11 | Tidak Peduli

 Surga Dalam Luka 

Arraya terduduk di lantai kamarnya dengan menatap buku hariannya. Air matanya masih terus berjatuhan. Tak bisa dihentikan walau sudah ia paksa semaksimal mungkin. Ketukan pintu dan suara Bi Ira yang terdengar khawatir, Arraya hiraukan. Saat Adnan memutuskan untuk pergi dari rumah, Arraya langsung turun untuk berniat menyusul, tapi rupanya ia sudah terlambat dan mobil suaminya itu sudah pergi terlalu jauh.

Arraya mengusap air matanya. Ia membuka kembali halaman demi halaman yang ada di buku hariannya. Mengulang dan mengingat kembali apa saja yang pernah ia tuliskan di buku itu.

Tangis Arraya semakin menjadi. Ia menutup bukunya dan memeluk buku itu erat dalam dekapannya. Air matanya kian tak terbendung. Lirih suara istighfar yang terus Arraya ucapkan pun tak mampu menyurutkan rasa sedihnya.

Arraya ingat. Ia pernah menulis pada hari di mana ia sadar jika dulu semasa kuliah ia pernah menuliskan satu nama yang menarik perhatiannya. Ia menuliskannya dengan jelas. Perasaannya, waktu, beserta tempatnya. Hanya dengan membaca isi buku itu saja Arraya masih ingat masa-masa itu.

Arraya merasa tidak adil. Seharusnya Adnan membaca sampai akhir buku hariannya. Buku harinnya itu tak hanya berisikan curahan hati tentang betapa ia menyukai Adnan, tapi juga ia menuliskan kenyataan pahit saat ia tahu kalau Adnan ternyata menyukai perempuan lain. Terlebih saat Arraya tahu, kalau Adnan menyukai sahabatnya sendiri. Hari itu, Arraya masih ingat dengan jelas rasa sakitnya sampai detik ini. Adnan juga seharusnya membaca bagian terakhir dari bukunya yang menjelaskan jika ia mencoba melupakan perasaannya untuk melanjutkan hidup agar tidak bergantung perasaan pada Adnan lebih dalam lagi.

Arraya memang mengetahui fakta jika Adnan pernah mencintai sahabat Arraya yang bernama Alya. Adnan menyukai Alya sejak Alya belum menikah dengan lelaki bernama Althaf. Perasannya menjadi lebih besar dan besar lagi saat Alya sudah menikah.

"Mas Adnan ...." Arraya terus memanggil lirih nama suaminya. Berharap ketika ia memanggil nama itu, sosoknya pun akan muncul di hadapannya. Ia akui, ia memang masih sangat mencintai Adnan. Ia akui sejak dulu ia tidak pernah bisa menghapus perasaannya untuk Adnan. Bahkan sampai waktu di mana Luthfi melamarnya, Arraya masih selalu memikirkan perasaannya pada Adnan. Bahkan ketika Luthfi mengetahui jika ia masih menyimpan perasaan pada Adnan, Luthfi tak pernah mempermasalahkannya dan memilih berpura-pura tidak tahu.

Arraya terus menangis. Ia menangisi semua yang telah terjadi padanya. Pada akhirnya, ia memang terluka akan pernikahannya. Tapi kini, bukan hanya Arraya yang terluka, melainkan Adnan pun sama. Arraya memang tidak pernah mengatakan kepada siapa pun, termasuk Alya, kalau ia mencintai Adnan. Bahkan sampai detik ini, rasa cinta itu tetap tersimpan rapih dan tidak ada seorang pun yang tahu kalau ia mencintai Adnan.

Arraya terlalu takut mengatakannya. Arraya tidak berani mengatakannya. Ia takut ketika ia jujur pada Adnan, Adnan malah pergi meninggalkannya. Dan kini, ketika ia tak sampai mengatakannya, pada akhirnya Adnan meninggalkannya.

Rintik hujan membasahi bumi malam ini. Terpaan angin kencangnya sampai membuat jendela kamar basah akan air hujan. Gelap langit menurunkan hujannya. Seolah ikut berduka seperti hati Arraya. Menangis bersama dengan malam yang dingin dan sepi.

