26 | First Kiss

🥀 CERITA INI SUDAH PERNAH TAMAT 🥀

Follow ig : @hapsyahnurfalah

"Arraya?"

Arraya sontak berdiri karena kaget. Dengan gelagapan gadis itu mencari kerudung hitam tapi tak juga menemukannya. Akhirnya ia menyerah dan memberanikan diri menatap lantai marmer kamar dengan kepala tanpa hijab. Rambut panjang hitamnya, ia biarkan tergerai, menjuntai hingga perut di hadapan Adnan yang kini sudah halal untuknya.

"Ya.. ya, Kak?"

Hening. Arraya tak mendengar Adnan melanjutkan kalimatnya. Tapi saat ia mendongakkan kepala, ia malah melihat Adnan sedang memperhatikan dirinya dengan pandangan yang lekat.

"Kenapa, Kak?" tanya Raya sekali lagi. Arraya meremas ujung baju tidurnya karena tak kuasa menahan debaran jantung yang semakin menggebu hebat. Ini adalah malam pertamanya.

"Tidak jadi," jawaban yang singkat. Tidak seperti kepala Arraya yang malah memikirkan hal aneh-aneh.

Sesekali ia melirik Adnan yang kini sedang menyibukkan diri dengan menata beberapa buku miliknya di lemari buku Adnan.

Hal yang katanya ingin dibicarakan oleh Adnan, sampai pada menit-menit berikutnya pun belum terlaksana. Adnan selalu tutup mulut, maka Raya pun begitu. Rasanya begitu canggung untuk Arraya membuka percakapan padanya. Padahal dulu, gadis itu paling suka bicara pada Adnan. Ia suka cara Adnan berbicara. Ia suka cara Adnan menyampaikan pendapat dan memberikan saran. Ia suka caranya tersenyum, dan ia juga suka jika Adnan tertawa.

"Aku mau pergi," ucapnya setelah beberapa saat hanya berdiam diri.

Arraya gantian menatap ke arah mata Adnan, sementara Adnan malah menunduk. Detik berikutnya ia kembali mengangkat pandangannya. Tatapan matanya datar. Tak ada sorot kasih yang terpancar dalam matanya saat menatap gadis yang sudah sah menjadi istrinya beberapa jam yang lalu.

Arraya jadi bertanya-tanya, sebagai apa Adnan memandangnya saat ini?

"Kakak mau ke mana?" Arraya baru menyadari kalau Adnan tidak memakai piyama, melainkan kemeja dan juga celana hitam. Dilihat dari pakaiannya saat ini, tentu tidak mungkin jika Adnan hanya ingin beranjak tidur.

"Rumah sakit," jawabnya singkat.

"Kak Adnan sakit? Mau Raya siapkan obat?" tanyanya yang jadi mengkhawatirkan keadaan Adnan.

"Aku baik, nggak lagi sakit."

"Lalu?" tanya Raya lagi dengan hati-hati.

"Kamu nggak perlu tau. Jika jam 10 aku belum pulang, kunci semua pintu dan tidurlah di kamar. Jangan menungguku pulang."

Setelah mengatakan kalimatnya, Adnan langsung berbalik badan. Pergi keluar kamar tanpa memberikan kesempatan Arraya yang ingin mencium punggung tangannya dan mengucapkan salam.

Mobil Adnan meninggalkan asap tipis di pekarangan rumah. Ia mengemudikan mobilnya dengan keadaan cepat, mengingat jalan raya sudah lebih sepi karena malam.

Setelah berpikir keras selama akad selesai hingga sebelum ia pamit dengan Arraya, Adnan akhirnya  yakin untuk pergi meninggalkan Arraya di malam pertama mereka. Selain Adnan tidak mau berdua dengan Arraya, ia lebih memilih mengunjungi gadis tunangannya yang berada di rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Adnan langsung naik ke lantai 4. Ia membuka pintu ruang rawat, membuat seorang wanita paruh baya di dalam menoleh dengan segera.

