45 | Takdir Seorang Wanita
🥀 Surga Dalam Luka 🥀
Jangan lupa follow ❤
🥀🥀🥀
Arraya terbangun tepat saat adzan subuh berkumandang. Ia menatap langit-langit kamarnya sejenak, sebelum bangkit untuk duduk. Ada sedikit perasaan menyesal karena telah melewatkan waktu mustajabnya doa di sepertia malam terakhir. Mata Arraya menyapu keadaan ruang kamarnya. Ruang kamar kecilnya yang terasa sesak. Arraya kini memilih untuk mengontrak sementara. Ia tak tahu lagi harus pergi ke mana. Pergi ke rumah orangtuanya, itu tak mungkin. Arraya tidak mau membuat semuanya khawatir. Ia juga tidak mau lagi merepotkan kedua orangtuanya karena masalah rumahtangganya.
Selesai mengambil wudhu di kamar mandi, Arraya menggelar sajadahnya. Ia memakai mukena putihnya lalu melangsungkan solat dua raka'at tanpa menunda lagi. Baru kali ini Raya rasakan, solat dua raka'at yang begitu terasa berat. Raya sampai harus mengatur perlahan pernapasannya untuk menghilangkan sesak di dada.
Manusiawi, merasa terluka karena kebohongan. Manusiawi, merasakan sakit karena kehilangan. Manusiawi, merasa sedih karena perpisahan.
Seolah ada beban yang menimpa dadanya. Rasanya berat dan sesak. Selepas salam, Raya menadahkan kedua telapak terbukanya ke atas. Matanya menatap nanar ke langit-langit. Seolah sedang bicara dengan Sang Khalik di surga sana.
"Jika memang perpisahan adalah yang terbaik, hamba ikhlas. Jika memang perpisahan adalah yang terbaik, hamba akan menyiapkan diri ini. Maafkan hamba karena memilih jalan yang tak pernah Engkau sukai, Ya Allah. Maafkan hamba yang memilih untuk menyerah pada kisah menyakitkan ini. Hamba memang bukanlah perempuan tangguh yang mampu menghadapi ini semua. Hamba menyerah, maafkan hamba Ya Allah... maaf jika membuat-Mu kecewa karena keputusan ini. Maafkan hamba...."
Air mata lagi-lagi mengaliri pipi Arraya. Rasanya sungguh sepi. Jika biasanya, selepas subuh akan selalu ada orang di sampingnya yang meminta dirinya untuk mengajari mengaji, kali ini tak ada lagi. Jika biasanya selepas subuh akan selalu ada orang yang mencium keningnya, kali ini tak lagi ada. Jika biasanya selepas subuh akan selalu ada orang yang menggenggam erat tangannya sambil menatap matanya dalam, kali ini tak lagi ada.
Arraya sudah seorang diri. Ia sendiri yang memutuskan untuk pergi, tapi mengapa rasanya jauh lebih menderita seperti ini? Mengapa baru berpisah sehari saja rasanya sudah seperti setahun lamanya? Mengapa sudah ada begitu banyak kerinduan yang ia rasakan saat ini? Mengapa sudah ada begitu banyak perasaan ingin kembali bersama?
🥀🥀🥀
Adnan duduk di meja makan. Tatapannya kosong menatap menu sarapan yang telah dihidangkan oleh Bi Ira. Matanya menatap kursi kosong yang biasanya selalu Arraya duduki. Sudah 3 hari Arraya pergi dari rumah, dan Adnan masih belum juga bisa menemukannya. Arraya bahkan tidak ada di rumah kedua orangtuanya. Adnan sudah berusaha mencari ke semua tempat, tapi belum juga menemukan hasil. Entah berada di mana Arraya sekarang.
"Mas harus makan yang banyak. Mas kan memimpin banyak orang, jadi Mas harus sehat biar selalu bisa memimpin dengan hebat."
"Suami hebat itu karena ada seorang istri yang selalu mendukungnya, Ra."
"Karena itu, aku akan selalu dukung Mas. Aku yang akan selalu di belakang Mas dan menyiapkan pundak untuk Mas bersandar jika suatu saat Mas merasa lelah."
Adnan tersenyum pilu. Rasanya hatinya disayat untuk yang ke sekian kalinya.
