34 | Mertua dan Menantu

Adnan membuka pintu kamarnya perlahan dengan satu tangan lainnya sibuk membawa nampan berisi semangkuk bubur juga teh manis hangat untuk Arraya. Gerakannya begitu hati-hati, takut terjatuh, takut malah merusak makanan yang sudah susah payah ia buat hingga berpeluh-peluh.

"Ra...." suara lembut Adnan memanggil sang istri yang kini masih berada di dalam balutan selimut dengan kedua mata terpejam rapat. Nampan tadi ia letakkan di atas nakas, sedang ia duduk di tepi ranjang dan menyentuh bagian tubuh Arraya yang tertutup selimut.

"Sayang, bangun dulu. Kamu harus makan."

"Nggak mau, nggak nafsu." Arraya menjawab pertanyaan Adnan tanpa membuka mata. Ia masih setia dengan posisi rebahannya dan wajah yang ia alihkan ke arah lain. Di keningnya juga masih menempel handuk kecil sedikit basah yang Adnan berikan karena tubuhnya yang demam semalaman.

"Tapi kamu harus makan. Kalau nggak makan nanti sakit."

"Nggak usah peduliin aku."

"Ra.... jangan begini please, aku khawatir kalau kamu sampai mogok makan kayak gini."

Arraya masih diam tergugu. Tak acuh dengan keberadaan Adnan di sampingnya, yang menunggu dirinya untuk terbangun dan menghabiskan sarapan.

"Den Adnan! Sarapan buat Aden mau Bibi bawakan ke atas juga?"

Suara Bi Ira yang terdengar dari luar pintu membuat Adnan menoleh tanpa bergerak dari duduknya. "Nggak usah, Bi. Biar di bawah saja. Saya makan setelah Raya menghabiskan sarapannya," balas Adnan.

"Baik, Den. Bibi permisi..."

Begitu suara langkah kaki Bi Ira terdengar menjauh, Adnan kembali fokus pada Arraya. Karena Arraya tak mau sarapan, Adnan memilih untuk mengusap punggung tangan Arraya dengan handuk kecil basah lainnya yang ia simpan di dalam baskom di bawah tempat tidur.

"Ra, ayo bangun. Makan sedikit aja nggak papa, yang penting kamu makan." Ujar Adnan masih belum menyerah membujuk istrinya agar mau sarapan.

"Udah jam segini, kenapa Mas nggak sarapan?"

Gerakan tangan Adnan berhenti begitu mendengar Arraya kembali bicara. Bibirnya tersenyum tipis. "Aku nunggu kamu selesai sarapan, baru nanti aku akan makan."

Berkat kalimat itu, Arraya membuka matanya perlahan. Ia menghela napas panjang dan akhirnya menolehkan kepalanya. Matanya menatap mata Adnan sejenak dengan lurus.

"Ayo bangun, aku bantu." Arraya menurut saat tangan Adnan membantu menarik punggungnya dan memposisikan dirinya bersandar pada kepala ranjang.

"Aku suapin, ya?" Arraya juga hanya diam tak merespon. Matanya tak lepas menatap kedua mata Adnan. Seolah Arraya sedang mencari celah kebohongan di kedua mata itu.

Adnan mengambil semangkuk buburnya. Ia mengaduknya perlahan, menghilangkan uap panas yang ada di dalam mangkuk bubur tersebut. "Buka mulutnya, aaaa?" Adnan mengambil sesendok bubur dan mengarahkannya ke mulut Arraya.

Beberapa detik sendok itu hanya mengambang tanpa dilahap, Raya masih menatap kedua mata Adnan.

"Aku nggak maksa kamu untuk maafin aku, yang penting kamu harus makan. Mumpung demam kamu udah mendingan sekarang, jadi kamu harus makan. Kalau nggak diisi perutnya, nanti kamu makin sakit dan lemes."

"Tapi aku nggak mau makan."

Cup!