"Adnan?" tawa wanita paruh baya itu langsung pecah begitu matanya menangkap jelas kehadiran Adnan. Ia berdiri dengan lemas dan menghampiri Adnan. Tangan Adnan membantu menopang tubuhnya yang bergetar karena isak.

"Maafkan saya, Bu..." Adnan ikut menitikkan air matanya. "Maafkan saya karena saya harus menikahi perempuan lain..." Adnan menatap sedih perempuan yang kini ada di atas bed rumah sakit. Afifah Nada Shakilla, gadis yang teramat ia cintai. Seorang gadis yang akhirnya bisa bertahta di hatinya setelah sekian lama ia sulit membuka hati saat ia tidak bisa memiliki Alya kala itu.

Adnan tak bisa menahan sedihnya melihat gadis yang ia cintai harus terbujur lemas dengan berbagai perlatan medis menancap di tubuhnya. Adnan semakin menyalahkan dirinya sendiri karena yang membuat Afifah sampai seperti ini adalah dirinya.

Yanti hanya bisa menangis mendengar permintaan maaf Adnan. Ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Ia marah pada Adnan. Marah karena Adnan kurang berhati-hati mengendarai mobil dan akhirnya malah menyebabkan kecelakaan. Tapi ia juga tidak bisa mengelak saat Adnan ternyata membuat korban lain terbunuh, hingga yang ia tahu Adnan harus menikahi calon istri dari sang korban.

Yanti sudah cukup lama mengenal Adnan. Adnan adalah lelaki pujaan hati putrinya. Cukup lama bagi Adnan dan Afifah saling mengenal sebelum akhirnya Adnan memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya dan akhirnya mereka bertunangan.

"Lalu bagaimana dengan Afifah, Adnan? Apakah kamu tega melihatnya seperti ini? Bagaimana jika nanti setelah dia bangun dia mencari kamu? Bagaimana jika nanti—"

"Bu..." Adnan memotong kalimat Yanti. "Saya janji saya tidak akan pernah meninggalkan Afifah seorang diri. Saya mencintai Afifah, dan sampai kapanpun saya tidak akan pernah bisa melepaskannya, Bu."

"Lalu bagaimana dengan perempuan itu yang telah menjadi istri kamu, Adnan?"

"Saya akan menceraikannya, Bu, cepat atau lambat. Dan Afifah, saya akan menikahinya ketika dia bangun nanti. Ibu harus percaya sama saya, kalau saya sangat mencintai Afifah."

Yanti mengangguk dengan wajah berderai air mata. Ia tak dapat menafikkan kenyataan, bahwa ia sangat menginginkan putrinya bahagia. Apapun akan ia lakukan saat ini demi kebahagiaan putrinya.

"Ibu akan tagih janji kamu itu suatu hari nanti Adnan..."

Mata Adnan sontak terbuka lebar. Napasnya memburu, keringat bercucuran dari pelipis dan sekitar wajahnya. Adnan bermimpi. Ia memimpikan saat di mana ia meninggalkan Arraya seorang diri di rumah dan ia pergi ke rumah sakit untuk menjenguk tunangannya secara diam-diam. Memang sejak saat itu, ia tidak pernah bercerita soal kapan saja ia pergi untuk menemui Afifah di rumah sakit.

"Arraya?" Adnan sedikit bernapas lega saat melihat wajah Arraya ada di depan wajahnya. Ia juga cukup terkejut saat menyadari lampu kamar mereka yang telah menyala, tapi Adnan tidak terlalu mempermasalahkannya.

Adnan memperhatikan wajah Arraya dalam jarak yang sangat dekat. Wajah istrinya itu terlihat begitu damai dengan kedua matanya yang terpejam. Bulu mata lentiknya, hidungnya yang mungil, serta bibir merah muda yang tercipta dalam satu wajah istrinya. Napas Arraya terdengar teratur. Walau dari jarak yang sangat dekat dengan wajah Arraya, Adnan sama sekali tidak mencium ada aroma tak sedap yang menguar dari istrinya itu.

