15 | Memeluk Hujan

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Muaz memasuki rumah sakit dengan langkah terburu-buru. Beberapa kali ia hampir terjatuh karena langkah kakinya sendiri. Hampir setengah hari Muaz merasa pikirannya terasa tidak pada tempatnya. Bahkan selama meeting, Muaz terus saja mengkhawatirkan kondisi Raya.

Dasi yang terpasang mengendur di lehernya. Satu kancing atas kemejanya terbuka. Lengsn kemejanya juga ia gulung hingga sebatas siku. Keringat mulai muncul di sekitar pelipisnya. Muaz tak memedulikan penampilannya yang terlihat berantakan.

Muaz sampai di meja registrasi. "Kamar atas nama Arraya Kirania, ada di mana?"

Perawat yang menunggu di meja registrasi menatap Muaz sejenak. "Sebentar ya Pak, saya cek terlebih dahulu."

"Segera, Mbak," desak Muaz. Muaz bahkan tidak mengerti ada apa dengan dirinya saat ini. Ia tidak mengerti kenapa ia begitu mengkhawatirkan Arraya. Apakah karena statusnya sebagai rekan kerja, atau karena ia adalah sahabat mantan suami Raya, atau karena ia tahu Adnan tidak bisa membahagiakan Raya?

"Mohon maaf, tapi pasien atas nama Arraya Kirania tidak ada di rumah sakit ini, Pak."

"Cek sekali lagi," pinta Muaz dengan nada menuntut.

Perawat itu menuruti tanpa banyak tanya. Ekspresi Muaz saat ini benar-benar serius dan sedang tidak bercanda. "Mohon maaf, tapi memang tidak ada Pak," kata perawat tersebut dengan menunduk takut.

Muaz berdecak kesal. Ia langsung pergi meninggalkan perawat tersebut tanpa mengucapkan terima kasih. Jika perawat tersebut tak memberitahukan di mana keberadaan Raya, maka biar ia mencarinya sendiri.

Di lain sisi, Adnan sedang duduk diam di tepi ranjang rumah sakit. Matanya menatap plester yang menutupi bekas infusnya. Adnan membuang napas panjang. Rasanya kepalanya pening, ingin pecah. Bumi seakan berputar mengelilinginya.

"Den, di depan tadi saya menemukan tas hitam Aden."

Aden adalah panggilan dari Pak Joni untuk Adnan. Pak Joni yang berdarah Sunda-Jawa adalah satpamnya sejak Adnan kecil dulu. Tapi saat Adnan sudah punya rumah sendiri, Adnan mengajak Pak Joni untuk tinggal bersamanya. Begitu juga dengan Bi Ira. Bi Ira bukanlah orang baru di hidup Adnan. Keduanya sama-sama memiliki tempat sendiri di hidup Adnan.

Dengan berat, Adnan mengangkat kepalanya. Menatap Pak Joni yang menenteng sebuah tas berwarna hitam. Adnan kenal tas itu. Itu adalah tas yang ia simpan di apartemennya. Tapi siapa yang membawa tas itu ke rumah sakit, Adnan tidak tahu. Seingatnya, Bima tidak berpesan apa pun soal tas tersebut.

"Cek isinya aja, Pak," kata Adnan dengan suara lemah. Padahal saat bicara dengan Raya, suara Adnan seperti kobaran api. Siap membakar siapapun yang berani padanya.

"Isinya hanya pakaian, Den. Tidak ada yang lain," lapor Pak Joni. Adnan hanya merespon dengan anggukan kecil.

"Kalau gitu mau pulang sekarang, Den?"

Adnan kembali mengangguk kecil dengan tawaran Pak Joni. Pak Joni mengambil alih semua barang bawaan Adnan termasuk tas hitam tersebut. Adnan melangkah pelan di samping Pak Joni. Sesekali ia memegang lengan Pak Joni saat ia merasa pusing di kepalanya mulai menyerang.

Adnan lagi-lagi terpikir, tenaga apa yang ia gunakan saat bicara pada Arraya sampai ia bisa berteriak dan menggerakkan kepalanya dengan angkuh dan cepat.

