19 | Ketika Tak Ada Lagi Kesempatan Bicara

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

"Bapak serius sudah bawa semua barang dan dokumen saya yang ada di apartemen?" tanya Adnan dengan nada gusar sambil terus mengobrak-abrik semua barangnya.

"Iya Aden, sudah saya bawa semuanya."

Adnan menarik napas panjang. Ia memijit pelipisnya. Bingung harus ke mana lagi mencari barang yang ia maksudkan itu.

"Tapi dokumen yang saya cari tidak ada, Pak. Saya ingat betul, dokumen itu masih ada di apartemen saya sebelum saya masuk rumah sakit." Adnan kembali mencari barang yang ia maksudkan. Kamarnya sudah berantakan penuh barang yang ia acak-acak. Lemari baju, lemari buku, sekitar tempat tidur, bahkan ia membongkar semua isi tasnya, tapi tak kunjung ia temukan barangnya.

"Serius Aden, di apartemen sudah tidak ada dokumen apa pun lagi."

"Dokumennya ditaro di amplop cokelat, Pak. Serius tidak ada?" tanya Adnan yang masih belum percaya dengan ucapan Pak Joni.

Pak Joni menggeleng pasrah.

"Pasti ada di sekitar tempat tidur. Pak. Saya ingat, sebelumnya dokumen itu sering saya pegang setiap saya mau tidur." Ujar Adnan dengan duduk sambil menjambak rambutnya frustasi.

"Beneran tidak ada, Den. Saya dan Bi Ira bahkan sudah mencari ke semua tempat. Kita sudah bongkar sprei dan kasur Aden, kita juga cari di kolong tempat tidur, tapi beneran tidak ada, Den."

Adnan berdecak frustasi.

Pak Joni melumat bibirnya ikut bingung. Ia benar-benar sudah mengosongi barang di apartemen milik Adnan. Ia sudah mencari ke seluruh pelosok barang Adnan yang katanya disimpan di dalam amplop cokelat. Adnan memang tidak memberitahukan apa isi amplop itu, tapi Pak Joni benar-benar sudah mencarinya. Ia bahkan tidak melihat ada amplop cokelat.

"Kalau gitu izinin saya buat cari sekali lagi ya, Aden?"

Adnan diam saja. Jangankan menjawab, mendengarnya saja Adnan tidak. Adnan terlalu sibuk berpikir di mana terakhir ia meletakkan amplop cokelat itu.

Pak Joni menganggap Adnan sudah mendengarnya, sehingga ia pun langsung mundur dan keluar dari kamar Adnan. Ia harus mencoba mencari lagi dokumen yang diinginkan Adnan.

Beberapa saat setelah Pak Joni pergi, Adnan kembali mencari dokumen itu. Ia harus menemukannya, bagaimanapun caranya.

"Memangnya dokumen apa yang dicari?"

"Surat gugatan cerai saya dengan Arra-" Adnan menggantung kelanjutan ucapannya saat ia baru sadar yang bertanya barusan adalah suara wanita. Adnan menelan salivanya dengan gugup. Ia mengangkat kepalanya perlahan lalu memutar tubuhnya. Di ambang pintu, berdiri Lidya, mamah kandung Adnan yang menatapnya dengan mata membelalak karena kaget tak percaya.

"Mama?" tubuh Adnan sontak berdiri dengan tegap. "Sejak kapan Mama berdiri di situ?"

"Apa maksud berkas gugatan cerai yang kamu bilang tadi?" Lidya melangkah mendekat dengan cepat. Ia berdiri tepat di depan Adnan dan menatap anak bungsunya lurus penuh selidik.

Adnan menolehkan kepalanya ke arah lain. "Bukan apa-apa," jawab Adnan yang tak mau masalahnya menjadi berkepanjangan di depan mamanya.

"Apa kamu akan bercerai dengan Arraya?" suara Lidya berubah menjadi parau. Matanya berkaca-kaca menatap Adnan.

Adnan diam mematung. Ia menunduk, menatap kedua kaki mamanya yang berbalut kaos kaki hitam.

Plak!

