47 | Bertahanlah

Jangan lupa follow dulu sebelum baca 🥰

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Adnan menunggu di depan ruang UGD dengan perasaan tidak bisa tenang. Matanya menatap kosong lantai granit di bawah kakinya. Suara derap langkah berlari dari petugas medis nyaris membuat Adnan lupa caranya bernapas. Wajahnya panik, takut jika saja ada sesuat yang terjadi pada istri juga jabang bayi yang katanya ada di dalam rahim Arraya. Adnan belum mengetahui fakta sebenarnya.

Adnan menjambak rambutnya frustasi. Wajahnya sembab karena airmata. Sesekali desah dan rintihan meluncur pilu dari bibir pria 27 tahun tersebut. Mendadak bernapas menjadi sesuatu yang sulit Adnan lakukan.

"Tolong istri saya... tolong istri saya... selamatkan dia... selamatkan juga anak yang ada di dalam rahimnya.." Adnan terus memohon putus asa setiap ada petugas medis yang keluar masuk ke dalam ruang UGD tempat Arraya diperiksa.

Saking putus asanya, Adnan sampai tak sadar jika kemeja yang ia pakai juga dipenuhi darah di sekitar bagian dada. Perawat yang lewat bahkan sampai menyangka jika Adnan juga ikut terluka saat melihat darah di kemeja yang dipakainya.

"Maaf, Ra... Maafin, Mas..." Adnan mendongak, menatap ruang UGD dengan air mata tak ada habis mengalir.

"Kamu nggak akan kenapa-napa, kan, Sayang? Kamu nggak akan ninggalin aku, kan? Kamu akan selalu ada di sisiku, kan?"

Adnan menahan erang tangis yang berkumpul di ujung kerongkongannya. "Ya Allah... tidak ada yang hamba minta selain selamatkan Arraya. Selamatkan istri hamba, jangan buat dia menahan rasa sakit lebih lama. Hamba ingin dia... hamba ingin Engkau kembali berkenan menyatukan hamba dengan perempuan yang hamba cintai, Ya Allah. Hamba ingin Engkau kembali memberikan hamba kesempatan untuk memperbaiki semua ini..."

Kepala Adnan kembali terjatuh dalam. Kembali menyesali segala perbuatannya yang seolah tertutup mata dan telinga dengan perasaan istrinya sendiri. Walaupun ia melakukan itu semua karena ibunya Afifah, mungkin jika Adnan lebih dulu jujur tanpa takut pada Arraya, semuanya tidak akan terjadi seperti ini bukan?

"Adnan?"

Suara panggilan dari sosok yang begitu ia kenali langsung membuat Adnan menolehkan kepalanya. Sudah berdiri di ambang pintu mama dan juga papa kandung Adnan yang hadir.

"Mama..." Adnan menggigit bibir bawahnya dan langsung berhambur ke dalam pelukan mamanya. Tangisnya langsung pecah detik itu juga. Saat Arraya berada di ruang UGD tadi, Adnan menyempatkan diri untuk menghubungi kedua orangtuanya.

"Ada apa dengan Arraya, Adnan? Kenapa dia bisa di rumah sakit?" Lidya bertanya sambil terus menepuk lembut punggung anak besarnya yang menangis hebat di dalam pelukannya.

Fajar yang masih berdiri diam di samping istrinya hanya bisa menandang seksama kejadian asing di depannya. Sejak kecil, Adnan bukanlah anak yang dekat dengan kedua orangtuanya. Mungkin karena sejak kecil Adnan dan Bima sudah sering kali ditinggal kerja oleh Fajar dan Lidya, sehingga mereka berdua selalu merasa bahwa mereka bisa hidup tanpa adanya orangtuanya.

Tapi kini, mengapa melihat putranya menangis sambil memeluk Lidya membuat hati Fajar sedikit terenyuh? Ini pertama kalinya Adnan menangis di hadapan mereka. Adnan seperti anak kecil yang tak ingin kehilangan mainan kecilnya.

