16 | Mengikhlaskannya?

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Adnan keluar dari kamarnya saat merasakan tenggorokannya kering. Air hangat yang disiapkan oleh Bi Ira sudah habis tak bersisa di kamarnya. Ia menuruni satu-persatu anak tangga dengan perlahan.

Sampai di dapur, Adnan langsung mencampur air panas dan air dingin ke dalam gelasnya. Ia duduk di kursi meja makannya. Matanya menatap ke sekitar.

Sepi. Satu kata itu yang terlintas di kepala Adnan saat ini. Rumah besarnya itu sepi. Seperti rumah kosong yang tidak memiliki penghuni.

Adnan melirik jam dinding yang ada di dinding dapur. Sudah hampir jam 12 malam dan Adnan tidak bisa tidur. Badannya masih terasa melayang, kepalanya pusing, badannya juga masih hangat. Adnan masih belum pulih sepenuhnya.

Helaan napas panjang Adnan embuskan. Ia memutuskan untuk berdiri dan membawa segelas air hangatnya ke kamar. Ia ingin istirahat agar kesehatannya bisa kembali pulih.

Saat Adnan hendak masuk ke kamarnya, ia teralihkan dengan pintu kayu jati yang tertutup rapat. Itu adalah kamar utamanya yang ia berikan untuk Arraya. Adnan melangkah maju perlahan. Tangannya bergerak ragu membuka pintu kamar tersebut.

Gelap dan kosong. Arraya tidak ada di kamarnya saat ini. Bahkan sejak Adnan menginjakkan kakinya di rumah ini lagi, ia belum melihat Arraya. Entah kemana gadis itu pergi, Adnan mencoba untuk tidak peduli. Terakhir kali ia melihat Arraya adalah saat gadis itu berada di rumah sakit.

Adnan menekan turn on lampu kamar, membuat kamar itu jadi terasa lebih hidup. Adnan masuk ke dalam kamar tersebut. Aroma kamarnya memang sedikit berbeda. Seperti wangi vanilla dan wangi bunga. Wangi yang Adnan sukai.

Ditinggali oleh Arraya hampir sebulan, kamar tersebut tak banyak berubah. Tatanan lemari dan barang Adnan yang lain tidak ada yang berubah. Tapi meja kerja milik Adnan di sana, jadi ditempati beberapa alat kecantikan milik Raya. Buku milik Raya juga berjejer mengikuti buku koleksi Adnan di lemari. Ada beberapa buku novel, tapi lebih banyak buku motivasi islam.

Adnan melihat ke arah nakas. Ia duduk di tepi kasur. Ia juga meletakkan gelasnya ke atas nakas. Ada sebuah Al-Qur'an berwarna hijau dengan tasbihnya. Beberapa saat Adnan menatap Al-Qur'an beserta tasbih milik Raya. Ia jadi mengingat lagi bagaimana lantunan suara gadis itu saat mengaji setiap malam dan saat subuh. Rasanya menenangkan. Adnan tidak berbohong, ia suka mendengar suara Arraya mengaji.

"Jika anda tidak bisa menjaga Arraya, maka lepaskan dia."

Adnan tertegun saat lamunan menarik dirinya dari kejadian sore di rumah sakit. Saat di mana ia bertemu dengan Muaz. Kepalanya memutar memori ucapan Muaz padanya sebelum pintu lift belum tertutup.

Jika tadi siang Adnan merasa marah saat mendengar kalimat itu, kali ini Adnan merasakan sesuatu yang berbeda. Seperti ada besit khawatir dan takut dalam hatinya.

Melepaskan Arraya?
Haruskah ia lakukan secepatnya?

Adnan merasa bukan seperti dirinya saat ini. Harusnya pertanyaan itu tidak pernah terlintas. Karena nyatanya Adnan lah yang menginginkan perpisahan dan perceraian.