Tamparan keras berhasil mendarat di pipi kanan Adnan. Adnan mendesis lalu mengangkat kepalanya. Tangannya menangkup pipinya yang terasa panas sekaligus perih. "Apa maksud Mama tampar aku?" Ini adalah pertama kalinya Adnan merasakan pipinya ditampar oleh ibu kandungnya sendiri. Rasanya antara tidak percaya, memalukan, dan juga sakit.

"Karena kamu keterlaluan, Adnan! Tega kamu menceraikan Arraya?" air mata Lidya luruh. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rumahtangga anaknya akhirnya berujung pada keretakan. Ia sebagai ibu mertua juga merasa sangat bersalah pada Arraya. Karena sampai saat ini, entah kenapa Adnan masih belum sadar tentang situasi dan kondisi yang ada. Adnan masih egois dan terus saja memikirkan dirinya sendiri.

"Mama sudah dengar semuanya dari Bi Ira, kalau Raya tidak lagi pulang ke rumah selama 4 hari. Dan bahkan katanya Raya sedang berada di rumah sakit."

"Ma, itu karena-"

"Jangan bilang kalau kamu juga sudah menjatuhkan talak kamu pada Arraya."

Adnan hanya bisa diam. Bibirnya kelu untuk mengeluarkan sebuah jawaban.

"Apa kamu sungguh anak Mama yang Mama lahirkan, Adnan?"

"Ma...."

"Hati Mama ikut sakit Adnan!" Telunjuk Lidya mengarah ke dadanya. Suaranya parau ditambah air mata yang membanjiri pipinya. "Mama ini perempuan, jadi Mama bisa merasakan apa yang Arraya rasakan."

"Ma dengerin dulu penjelasan aku."

"Penjelasan apa lagi?!" tanya Lidya dengan nada membentak.

"Kamu mikir dong Adnan, gimana kalau seandainya Mama ada di posisi Arraya? Mamah kehilangan calon suami Mama, lalu Mama malah dijodohkan dengan pelaku dari penabrak calon suami Mama yang meninggal. Lalu ketika menikah, penabrak calon suami Mama itu malah melakukan hal yang menyakiti Mama, bahkan menyalahkan Mama karena pernikahan yang terjadi."

"Wallahi, itu akan berat untuk Mama jika seandaianya Mama ada di posisi Arraya. Tapi Arraya mampu, dia mau menikah sama kamu! Tapi kamu masih saja menyalahkannya? Memang apa yang salah dengan memiliki perasaan cinta pada Arraya? Apa itu dilarang agama? Apa itu dilarang sama Tuhan?"

Adnan termangu mendengarkan tiap perkataan ibunya. Adnan sendiri membenarkan dalam hati, bahwa apa yang dikatakan mamanya memang benar. Ia tidak akan mungkin rela jika seandainya papanya menyakiti mamanya. Dan soal Raya yang jatuh cinta dalam diam padanya, entah mengapa semua itu terasa benar.

Mendadak Adnan merasa dirinyalah yang salah di sini. Padahal sebelumnya, Adnan tidak pernah menganggap dirinya salah. Bahkan soal pernikahan pun, Adnan menyalahkan Raya seorang.

"Jawab pertanyaan Mama, Adnan!" Lidya mencengkeram baju di depan dadanya. Ia merasa sesak mengomeli putranya seperti ini. Tapi memang Adnan perlu dinasehati secara keras saat ini, agar putranya itu tak semakin melampaui batas.

Adnan semakin terdiam. Matanya mengerut sendu menatap mamanya yang terlihat begitu sedih dengan air mata berjatuhan.

"Jika kamu memang masih anak Mama, berikan tanggungjawab kamu yang sepantasnya untuk Arraya. Bawa dia kembali ke rumah, rujuk dia, dan cintai dia sebagaimana janji kamu pada Allah saat melafalkan akad nikah!"

Lidya berbalik. Membelakangi putranya dan langsung mengambil langkah lebar untuk pergi. Mengabaikan Adnan yang memanggil namanya beberapa kali.

