43 | Mari Bercerai

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Guys, sad ending or happy ending?

Playlist : Kamu dan Kenangan
(Shanna Shannon Cover)
❤❤❤

Pernah merasa kecewa berat karena cinta? Arraya sudah pernah merasakannya. Bahkan bukan hanya sekali, melainkan beberapa kali. Tapi untuk kali ini rasanya berbeda. Kecewa yang Arraya rasakan saat ini terasa berkali-kali lipat lebih menyakitkan dan mengecewakan. Kecewa yang Arraya rasakan saat ini seperti puncak dari semua rasa sakit yang pernah ia rasakan dulu.

Menangis, entah sudah berapa banyak air mata yang mengalir di pipi Arraya akibat pernikahannya bersama Adnan. Entah sudah berapa banyak kecewa dan hati yang terluka karena sikap yang Adnan berikan untuk Arraya.

Arraya mencoba untuk tak menangis lagi, ia berusaha menghentikan semua air matanya saat ini. Tapi itu semua seolah sia-sia. Arraya bahkan sampai merasakan dadanya yang begitu dihimpit oleh sesak.

Sopir taksi yang membawa Arraya pergi dari rumah sakit ikut merasa sedih dengan yang dialami penumpangnya walau ia tak bertanya. Hanya dengan mendengar suara tangis Arraya yang tertahan sudah cukup membuat perasaan pria baya itu merasa kasihan. Melihat Arraya, ia jadi mengingat putri pertamanya yang sudah pergi meninggal dunia. Jika putrinya masih hidup, mungkin terlihat seperti Arraya. Senang memakai baju yang sopan dan memakai kerudung yang menutupi dada.

"Tidak apa untuk menangis. Bahu dan usapan terkadang tidak cukup untuk menyembuhkan. Cukup air mata yang mengalir dengan bebas tanpa ada suara yang tertahan."

Mendengar bapak supir taksi yang seolah berkata padanya, entah mengapa membuat Arraya merasa lebih tenang. Ia baru sadar, jika sejak tadi ia tidak sendirian. Ada seseorang yang kini menemaninya walau ia juga tak mengenal. Tangis Arraya langsung keluar detik itu juga. Ia mengeluarkan semua sesak di dadanya tanpa beban. Ia mendengarkan bapak supir taksi tersebut.

Sampai di rumah, Arraya langsung berlari ke dalam kamarnya. Ia mengabaikan panggilan Bi Ira yang panik karena melihatnya pulang dengan keadaan wajah sembab dan pucat karena tangis. Tanpa duduk dan membuka pakaiannya, Arraya langsung menarik sebuah koper miliknya. Tanpa berpikir panjang, ia mengeluarkan beberapa pakaian yang ada di lemari dan memasukkannya ke dalam koper.

Harusnya memang ia tidak perlu kembali ke rumah Adnan lagi. Harusnya ia sudah tidak perlu kembali ke rumah orang yang selalu menyakitinya. Sayangnya Arraya terlanjur meminta diantar ke alamat rumah yang notabennya adalah rumah Adnan kepada supir taksinya tadi. Arraya tidak mungkin pergi ke rumah orangtuanya lagi. Ia tidak mau lagi membawa masalah rumahtangganya kepada kedua orangtuanya. Ia ingin menyelesaikannya sendiri, dan dengan caranya sendiri.

"Saya ingin memohon sama kamu... Bisakah kamu memberikan Adnan untuk Afifah?"

"Berikan Adnan untuk anak saya."

"Minta cerailah dengan Adnan. Biarkan Adnan menikah dengan anak saya, Afifah. Saya mohon sama kamu sebagai seorang ibu."

Gerakan Arraya sontak berhenti begitu mengingat kembali ingatan sebelumnya bersama ibunya Afifah. Ia langsung jatuh terduduk. Kedua kakinya yang terus bergetar sudah tak lagi mampu menopang beban tubuhnya.

"Tapi Mas Adnan adalah suami saya," dengan suara bergetar, Raya mencoba mengutarakan penegasan yang malah terdengar seperti sebuah lirih lemah.

"Saya tahu. Anggaplah saya ini adalah orang jahat. Tapi hanya ini yang bisa saya lakukan demi kebahagiaan anak saya."

"Lalu bagaimana dengan kebahagiaan saya? Bagaimana dengan perjuangan saya selama ini untuk mendapatkan hati Mas Adnan?"

"Saya yakin perempuan baik seperti kamu akan bisa mendapat suami lain yang lebih baik dari Adnan. Saya yakin perempuan baik seperti kamu akan bisa mendapat suami lain yang lebih sempurna dari Adnan. Tapi saya mohon sama kamu, berikan Adnan untuk Afifah."