Adnan meraih jemari Arraya yang berada di depan dada. Ia menggenggamnya erat. Adnan mendekatkan wajahnya dengan wajah Arraya. Sangat dekat hingga kening mereka berdua dan kedua ujung hidung mereka saling bersentuhan. Berebut pernapasan yang mendadak tipis karena kedekatan keduanya.

"Maafin aku, Arraya... Maafin kelakuan aku malam itu..."

"Afifah... Maaf... Aku mengingkari janji yang pernah aku katakan pada kamu dulu..."

Adnan yang merasakan matanya berat, akhirnya kembali terpejam rapat. Ia membiarkan dirinya kembali terlelap dengan posisi menggenggam tangan Arraya dan menempelkan kening juga hidungnya dengan Arraya.

Adnan benar-benar jatuh terlelap. Ia bahkan tak sadar jika kedua mata di hadapannya telah terbuka sempurna.

Kedua mata Arraya terbuka sempurna. Ia bisa merasakan hangatnya kening Adnan juga deru napas Adnan yang menyapu wajahnya. Setitik air mata menetes di sudut matanya.

"Mas memanggil namanya sebanyak tiga kali. Apa itu artinya kamu sangat merindukannya?"

🥀🥀🥀

Adnan keluar dari kamar setelah memakai kemeja berwarna biru langit lengkap dengan dasi sesuai yang telah disiapkan oleh Arraya. Saat ia meminta Arraya untuk membantu memakaikannya dasi seperti awal mereka menikah, Raya menolaknya dengan alasan ingin membantu Bi Ira membuatkan sarapan untuknya. Adnan hanya bisa diam walau ia mengerti ada sedikit gestur aneh yang diberikan Arraya padanya pagi ini.

Tak terlalu ingin ambil pusing, Adnan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Ia yakin jika Arraya sedang ada masalah, maka gadis itu akan menceritakannya padanya.

Adnan turun ke bawah dan menarik salah satu kursi di meja makan. Arraya terlihat sibuk dengan Bi Ira. Mereka terlihat bersemangat berada di dapur yang sesekali Adnan dengar tawa keduanya. Adnan senang karena kini rumahnya terasa jauh lebih hidup. Ia bisa melihat senyum dan tawa Raya sepuasnya di rumah ini.

Selagi menungu sarapannya, Adnan membuka laptopnya. Banyak sekali hal yang harus Adnan lakukan di perusahaan. Banyak sekali hal yang haru Adnan benahi dari awal. Ia sadar, beberapa hari ke belakang, performa kinerjanya sangat menurun. Faktor terbesar semua itu adalah saat di mana hubungannya dengan Arraya mulai renggang dan Arraya pergi meninggalkannya.

"Mas, kerjanya nanti aja di kantor. Sekarang sarapan dulu." Adnan mendongak dan menemukan istrinya yang menawarkan makanan yang sudah disajikan di atas meja. Raya membantu Bi Ira membuat sandwich dan juga salad buah dengan mayonais untuk menu sarapan mereka bersama.

Adnan tersenyum tipis. "Makasih, Ra," ucapnya. "Kamu juga sini duduk. Temani aku sarapan pagi ini."

"Mas makan duluan aja. Aku nanti aja sarapan di kantor bawa bekel."

Adnan berdecak pelan. Ia langsung menarik tangan Arraya hingga mau tidak mau ia terpaksa duduk di atas kursi. "Sarapan sekarang, nggak ada nunggu sampai kantor."

"Tapi aku belum pakai kerudung, Mas. Nanti aku bisa terlambat kalau harus sarapan dulu sekarang."

"Tidak akan terlambat, aku yang antar kamu ke kantor hari ini."

"Tapi, Mas—"

"Tidak ada penolakan, Arraya." Arraya menghela napas pasrah. Rupanya karakter tegas Adnan itu tetap melekat kuat.