"Arraya, Ma... Aku udah bikin Arraya sampai begini... Aku nggak becus jadi suami..."

"Adnan, tenanglah... Arraya pasti akan baik-baik saja. Apa kamu sudah menghubungi orangtua Arraya?"

Adnan menggeleng lemah sekali lagi. "Aku takut, Ma. Aku sudah terlalu banyak mengecewakan Arraya juga orangtuanya. Aku takut, ketika orangtua Raya tahu anaknya seperti ini, mereka akan memisahkan aku dengan Raya. Aku takut itu terjadi, Ma..."

Lidya menghela napas panjang. Ia melepaskan pelukannya dengan Adnan. Tangannya menangkup kedua pipi Adnan dan mengusap semua airmata Adnan. "Sejak kapan anak Mama jadi takut seperti ini? Kamu itu laki-laki dan laki-laki itu harus kuat. Jika kamu benar, maka orangtua Arraya tidak akan pernah memisahkan kamu dengan anaknya. Percaya sama Mama."

"Arraya jatuh di kamar mandi, Ma. Dan benturan itu...itu mengenai bayi yang ada di dalam rahim Arraya, Ma." Adnan merasakan ada yang mengiris hatinya menjadi potongan-potongan kecil tak berbentuk.

"Maksud kamu menantu Mama hamil?" tanya Lidya antara bahagia juga takut.

Adnan hanya bisa menganggukkan kepalanya lemah.

"Ya Allah sayang, Mama ikut senang, tapi bagaimana kabar selanjutnya? Apakah Arraya dan bayinya baik-baik saja?"

Adnan menoleh sesaat ke kanan, ruang UGD tempat Arraya diperiksa oleh dokter, lalu saat ia kembali menatap mata mamanya ia kembali menangis. Adnan menggelengkan kepalanya lemah. "Aku nggak tau, Ma. Aku nggak tau apa yang akan terjadi dengan Raya atau bayi aku."

"Ya Allah, Gusti..." Lidya memeluk tubuh sang putra dengan erat. Bahu Adnan berguncang hebat, semuanya terlalu berat disimpan seorang diri. Setelah sekian lama, Adnan hampir lupa bahwa pelukan seorang ibu memang yang terbaik. Pelukan sederhananya yang mampu membawa semua ketenangan dan kedamaian.

🥀🥀🥀

Adnan masih menjatuhkan kepalanya dalam sambil duduk di kursi tunggu. Tangannya saling tertaut erat, tak ingin dilepaskan. Adnan sendiri merasa lelah karena menangis. Ia bahkan merasakan kepalanya tak berhenti berdenyut nyeri sejak tadi. Adnan sampai lupa, selama ditinggal Arraya pergi, ia hanya pernah makan beberapa kali, itu pun tak seberapa.

"Tenanglah, Adnan."

Tepukan pelan di bahu kanannya membuat Adnan menoleh sedikit. Tangan papanya terulur menyentuh dan mengerat di atas bahunya. Seolah dengan begitu ada energi positif yang bisa disalurkan pada Adnan yang kini tampak menyedihkan.

"Arraya pasti akan baik-baik saja. Arraya dan calon bayi kamu, mereka berdua pasti akan baik-baik saja. Papa tahu mereka adalah orang yang kuat."

"Kalau kamu ingin mereka kuat dan selamat, maka kamu juga harus kuat. Papa tahu kamu suami dan calon ayah yang baik nantinya."

Airmata yang tadi sempat berhenti kini mengaliri kembali pipinya yang memerah dan sembab. Rasa sesaknya sama sekali tidak mau menghilang, yang ada justru semakin melubangi perasaannya.

"Papa tahu kamu adalah suami yang baik." Fajar menyentuh punggung tangan Adnan. Genggamannya itu mengerat, sorot matanya mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Beberapa menit kemudian pintu ruang UGD terbuka dengan salah seorang dokter beserta perawatnya keluar. Adnan mengangkat kepalanya yang berat saat melihat sepasang sepatu di depan kakinya.