"Mulai detik ini mungkin aku akan menyerah. Dimataku saat ini, kamu bukanlah lagi lelaki yang pernah aku cintai dulu, kemarin dan dua menit sebelumnya. Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan. Aku pasrah, dan menyerahkan semuanya sama Allah."

Adnan merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Menikmati sebesit sesal yang entah mengapa memenuhi dadanya saat ini. Adnan merasa seperti bukan dirinya.

Wangi tubuh Arraya yang menempel di sprei kasur menemani semua rasa sesalnya. Semuanya terjadi begitu saja hingga Adnan tak sadarkan diri lagi detik itu.

🥀🥀🥀

Maya menatap lekat wajah Arraya. Ia meniti setiap inci wajah putrinya saat ini. Dibelai lembut wajah Arraya yang pucat pasi di hadapannya. Ia beralih menggenggam jemati putrinya dengan erat. Menyalurkan semua kehangatan yang ia miliki untuk Arraya.

"Bangun sayang...." Maya menahan air matanya. Berharap kedua mata itu akan terbuka segera. Menyapanya dengan sebuah senyum yang ia dambakan. Ini sudah hampir jam 4 pagi, tapi putrinya masih belum kunjung bangun juga.

Beberapa jam yang lalu, tepatnya saat jam 10 malam, Maya mendengar suara ketukan pintu rumahnya dari luar. Kondisi sedang hujan lebat dengan petir yang ikut memekakkan telinga.

Ada 2 orang perempuan yang datang ke rumahnya dengan merangkul satu orang di antara mereka yang terlihat begitu lemas dengan kepala menunduk. Dan ia begitu terkejut saat mengetahui kalau perempuang yang lemas itu adalah putri kandungnya.

Raya diantar pulang oleh kedua perempuan itu dalam kondisi tubuh menggigil dan basah kuyup. Kondisi Raya sangat mengkhawatirkan kedua orangtuanya. Kedua perempuan itu juga menceritakan kalau mereka melihat Arraya sedang duduk bersandar di pinggir jalan di bawah guyuran hujan. Raya yang saat itu hampir tidak sadarkan diri, hanya bisa memanggil nama 'Mama', maka dari itu mereka berinisiatif untuk membawa Arraya ke alamat yang tertera pada KTP gadis itu.

Itulah yang menjadi alasan kenapa Raya bisa berada di rumahnya saat ini. Maya dan suaminya telah memanggil dokter ke rumah. Kata dokter, Arraya mengalami tekanan stress yang cukup tinggi. Daya tahan tubuhnya juga melemah karena kekurangan cairan dan juga asupan nutrisi. Maya bahkan bisa sangat jelas mengetahui kalau putrinya memang sudah kekurangan berat badan. Terlihat dari wajah putrinya yang semakin terlihat tirus.

"Bagaimana keadaan Raya, Ma?"

Maya terkesiap mendengar suara suaminya. "Badannya masih demam, Pa. Mama nggak tau kapan Raya akan sadar." Ujar Maya menjelaskan. Kepalanya hanya menunduk menatap tangannya yang menggenggam erat tangan Raya.

Adam merangkul bahu Maya. Tangannya bergerak untuk menghapus air mata di pipi istrinya yang basah. "Sabar Ma... InsyaAllah anak kita akan segera bangun. Dokter kan sudah memeriksanya. Setelah Raya istirahat total, ia pasti akan segera bangun."

Maya menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya. "Aku sedih liat keadaan Raya, Pa. Aku bisa rasain kalau dia lagi nggak baik-baik aja. Aku merasa dia lagi menyimpan masalah sendirian."

"Ma, sudahlah... jangan khawatir. Kalau kamu terlalu kepikiran, nanti kamu bisa ikut sakit juga."

🥀🥀🥀

Tepat saat jam 10 pagi, Arraya membuka matanya perlahan. Rasanya berat. Kepalanya seperti diputar-putar dan itu membuatnya pusing. Ia meringis pelan merasakan kepala saat ia mencoba bangkit duduk. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali sambil memegang kepalanya. Matanya yang mulai menyesuaikan dengan lampu mulai menatap tiap jengkal ruangan itu.