"Lepaskan Adnan dan biarkan Adnan bahagia bersama Afifah. Mereka itu saling mencintai."

Arraya menepuk dadanya beberapa kali. Berharap rasa sesak di dalam akan pergi. Ia menekuk kedua lututnya dan bersandar di depan lemari. Setiap ucapan ibunya Afifah yang melintas di kepalanya membuat kepala Arraya berdenyut sakit. Apalagi saat mengingat langsung kejadian di mana Arraya memergoki Adnan sedang berpelukan dengan Afifah di dalam ruang rawat.

"Makasih untuk semuanya, Mas. Aku sungguh mencintai kamu. Terima kasih sudah mencintai aku sampai dengan detik ini."

Bagaimana bisa semua orang begitu tega padanya ketika ia sudah berusaha mati-matian membangun bahtera rumahtangganya dengan susah payah?

Isak tangis kembali terdengar dalam kamar luas tersebut. Raya tak kuasa menahan rasa sedihnya yang terus menghimpit dadanya. Rasanya sesak dan membuatnya jadi sulit bernapas.

"Nanti malam Mas pulang jam berapa?"

"Kemungkinan tengah malam."

"Ada apa lagi dengan malam ini?"

"Biasa, Sayang."

"Apanya yang biasa, Mas?"

"Ya kerjaan aku lagi numpuk terus sekarang-sekarang. Pokoknya kantor lagi hactic pake banget deh."

Raya mengambil kesimpulannya sendiri, jika Adnan memang selingkuh. Pantas saja jika selama seminggu ini sikap Adnan aneh. Selalu pulang malam dan terkadang sikapnya mencurigakan.

"Non! Non Raya!!"

Suara panik Bi Ira yang mendengar jika Raya sedang menangis di dalam kamar menggedor pintu kamar Arraya.

"Non Raya kenapa? Non, buka! Bibi khawatir!"

"Non Raya!!"

Tangis Raya semakin menjadi. "Haruskah malam itu tidak pernah terjadi, Mas? Aku nggak pernah membayangkan kalau kamu akan khianati aku dengan cara seperti ini."

Malam itu, malam saat hujan turun dengan lebat. Malam saat di mana Adnan datang ke rumahnya dan meminta maaf dengan begitu tulus. Mengajaknya untuk kembali hidup bersama. Mengajaknya untuk memulai mengarungi samudra pernikahan dengan Adnan. Tapi rupanya, itu semua kandas dengan begitu cepat. Pernikahannya dengan Adnan belum berjalan satu tahun, bahkan masih sangat dini untuk usia pernikahan. Jika setahun untuk orang pada umumnya adalah masa yang biasanya sangat membahagiakan, menurut Arraya masa kurang setahun ini ia sudah merasakan bahagia juga sakitnya. Rasa sakitnya bahkan lebih terasa dibanding rasa bahagia yang ia rasakan bersama Adnan.

"Non Raya, buka!! kalau Non Raya nggak buka, Bibi dobrak nih pintunya!"

Bi Ira yang berada di luar masih terus berusaha meminta Raya agar membuka pintu kamar yang dikunci. Tentu saja Bi Ira sangat mengkhawatirkan kondisi Arraya. Arraya sudah seperti anak kandungnya yang sangat ia sayang dan sangat ingin ia lindungi.

Hingga lima menit kemudian, pintu tak kunjung dibuka oleh Arraya. Bi Ira yang berada di luar sibuk menelepon nomor telepon Adnan yang tak kunjung mengangkat panggilannya. Bi Ira yang tak tahu apa-apa hanya bisa mengandalkan Adnan. Tak ada lagi yang bisa Bi Ira lakukan selain menghubungi Adnan. Adnan sendiri yang pernah memberitahu Bi Ira, jika ada sesuatu yang terjadi pada Arraya, apa pun itu, Bi Ira harus segera menghubungi Adnan.

🥀🥀🥀

Adnan begitu dilanda kepanikan. Kepalanya celingak-celinguk penuh gelisah menyaksikan jalanan di depannya dipenuhi oleh mobil yang berjajar terjebak macet. Adnan sudah tak lagi dapat berpikir jernih. Ia benar-benar takut akan Arraya. Memikirkan bagaimana perasaan Arraya saat ini, Adnan takut membayangkannya.

"Tadi istri kamu ke sini."

"Dia tadi liat kamu lagi pelukan sama Afifah di ruangan."