"Kenapa nggak mau?" tanya Adnan setelah mencuri kecupan singkat di dahi istrinya.

"Jangan cium!" seru Raya tak terima.

"Loh, kenapa?"

"Nggak boleh!"

"Kenapa nggak boleh?"

"Aku masih marah sama Mas, jadi jangan cium!"

Adnan menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum tipis. Tanpa menggeser sendok di tangannya, Adnan memajukan wajahnya dan mencium bibir Arraya dengan gerakan yang lembut. Arraya mematung di tempatnya. Otaknya menolak keras, tapi tubuhnya sama sekali tidak keberatan dengan perlakuan suaminya itu. Arraya justru memejamkan matanya dan menerima ciuman pagi Adnan yang lembut.

Seperti ada dua hal berbeda yang kini membisikkan kedua telinganya. Satunya mengatakan, jika Adnan salah. Dilihat dari sudut manapun, Adnan salah. Tapi yang satunya lagi mengatakan, jika Adnan tidaklah bersalah. Adnan sudah benar membela dirinya dari amukan Tasya. Hanya saja Adnan lupa konfirmasi jika Arraya harus menunggu urusannya dengan Tasya selesai. Dan seorang Arraya, selalu mudah memaafkan walaupun terasa sulit.

Adnan melepaskan pagutannya. Membiarkan Raya dapat membuka matanya yang sayup-sayup terbuka. Arraya merasa seperti kena setruman listrik berdaya tinggi, sehingga menyebabkan dirinya merasa semakin lemas.

"Siapa yang tadi marah karena nggak mau dicium? Ternyata malu tapi mau," goda Adnan saat melihat wajah Raya yang merah merona seperti tomat.

"Mas!!!" kesal Raya dengan memukul dada lelaki itu. Bisa-bisanya masih meledek di saat Raya sedang dalam posisi marah. Tapi itu Adnan lakukan, karena ia sudah tidak tahu lagi harus meminta maaf dengan cara apa. Padahal Adnan sudah menyiapkan pipinya untuk jaga-jaga jika Arraya akan menampar pipinya jika ia mencium bibir Arraya.

Adnan terkekeh geli. Ia kembali menghadiahi kecupan singkat di bibir merah muda Raya. "Ayo, sekarang makan dulu. Nanti baru ciuman lagi," ucap Adnan dengan nada berbisik.

"Mas Adnan!!"

🥀🥀🥀

Adnan memasuki lobi perusahaan dengan gerakan santai namun cepat. Langkahnya tepat. Dengan tubuh tinggi juga tegapnya ia membelah kumpulan orang yang sedang mengantri di depan lift dan masuk ke dalam lift khusus VIP. Semua orang yang mengenal siapa Adnan, sontak tersenyum ramah dan memberikan jalan pada Direktur Utama perusahaan mereka bekerja. Ia berada di dalam lift bersama seorang petugas yang memang biasanya menjaga lift khusus VIP agar selalu aman.

"Terima kasih," ucap Adnan pada seorang petugas yang sejak tadi menjaganya di dalam lift VIP.

Begitu keluar dari lift dan menginjakkan kaki di lantai 18, Adnan langsung ditodong jadwal oleh sekretarisnya.

"Hari ini ada meeting dengan Komisaris jam 10, Pak." Sekretaris Adnan membuka agenda rutin miliknya. 

"Kalau ada Beliau, saya tidak mau ikut." Ujar Adnan kekanakkan.

Warna menghela napas panjang. Lelah dengan perseteruan bapak dan anak yang terus saja berlanjut tanpa tahu akhirnya. Ternyata menjadi sukses dan kaya belum menjamin akan selalu memiliki keluarga yang rukun dan bahagia.

"Terus apa mungkin jika saya meminta Pak Fajar agar tidak hadir meeting? Atau apa mungkin jika saya mengatakan pada Pak Fajar jika Bapak tidak mau ikut meeting karena ada Beliau?"