"Rasanya Mas nggak akan pernah bosan untuk tatap wajah istri Mas setiap hari. Kasih tau Mas, rahasia apa yang membuat kamu selalu keliatan makin cantik setiap harinya."
Arraya tertawa lepas saat itu. Suaminya makin hari makin pandai bicara dan membuai. Walau menggelikan tapi sebagai seorang istri Raya sangat menyukainya.
"Rahasianya adalah karena aku selalu merasa bahagia setiap harinya. Bahagia karena bisa menikah sama Mas. Bahagia karena sekarang aku bisa selalu ada di sisi Mas setiap Mas."
Adnan mencium kening Arraya dengan lembut. "Perempuan baik, istri yang baik. Mas sangat bersyukur bisa Allah kirimkan pasangan seperti kamu, Ra..."
Bi Ira yang berdiri di ujung dapur merasa miris melihat kondisi Adnan. Majikan kesayangannya itu seperti manusia tak bernyawa yang hanya menatap kursi kosong sambil tersenyum yang memancarkan kesepian.
"Aden..."
Adnan baru tersadar dari lamunannya saat suara Bi Ira memanggil. "Sudah jam setengah 7 pagi, Aden harus segera sarapan biar bisa segera berangkat."
Satu sudut bibir Adnan tertarik. Ia tersenyum samar dan bersamaan dengan itu airmatanya terjatuh di pipi kanannya. "Saya bahkan nggak tahu apakah istri saya sudah sarapan atau belum, mana bisa saya sarapan?"
"Aden, Aden bisa sakit kalau begini terus. Aden itu laki-laki, seorang suami, jadi Aden harus kuat. Aden nggak boleh lemah seperti ini. Kalau Aden lemah begini, nanti gimana sama Non Raya? Kalau Aden merasa terpuruk seperti ini, gimana sama Non Raya? Non Raya seorang perempuan, pasti perasaannya jauh lebih hancur dari yang Aden rasakan. Jadi jangan seperti ini dan jadilah suami yang kuat, yang bisa berjuang untuk rumahtangganya."
"Ini semua salah saya, Bi... Saya yang bodoh karena telah menyakiti Arraya. Saya yang bodoh karena biarin dia pergi tanpa saya berusaha untuk cegah lagi."
Bi Ira ikut menitikkan airmata. Karena kata-kata Bi Ira lah, akhirnya Adnan malah meluapkan tangisnya di hadapan Bi Ira. Padahal selama 3 hari ini, Bi Ira tak pernah melihat Adnan menangis. Karena Adnan selalu menangis seorang diri di dalam kamar.
🥀🥀🥀
"Kakak, bisa bantu Bunda untuk ambilkan tas kecil isi popok Adek?" Alya, ibu muda 2 anak itu bertanya dengan nada lembut pada putranya yang sudah berumur 6 tahun.
"Bisa, Bunda." Alhafiz Keanu Abrisam, putera pertama dari pasangan Althaf Said Abrisam dan Alya Khansa Ramadhani. Anak yang kerap dipanggil Mochi itu kini telah tumbuh besar. Menjadi seorang kakak bagi adik kecilnya yang baru berumur 1 tahun bernama Adinda Aulia Ramadhani Abrisam. Hafiz membantu Alya untuk mengambil tas kecil tersebut dari atas nakas.
Alya tersenyum geli. Ia mengusap kepala Hafiz. "Sore ini Bunda harus jengukin sahabat Bunda, Kakak di rumah dulu sebentar nggak papa?"
"Kakak mau ikut Bunda." Hafiz menggelengkan kepalanya dan merengut cemberut karena tak dibolehkan ikut pergi.
"Adek juga di rumah kok, jadi Kakak nggak akan sendirian." Alya mengusap rambut lurus Hafiz yang setelinga dengan lembut. Berharap anaknya akan mengerti. Ini memang pertama kalinya Alya ingin pergi keluar tanpa membawa kedua anaknya. Karena biasanya, Alya akan membawa kedua anaknya itu ke manapun ia pergi.
"Nanti kalau Kakak nggak ikut, siapa yang akan jagain Bunda?"
Alya mengangkat sebelah alisnya seraya terkekeh pelan. Tak berekspektasi anaknya akan bicara manis seperti itu. "Kan ada Allah, jadi Allah yang akan selalu jaga Bunda."