Raya bingung, ada di mana dirinya saat ini. Tapi saat ia melihat ada bingkai foto dengan ukuran yang cukup besar menempel di dinding, Raya merasakan syukur yang teramat besar. Walaupun ia tidak ingat bagaimana ia bisa berada di rumahnya sendiri, Raya tetap mensyukurinya. Karena yang ia inginkan memang pulang ke rumahnya sendiri bukan ke rumah Adnan.

"Sayang?!"

Arraya melirik lambat ke arah pintu saat mendengar seruan seseorang. Air mata berlomba-lomba memenuhi pelupuk matanya saat seseorang yang begitu ia rindukan memeluk tubuhnya erat.

"Syukurlah kamu sudah sadar, sayang."

Raya merasakan jika tubuh mamahnya bergetar karena tangis.

"Mama khawatir sekali sama kamu. Mama takut kamu kenapa-kenapa," lirih Maya dengan semakin mengeratkan pelukannya untuk Raya.

"Raya nggak papa, Ma. Alhamdulillah," suara Raya terdengar serak dan bergetar. Ia berusaha kuat menahan air matanya. Rasanya begitu nyaman berada dalam pelukan seorang ibu. Rasanya begitu menghangatkan tubuh dan hati Raya. Seolah beban sedih yang selama ini ia tanggung sendirian, bisa ia bagikan dengan sang mamah.

"Maaf karena Mama tidak ada di samping kamu langsung ketika kamu membutuhkan."

Raya tersenyum lagi. "Nggak papa, Ma. Raya benar nggak papa," ucapnya berusaha meyakinkan.

Maya menarik tubuhnya. Ia menyentuh kedua bahu putrinya. "Apa yang terjadi sebenarnya sama kamu sayang? Kenapa bisa sampai ada yang mengantar kamu malam-malam dengan kondisi kamu yang basah kuyup dan menggigil kedinginan? Apa kamu tau betap Mama sangat mengkhawatirkan kamu?"

Raya menundukkan kepalanya. Mendadak ia jadi kembali teringat Adnan.

"Apakah kamu sedang ada masalah?"

Raya menarik kedua sudut bibirnya dengan paksa. Berpura-pura jika ia memang baik-baik saja. Raya menggeleng. Ia tak berani membuka mulutnya, karena jika itu terjadi ia pasti akan langsung menangis.

"Benarkah kamu baik-baik saja?"

Raya mengangguk kecil sambil terus berusaha melebarkan senyum bohongnya.

"Mamah teleponin suami kamu, ya? Saking paniknya, Mama sampai lupa telepon Adnan kalau kamu lagi di rumah kita."

Raya menggeleng lemah. "Jangan, Ma ..." suara Raya yang bergetar pilu menyapa telinga Maya.

"Tapi nanti dia khawatir, sayang. Dia pasti panik cari kamu."

Raya kembali menggeleng. Menatap wajah sang mamah dari jarak yang begitu dekat justru membuat semua air mata Raya semakin berlomba meloloskan diri.

"Aku nggak mau ketemu Mas Adnan, Ma."

Maya merasa ada yang mencubit hatinya. Ini pertama kalinya ia melihat kondisi Raya yang seperti ini. Apakah ada masalah yang dihadapi Raya saat ini? Tapi apa? Maya jadi merasa bersalah karena tidak tahu persoalan putrinya saat ini.

"Aku nggak mau pulang ke rumah Mas Adnan." Tangis Raya pecah. Maya langsung memeluk tubuh Raya erat. Erat sekali hingga tangis Raya sedikit tersamarkan. Ia tidak paham maksud putrinya. Tapi yang bisa ia tangkap adalah, ia yakin jika antara Raya dan Adnan sedang ada masalah. Tidak mungkin Raya tidak ingin bertemu dengan Adnan atau pulang ke rumah Adnan jika sedang tidak ada masalah.