"Mungkin saja, jawab saja dengan jujur. Saya memang tidak mau ikut meeting jika ada Beliau di sana. Titik." Pintu tertutup dengan cepat begitu Adnan masuk ke dalam ruangannya. Warna bahkan belum sempat mengatakan apa-apa padanya.

Warna menahan geram dengan mengepalkan satu tangannya erat pada buku agenda. "Bisa stress gue lama-lama ngadepin bapak sama anak yang nggak pernah akur kayak mereka!"

Waktu terus berjalan, Warna benar-benar tidak mengerti apa yang ada di otak atasannya. Adnan itu pintar, muda, tampan, dan berbakat, tapi entah mengapa tidak pernah bisa akur dengan orangtuanya. Bahkan sebelum Adnan diangkat sebagai Dirut, keduanya tetap tidak pernah terlihat akur. Baik Fajar ataupun Adnan, keduanya sering saling tatap dengan tatapan musuh.

Adnan masih menyempatkan diri memeriksa dokumen di mejanya setelah memberikan arahan singkat pada kepala divisi bagian Marketing Communication. Tetapi kini, saat waktu sudah menunjukkan pukul 10 kurang 10 menit, Adnan malah terus berpura-pura terlalu sibuk sendirian. Jika Warna masuk dan mengingatkan waktu, Adnan malah mengusirnya pergi dengan gerakan tangan.

"Pak Adnan!" seru Warna yang kembali membuka pintu. Adnan langsung mengangkat pandangannya dan menatap Warna yang terlihat kesal padanya.

"Sudah jam 10 kurang 5 menit, Pak! Bapak tidak boleh seperti ini. Kalau Bapak mencoba melawan seperti ini, yang ada nanti justru Bapak yang akan dijadikan bahan pembicaraan kalau Bapak tidak profesional dan mementingkan urusan pribadi di atas urusan pekerjaan."

"Pak Adnan!" seru Warna sekali lagi karena tak melihat Adnan bergerak sedikitpun.

"Pak Ad—" seruan Warna berhenti tiba-tiba saat menyadari Adnan yang sudah berdiri dari duduknya.

Setelah puas melotot tajam pada Warna, Adnan akhirnya bangkit berdiri. Dengan notebook di tangannya, ia langsung keluar dari ruangan tanpa berucap sepatah kata. Malas sebenarnya jika harus bertemu satu Komisaris yang paling Adnan hindari. Tapi pria paruh baya itu seperti selalu punya cara yang bisa mempertemukannya dengan Adnan.

Ruang tertutup berwarna cokelat itu Adnan dorong perlahan pintunya. Beruntungnya, seseorang yang ia hindari masih belum ada di kursinya. Setelah berjabat dan menyapa singkat peserta meeting yang hadir, Adnan duduk di kursinya yang biasa ia duduki saat meeting.

Bosan menunggu para petinggi datang, Adnan membuka ponselnya. Membuka roomchat dengan istrinya, Arraya.

Ra, kangen...

Send. Sent. Read.

Bibir Adnan mengembangkan senyum kala melihat pesannya yang langsung dibaca oleh Arraya.

Jangan berisik, aku lagi kerja.

Kerja kok main hape?

Pengecualian.

Ciee aku spesial,
jadi pengecualian kamu.

Pede!

I love you, Ra ❤

Adnan terkekeh pelan. Merasa lucu dengan jalan percakapannya dengan Arraya di whatsapp. Pasca kejadian bertemu dengan Tasya yang lalu, sesekali Arraya memang memberikan respon cuek untuk Adnan. Walaupun begitu, tak terlalu kentara karena Arraya tetap baik dan manis setiap harinya di mata Adnan.

Arraya yang cantik. Senyum Arraya yang manis. Arraya yang solehah. Arraya yang baik, dan Arraya yang sempurna.

Perempuan itu terlalu mempesona untuk tak dicintai. Hatinya yang baik, yang selalu berusaha sabar dan menerima segala ketetapan takdir membuat Adnan mengerti arti tulus mencintai seseorang.