"Tapi Bunda tetep butuh pengawal. Kakak siap kok lakuin semua yang Bunda minta. Kakak juga janji nggak akan nakal di rumah sahabatnya Bunda."
"Bunda cuma sebentar kok, Sayang."
"Sebentar ataupun lama, Kakak mau ikut Bunda."
"Kakak yakin?"
Hafiz mengangguk mantap, membuat Alya menghela napas panjang. "Kalau gitu sekarang Kakak pakai jaket. Bunda siapkan kebutuhan Adek dulu."
Hafiz tersenyum lebar. Dengan langkahnya yang semangat, ia membuka lemari pakaiannya dan mengambil jaket berwarna biru hadiah dari ayah tercintanya.
Selesai menyiapkan kebutuhan Aulia, Alya keluar kamar dengan menggandeng satu tangan Hafiz di sisinya. "Bi Sum, saya pamit keluar dulu ya. Tadi saya sudah izin sama Mas Althaf. Saya akan bawa anak-anak juga, insyaAllah pulang sebelum maghrib nanti."
"Iya, Neng. Neng Alya hati-hati ya."
Alya tersenyum tipis lalu segera keluar dari rumahnya. Sebenarnya sejak kemarin Alya sudah tidak sabar ingin mengunjungi sahabatnya. Tapi karena keadaan anak-anaknya yang belum memungkinkan, jadinya ia urungkan. Dan hari ini, saat Aulia juga sedang tidak terlalu rewel, akhirnya Alya memutuskan untuk pergi menemui Arraya, sahabatnya.
Sepanjang perjalanan, Alya tak bisa berhenti gelisah. Rasa gelisahnya itu bahkan sampai membuat Aulia yang berada di gendongannya terusik. Alya mengusap-usap lagi alis Aulia agar putrinya itu kembali tertidur nyenyak.
"Bunda..."
Alya menoleh karena panggilan Hafiz. "Ya, Sayang?"
"Bunda menangis?"
"Apa?" Alya mengerjap cepat. Saat tangannya terangkat menyentuh pipinya, rupanya Hafiz benar. Bekas airmata sudah membasahi pipi kanannya.
"Bunda nggak nangis, Sayang. Bunda hanya kelilipan debu sedikit tadi."
Hafiz bersandar di lengan bundanya sambil berkata, "Bunda jangan sedih. Sahabat Bunda pasti baik-baik saja." Alya tak menyangka lagi jika putera kecilnya mampu mengetahui perasaannya saat ini.
🥀🥀🥀
Arraya duduk menatap layar televisi yang memperlihatkan tontonan acara santai di sore hari. Matanya menatap layar televisi, tapi pikirannya jauh melayang memikirkan yang lainnya. Tangan Arraya bergerak refleks mengusap pipinya yang kembali terasa basah. Raya benci sisi dirinya yang lemah. Kala sendiri, Raya memang jadi rentan merasa sedih.
Suara ketukan di pintu kontrakannya membuat lamunan Raya berhenti. Ia mengusap wajahnya dan menarik napas panjang untuk sesaat. Setelahnya, Raya bangkit berdiri dan membuka pintu kontrakannya. Seseorang yang begitu ia rindukan sudah berdiri di depan pintu bersamaan dengan kedua buah hatinya yang sudah tumbuh besar dan sehat.
"Assalamu'alaikum, Ra." Alya menatap manik mata Arraya dalam. Tatapannya begitu dalam hingga dari binar mata Arraya saja, Alya sudah tahu bahwa sahabatnya sedang sangat tak baik-baik saja.
"Wa'alaikumsalam, Al." Arraya memeluk singkat tubuh Alya karena sahabatnya yang masih menggendong puteri kecilnya. "Aku kangen banget sama kamu, kamu apa kabar, Al?"
Alya mencoba tersenyum seperti Arraya yang saat ini juga tersenyum. "Baik, ada 2 malaikat kecil yang selalu buat aku lebih bahagia setiap harinya."
Arraya melirik ke kanan, dan menemukan Alhafiz yang sedang mendongak menatap wajahnya.
"Halo, Tante."
"Hai, Sayang." Arraya berjongkok dan memberikan tangannya saat tangan Hafiz terulur padanya. Bibir Arraya tersenyum lebar melihat manis dan pintarnya sikap Hafiz.
"Gantengnya mirip Mas Althaf, Al."
"Kan anaknya, Ra." ujar Alya dengan mendengus geli. Membuat Raya tertawa kecil.