🥀🥀🥀

Keempat roda berhenti begitu rem tangan ditarik sempurna. Mobil Adnan sudah berhenti dan sampai di depan kantor Arraya. Adnan meniti pandangannya ke kantor Arraya dan semua manusia lalu lalang di sekitarnya.

"Makasih banyak ya Mas, udah anterin Raya sampai sini."

Adnan menoleh dan tersenyum tanpa beban "Nggak masalah, lagian kan kita searah. Ke depannya aku yang akan antar jemput kamu setiap hari, oke?"

"Boleh, kalau Mas nggak keberatan."

"Nggak sama sekali, Arraya."

"Ra..."

"Ya, Mas?"

"Pagi ini kamu terlihat menghindar. Apa sedang ada masalah?" Awalnya Adnan ingin mengabaikannya, tapi karena sepanjang perjalanan Arraya juga lebih banyak diam dengan menatap ke luar jendela, Adnan semakin dibuat penasaran.

Raya diam mencerna pertanyaan yang Adnan lontarkan. Ia jadi mengingat kejadian tadi malam. Ia memang terbangun lebih awal karena mendengar Adnan mengigau dalam mimpinya. Itu pulalah yang menjadi kebingungan Adnan mengapa lampu kamarnya bisa menyala saat ia membuka mata.

"Nggak ada apa-apa kok, Mas. Aku juga nggak merasa kalau aku menghindari kamu."

"Beneran? Tapi aku merasa ada yang berbeda dari tatapan kamu hari ini."

Arraya memasang senyum samar untuk menghilangkan khawatir suaminya. " Mungkin pikiran Mas aja kali. Aku beneran nggak papa, Mas."

"Kalau ada sesuatu, please ceritain ke aku, Ra."

Arraya mengangguk tanpa menjawab ucapan itu. "Kalau gitu aku pamit ya Mas, assalamu'alaikum." Raya meraih tangan kanan Adnan dan mengecupnya singkat. 

"Wa'alaikumsalam. Kamu jangan lupa akan siang ya, Ra." Arraya mengangguk sambil membalas senyum Adnan yang tercetak untuk dirinya.

Arraya melambai dan membuka pintu mobilnya.

"Ra?" panggilan dari Adnan membuat Raya menoleh cepat sebelum kakinya keluar menginjak bumi.

"Ya?"

Cup!

Arraya merasakan kecupan Adnan di keningnya yang merambat menghangat ke seluruh wajah dan juga tubuhnya.

"Mas Adnan..." Arraya berpaling untuk menyembunyikan rona di wajahnya. Arraya tersenyum malu-malu.

"I love you, Arraya."

Arraya semakin menautkan jemarinya erat mendengar lirih suara Adnan yang membuat bulu kuduknya meremang.

"Ra... don't you love me?" telunjuk Adnan meraih dagu istrinya. Membuat wajah Arraya mau tak mau menghadap lurus wajah Adnan. Suaminya itu memang benar-benar tampan. Ketampanan Adnan yang kian hari semakin membuatnya seolah tersihir.

"I love you, Mas."

Bibir Adnan mencetak senyum lebar. Ia memandangi wajah istrinya dari jarak yang dekat. Meniti tiap inci wajah cantik istrinya.

"Thank you, wife," ucap Adnan setelah menghadiahi kecupan di bibir Arraya sekilas.

Arraya segera menjauhkan wajahnya dengan canggung. Wajahnya benar-benar memerah karena ciuman Adnan. Itu adalah ciuman pertama mereka berdua. Walaupun sangat singkat, itu sudah cukup membuat jantung Arraya berdebar tak karuan. Dan Arraya, tak sampai pikiran ke sana jika Adnan akan mencium bibirnya saat itu juga, di mobil.


🥀🥀🥀

MAU LANJUT LAGI BESOK MALAM??
Jangan lupa vote, komen, dan kasih rekomendasi ke temen" kamu untuk sama" baca cerita ini 🌹

Sekian,
Jazakumullah ya Khair

Komentar