37 | Deburan Ombak

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

"Jangan bercanda kamu, Tasya! Ini sama sekali nggak lucu!"

Adnan langsung naik pitam begitu mendengar Tasya selalu menyebutkan jika Afifah sudah terbangun dari komanya. Hal yang tentunya mengejutkan untuk didengar tiba-tiba.

"Aku nggak bercanda, Mas!! Mba Afifah beneran udah sadar!!"

Mendengar suara Tasya yang begitu tegas dan sama sekali tak terdengar bercanda, Adnan merasakan tangannya lemas. Ponsel yang sejak tadi ia tempel di telinganya terjatuh begitu saja ke atas kasur. Tatapannya kosong memandangi layar ponselnya yang masih tersambung dengan Tasya.

Arraya yang sejak tadi diam dengan sibuk mendengar dan mencerna setiap kata yang ia dengar dari Tasya di seberang sana, membuat kepalan tangan Raya mengerat pada selimut. Raya merasakan desiran yang mengaliri darahnya begitu cepat. Dirinya tak lagi dapat membendung betapa kencang degup jantungnya itu.

Arraya semakin merasa gugup saat melihat wajah Adnan yang menoleh menatapnya. Tatapan yang entah bagaimana Arraya mengekspreksikannya. Hatinya semakin gugup kala penasaran jawaban apa yang hendak meluncur dari bibir Adnan setelah mendengar kabar mengejutkan barusan.

"Mas Adnan!!"

Tasya masih berteriak memanggil nama Adnan yang sudah tak lagi terdengar suaranya, karena kini yang dilakukan pria itu hanyalah menatap kedua mata Arraya dengan gamang. Tak tahu harus berbuat apa dengan kabar mengejutkan untuknya.

"Cepet ke rumah sakit sekarang, Mas!!"

Adnan masih belum menjawab. Hanya sibuk menatap kedua mata istrinya sambil menerawang jauh ke dalam sana. Ia tidak melihat adanya perubahan ekspresi di wajah Arraya.

"Mas harus ke sana." 

Ucapan itu tak meluncur begitu saja dari bibir Raya. Sejak tadi perempuan itu terus meremas selimut di dalam kepalan tangannya. Jika dilihat, tangan Raya mungkin sudah memerah.

"Apa maksud kamu, Ra?"

Sebuah senyum tiba-tiba tercipta dalam wajah Arraya. Adnan melihat itu. "Mba Afifah pasti membutuhkan Mas untuk ada di sisinya."

"Mas Adnan!!"

Mendengar suara Tasya yang kembali berteriak di seberang sana, Adnan kembali tersentak. Perasaannya tak karuan. Rasanya ia ingin membelah dirinya menjadi dua. Tidak mungkin jika ia meninggalkan Arraya seorang diri di sini. Dan tidak mungkin juga ia tidak datang ke rumah sakit untuk melihat keadaan Afifah ketika ialah penyebab Afifah sampai koma ber bulan-bulan karena kecelakaan maut malam itu.

Arraya mengangguk sekali lagi dengan mantap, tanpa mengurangi senyum yang dibentuk oleh bibir tipisnya.

"Pergilah, Mas..."

Satu hal yang membuat hati Adnan patah. Arraya masih tetap tersenyum, sambil terus memohon agar dirinya segera pergi untuk menemui perempuan lain. Seorang istri yang mempersilakan suaminya untuk menemui perempuan lain.

🥀🥀🥀

Arraya memungut piyamanya yang berada di lantai akibat dari pergulatannya dengan Adnan semalam. Ia memakai pakaiannya satu persatu dengan gerakan yang lambat pada tubuhnya yang masih polos. Mengancingi satu persatu baju piyamanya yang berwarna merah.

Suara guyuran air di dalam kamar mandi masih terdengar. Adnan masih membersihkan diri dari sisa-sisa kegiatan semalam. Selesai memakai lengkap pakaiannya, Arraya bergerak ke lemari pakaian. Ia mengeluarkan koper berukuran kecil milik Adnan. Memasukkan semua barang milik suaminya ke dalam koper tersebut tanpa mau ada satupun yang tertinggal.

"Ra..."

Arraya berhenti menggerakkan tangannya yang sedang memasukkan sisa baju Adnan ke dalam koper. Ia menoleh dan melihat suaminya yang sudah selesai mandi bahkan sudah memakai pakaian siap untuk pergi.

"Semua barang Mas udah aku siapin ke koper semua. Dan karena ini masih jam 5 pagi, aku siapin jaket biar Mas nggak kedinginan."