***

Arraya memberanikan diri untuk datang ke kantor Adnan siang ini. Jika lelaki itu tak menjawab panggilan dan tak membalas pesannya, maka lebih baik ia langsung mendatangi lelaki itu. Semalaman, Arraya tidak bisa menghubungi Adnan. Ia hanya mendengar kabar dari Bima, kalau Adnan tidak pulang ke rumah orangtuanya, melainkan pergi ke apartemen keluarganya.

Arraya melumat bibirnya dan menatap sekitar lobi dengan gugup. Ini adalah pertama kalinya Arraya pergi ke kantor Adnan. Gedung pencakar langit yang berdiri megah di tengah Jakarta.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?"

Arraya terperangah. Ia tidak sadar jika saat ini tubuhnya telah berdiri di depan meja resepsionis.

"Mm ... Saya ...." Arraya bingung harus mengatakan apa. Haruskah ia mengatakan jika ingin bertemu suaminya? Tapi, adakah yang akan percaya dirinya?

"Ibu, adakah yang bisa saya bantu?" ulang sang resepsionis.

Arraya mengerjapkan matanya beberapa kali. "Saya ingin bertemu Pak Adnan. Bisa tunjukkan di mana ruangannya?"

"Pak Adnan?" resepsionis itu kini menatap Arraya dengan tatapan heran. Meniti tubuh Arraya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Arraya jadi memperhatikan pakaiannya saat ini. Rok berwarna peach dengan kemeja floral dan kerudung yang berwarna senada dengan roknya. Arraya rasa, tidak ada yang salah dengan pakaiannya hari ini. Tapi mungkin, wajahnya yang masih terlihat sembab membuat orang melihatnya dengan tatapan heran dan khawatir. Padahal Arraya sudah cukup menutupinya dengan bedak tipis dan perona bibir berwarna pink.

"Mohon maaf, tapi apakah Ibu sudah membuat janji sebelumnya?"

"Mm ... janji? Belum sih, Mbak."

"Ooh." Tatapan resepsionis itu berubah menjadi merendah pada Arraya. Membuat Arraya tidak nyaman dengan tatapan seperti itu. "Kalau belum buat janji, maka tidak bisa bertemu dengan Pak Adnan. Beliau sedang sibuk sekali hari ini."

"Nggak lama kok, Mbak. Hanya sebentar saja. Sampaikan kalau ada yang mau bertemu, namanya Arra-"

"Ibu, mohon maaf ya. Sudah saya sampaikan tadi kalau Bapak sedang banyak agenda hari ini. Bisa dipastikan kalau Ibu tidak akan bisa bertemu Pak Adnan hari ini."

Arraya menggeleng pada resepsionis itu, sementara resepsionis itu masih menatap Arraya tak bersahabat. "Mbak, saya mohon. Tolong telepon Pak Adnan sebentar. Saya sungguh harus bertemu dengannya. Ada yang perlu saya sampaikan padanya."

"Bu, maaf ya. Kalau Ibu memaksa seperti ini, saya bisa panggil sekuriti ke sini."

"Tapi Mbak, saya hanya ingin bertemu Pak Adnan saja. Bisakah coba untuk menghubunginya terlebih dahulu? Saya mohon..." Arraya tidak punya lain selain memohon. Ia memang butuh bertemu dengan Adnan. Ia harus bicara dengan lelaki itu dan menyelesaikan masalah di antara mereka dengan cara yang baik.

Resepsionis yang bernama Windi itu semakin memasang tatapan tajam pada Arraya. Tangannya terangkat ke atas, memberi kode pada seorang satpam yang berjaga di pintu lobi agar membawa Arraya pergi keluar.

"Kenapa Mbak Win?"

Arraya menghela napas panjang saat seorang satpam sudah berdiri tegap di sampingnya.

"Ini loh, Pak. Ibu ini maksa masuk untuk bertemu Pak Adnan. Saya sudah sampaikan kalau Bapak tidak bisa diganggu hari ini, tapi Ibu ini tetap memaksa. Lebih baik usir aja deh, Pak."

Arraya membulatkan matanya tak percaya. "Bukan memaksa Mbak. Saya hanya ingin Mbak mencoba menghubungi Pak Adnan terlebih dahulu. Lagian saya cuma sebentar kok, tidak akan lama."