Adnan dan Fajar langsung kompak bangkit berdiri dan bertanya dengan tidak sabaran. "Dokter! Bagaimana keadaan istri saya?"

Sang dokter terlihat menarik napas panjang. "Sepertinya istri Anda terjatuh dengan tubuh yang membentur lantai dan dinding kamar mandi dengan kuat."

Adnan merasa kedua kakinya bergetar. Rasanya tak sanggup jika harus mendengarkan semua ucapan yang ingin dikatakan sang dokter. Fajar juga sama terkejutnya, tangannya masih mencengkeram erat bahu Adnan agar putranya itu tidak terjatuh.

"Dilihat dari darah yang mulai mengering saat Anda membawanya ke sini, kemungkinan sudah lebih 20 menit pasien pingsan di dalam kamar mandi."

"Maksud Dokter apa? Jelaskan dengan jelas pada saya maksudnya."

"Benturan tubuh istri Anda pada lantai juga dinding kamar mandi membuat janin yang ada di perut istri Anda..." belum selesai sang dokter menjelaskan dengan rinci, Adnan sudah terduduk lemas karena kedua kakinya yang tak lagi kuat menopang beban tubuhnya sendiri. Seluruh dunianya kini hancur. Seolah tak lagi ada harapan hidup yang tersisa pada dirinya.

🥀🥀🥀

Adnan masih duduk diam di samping ranjang Arraya. Kini Arraya sudah dipindahkan ke ruang rawat. Adnan mengangkat kepalanya perlahan. Matanya menangkap wajah pucat Arraya yang terbaring tak berdaya. Tangannya terulur untuk menyentuh dan menggenggam jemari lentik Arraya. Genggamannya lembut, ia takut akan menyakiti Arraya jika terlalu menggenggamnya dengan erat.

Jemari Adnan bergerak untuk mencoba meraih pipi Arraya. Ia menyentuhnya lebih lembut daripada saat ia menggenggam tangan Arraya. Seolah takut jika pipi dingin Arraya akan pecah jika ia menyentuh dan mengusap pipi Arraya walaupun dalam kelembutan. Diusapnya perlahan, kemudian dikecup, begitu seterusnya. Kedua pipi Arraya sampai basah karena Adnan yang terus menitikkan airmata di atas wajahnya.

"Sayang, bangun..."

Arraya masih belum sadarkan diri. Perempuan itu masih memejamkan matanya dalam damai, tanpa tahu ada seseorang yang sejak tadi menunggu kesadarannya dengan penuh rasa frustasi.

"Mas mohon, bangunlah..."

"Maafin Mas, Arraya. Mas nggak bisa jaga kamu. Mas mohon, Mas nggak mau kehilangan kamu, Ra. Mas mohon..."

🥀🥀🥀

Arraya membuka matanya perlahan. Pupil matanya berusaha menyesuaikan dengan pantulan cahaya lampu di atas. Arraya merasakan seluruh tubuhnya sakit. Kepalanya pusing, bagian perutnya sakit, bahkan punggungnya juga terasa begitu ngilu.

Arraya mengerjapkan matanya perlahan. Ia mencoba mengingat kembali detik-detik terakhir ia mencoba untuk membuka matanya dengan mencoba mengulurkan tangannya meraih gagang pintu.

Saat itu Arraya berniat untuk mengambil wudhu, namun saat ia sedang mencuci tangannya dengan sabun, sabun itu malah terjatuh ke lantai dan tidak sengaja Arraya injak saat ia ingin keluar dari kamar mandi. Keningnya yang terbentur dinding tak kuasa menahan sakit hingga akhirnya ia pingsan sebelum sempat keluar dari kamar mandi.

Mata Arraya masih menatap ke langit-langit. Hanya mencium aroma juga sepinya tempat itu, Arraya sudah merasa yakin jika ia berada di rumah sakit.

Arraya mencoba menggerakkan tangannya, tapi gagal saat ia merasakan ada yang menggenggam erat tangannya. Ekor mata Arraya bergeser ke kiri dan melihat wajah sang suami yang ia lihat pertama kali. Adnan terlihat tertidur dengan wajah menghadap ke Arraya dan tangan yang menggenggam erat tangan Arraya.