"Senyumin apa kamu?"

Adnan sontak menutup layar ponselnya dan menoleh. Seketika ia menahan napas untuk menahan lisannya yang ingin berteriak karena sosok yang berdiri di sampingnya itu.

Fajar berdiri dengan tubuh atas membungkuk karena habis mengintip isi chatroom putranya.

"Bukan apa-apa, Pak. Maafkan saya karena telah memainkan handphone."

Fajar menarik niatnya untuk tersenyum saat mendengar nada formal yang kembali Adnan ucapkan padanya. Pria paruh baya itu langsung duduk di kursinya tanpa menoleh lagi ke arah Adnan. Syukurlah, Adnan senang melihatnya.

Meeting yang menyebalkan, tapi sebagai pejabat berwenang Adnan tetap memperhatikan. Jika ada yang menggelitik di telinganya, maka Adnan akan bertanya. Jika ada yang perlu dikoreksi, maka ia akan memberikan komentar.

"Terima kasih atas waktu Bapak dan Ibu yang sudah hadir dalam meeting hari ini. Semoga dapat dijadikan pelajaran dan concern bagi setiap bagian penanggungjawab."

Adnan langsung keluar dari ruang meeting sesaat setelah meeting diakhiri. Setelah ini, ia harus kembali menyelesaikan laporan yang harus ia periksa satu-satu. Ia juga harus melakukan meeting dengan salah satu investor dari Batam yang akan datang berkunjung sekaligus membicarakan kerja sama di antara keduanya.

"Bisa bicara sebentar?"

Langkah kaki Adnan berhenti. Ia menoleh dan membulatkan matanya saat melihat ayahnya sudah berdiri persis di belakang tubuhnya.

"Bisa bicara sebentar?" ulang Fajar dengan menatap lurus kedua mata sang putra.

"Ehm..." Adnan melumat bibirnya. Berusaha mencari alasan agar terlepas dari sang bos besar. "Mohon maaf Pak, tapi kebetulan tamu saya sudah menunggu di lantai lobi. Jadi saya harus segera turun agar tidak membuat tamu saya menunggu lebih lama."

Fajar menatap datar Adnan tanpa ekspresi. Ia tahu jika sang putra sedang berbohong padanya. "Kita bicara 5 menit. Saya tunggu kamu di ruangan saya, sekarang."

"Tapi Pak-" kalimat Adnan langsung dipotong begitu Fajar kembali bicara.

"Saya tunggu sekarang, di ruangan saya." Fajar langsung berlalu sebelum Adnan sempat membantah atau mencari alasan lainnya. Adnan menghela napas panjang. Dengan langkah berat, ia memutar tubuhnya dan berjalan gontai menuju ruangan sang Komisaris.

🥀🥀🥀

Sore ini, Arraya pulang tepat waktu dari kantornya bekerja. Ia berdiri di depan halte, menunggu Adnan datang menjemput. Saat matanya melirik jam silvernya di pergelangan tangan, bibirnya merekahkan senyum. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan Adnan, jadi ia merasa senang. Sudah hampir seminggu ia menyikapi Adnan dengan sikap yang ia buat sedikit cuek, walaupun sebenarnya jauh di lubuk hati ia sudah memaafkan Adnan.

Arraya memandang ke jalan depan. Memperhatikan orang-orang yang silih berganti pergi. Sore ini langit masih terlihat cerah. Membuat hati Raya semakin senang merasakan semilir angin sore yang menyapa permukaan kulit wajahnya.

"Arraya!"

Arraya menoleh, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan halte. "Pak Muaz?" tanyanya.

Sang pemilik mobil keluar dari dalam mobil. Wajahnya yang tampan, tetap saja membuatnya terlihat tampan walaupun dasinya sudah tidak terpasang dengan benar, serta rambutnya yang sudah mulai keluar dari jalur pomade.

"Kamu nunggu apa di sini? Kenapa sendirian?"