"Non Raya sudah pulang duluan ya, Den? Soalnya dari pagi saya tidak lagi melihatnya." 

Adnan hanya diam, enggan bicara.

"Terakhir kali saya hanya melihat saat jam 2 pagi Non Raya lagi baca sholawat di ruang rawat Aden." Untuk yang satu ini, Adnan merasa ada yang meniup telinganya. Menyuruh telinganya untuk terbuka lebar dan mendengarkan cerita singkat Pak Joni yang tiba-tiba.

"Saya yang dengerin dari luar sampe merinding, Den. Suaranya Non Raya juga bagus pisan. Saya bahkan tidak tahu jam berapa Neng Raya tidur. Soalnya Non Raya selalu di samping Aden."

"Saya yang liatnya jadi iri euy. Jadi rindu istri di kampung."

Adnan tetap diam. Ia bahkan tak menanggapi kalimat bermaksud candaan yang dilontarkan Pak Joni.

Adnan dan Pak Joni berbelok ke koridor kiri. Mereka harus naik lift untuk turun ke lantai lobi rumah sakit. Pak Joni menekan tombol bawah, dan menunggu di depan lift. Lift sudah sampai di lantai 5, sebentar lagi akan sampai di lantai 7.

Ting!

Bertepatan saat suara pintu lift berdenting tanda akan membuka diri, Adnan menatap ke bawah. Saat ia melihat kaki Pak Joni mulai terangkat untuk melangkah, Adnan mengikuti. Namun belum sampai kaki kanannya berpijak, Adnan merasa tubuhnya terdorong sedikit dari arah depan, dan membuat tubuhnya yang ingin limbung ditahan erat oleh Pak Joni.

"Maaf, saya tidak sengaja!" seru seseorang dengan ikut memegang lengan Adnan agar lelaki itu bisa berdiri dengan tegap sendiri.

"Tidak apa. Lain kali tolong hati-hati," kata Pak Joni mewakili suara Adnan. Adnan hanya diam dan mencengkeram lengan Pak Joni untuk kembali berdiri dengan tegap. Adnan menepis pelan tangan yang menempel di lengannya dan kembali mengangkat kepalanya.

Adnan menghela napas pelan. Ia terpaksa harus menunggu beberapa saat lagi karena lift yang tadi mau ia naiki sudah terlanjur turun ke bawah.

"Loh, anda-?"

Adnan menolehkan kepalanya saat mendengar suara lelaki yang tadi menabraknya masih ada di sampingnya. Adnan membuka matanya dengan lebar begitu pula lelaki di depannya.

Muaz, lelaki yang tadi tak sengaja menabrak bahu Adnan, menatap Adnan dengan tatapan dalam. Keduanya sempat beradu pandang, sebelum Pak Joni akhirnya bersuara.

"Aden, liftnya sudah terbuka."

Adnan menatap Muaz sekitar 2 detik, tapi kemudian ia kembali memutar kepalanya karena pintu lift sudah akan tertutup. Kaki Pak Joni menahan pintu lift tersebut agar tetap terbuka. Untungnya lift sedang dalam kondisi kosong.

Bertepatan saat Adnan ingin memajukan selangkah kaki kanannya, Muaz menahan lengan Adnan. Membuat Adnan berhenti dengan terpaksa.

"Di mana Arraya?"

Adnan mengerutkan kening tak suka mendengar pria di depannya muncul dan langsung menanyakan keberadaan Arraya. 

"Maaf Pak, tapi Den Adnan harus segera pulang. Beliau butuh istirahat." Pak Joni bersuara. Pak Joni menarik lengan Adnan agar lelaki itu segera masuk ke dalam lift, menyusulnya.

"Maaf, tapi bisakah beritahu terlebih dahulu di mana Arraya saat ini?"

Adnan tak suka dengan tatapan Muaz. Adnan tak suka jika Muaz menanyakan tentang Arraya. Adnan melepas tangan Pak Joni yang menyentuh bajunya, mendadak ia jadi tertantang karena tatapan lurus yang Muaz berikan untuknya.

"Jadi di mana Raya sekarang?" Muaz kembali bertanya. Rasanya gemas sendiri karena Adnan tak kunjung menjawab pertanyaannya yang sejak awal sama.