🥀🥀🥀

Bi Ira menatap layar ponselnya dengan cemas. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Raya, tapi nomornya tidak pernah aktif. Pesan yang dikirimkan oleh Bi Ira pun tak ada yang terbalaskan. Bi Ira jadi khawatir. seharian ia menunggu kabar kepulangan Raya, tapi tak kunjung ada.

"Aden," Bi Ira memberanikan diri memanggil Adnan yang sedang bersantai duduk bersandar di sofa. Tubuhnya masih belum pulih seutuhnya, sehingga ia memutuskan untuk beristirahat sehari lagi di rumah.

Adnan menoleh singkat lalu kembali menatap layar tv tanpa bersemangat.

"Sejak semalam Non Raya belum pulang ke rumah. Apa Aden tau di mana Non Raya sekarang?"

Adnan menghela napas panjang. Sudah cukup semalam ia memikirkan gadis itu, kini ia sudah tidak ingin lagi memikirkan tentang Arraya Kirania. "Saya nggak tau, Bi," ucapnya enteng.

"Aden nggak tau? Terus di mana Non Raya sekarang?" Bi Ira jadi panik sendiri. Ia terus berusaha menghubungi nomor Raya, tapi hasilnya tetap nihil.

Adnan menyingkirkan bantal sofa yang ia peluk sejak tadi. Ia bangkit berdiri seraya berucap, "Bi, sudahlah. Saya masih nggak enak badan jadi jangan membuat saya memikirkan hal nggak penting lainnya." Ujar Adnan yang mengundang tatapan tak percaya Bi Ira.

"Aden," suara Bi Ira memelan. Ia ikut maju selangkah mendekati Adnan. "Tapi kan Non Raya itu istrinya Aden."

Adnan memutar kepalanya dan menatap lurus wajah Bi Ira. Bi Ira sontak menunduk dan menatap lantai. "Lalu kenapa jika dia istri saya? Saya tidak peduli atas apa pun hal yang dia lakukan. Mau pulang atau tidak pulang, itu semua terserah dia. Saya tidak pernah memaksanya."

"Astaghfirullah Den. Bagaimana bisa Aden bicara seperti itu kepada Non Raya?"

"Bi, saya sedang tidak ingin berdebat. Berhenti menanyakan tentang Arraya, karena saya tidak mau mendengar apa pun soalnya." Adnan kembali mengambil langkah banyak. Menjauhi Bi Ira.

"Aden pergi hampir satu minggu, apa Aden tau apa yang terjadi sama Non Raya?!" suara Bi Ira yang terdengar meninggi akhirnya membuat Adnan kembali menghentikan langkahnya.

"Sejak Aden pergi dari rumah ini, Non Raya tidak pernah sehari pun absen menanyakan kabar Aden sama Bibi. Non Raya bahkan jarang makan karena selalu kepikiran Aden. Non Raya juga kurang istirahat karena selalu duduk di sofa setiap malam berharap Aden akan pulang. Bahkan sejak Non Raya menginjakkan kaki di rumah ini, saya tidak pernah melihat ada binar bahagia di wajahnya. Yang ada selalu senyum pura-pura yang Non Raya tunjukkan."

Bi Ira mengambil satu tarikan napas yang panjang. air matanya diam-diam mengalir karena ia mengingat bagaimana gadis itu selalu mengharapkan Adnan untuk pulang. Bi Ira bahkan sudah menganggap Arraya sebagai anaknya sendiri.

"Non Raya itu juga lagi sakit, Den. Apa Aden nggak sadar kalau badan Non Raya semakin kurus? Saat mendengar kabar kalau Aden di rumah sakit, Non Raya bahkan langsung pergi tanpa inget kalau dirinya sendiri lagi sakit. Terus sekarang Aden bicara seakan-akan Non Raya adalah orang asing."

Adnan menghela napas panjang. "Bi, please ... stop it. Saya ingin istirahat."