"Oh... itu, Pak... saya nunggu su-"

"Arraya Kirania!"

Arraya sontak menoleh dan tak jadi melanjutkan kalimatnya pada Muaz. Seketika matanya membulat saat melihat pria paruh baya berdiri di samping mercedes berwarna hitam mengkilap.

"Papa?!" dengan segera Arraya langsung mendekati Fajar yang tanpa ada angin dan hujan, muncul di hadapannya. Membuat Raya merinding sekaligus takut atas alasan mertuanya yang seketika datang menemuinya seorang diri.

"Hm," Fajar berdeham begitu Arraya mendekat dan mencium punggung tangannya. "Masuklah," ucap Fajar yang membuat Raya semakin melotot kaget.

"Hah?"

"Masuklah. Kamu bisa masuk angin kalau terus menunggu di sini."

"Tapi, Pah.."

"Masuk, jangan membantah."

Raya menelan saliva susah payah. Inilah karakter yang paling dominan samanya antara Adnan dan juga Fajar, keduanya punya kemauan yang keras dan paling tidak suka yang namanya pembantahan dari lawan bicaranya.

Fajar memutar tubuhnya, ingin kembali masuk ke dalam mobilnya tapi ia gagalkan karena melihat Arraya yang masih bergeming di tempatnya. Saat ia menggeser pandangan, rupanya ada seorang pria muda yang menatap menantunya dari jarak yang tak jauh. Fajar memperhatikan Muaz untuk sesaat. Dan begitu menangkap maksud tatapan lelaki muda itu, Fajar seakan menyadari sesuatu.

"Arraya, masuk!"

"I... iya, Pa." Arraya menurunkan kepalanya kepada Muaz sebagai tanda pamit sebelum akhirnya ia menuruti Fajar dan masuk ke dalam mobil.

Selama roda mobil mulai berjalan, tak ada satupun yang membuka percakapan. Baik Raya maupun Fajar, keduanya sama-sama bungkam.

"Sebenernya tadi aku lagi nunggu Mas Adnan untuk jemput, Pa. Kita janjian di halte tadi," ujar Arraya mencoba memberikan alasan walaupun Fajar tidak bertanya.

"Papa tahu," respon Fajar singkat.

"Aku belum izin pergi sama Mas Adnan, Pa."

"Nanti saja hubunginnya."

"Mas Adnan nelepon, Pa..." Arraya menunjukkan layar ponselnya yang tiba-tiba berdering dan memperlihatkan nomor Adnan yang berusaha meneleponnya.

"Sini, Papa yang angkat." Fajar mengambil alih ponsel Raya dan langsung menggeser tombol hijau pada layar pipih tersebut.

"Jangan ganggu. Raya sedang ada urusan sama Papa." Tanpa memberi salam, tanpa mengizinkan Adnan bicara, Fajar langsung mematikan teleponnya setelah ia mengatakan apa yang mau ia ucapkan.

"Nih, sudah. Kalau dia telepon lagi, tidak usah diangkat."

Diam-diam Arraya menggembungkan pipinya. Sikap mertuanya satu itu membuatnya takut. Entah akan dibawa ke mana dirinya, karena yang jelas mobil tidak sedang menuju ke rumah Adnan, melainkan berbelok ke arah lain.

Setelah menempuh perjalanan hampir 20 menit, mobil akhirnya sampai di sebuah restoran. Helaan napas panjang langsung meluncur dari bibir Raya saat sadar restoran mana yang menjadi tujuannya dan Fajar. Restoran Jepang yang pernah menjadi pertemuan formal antara dirinya, kedua orangtua Adnan bersama Kakek. Restoran yang membuat kenangan tak menyenangkan untuknya 3 hari pasca pernikahannya dengan Adnan.

"Masuklah!"