🥀🥀🥀

Arraya berdiri di depan jendela ruang rawatnya yang terbuka. Ia membiarkan angin malam menerpa tubuhnya hingga ia merasa tubuhnya sedikit menggigil. Pupil mata Raya bergerak naik untuk menatap langit. Malam ini rupanya mendung. Tidak ada bulan dan juga bintang. Yang ada hanya bentangan langit yang terlihat gelap pekat dan sepi.

Raya menepis air matanya yang tiba-tiba terasa menghangatkan pipinya. Ia merindukan Adnan. Ia ingin bertemu dengan Adnan. Ia ingin menggapai jemari lelaki itu dan menggenggamnya. Ia ingin memeluk tubuh Adnan. Ia ingin melakukan segala hal dengan Adnan. Tapi itu semua tidak mungkin. Talak Adnan padanya telah jatuh secara sah. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi kalau bukan Adnan sendiri yang memintanya untuk rujuk kembali.

Tapi pertanyaannya, apakah Adnan akan mengajaknya rujuk kembali dan mengulang kehidupan pernikahan mereka dari awal? Rasanya sangat tidak mungkin. Harapannya terlalu tinggi melihat Adnan yang bahkan sampai hari ini belum menghubunginya sama sekali.

Arraya menangis sambil meremas bajunya. Matanya menatap nanar amplop cokelat yang ada di tangannya. Amplop cokelat yang berisi surat permohonan gugatan cerai dari Adnan untuk Arraya kepada pengadilan. Arraya sudah tak memiliki harapan apa pun lagi yang bisa mempertahankan bahtera rumahtangganya.

Adnan tidak tahu, jika berkas cerai itu berada di tangan Raya. Raya memegang berkas gugatan itu sebenarnya sejak ia berkunjung ke apartemen milik Adnan untuk mengambil beberapa pakaian di sana yang diminta oleh Bima untuk dibawa ke rumah sakit.

Saat sampai di rumah sakit saat itu, Arraya terlalu bahagia melihat Adnan sadar sehingga ia lupa menanyakan perihal surat yang ia temukan di atas tempat tidur Adnan di apartemen. Tapi ternyata walaupun tidak ia tanyakan, Adnan malah dengan sadarnya kembali mengungkit soal cerai, sehingga perasaannya langsung remuk redam saat itu.

Arraya memeluk amplop itu di depan dadanya. Merasakan patahan-patahan hatinya yang membuat dirinya ngilu sehingga yang ia inginkan adalah terus menangis.

🥀🥀🥀

Adnan menatap secarik kertas kecil yang ditinggalkan dengan sengaja oleh Bi Ira di dalam tas kerjanya. Tertera di atas kertas itu ruang rawat Arraya Kirania. Adnan menimang-nimang sejenak. Setelah ia mencari surat gugatan cerainya dengan Raya tak ia temukan, lalu dimarah-marahi habis-habisan oleh mamanya, Adnan akhirnya memilih untuk mencoba. Adnan akan mencoba menemui Arraya, dan membicarakan semuanya dengan baik-baik. Ia sendiri memang belum yakin mengenai ke depannya, apakah akan mempertahankan rumah tangganya atau benar-benar memilih berpisah.

Setelah semua urusan pekerjaannya di kantor selesai, Adnan akhirnya pergi ke rumah sakit. Ia masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya dengan kecepatan normal. Gemercik air mulai membasahi kaca mobilnya. Tak lama, hujan deras pun mengguyur ibu kota.

Adnan melumat bibirnya. Sebenarnya sejak insiden Bi Ira menasehati sekaligus memarahinya, Adnan jadi sedikit demi sedikit mulai bisa berpikir jernih. Dan karena tadi pagi Lidya juga habis menamparnya, hati Adnan jadi semakin tidak karuan. Ia masih belum mengerti. Ia masih sulit memahami apa yang hatinya mau.

Mobil Adnan berhasil sampai di rumah sakit dengan selamat. Setelah ia memakirkan mobilnya di basement, Adnan langsung keluar dari mobil dan masuk menuju lobby rumah sakit.

"Permisi. Ruangan ini, ada di mana, Sus?" tanya Adnan dengan menunjukkan secarik kertas yang ada di tangannya.