"Justru harusnya Bibi yang bilang please sama Aden. Maaf jika Bibi terkesan ikut campur, tapi Bibi mohon berhenti mengabaikan Non Raya, Den. Non Raya itu istri sah Aden. Aden nggak boleh mengabaikannya seperti ini!"

Mendengar suara Bi Ira meninggi Adnan langsung berbalik. Matanya menatap tajam Bi Ira. Tak suka dengan suara tinggi Bi Ira padanya.

"Apa maksud Bibi teriak sama saya?"

"Saya emang cuma pembantu di sini, Den. Tapi saya udah kenal Aden dari kecil. Saya anggap Aden lebih dari majikan. Saya anggap Aden sebagai anak saya sendiri, begitu pula Non Raya yang sudah saya anggap sebagai anak saya. Jadi ketika Aden salah, sudah seharusnya saya mengingatkan Aden agar Aden tidak semakin melewati batas." Bi Ira menepis air matanya.

"Bibi kecewa sama Aden karena menyakiti perempuan baik seperti Non Raya."

Beberapa detik Adnan beradu pandang dengan Bi Ira, keduanya sama-sama berbalik dan langsung pergi. Keduanya sama-sama merasa kesal. Adnan kesal karena sikap Bi Ira yang baru pertama kali seperti ini padanya, tapi Bi Ira juga kesal karena kecewa dengan Adnan yang seolah sangat mengabaikan Raya. Bi Ira menganggap Adnan dan Arraya sebagai anak-anaknya. Anak yang ia harapkan akan menjadi keluarga bahagia yang utuh suatu saat nanti.

🥀🥀🥀

Arraya menatap semangkuk bubur yang diberikan oleh mamahnya dengan tatapan kosong. Ia tidak nafsu dan tidak ingin memasukkan apapun ke dalam mulutnya. Bahkan untuk sekadar air mineral pun mulutnya enggan menerima. Sejak menangis dalam pelukan Maya, yang Raya lakukan adalah dengan banyak terdiam. Jika mamahnya atau papahnya bertanya, maka gadis itu hanya banyak diam dengan menjawab singkat. Jika Maya mulai mengungkit soal Adnan, maka Arraya akan mengalihkan topic dengan cepat.

Raya menyingkirkan bubur itu ke atas nakas, lalu ia merebahkan tubuhnya. Ia menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Membiarkan tubuhnya tertutupi sesuatu yang menghangatkan. Seharian ini, Raya hanya berada di atas tempat tidur. Ia banyak istirahat, turun dari kasur pun hanya untuk melaksanakan solat.

Sendirian seperti ini, Raya justru semakin banyak mengingat tentang Adnan, tentang suaminya. Air mata kembali mengalir. Tak pernah bisa Raya tahan ketika ia memikirkan tentang Adnan. Hatinya begitu sakit, sakitnya bahkan masih terasa sampai detik ini. Sakit yang Adnan berikan, terlalu luar biasa untuk ia tahan tanpa mengundang air mata.

Malam ini, Raya kembali terisak. Ia membekap wajahnya di atas bantal. Melirihkan nama Adnan berkali-kali dengan penuh sesal dan harap.

Apa salahnya sampai harus diberikan ujian seperti ini? Kenapa Adnan begitu membencinya? Kenapa? Apa salahnya? Bukankah ia juga korban di sini? Ia tidak pernah mengharapkan adanya kecelakaan lalu lintas dan membuat Luthfi tewas saat itu juga. Ia juga tidak pernah memaksa Adnan membalas cintanya secara langsung.

"Arraya ... sayang ...."

Suara mamanya yang terdengar tiba-tiba justru membuat tangis Raya semakin kencang. Ia tidak dapat menahannya lagi. Raya ingin mengeluarkannya dan menumpahkan semua rasa sesak yang memenuhi dadanya.