"Mohon maaf Ibu, silahkan keluar. Mohon untuk tidak membuat keributan di sini." Saat tangan besar itu ingin meraih lengannya, Arraya bergeser dengan cepat.

"Saya tidak berniat buat keributan apa pun di sini, Pak. Tapi memang saya butuh untuk bertemu dengan Pak Adnan."

"Mari Ibu, saya antar ke pintu keluar." Saat Arraya hendak menghindar lagi, rupanya sekuriti itu lebih cepat. Tangan besarnya langsung mencengkeram lengan Arraya hingga gadis itu meringis sakit.

"Pak, sakit! Tidak usah cengkram tangan saya seperti ini." Sekuat apa pun Arraya berusaha, sekuriti itu tetap menahan lengannya dengan kuat. Arraya bahkan bisa jamin kalau tangannya pasti memerah karenanya.

"Pak, sakit. Lepas!"

Arraya berteriak. Tangannya memang terasa mau patah di dalam genggaman tangan sekuriti itu. Terlebih kini ia malah diperhatikan oleh semua pasang mata yang ada di lobi. Harga dirinya saat ini seperti sedang dijatuhkan. Semua orang menatapnya dengan tatapan bingung juga aneh. Mungkin mereka tidak pernah melihaat ada wanita normal diseret keluar oleh sekuriti secara langsung.

"Pak, saya ini istrinya Pak Adnan! Saya istrinya, bukan orang asing!"

Sekuriti tersebut tertawa dengan tidak melonggarkan cengkeramannya dari lengan Arraya. Arraya semakin meringis sakit. Baru kali ini ia diperlakukan dengan hina seperti ini. "Ini bukan pertama kalinya ada yang mengaku sebagai istrinya Pak Adnan. Jadi Ibu tidak usah terlalu memaksa."

"Saya tidak berbohong, Bapak sakitin tangan saya!"

Arraya hampir saja meneteskan air matanya, hingga akhirnya ia urungkan saat mendengar sebuah suara yang tidak asing di telinganya.

"Lepaskan perempuan itu!"

Arraya mengangkat kepalanya dan menoleh dengan cepat. Arraya menatap pria tinggi di sana itu dengan tatapan bingung. Tentu saja ia bingung karena melihat Muaz yang ia tidak mungkin salah lihat sedang berada di kantor suaminya. "Pak Muaz?"

Muaz, pria tampan itu langsyngmendekati Arraya dan meraih lengan sekuriti itu untuk melepaskan Arraya. Muaz langsung berdiri di depan tubuh Arraya, seolah melindungi gadis itu dari tatapan tajam sekuriti yang terlihat tidak terima Saat lengannya sudah dilepaskan, Arraya menyentuh lengannya. Ia meringis. Cengkeraman tangan sekuriti itu benar-benar sangat terasa sampai ke tulangnya.

"Kamu tidak apa-apa, Arraya?" Muaz menghadap ke arah Arraya.

Arraya mengangkat lagi kepalanya. Dan saat matanya bertemu dengan mata cokelat milik Muaz, Arraya kembali menurunkan pandangannya. "Saya baik-baik saja, Pak. Terima kasih banyak." Arraya memberikan senyum tipisnya pada Muaz.

Muaz berdeham pelan menanggapi ucapan terima kasih Arraya lalu kembali berbalik menghadap sekuriti tadi. "Lain kali jangan bersikap kasar pada perempuan. Sikap Anda tidak sopan karena menyeret orang dengan paksa tanpa tahu hal yang sebenarnya."

"Maaf Pak, tapi Ibu ini sudah membuat onar. Ibu ini memaksa untuk bertemu Pak Adnan dan berani mengaku sebagai istrinya."

"Tapi aku memang istrinya."

Walaupun dengan suara yang sangat-sangat pelan, Muaz masih bisa mendengar lirih suara Arraya di belakang tubuhnya. "Saat Anda bertanya tadi, saya rasa dia sudah menjawabnya jika dia ini memang istrinya Pak Adnan. Dan seharusnya Anda tidak lagi menarik-narik lengannya seperti tadi."