"Oh, ruangan tersebut ada di lantai 3, Pak. Nanti pertigaan belok kanan, tinggal dilihat saja nomor kamar yang tertera di setiap pintunya."

"Oke, makasih."

"Jam besuk hanya tinggal sepuluh menit lagi ya, Pak. Harap bisa memanfaatkan waktu dengan maksimal."

Adnan hanya diam tak menjawab. Ia memilih untuk segera pergi ke kamar Arraya. Entah mengapa, waktu 10 menit terasa lebih berharga saat ini.

Kaki Adnan sontak berhenti di depan sebuah pintu yang sesuai dengan nama ruang rawat Arraya. Adnan merasakan jantungnya yang mulai berdegup dengan cepat. Ia mengepalkan tangannya erat, membuang semua rasa gugup yang tiba-tiba menyelimuti dirinya.

Kaca transparan yang menempel di pintu, membuat Adnan menatap ke arah dalam. Matanya menyapu sekeliling sudut yang ia bisa.

Seorang perempuan dengan kerudung berwarna biru muda terlihat sedang duduk mengahadap ke jendela. Adnan berpikir sejenak, mungkinkah perempuan itu Arraya? Adnan tidak akan tahu jika tidak masuk ke dalam untuk memastikan.

Cklek.

Suara pintu terbuka membuat perempuan itu menolehkan kepalanya ke samping. Pupil mata Adnan terbuka lebih lebar saat bisa melihat lebih jelas wajah perempuan itu dari samping. Perempuan itu memang Arraya.

"Ma?" panggil Raya yang memang belum menolehkan lehernya secara utuh ke belakang. Sehingga ia belum tahu, jika yang masuk ke dalam ruangannya adalah Adnan bukan ibunya.

"Arraya," panggil Adnan dengan suara yang pelan dan sedikit bergetar.

Arraya yang dipanggil namanya sontak terdiam. Membisu dan termangu mendengar ada yang menanggil namanya. Arraya tidaklah pikun. Ia masih bisa mengetahui dengan jelas siapa asal pemilik suara tersebut.

Arraya berdiri perlahan dan akhirnya menolehkan kepalanya.

Jantungnya berdenyut. Aliran darahnya berdesir hebat tatkala matanya memandang sosok yang memanggil namanya beberapa saat lalu.

"Mas Adnan?" sebut Raya dengan nada tak percaya. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, menahan matanya agar tak menangis di depan Adnan.

"Aku ...," kalimat Adnan menggantung beberapa detik. Ia sibuk menyusun kalimat apa yang pantas ia ucapkan saat ini kepada Arraya. Haruskah ia menanyakan kabar gadis itu yang terlihat tidak baik-baik saja? Atau haruskah Adnan meminta maaf atas segala macam kesalahannya? Atau haruskah ia langsung membicarakan soal talaknya pada Arraya?

Untuk sejenak, Adnan diam menatap lekat wajah Arraya yang berdiri sekitar 4 meter darinya. Bi Ira memang benar, wajah gadis itu terlihat lebih tirus dari yang terakhir ia lihat. Kelopak matanya terlihat sayu, kantung mata Raya pun terlihat sedikit menghitam. Wajah gadis itu pucat, bibirnya juga pecah-pecah. Jelas sekali terlihat kalau Raya memang sedang tidak baik-baik saja.

"Ada apa Mas ke sini?"

Adnan sedikit terkejut mendengar pertanyaan Raya. Apakah pertanyaan barusan sindiran untuknya agar segera pergi?

"Aku ...."

"Arraya?" kalimat Adnan langsung kembali menggantung begitu Muaz muncul di pintu dan memanggil nama Raya. 

Adnan sontak menoleh. Baik Adnan maupun Muaz sama-sama membulatkan mata karena kaget melihat kehadiran satu sama lain.

Kenapa baru datang saat ini? Kemana saja Adnan selama ini? Kenapa di saat dirinya mulai bersiap menggantikan, Adnan malah muncul? Banyak pertanyaan yang menghujam kepala Muaz saat melihat Adnan.