"Yuk, masuk. Maaf ya Al, kontrakannya kecil. Aku nggak nyangka kalau kamu beneran akan datang ke sini."
"Aku khawatir sama kamu, Ra..."
Raya yang semula sedang menyiapkan kasurnya untuk Aulia menjadi berhenti karena mendengar ucapan Alya. "Aku nggak papa, Al. Aku baik-baik aja," kata Raya dengan tubuh yang masih membelakangi Alya.
Alya meletakkan Aulia yang masih tertidur ke atas kasur. "Kakak jaga Adek di sini sebentar, bisa? Bunda harus bicara dulu dengan Tante Arraya. Hanya sebentar, nanti Bunda ke sini lagi."
Hafiz hanya menganggukkan kepalanya menurut tanpa banyak bertanya. Alya langsung menarik tangan Arraya untuk keluar kamar. Keduanya duduk di atas sofa kecil yang ada di depan meja televisi.
Seolah tahu apa yang hendak ditanyakan sahabatnya, Raya langsung bangkit berdiri lagi. "Kamu mau minum apa, Al? Tapi aku cuma punya teh di sini." langkah Arraya yang hendak menjauh, sontak digagalkan oleh Alya. Arraya kembali terduduk karena Alya yang menarik tangannya.
"Ra, aku ke sini mau ketemu sama kamu."
"Kamu butuh minum, Al. Hafiz juga butuh minum."
"Ra..." Alya menggenggam erat tangan Arraya. Sedikit memaksa sahabatnya untuk membalas balik tatapan matanya. "Cerita sama aku, apa yang sebenernya udah terjadi sama kamu?"
Raya tersenyum kecil. Ia menarik tangan Alya dengan ragu dan tersenyum kecil. "Aku nggak papa, Al."
"Kamu tiba-tiba tinggal di sini, dan kamu masih bilang kamu nggak papa?"
"Iya, aku nggak papa."
"Apa yang udah Kak Adnan lakuin ke kamu? Apa Kak Adnan sakitin kamu lagi?"
Arraya tersenyum lagi sambil menggeleng kecil. "Mas Adnan nggak lakuin apa-apa ke aku. Kita baik-baik aja, Al."
"Sampai kapan kamu mau nyembunyiin ini semua, Ra? Aku sahabat kamu. Aku tahu kamu. Cuma liat mata kamu aja aku tau kamu nggak baik-baik aja."
Arraya masih mempertahankan senyumnya di hadapan Alya. "Aku nggak papa, Al."
"Ra...."
"Nggak, Al. Aku nggak papa..." Raya mulai menundukkan kepalanya, sementara Alya terus mendorongnya untuk cerita.
"Ra, kamu lebih dari sahabat aku. Ngeliat kamu kayak gini, bikin hati aku juga sakit. Ke mana perginya sahabat aku yang selalu tersenyum ceria?"
Arraya mulai panik karena airmatanya yang berguguran jatuh. Pertahanannya pada akhirnya rontok karena Alya.
"Aku udah janji untuk nggak nangis lagi, tapi nggak tau kenapa rasanya susah, Al."
Bahu Alya merosot lemas melihat kondisi sahabatnya.
"Aku udah berusaha lupain semuanya, tapi nggak bisa. Rasanya sulit, Al. Hati aku selalu merasa sesak." Kepala Raya jatuh menunduk. Ia mulai terisak dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Membuat Alya langsung memeluk tubuh sahabatnya dengan erat.
Bahu Arraya berguncang hebat. Kembali meluapkan semua perasaannya di pelukan Alya, sahabatnya. Ia mencoba membagi beban yang berkerak di hatinya.
"Kamu wanita hebat, Ra. Kamu kuat. Kamu adalah wanita pilihan Allah."
Arraya menggeleng lemah. "Kamu salah, aku nggak sekuat dan sehebat itu, Al. Pada akhirnya aku memilih menyerah."
Alya langsung melepas pelukannya karena mendengar ucapan Arraya. "Apa maksud kamu, Ra?"
Arraya menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Rasanya begitu susah mengatakan niat buruknya pada Alya. Seperti ada perasaan bersalah yang mendekam. "Aku mau minta cerai sama Mas Adnan."
"Astaghfirullah, Ra." Alya menutup kedua bibirnya rapat. Syok tak percaya rasanya mendengar ucapan Arraya barusan.