"Perempuan lemah seperti istrimu itu pasti sudah terlanjur merasa bahwa suaminya tidak mencintainya dan justru selingkuh dengan perempuan lain."

"Ibu nggak mau tau, Adnan! Pokoknya kamu harus menceraikan istri kamu itu!"

"Kamu jahat, Adnan!"

Adnan masih tidak percaya jika ibunya Afifah akan setega itu meminta pada Arraya agar berpisah dengannya. Adnan tidak bisa mengerti, juga tidak bisa memahami. Bagaimanapun, ibunya Afifah bukanlah siapa-siapa untuk Adnan. Sama sekali tidak memiliki hak untuk bicara hal yang Allah benci seperti itu. Sampai mati pun, Adnan tidak akan melepaskan Arraya. Ia sudah bertekad dalam dirinya, jika kesalahan yang sama tak akan pernah terulang untuk kedua kalinya.

"Adnan, Ibu mau bicara sama kamu."

Adnan menoleh, menatap ibunya Afifah dari kursinya. Melihat Yanti yang masih menunggu dirinya, akhirnya Adnan ikut berdiri. Sama-sama berjalan keluar dari ruang rawat Afifah.

"Ada yang perlu Ibu bicarakan, Adnan."

"Ada apa, Bu?" Adnan hanya bisa berharap jika ekspresi ibunda Afifah padanya bukanlah karena kabar gila yang sejujurnya takut untuk Adnan pikirkan.

"Bolehkah Ibu menagih janji kamu ke Ibu sekarang?"

"Janji apa, Bu?" Adnan masih juga tidak mengerti maksud ibu paruh baya di depannya.

"Tolong nikahi Afifah secepatnya Adnan. Karena Alhamdulillah Afifah sudah sadar, Ibu rasa seharusnya kamu juga harus mulai menyiapkan pernikahan kalian. Jika terus ditunda, Ibu takut terjadi apa-apa dengan Afifah, Adnan."

Hari itu, hari di mana saat Adnan menginjakkan kakinya kembali ke rumah sakit untuk melihat kondisi Afifah setelah beberapa saat ia tidak lagi melakukannya. Padahal hari itu, harusnya ia masih bersama Arraya di Raja Ampat. Tapi sialnya, Tasya terus menerornya dengan telepon tiada henti. Arraya juga ikut mengiyakan permintaan Afifah dan pada akhirnya memaksa Adnan untuk terbang kembali ke Jakarta.

Dan karena itu jugalah, Adnan jadi terjerat permintaan tidak masuk akal ibunya Afifah. Ibunya Afifah meminta Adnan agar berpura-pura belum pernah menikah dengan Arraya. Ibunya Afifah meminta Adnan menyembunyikan semua kebenaran yang terjadi selama Afifah jatuh koma. Ibunya Afifah juga meminta Adnan untuk berpura-pura masih sangat mencintai Afifah. Dan itu semua harus Adnan lakukan dengan iming-iming bayaran jika ibunya Afifah tak akan pernah menceritakan semuanya kepada Arraya. Tapi nyatanya, semua janji itu diingkari sendiri oleh ibunya Afifah. Adnan sudah melakukan semua yang ibunya Afifah inginkan, tapi ibunya Afifah juga yang melanggarnya dan bahkan bicara yang tidak-tidak pada Arraya.

Adnan menjambak rambutnya kuat. Ia berteriak dan memukul stir kemudinya sekuat tenaga. Mungkin jika ia mau jujur

Penyesalan memang selalu terjadi belakangan. Penyesalan memang menyebalkan, tapi penyesalan lah yang membuat kita belajar. Saat penyesalan datang menyadarkan akan kesalahan, dari sana kita belajar untuk berbenah dan bertekad melakukan semuanya dengan lebih baik.

🥀🥀🥀

"Apa benar Mas Adnan sudah menikah?"

Yanti terpaku diam mendengar pertanyaan dari putri sematawayangnya.

"Bu, jawab!" pelupuk mata Afifah sudah dipenuhi genangan air mata. Rasanya seperti disadarkan dari kematian tapi didorong masuk jurang setelahnya. "Apa benar Mas Adnan sudah menikah?" bergetar suaranya saat bertanya. Afifah tak menyangka dengan apa yang baru saja ia dengar tadi.

Yanti menunduk dengan menutup wajah dengan telapak tangan. Bahunya bergetar, ia menangis. Tak sanggup rasanya jika harus menyaksikan putrinya bersimbah air mata. Tak sanggup rasanya jika harus melihat putri yang sudah lama tak melihat dunia harus dipaksa melihat kenyataan yang pahit.