"Saya tidak tahu," jawab Adnan apa adanya.

"Bohong jika anda tidak tahu. Anda suaminya, dan pasti anda tahu di mana dia berada."

Adnan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tangannya terkepal kesal. "Lebih baik anda pergi. Saya tidak ada urusan dengan anda."

"Saya mendengar dari teman sedivisinya, katanya Raya dirawat di rumah sakit ini hari ini."

"Maaf Pak, yang sakit bukan Non Raya, tapi Den Adnan." Koreksi Pak Joni.

"Jadi benar Arraya baik-baik saja?"

Pak Joni mengangguk sambil tersenyum simpul. Dan Adnan juga tak suka melihat Pak Joni yang memberikan senyum bagi Muaz.

"Kalau begitu katakan pada saya di mana Raya sekarang? Jika sudah memastikan kondisinya baik-baik saja, maka saya akan pergi saat ini juga."

Adnan menarik satu sudut bibirnya. Tersenyum sinis menatap Muaz. "Harus berapa kali saya katakan pada anda jika saya tidak tahu di mana keberadaannya?"

Muaz ikut mengerutkan keningnya dalam, menahan emosi. Jawaban yang keluar dari mulut Adnan tidak pernah ada yang baik. Yang ada selalu dengan nada menyulut pertengkaran.

"Apakah ada suami yang tidak tahu keberadaan istrinya sendiri?"

"SAYA TIDAK TAHU DAN SAYA TIDAK MAU TAHU!!"

Muaz terperanjat. Begitu juga dengan Pak Joni yang sama kagetnya dengan suara lantang Adnan yang menggema di rumah sakit.

Adnan maju selangkah. Menepis jarak yang tersisa antara dirinya dengan Muaz. Ditatapnya mata cokelat Muaz dalam dengan penuh amarah tertahan. "Raya bukanlah urusan anda. Jadi jangan pernah dekati dia dan urus campur masalah keluarga saya."

"Apa kalian bertengkar?" tanya Muaz dengan nada tak percaya. Seketika ia jadi teringat saat Arraya menangis karena sikap Adnan di kantor beberapa waktu yang lalu.

"Sudah saya katakan itu bukan urusan anda!" hardik Adnan dengan mengarahkan telunjuknya pada wajah Muaz.

"Aden, kita sedang di rumah sakit sekarang.  Tidak enak dilihat perawat dan juga pasien yang lainnya."

Yang dikatakan Pak Joni ada benarnya. Dokter, perawat, dan juga beberapa pasien memang sedang memperhatikan mereka bertiga. Adnan membuang napas kasar.

"Kita pulang sekarang, Pak." Adnan masuk ke dalam lift yang kebetulan berhenti karena Pak Joni yang selalu menekan tombol lift setiap saat.

"Jika anda tidak bisa menjaga Arraya, maka lepaskan dia."

Adnan membulatkan matanya mendengar kalimat terakhir Muaz sebelum pintu lift tertutup sempurna. Sementara Muaz masih menatap pintu lift dengan tajam walaupun Adnan sudah tidak ada lagi di hadapannya. Adnan mengabaikan kalimat terakhirnya.

Muaz mengepalkan tangannya erat. Apakah seperti ini sosok kepribadian suami pengganti dari Luthfi untuk Arraya? Kasar dan sangat terlihat kalau Adnan tidak memedulikan Arraya.

"Jika memang anda tidak bisa mencintainya, maka biarkan orang lain yang melakukannya."

🥀🥀🥀

Hujan mengguyur kota Jakarta Selatan. Selasar Masjid Agung Baiturrahman juga basah karena air hujan yang dibawa oleh angin kencang. Hitamnya langit semakin pekat. Kencang suara petirnya membuat bumi terdengar senyap beberapa saat. Angin kencang yang dingin terus berembus menemani sang hujan membasahi bumi dan seisinya.

Raya mendongak. Menatap hitamnya langit yang pekat. Tubuhnya sudah hampir basah kuyup. Raya sudah tidak ingin lagi masuk kembali ke dalam masjid, karena bajunya yang basah.