Amplop cokelat yang sejak awal hanya ia jaga seorang diri, akhirnya dengan berani Raya coba serahkan pada Alya.
"Apa ini?"
"Permohonan cerai aku."
Airmata sudah sejak tadi meleleh di kedua pipi Arraya. Ia tak pernah menyangka jika kondisi rumahtangga sahabatnya akan seserius ini. "Al, bilang sama aku kalau ini cuma bercanda."
Raya hanya bisa menunduk sambil menangis. tangis Alya ikut pecah saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Raya benar-benar sudah membuat surat gugatan cerai untuk Adnan.
"Aku pengen pisah sama Mas Adnan, Al. Aku pengen pisah sama Mas Adnan. Aku pengen pisah, Al..."
Alya mengerti perasaan sahabatnya. Tak ada yang bisa Alya lakukan selain membawa Arraya ke dalam pelukannya sekali lagi sambil berusaha menenangkannya.
"Aku pengen pisah, tapi sepertinya Allah nggak pernah mengizinkannya, Al."
"Apa maksud kamu, Ra?"
Arraya melepaskan pelukannya. Sebuah benda panjang yang kecil ia rogoh dari dalam saku bajunya. Dengan ragu Raya menyerahkan stik kecil tersebut.
"MasyaAllah, Ra! Kamu hamil?!" pekik Alya kaget saat melihat benda tersebut menunjukkan dua garis.
Dengan berderai air mata, Raya mengangguk.
"Aku mau cerai sama Mas Adnan, tapi ternyata aku hamil, Al."
"Ya Allah, Arraya! Kamu hamil, Ra! Kamu hamil!" Alya begitu riuh akan perasaan haru bahagianya.
"Allah akhirnya percayain seorang bayi di dalam rahim aku, Al." Manik mata Raya sudah berubah pancarannya. Kini yang Alya lihat hanyalah kebahagiaan tak terhingga di mata sahabatnya. Alya yakin, Arraya pasti juga merasa sangat bahagia mengetahui hal itu.
"Ini kesempatan yang Allah kasih untuk rumahtangga kamu, Ra. Ini artinya Allah masih sayang kamu dan Kak Adnan. Allah nggak mau kalian berdua pisah."
"Tante?"
Arraya menoleh dan melihat Hafiz jalan mendekatinya. Anak itu mendekati Arraya yang sedang menangis. Tangannya terangkat dan mengusap kedua pipi Arraya.
"Tante jangan sedih lagi, nanti cantiknya ilang."
Arraya mendengus kecil dan akhirnya tertawa kecil karena tingkah Hafiz. Alya yang melihat puteranya ikut mengembangkan senyum. Hafiz memang pandai membuat suasana sedih menjadi lebih menyenangkan.
Entah apa yang Allah maksudkan untuknya. Karena apa yang baik menurutnya belum tentu baik dimata Allah, apa yang menurutnya buruk belum tentu buruk di mata Allah.
Satu hal yang Arraya yakini, Allah memberikannya takdir untuk merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang ibu. Allah ingin memberikan takdir untuk Arraya berupa buah hati. Menjadikan Arraya perempuan seutuhnya yang bisa merasakan adanya sebuah nyawa yang berada di dalam rahimnya.
🥀🥀🥀
TBC
TERIMA KASIH UNTUK SEMUA DUKUNGAN VOTE DAN KOMENTAR KALIAN DI PART SEBELUMNYA. TERIMA KASIH KARENA MASIH ANTUSIAS DENGAN SDL WALAU CERITA INI HANYA BENTUK RE-PUBLISH ❤
Jangan lupa vote dan komen ❤
❤ Jazakumullah ya Khair ❤
NB : SELURUH PERBAIKAN ALUR DAN PEROMBAKAN ISI CERITA HANYA AKAN ADA DI VERSI NOVEL. NOVEL SAAT INI MASIH TAHAP REVISI, JADI BELUM TERBIT. UNTUK YANG MAU PELUK BUKUNYA SILAKAN NABUNG DARI SEKARANG. KARENA INSYAALLAH TIDAK AKAN MENYESAL BACA VERSI NOVELNYA ❤❤❤
TAMAT : 17 MEI 2020
REVISI : 4 OKTOBER 2020
Komentar
Posting Komentar