Walau Arraya baru sadar dari pingsannya, tapi ia bisa melihat jelas wajah Adnan yang tampak kusam. Warna kulitnya yang tampak lebih gelap, kumis serta rambut-rambut halus yang mulai tumbuh di sekitar rahang Adnan.

Arraya tidak suka melihatnya. Mengapa ketika ia pergi Adnan malah tampak menyedihkan seperti ini? Bukankah ia pergi seperti apa yang dimau Adnan? Bukankah ia sudah memberikan kesempatan pada Adnan untuk mengejar cinta masa lalunya? Lalu kenapa Adnan malah sama sekali tidak terlihat bahagia saat ini?

Arraya mencoba menarik tangannya perlahan, dan bertepatan saat itu Adnan membuka cepat kedua matanya dan langsung menarik tangan Arraya agar kembali di dekatnya. Arraya terkejut, begitu juga dengan Adnan yang terkejut karena melihat Arraya yang membuka kedua matanya.

"Ra..." Adnan berdiri dan langsung menyentuh sebelah pipi Arraya dengan telapaknya. "Kamu udah bangun, Sayang?" Adnan bahagia. Bahagia, sangat bahagia. Melihat istrinya kembali sadar setelah hampir membuatnya gila menunggu, sangat membuat Adnan bahagia.

Arraya menarik tangannya perlahan, sontak menghadirkan tatapan sendu dari wajah Adnan.

"Ra..." Adnan tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Arraya menarik tangan dari dalam genggamannya.

"Pergi," kata Arraya.

"Apa?"

"Aku nggak mau liat Mas."

"Ra, maaf..."

Pupil mata Arraya sedikit melebar saat ia melihat dengan jelas ada airmata yang mengalir di pipi Adnan. Adnan menangisinya? Ah, benar. Arraya baru sadar jika wajah Adnan terlihat merah juga sedikit bengkak terutama di bagian mata.

"Maafin Mas... Mas minta maaf, Ra. Mas nggak bisa jaga kamu."

Kalimat Adnan seolah menohok tenggorokan Arraya.

"Maafin Mas, Sayang. Mas nggak bisa jaga kamu dan calon malaikat kecil kita."

Arraya berusaha bangkit duduk dan langsung meraba perutnya. Ia bahkan sampai lupa jika ia sedang mengandung 4 minggu. "Dia nggak papa, kan?" Arraya menatap Adnan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Adnan tak bisa menjawab. Ia hanya menunduk dengan bahu bergetar menahan tangis dalam diam.

"Mas?!" Arraya menyentuh dan mencengkeram lengan Adnan. Memohon penjelasan maksud ekspresi dan tangis Adnan padanya. Tidak, ia tidak butuh ditangisi. Ia hanya butuh sebuah jawaban.

"Mas! Mas Adnan!"

Adnan langsung menarik tubuh Arraya ke dalam dekapannya. Adnan memeluk tubuh istrinya dengan erat dan airmata yang tiada henti surut.

"Jawab aku, Mas..." lirih suara Arraya yang terdengar memilukan di telinganya. Arraya merasakan matanya memanas. Pelukan Adnan yang erat seolah secara otomatis meremukkan semua tulang tubuhnya, begitu pula hatinya.

🥀 To be Continued 🥀

NB : CERITA INI SEDANG DALAM MASA REVISI TOTAL. PERUBAHAN ALUR DAN PENYEMPURNAAN CERITA HANYA AKAN ADS DI VERSI NOVEL. JADI SILAKAN NABUNG DULU DARI SEKARANG, KARENA INSYAALLAH KALIAN TIDAK AKAN MENYESAL PELUK BUKU SDL ❤

Pls Like and Comment "_"

Jazakumullah ya Khair

TAMAT : 17 MEI 2020

REVISI : 10 OKTOBER 2020

Saranghae,
Haphap❤💝

Komentar