Adnan langsung mendekati istrinya dan memeluknya dengan erat. Adnan tahu jika Arraya saat ini sedang berusaha menahan diri. Adnan tahu jika saat ini Arraya sedang memasang topeng berbentuk senyum. Padahal jelas, dalam senyum yang diberikan Arraya menyimpan banyak luka saat ini.

"Kamu nggak perlu lakuin semua ini, Sayang."

Arraya menelan salivanya dengan susah payah. Ia melonggarkan pelukannya dengan sudah bersiap memasang senyum cerahnya.

"Mba Afifah baru sadar dari komanya selama berbulan-bulan, Mas. Itu waktu yang sangat lama. Dan kalau nggak ada Mas Adnan di sana, dia pasti sangat khawatir. Kalian sedang bersama saat terakhir kali."

"Tapi aku nggak bisa ninggalin kamu sendirian di sini, Ra."

Raya merasakan ada pisau yang sedang menyayati hatinya. Senyum masih betah membingkai wajah cantik Arraya. Raya mengangkat kedua tangannya dan mengusap kedua pipi suaminya dengan lembut. Apa yang Raya lakukan saat ini adalah gerakan yang sangat Adnan sukai.

"Mas nggak ninggalin aku. Mas hanya akan pergi sebentar, lagi pula aku akan susul Mas nanti."

"Kalau gitu kita ke Jakarta sekarang sama-sama. Kita pulang sama-sama, Ra."

Arraya menarik napas beratnya. Sekali lagi ia berikan senyum lebar hingga jajaran gigi putihnya terlihat. "Mas harus pergi sekarang. Supirnya pasti sudah siap di lobi untuk antar Mas ke bandara."

"Ra..."

"Mas harus pakai sepatu sekarang. Jangan sampai telat ke bandaranya apalagi sampai telat check in pesawat."

Tanpa mau memperpanjang debat, Raya hanya tersenyum sambil memakaikan Adnan sebuah jaket walau Adnan sendiri tak mau.

"Ra, Mas serius. Ayo ikut ke Jakarta sama Mas sekarang."

Raya terkekeh kecil. "Aku bahkan belum mandi, Mas. Aku juga belum rapihin semua barang aku."

"Kalau gitu kita pakai penerbangan kedua."

"Nggak bisa, Mas. Mas harus pulang pakai penerbangan pertama sekarang."

Adnan akhirnya diam. Sepertinya, bagaimanapun ia memohon pada Raya agar ikut dengannya langsung ke Jakarta, Raya akan tetap menolaknya.

🥀🥀🥀

Bunyi yang ditimbulkan dari vital sign monitor yang ada di ruang ICU (Intensive Care Unit) sudah lebih terdengar normal setelah sebelumnya pasien yang tersambung dengan banyak alat itu sempat berhenti detak jantungnya. Grafik yang ditunjukkan pada monitor tersebut menggambarkan bahwa detak jantung pasien sudah kembali normal walaupun masih perlu pengawasan intensif dari dokter yang bertugas. Denyut nadi, serta tekananan darahnya juga dalam keadaan yang normal.

Ruangan tersebut dipenuhi ucapan syukur tak terhingga pada Sang Kuasa. Perempuan lemah yang baru saja kembali dari masa kritisnya kini akhirnya masih bisa membuka mata setelah dinanti berbulan-bulan kesadarannya.

"Afifah sayang..."

Perempuan pemilik arti nama perempuan baik yang suci itu pun melirik ke sumber suara. Gerakan matanya yang lambat dan tatapannya yang lekat menandakan bahwa perempuan itu tetap masih bisa merespon panggilan untuknya.

"Ibu senang akhirnya kamu bisa bangun kembali dari tidur panjang kamu, sayang. Ibu senang akhirnya bisa melihat kamu kembali membuka kedua mata kamu."

Tak henti Yanti mengatakan kalimat itu. Ia masih tidak menyangka, jika Tuhan masih memberikan kesempatan hidup untuk putrinya. Ia pikir, Afifah tidak akan pernah sadar kembali setelah kecelakaan maut itu.

Dokter mengatakan, jika Afifah diberikan keajaiban oleh Tuhan. Sejak awal, dokter sudah mengatakan kepada keluarga Afifah, jika suatu saat Afifah sadar, maka itu sepenuhnya kehendak Tuhan. Karena jika dinilai dari sisi medis, kecil sekali kemungkinan Afifah dapat sadar kembali setelah mengalami benturan yang amat keras pada kepala belakangnya.