"Allah, kenapa Kau turunkan hujan yang dingin ini seperti suasana hatiku, Ya Tuhan?" lirih Raya di dalam hati.

Raya mengusap sudut matanya. Ia tak ingin lagi menangis. Sejak ia pergi begitu saja dari rumah sakit, tujuan Raya hanyalah satu, yaitu masjid. Dan di masjid itulah Raya menumpahkan segala keluh kesahnya pada Sang Pemilik hati.

Raya mantap mengambil langkah. Ia menggerakkan kakinya maju dan mengabaikan bagaimana derasnya hujan menusuk pundak dan juga puncak kepalanya yang tertutup hijab. Bajunya sontak basah seutuhnya begitu Raya mengambil tiga langkah ke depan.

Raya menunduk. Tangannya mengepal erat memegang bajunya yang basah. Menahan dingin juga perasaan tak karuannya di dalam dada.

Baru sekitar 3 meter dari masjid, kakinya sudah tak sanggup lagi melangkah. Raya berjongkok di bawah derasnya hujan. Hujan tumpah, begitu pula air mata yang sejak tadi ia tahan.

Raya menangis, di bawah derasnya hujan. Seorang diri tanpa ada yang memeluk tubuhnya yang kedinginan. Raya menenggelamkan kepalanya di dalam lutut. Ia memeluk dirinya sendiri. Menumpahkan semua perasaannya ke dalam bentuk tangisan.

Dadanya terasa sesak dan sakit. Berulang kali Raya mengambil napas panjang, berharap rasa sakit dan sesaknya akan hilang. Tapi yang ada justru rasanya menjadi jauh lebih sakit dan menyesakkan. Raya tidak dapat menghentikan tangisnya.

Rasa sakit yang semula ada di dalam dadanya kini mulai menyebar. Seluruh tubuhnya bergetar karena rasa sakit yang semula ditimbulkan oleh hatinya.

"Jangan menangis Arraya, jangan menangis." Raya mencoba menyugesti dirinya sendiri agar bisa berhenti menangis. Tapi nyatanya, tangisnya semakin menjadi. Ia sampai meremas bajunya di bagian dada.

"Jangan dipikirkan lagi, Arraya. Kalau kamu mencintainya, maka kamu harus bisa mengikhlaskannya."

Semua sabar yang sudah ia ciptakan dengan luas ternyata masih memiliki batas. Raya sudah tidak sanggup lagi menghadapi rasa cintanya yang mengenaskan. Setiap hari bahkan setiap saat, Raya selalu berdoa di dalam hatinya agar Adnan kelak berubah. Ia selalu berdoa agar kelak Adnan menerima dirinya. Ia selalu berdoa agar kelak ia bahagia bersama Adnan sampai maut memisahkan.

Tapi nyatanya, dari semua doanya, jawabannya adalah sesuatu yang sama sekali tidak ia harapkan. Arraya tidak pernah berpikir akan berpisah dengan Adnan. Bahkan jika pernikahan ini bukan berdasar cinta satu sama lain, Raya tetap ingin mempertahankan pernikahannya. Raya tetap ingin menjadi istri yang baik untuk Adnan dan mendampingi lelaki itu dalam hidupnya.

Kini Raya menyadari.
Bahwa jawaban dari cintanya untuk Adnan adalah tidak.
Bahwa ia memang tidak bisa merubah hati beku Adnan.
Bahwa pernikahannya dengan Adnan akan berakhir sebentar lagi.

"Lā haula wa lā quwwata illā billāhil 'aliyyil azhīmi," lirih Raya di bawah derasnya hujan. Hujan menjadi saksinya kini, bahwa Raya memasrahkan semuanya. Semua usahanya sudah terasa lebih dari cukup. Dan Raya sudah tidak mampu lagi menahan beban demi beban yang memenuhi rongga dadanya.

Memang hanya Allah yang mencintainya dengan rahmat dan karunia yang tak terhingga. Hanya Allah yang akan selalu berada di dalam hatinya. Tak pernah menyakitinya sampai kapanpun. Hanya Allah yang akan menjadi tempat berlindungnya ketika rasa sakit datang bertubi-tubi menghampiri.

🥀🥀🥀🥀🥀

Komentar