Arraya mengangguk kecil saat mendengar Fajar yang mulai mengarahkan agar Raya masuk lebih dulu. Siapa sangka, Fajar memilih tempat yang sama. Ruang yang sama, juga tempat duduk yang sama. Raya duduk di kursi yang sama, seperti saat dulu ia pertama kali menginjakkan kaki di sana.

Makanan sudah terhidangkan di atas meja begitu mereka sampai di ruang privasi tersebut. Raya masih belum mengerti apa yang Fajar ingin katakan padanya sampai ada pertemuan tak mengenakkan di restoran berdua.

"Silahkan dimakan."

Raya termangu, memegang sumpit yang belum ia sentuh ke atas makanan. Kepalanya terus memikirikan alasan Fajar mengajaknya kemari. Tidak mungkin jika tidak ada sesuatu.

Benar-benar canggung. Keduanya makan dalam keadaan hening, tak ada percakapan.

"Pa, kalau boleh tahu... Ada apa Papa ajak aku ke sini?" Arraya bertanya dengan super hati-hati. Ia tidak mau lagi sampai ada acara emosi juga gebrak meja makan di ruang tersebut.

"Ada yang salah dengan makan berdua bersama menantu?"

"Ehm, tidak ada, Pa. Cuma ... aneh dan canggung."

Fajar menarik satu sudut bibirnya. Ia meletakkan sumpit di tangannya ke atas meja, lantas menatap Arraya yang menunduk menatap mangkuknya.

"Papa lihat kamu sedikit lebih bahagia dibanding dulu saat kita bertemu di tempat yang sama ini."

Mendengar itu Arraya mengangkat pandangannya. "Maksud Papa?"

"Dulu, kamu memang banyak tersenyum. Tapi terlihat jelas jika dipaksakan, sedangkan hari ini, Papa bisa lihat senyum kamu yang sedikit namun terlihat lepas."

Senyum Arraya langsung tercetak seketika mendengar ucapan Fajar yang terdengar seperti pujian.

"Apa Adnan memperlakukan kamu dengan baik?"

"Baik, Mas Adnan baik. Dia sudah banyak berubah, berbeda sekali dengan Mas Adnan yang dulu."

"Maafkan anak saya atas kesalahannya yang lalu, Arraya. Saya mewakili dirinya, meminta maaf dengan tulus pada kamu."

"Aku sudah memaafkan semuanya, Pa. Semuanya sudah terjadi dan berlalu."

"Ini semua salah Papa yang kurang bisa membimbing Adnan dengan baik."

Arraya tersenyum simpul sembari menggeleng. "Yang berlalu biarkan berlalu, Pa. Aku tau Papa berusaha mencoba mencari solusi untuk kita semua."

"Papa sungguh minta maaf ya, Arraya. Papa jadi mengorbankan banyak perasaan orang untuk pernikahan kamu dan juga Adnan."

"Nggak papa, Pa."

Ingat sesuatu, Fajar merogoh tas kerjanya. Ia menyodorkan amplop putih kepada Arraya. "Ini untuk kamu."

"Apa ini, Pah"

"Dibuka saja, anggap sebagai hadiah untuk pernikahan kalian berdua dari Papa."

Raya membuka amplop tersebut dengan perasaan cemas. Ia pernah memiliki trauma membuka sebuah amplop. Dulu juga ia pernah membuka amplop milik Adnan yang berisikan surat gugatan cerai. Sehingga saat ini ia sudah mulai menyiapkan diri untuk segala kemungkinan terburuk.

Kedua mata Arraya membulat begitu melihat isi kertas yang ada di amplop tersebut. Mulutnya menganga saking terkejut. Arraya menatap mertuanya dengan tatapan tak percaya. Tak menyangka jika mertuanya akan melakukan hal ini untuknya. 

🥀🥀🥀

Kira" apa yg dikasih papah mertua buat arraya?

Jangan lupa vote dan komen di part ini 😋

Jazakumullah ya Khair

Haphap

TAMAT : 17 MEI 2020

REVISI : 30 AGUSTUS 2020

Komentar