Muaz masuk dan berdiri di samping Adnan. Ia memang masih merasa segan di dekat Raya jika ada Adnan di dekat gadis itu, tapi ia perlu untuk menyampaikan sebuah pesan padanya. 

"Arraya, orangtua kamu sudah menunggu di lobby dan sedang mengurus administrasi kamu. Saya ke sini diminta untuk jemput kamu."

"Apa?" tanya Adnan dalam hati. Seketika ia merasa bodoh. Ternyata, hari ini adalah hari di mana Arraya sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Dan ia merasa lebih bodoh lagi karena ternyata ada pria lain yang menjemput Arraya di saat ia berada di ruangan yang sama.

"Kalau memang sudah ada suamimu yang menjemput, maka saya pamit. Saya akan menemui orangtuamu di luar."

Melihat Adnan diam saja, Arraya menjadi semakin tidak karuan.

"Tidak perlu," kata Raya memecah keheningan di kepala Adnan. "Saya akan tetap pulang bersama dengan Pak Muaz dan orangtua saya."

"Baiklah, kalau begitu saya tunggu di luar." Awalnya Muaz merasa ragu, tapi akhirnya ia mundur selangkah demi selangkah keluar dari ruangan setelah membawa semua tas dan barang Arraya. Ia memberikan waktu bagi Adnan dan Arraya. Bagaimanapun juga ia masih tahu diri, kalau ia bukanlah siapa-siapa Arraya.

Adnan masih diam di posisinya. Raya yang tak mengerti apa maksud Adnan, akhirnya juga memilih untuk pergi. Ia memposisikan matanya lurus ke depan, melewati tubuh Adnan secepat mungkin yang ia bisa.

"Arraya!"

Arraya berhenti tepat di ambang pintu saat mendengar namanya dipanggil oleh Adnan. Arraya diam, menunggu Adnan berkata lebih banyak agar ia mengerti apa maksud Adnan memanggil namanya.

"Soal perceraian..."

Kedua bibir Arraya sontak tertarik. Tersenyum lirih dan miris. Ia tak menyangka jika Adnan kembali mengungkit soal perceraian. Raya benar-benar tidak mengerti kesalahan apa yang ia perbuat hingga Adnan memperlakukannya seperti ini?

Arraya memutar tubuhnya. Ia menatap Adnan lurus tepat di matanya. "Apa Mas Adnan ke sini untuk menambah talak untukku?" kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Arraya. 

"Ra, maksud aku—" belum sempat Adnan melanjutkan kalimatnya, Arraya sudah kembali memotong. 

"Mungkinkah Mas mencari ini?" Raya mengangkat map cokelat yang sejak tadi ia pegang di tangannya.

Adnan menyipitkan matanya, menatap dokumen yang Raya pegang. Seketika matanya membulat. Dokumen gugatan cerai yang ia cari-cari setengah mati ternyata ada di tangan Raya sendiri.

"Maaf, tapi aku harus pulang sekarang, Mas. Aku masih belum enak badan." Raya langsung berbalik. Ia ingin segera sampai di rumah. Dadanya sudah begitu sesak menahan air matanya yang ingin meloloskan diri sejak tadi. Ia sudah sangat tidak ingin membahas isi gugatan itu. Sudah pernah ia sampaikan bahwa ia memasrahkan semuanya pada Allah Swt.

"Ra, maksud aku ke sini adalah untuk—"

Raya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. "Raya tidak ingin mendengarnya, Mas." Gadis itu langsung melangkah keluar, meninggalkan Adnan yang tergugu di tempatnya.

Adnan hanya bisa menatap kepergiannya Raya dalam hampa. Arraya pergi meninggalkannya. Apa yang ingin ia katakan belum tersampaikan pada Arraya. Arraya sudah lebih dulu salah paham padanya dan Arraya sudah lebih dulu pergi meninggalkannya.

Kini, tak ada lagi kesempatan Adnan untuk berbicara. Adnan sudah diberikan banyak waktu dan kesempatan, tapi lelaki itu tak pernah menggunakannya ataupun memanfaatkannya dengan baik.

🥀🥀🥀🥀🥀

Hayoloh adnan....!

Jazakumullah ya Khair❤

© Haphap

Komentar