Melihat wajah Muaz yang pias dan serius, sekuriti tersebut mendadak merasa bersalah. Ia segera menunduk dan meminta maaf, terutama pada Arraya. Arraya yang memang mudah merasa iba, pada akhirnya tak terlalu mempermasalahkan. Lagi pula, kedatangannya saat ini adalah untuk bertemu dengan Adnan, suami yang sudah menjatuhkan talak pertama padanya. Ngilu di dada jika Arraya kembali mengingat ucapan Adnan malam itu.

"Ibu mohon maaf, itu Pak Adnan."

Arraya dengan cepat menoleh karena sekuriti tersebut tiba-tiba menunjuk ke arah kanan. Arraya menghela napas lega saat melihat pria yang sangat ingin ia temui hari ini. Pria yang memakai jas berwarna navy itu terlihat begitu tampan dengan beberapa orang di sekitarnya.

Muaz ikut mengikuti arah pandang Arraya. Saat ia menatap gadis itu dari samping, ia bisa melihat bibir Arraya menyunggingkan senyum penuh haru. Gadis itu seperti anak kecil yang baru saja melihat ibu kandungnya sendiri.

"Mas Adnan!"

Mendengar namanya dipanggil, Adnan yang sedang fokus pada ponselnya mendadak menaikkan pandangannya. Matanya menyipit, mencari orang yang memanggil namanya.

Arraya.

Mata Adnan yang semula menyipit kini melebar. Dan saat matanya bertemu pandang dengan mata Arraya, Adnan menghentikan langkahnya sejenak. Dalam beberapa detik, Adnan menatap lurus kedua mata hitam Arraya sebelum akhirnya ia memilih berjalan kembali dan melanjutkan langkahnya dengan mengabaikan tatapan Arraya yang seketika memelas.

"Mas Adnan..." Arraya tidak sanggup melanjutkan ucapannya saat ia melihat Adnan dengan tidak pedulinya berjalan serong ke arah pintu lain. Jelas-jelas Arraya melihat jelas kalau Adnan juga membalas tatapannya. Adnan tidak mungkin tidak tahu kalau ada Arraya yang sedang berdiri di pintu kiri lobi.

Adnan hanyalah sedang berusaha menghindarinya.

"Pak, sepertinya perempuan tadi memanggil nama Bapak."

Adnan melirik sekilas ke sebelahnya. Ada Janu, karyawannya yang memiliki mata sipit dan berkacamata. "Saya sedang tidak ingin bertemu siapa pun."

"Tapi Pak, perempuan itu sepertinya menangis sekarang."

Akhirnya Adnan berhenti setelah kakinya melewati pintu lobi. Ia bergeming karena keluhan Janu barusan. Ia membalikkan badannya dan ingin melihat apa yang tadi Janu katakan. Tapi saat matanya ingin memandang, gadis itu keluar dari dalam lobi dan memberhentikan taksi di depan kantornya. Adnan hanya diam memperhatikan Arraya. Ia sama sekali tidak memiliki niat untuk menahan kepergian gadis itu.

Satu alisnya terangkat, saat matanya beralih fokus dengan pria di samping Arraya yang terlihat sedang bicara dengan gadis itu. Kedua alis Adnan sontak menukik tajam ke atas, begitu ia melihat pria di samping Arraya menatap tajam ke arahnya. Seolah melayangkan tatapan pertempuran karena berani membuat gadis bernama Arraya menangis.

"Kita pergi sekarang!" Adnan langsung melangkah ke depan. Satu tangannya terkepal melihat wajah pria itu. Ia mengabaikan tatapan pria itu dan segera masuk ke dalam mobilnya yang sejak tadi sudah menunggu di depan gedung.

Berani-beraninya pria itu menatapnya tajam hanya karena seorang gadis? Memang apa salahnya? Bahkan yang seharusnya di salahkan dalam posisi ini adalah Arraya, bukan dirinya.

Tapi kenapa Adnan harus marah karena pria itu?

Jika memang Adnan tidak peduli pada Arraya, bukankah seharusnya ia tidak merasa marah?

鹿鹿鹿

Makin penasaran kelanjutannya atau mau stop sampai sini?

Jangan lupa untuk vote dan komen 

Jazakumullah ya Khair

Muachh ❤
Haphap

TAMAT : 17 Mei 2020

REVISI : 24 Juni 2020


Komentar