Maya tidak tahan lagi. Ia menyibak selimut Raya, menarik tubuh Raya dan mendekapnya erat. Tangis Raya lebih kencang dan terdengar lebih memilukan disbanding yang sebelumnya.

"Ada apa lagi, Sayang? Kenapa sampai menangis seperti ini?"

Maya ikut menangis. Pelukannya yang erat tak kunjung menguraikan air mata putrinya. Tangis Arraya justru semakin terdengar memilukan.

"Maaf, Ma ... maafin Raya..."

"Nggak papa, Sayang. Nggak perlu minta maaf. Kamu nggak salah apa-apa."

"Maafin Raya ..."

Mereka berdua tak sadar jika saat ini Adam berada di depan kamar Arraya. Hatinya ikut tersayat mendengar istri dan putrinya menangis bersamaan.

"Maaf... karena Raya nggak bisa memenuhi apa yang Mama inginkan."

Mendengar ada yang tidak beres dengan ucapan putrinya, Maya sontak menarik diri. "Apa maksudnya bicara begitu sayang?"

"Raya udah nggak kuat lagi, Ma ... Raya udah nggak bisa lagi..." Raya menggeleng, menangis, menunduk, sambil memukul dadanya pelan yang sesak.

Maya menangkup kedua pipi Raya. Mengusap kedua pipi Raya yang sembab karena banjir air mata. "Ada apa, Nak? Ada apa? Katakan sama Mama, apa maksud kamu nggak kuat dan nggak bisa lagi?"

"Mas Adnan ..." Raya menjeda ucapannya sebelum akhirnya ia berani melanjutkan. "Raya ingin pisah sama Mas Adnan, Ma."

"Innalillahi, Arraya. Istighfar, Sayang, jangan bicara seperti itu."

"Maafin Raya.... Raya sungguh ingin pisah dari Mas Adnan, Ma. Raya udah nggak sanggup lagi kalau harus menjalani ini semua."

"Kenapa kamu ingin pisah sama suami kamu?"

"Karena Mas Adnan yang menginginkan semua ini, Ma. Mas Adnan sudah menalak aku, Ma. Mas Adnan menginginkan perceraian."

Air mata semakin berderai membasahi pipi Maya. Ia tak menyangka semua ini akan terjadi. Ia pikir rumah tangga putrinya baik-baik saja selama ini. Ternyata itu hanya kamuflase Arraya untuk menutupi yang sebenarnya terjadi.

Ini yang tak ingin Raya lihat. Melihat mamahnya sedih, malah membuatnya lebih merasa sakit. Tapi ia juga sudah tidak bisa memendam semuanya seorang diri. Ia ingin membaginya pada orang nomor satu dalam hidupnya.

Raya menggigit kuat-kuat bibirnya. Ia membuka lebar matanya. menatap mamahnya dengan tatapan setegar mungkin yang ia bisa. "Kalau Raya mencintainya, bukankah Raya juga bisa mengikhlaskannya?"

"Raya mencintainya, tapi Mas Adnan tidak bisa mencintai Raya, Mah. Mas Adnan punya seseorang yang ia cintai, dan Raya malah datang untuk merusak cintanya. Bukankah itu tandanya Raya harus mengalah? Bukankah Raya seharusnya bisa mengikhlaskan Mas Adnan bahagia? Bukankah seharusnya Raya bisa belajar melepaskannya untuk kebahagiaan kami berdua?"

Tak ada kalimat yang bisa terucap dalam bibir Maya, selain pelukan erat yang ia berikan untuk putrinya. Tatapannya, suaranya, semuanya yang ia lihat dalam diri Arraya saat ini sudah jelas menggambarkan bahwa putrinya itu memang sudah menahan semuanya sendirian dan sejak lama.

To be Continued•

Semoga kalian menikmati part ini dan terus menantikan part selanjutnya kisah Adnan dan Arraya ☺

Jangan lupa vote dan komen yg buanyakk.

❤ Jazakumullah ❤

Disclaimer : Sudah Pernah Tamat

Komentar