir Allah, dan aku nggak pernah merencanakan semua ini."

Adnan menggeleng frustasi. "Pantas saja jika kamu tidak menolak pernikahan konyol kita berdua? Aku bahkan berpikir, kenapa kamu dengan mudahnya mengiyakan permintaan konyol itu dan mau menikah denganku. Rupanya, kamulah yang pihak yang diuntungkan di sini. Jadi karena kamu, aku jadi ikut terjebak dalam skenario pernikahan konyol ini!"

Tangis Arraya semakin jadi. Apa yang Adnan ucapkan sudah sangat berhasil melukai hatinya. "Kenapa Mas bisa bicara seperti itu?"

Tangan Adnan semakin mengepal erat. Urat-urat di leher dan wajahnya bermunculan. Menandakan bahwa ia memang sedang penuh emosi dan amarah.

"Aku bener-bener nggak nyangka sama sikap kamu ini, Ra. Aku bahkan harus memutuskan untuk meninggalkan orang yang aku cintai hanya untuk menikahi kamu. Aku sudah nggak tahan sama pernikahan ini. Satu minggu lagi ... mari kita bercerai."

"Mas!" Arraya benar-benar tidak percaya atas apa yang ia dengar dari mulut Adnan.

"Mas, jangan seperti ini. Kamu salah paham dengan semuanya. Buku itu sudah aku tulis sejak aku masih kuliah dan pernikahan kita tidak ada sangkut pautnya dengan buku itu atau perasa-" belum sempat Arraya menyentuh tangan Adnan, Adnan langsung pergi meninggalkannya keluar kamar. Tubuh Arraya langsung terduduk di lantai. Ia menekuk lantai dan menangis dengan hebat. Air matanya terus mengalir tiada henti. Ia menekan dadanya yang terasa sesak karena sakit hati.

Perceraian. Satu kata yang mampu membuat Raya bergetar takut hanya untuk membayangkannya.

TBC

Saya ikut sedih nulis part ini. Kalau kamu?

Jangan lupa vote, komen, share ke temen" kamu kalau merasa cerita ini bermutu buat dikadikan referensi bacaan ❤

Jazakumullah ya Khair

Salam sayang,

TAMAT : 17 Mei 2020

REVISI : 23 Juni 2020

Komentar