"Bu, ku mohon.... jawab aku! Apa bener Mas Adnan sudah menikah?"

"Afifah, maafin Ibu... ibu nggak berjuang lebih banyak untuk kamu. Tapi kamu tenang aja, Ibu akan lakuin semuanya untuk kamu. Ibu akan pastikan kalau Adnan akan cerai dengan istrinya."

Helaan napas meluncur dengan segala bebannya dari bibir Afifah, bersamaan dengan air mata pertama yang jatuh di atas pipinya. "Jadi bener Mas Adnan sudah menikah?" tanya Afifah lagi dengan air mata yang sudah banyak berderai di kedua pipinya.

"Dengan siapa, Bu? Dengan siapa Mas Adnan menikah?"

"Afifah, kamu nggak perlu tau soal itu. Ibu yang akan mengurus semuanya. Sebentar lagi Adnan akan menceraikan istrinya, dan kamu akan bisa menikah dengan Adnan secepatnya.

"Jawab pertanyaan aku, Bu. Dengan siapa Mas Adnan menikah?"

"Afifah, kamu nggak perlu tau..."

"Bu... jawab aku. Dengan siapa Mas Adnan menikah?"

"Calon istri dari pengendara yang meninggal saat kecelakaan kalian malam itu. Ceritanya panjang sayang, kamu nggak perlu denger cerita nggak penting itu."

"Apa?" pupil mata Afifah bergetar mendengar penuturan sang ibu. "Apa Ibu bilang? Pengendara yang meninggal karena kecelakaan malam itu? Apakah ada korban meninggal malam itu?"

"Afifah, kamu nggak perlu pikirin ini semua. Ini semua salah Adnan. Dia yang nggak hati-hati saat bawa mobil. Dia adalah penyebab kecelakaan malam itu. Dia yang harusnya bertanggungjawab-"

"Bu!!" pekik Afifah tak sabar karena ibunya selalu berusaha menahan dirinya untuk tak lagi bertanya. "Penyebab kecelakaan malam itu adalah aku, bukan Mas Adnan!"

"Ap..apa kamu bilang?" Yanti berharap ia baru saja salah mendengar.

"Aku yang putar stir kemudi Mas Adnan sampai akhirnya mobil jadi hilang kendali dan menabrak mobil di depan!"

Yanti menggelengkan kepalanya. "Bilang sama Ibu kalau kamu bercanda, Afifah!"

"Nggak! Aku nggak berbohong! Aku bicara apa adanya!"

Yanti semakin menggelengkan kepalanya. Mengapa Afifah mengatakan hal mengerikan seperti itu? Mengapa harus di saat ia sudah berjuang mati-matian mengambil Adnan dari Afifah?

Afifah sontak menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia menangis sejadinya detik itu juga. Jika saja kesalahan itu tak pernah ia buat, mungkin kecelakaan malam itu tak akan pernah terjadi.

🥀🥀🥀

Suara deru mesin mobil di depan seakan melahirkan harapan Bi Ira. Ia sudah hafal betul jika suara mobil itu adalah suara mobil majikannya, Adnan. Bi Ira langsung menuruni tangga dan berlari tergopoh-gopoh untuk menghampiri Adnan.

"Apa Arraya ada di sini, Bi?" sebelum Bi Ira sampai keluar, Adnan sudah lebih dahulu masuk ke dalam rumah karena berlari. Wajahnya panik, napasnya tak beraturan dengan bulir keringat di sekitar pelipisnya.

"Ada! Aden tuh justru ke mana aja sih, Bibi teleponin Aden dari tadi nggak diangkat. Aden tau nggak, Non Raya tadi pulang ke rumah dengan wajah merah dan sembab. Terus tadi Bibi denger lagi kalau Non Raya nangis di kamarnya. Non Raya bahkan kunci rapat pintunya, Den."

Adnan langsung berlari naik ke atas tanpa mengatakan apapun pada Bi Ira. Terbakannya ternyata benar, jika Arraya ada di dalam rumah. Bertepatan saat Adnan ingin membuka pintu, pintu kamar tersebut sudah lebih dulu terbuka dari dalam. Arraya muncul dari dalam kamar dengan menarik sebuah koper.

"Sayang, kamu mau ke mana?"

Adnan masih berusaha tenang walau hatinya sulit untuk diminta tenang. Bisakah ia tenang ketika melihat istrinya membawa sebuah koper, seolah ingin pergi dari rumah?

Arraya tak menjawab, hanya menggeser pelan tubuh Adnan agar tak menghalangi jalannya.

Dengan cepat Adnan menarik lengan Arraya. "Ra, jawab Mas. Kamu mau ke mana? Kenapa kamu bawa koper?"

Arraya sama sekali tak melihat kedua mata Adnan. Dengan wajah sembabnya yang sudah tak lagi menggenang air mata, Arraya berusaha melepaskan lengannya dari cekalan tangan Adnan.

"Arraya! Jawab Mas!"

"Berhenti panggil nama aku!!"

Adnan sontak membeku mendengar Arraya menjerit dan menepis tangannya dengan kasar. Kedua mata Arraya menatap lurus manik mata Adnan dengan nyalang. Ada amarah yang jelas tergambar di kedua mata jernih Arraya Kirania.

"Berhenti sok peduli sama aku, sementara yang ada di hati kamu cuma perempuan lain!"

"Ra, aku bisa jelasin semuanya. Plis, dengerin aku dulu..."

Satu sudut bibir Arraya tersenyum sinis. Senyum meremehkan yang belum pernah Adnan dapatkan sekalipun dari Arraya. "Penjelasan apa? Penjelasan atas ini?" Arraya mengangkat teleponnya, memperlihatkan foto Adnan bersama Afifah yang pernah ia dapatkan dari Tasya.

"Kam ... kamu dapat dari mana foto itu?"

"Kenapa? Kamu kecewa karena aku tau semuanya? Hebat ya kamu Mas, nyembunyiin semuanya dan berpura-pura seolah nggak ada yang terjadi. Aku tau semuanya! Aku liat pake mata kepala aku sendiri, kamu lagi pelukan sama perempuan lain, Mas!"

Adnan menggeleng lemah. Ia tak menyangka jika reaksi Arraya akan semarah ini. "Sayang, kamu salah paham. Itu semua nggak seperti yang kamu lihat."

"Jangan panggil aku sayang! Mas nggak berhak panggil aku dengan sebutan itu setelah apa yang udah Mas lakuin ke aku!"

"Ra ... percaya sama Mas, kamu salah paham. Ini semua nggak seperti yang kamu lihat dan kamu pikirkan. Kasih Mas waktu untuk jelasin semuanya secara lengkap ke kamu."

Raya kembali menepis tangan Adnan.

"Allah memberikan kita waktu 24 jam dalam sehari dan itu selalu diulang tanpa ada waktu yang dikurangi, nyatanya Mas tidak pernah menjelaskan apa-apa! Mas memang bermaksud menyembunyikan semuanya!"

"Ra ... Mas minta maaf. Tapi Mas mohon kasih Mas kesempatan untuk jelasin semuanya sekarang, Ra."

Arraya tersenyum getir. "Untuk apa? Toh ini semua memang hanya kepura-puraan, kan? Semua yang Mas lakukan memang hanya sebagai syarat pernikahan kita. Senyum, tawa, genggaman tangan, peluk, cium, semua itu hanya untuk mengisi kekosongan hati kamu sesaat karena perempuan yang kamu cintai masih belum sadarkan diri. Aku sadar jika selama ini hanyalah bentuk pelampiasan semata Mas Adnan. Iya, kan!"

"Astaghfirullah, Ra ... nggak bener. Semua itu nggak bener. Jangan berpikiran yang macam-macam begitu, Sayang."

Setiap Adnan ingin menjelaskan, Raya selalu menolak. Seolah perempuan itu sudah tak lagi butuh penjelasan apa pun lagi.

Arraya menggigit bibir bawahnya. Menekan semua air matanya agar tak ada yang menetes di depan Adnan, juga menekan semua perasaan hatinya sekuat yang ia bisa.

"Mari kita bercerai, Mas. Mari kita berpisah, agar kamu bisa bebas mencintai perempuan yang kamu cintai."

Detik itu juga, Adnan merasa dunia yang ia bangun selama ini untuk Arraya runtuh tanpa sisa.

🥀🥀🥀

Olaaa!
Siap berpisah yuk sama adnan dan arraya 🥰🙈

Jangan lupa vote dan komennya

❤ Jazakumullah ya Khair ❤

NB : ❤ SELURUH PERBAIKAN ALUR DAN PEROMBAKAN ISI CERITA HANYA AKAN ADA DI VERSI NOVEL. NOVEL SAAT INI MASIH MASA EDITING, JADI BELUM TERBIT. KALIAN YANG MAU PELUK ARRAYA, BISA NABUNG DULU DARI SEKARANG❤

TAMAT : 17 MEI 2020
REVISI : 26 SEPTEMBER 2020

Komentar