Afifah menggerakkan matanya dengan lambat. Ia melirik sekelilingnya dengan tatapan bingung. Bertanya pada dirinya sendiri, ada di mana ia. Bertanya pada dirinya sendiri, mengapa ia tidak dapat membuka suara ataupun menggerakkan tubuhnya. Tak ada yang dapat Afifah lakukan selain menggerakkan area mata. Bibir, leher, tangan, kaki, semuanya tak ada yang dapat Afifah gerakkan sebagaimana terakhir kalinya ia masih merasa normal.

"Dokter bilang, otot tubuh kamu kaku karena kamu sudah terlalu lama tertidur. Tapi katanya, dengan kamu mengikuti masa pemulihan dari doket, kamu akan kembali sehat dan normal sayang."

"Mba Afifah yang sabar ya... Mba harus semangat. Mba pasti akan sembuh..." Tasya bersuara. Tangannya menggenggam erat tangan Afifah yang belum bisa bergerak di sisi tubuh.

"M...Ma...Mas... A...Ad...Ad..nan..."

Tasya mengeratkan genggamannya. "Mba tenang aja, Mas Adnan sudah di pesawat menuju Jakarta. Mas Adnan akan segera menemui Mba Afifah nanti."

"Iya, Sayang. Adnan sedang di perjalanan ke sini. Kamu harus sabar, yang kuat menunggu Adnan."

Satu sudut bibir Afifah berhasil bergerak sedikit ke samping, hasil usaha gadis itu untuk tersenyum. Mendengar nama seseorang yang ia cintai adalah kebahagiaan. Mendengar nama seseorang yang ia rindukan adalah sebuah hadiah yang paling indah untuk dirinya.

Hal yang ingin Afifah lakukan saat Tuhan masih mau memberikan kesempatannya untuk bertemu, ia ingin menghabiskan hari untuk saling melepas rindu. Tapi satu yang begitu ia inginkan, ia ingin Tuhan masih mau memberikan dirinya kesempatan untuk mengucap maaf.

🥀🥀🥀

Deburan ombak memecah keheningan. Riuh suaranya menjadi saksi, bahwa ada yang sedang berjuang untuk mencapai tepian. Desiran anginnya bagai rindu yang berkepanjangan.

Arraya duduk di bibir pantai. Matanya memandang ke arah langit yang berwarna jingga. Hari sudah sore, tapi matahari masih nampak setia menemani. Rupanya, matahari tak lagi enggan mengisi. Matahari masih ingin berusaha menemani hati seorang perempuan yang sedang penuh sesak dadanya.

Hidungnya bersuara. Mengeluarkan udara yang begitu terasa berat dibebaskan. Raya terus melakukan itu berulang-ulang kali. Berharap dadanya akan berkurang sesak, namun sesak malah terus datang menghimpit.

"Menurut Mas, bagaimana Mba Afifah itu?"

"Afifah? Kenapa kamu tanyain hal itu?"

"Hanya ingin tahu. Bagaimanapun, dia adalah perempuan yang mengisi hati Mas untuk waktu yang cukup lama."

Adnan menghela napas panjang. Tak menyangka jika istrinya akan menanyakan hal itu padanya. "Kita lagi bulan madu, Ra. Haruskah kita membicarakan orang lain di antara kita?"

"Aku hanya ingin tau, Mas. Mas jujur saja, ceritakan semuanya padaku, aku ingin mendengarnya."

"Mas nggak mau cerita," jawab Adnan.

"Kenapa?"

"Mas sudah bisa menebak bagaimana nantinya perubahan raut wajah kamu kalau Mas ceritakan tentang masa lalu."

Arraya tersenyum. Tertawa untuk membantu menghilangkan gusar khawatir sang suami. "Kita nggak mungkin terus-terusan menyembunyikan masa lalu, bukan? Bukankah dalam setiap masa lalu akan selalu ada pelajaran yang bisa diambil?"

"Tapi nggak juga bercerita tentang Afifah ke kamu, Ra. Mas nggak mungkin lakuin itu."

"Gimana kalau aku juga akan ceritakan tentang Mas Luthfi ke Mas? Kalau gitu kita impas, kan?"

Bibir Arraya tertarik membentuk senyum. Mengulas kembali ingatan berdua bersama Adnan. Ingatan saat mereka berdua mulai mau membicarakan sedikit tentang masa lalu. Pintu masa lalu yang sampai saat itu tak pernah ada yang berani membuka kuncinya.

"Afifah itu perempuan yang baik. Perempuan pekerja keras yang selalu berusaha untuk keluarganya. Walau Afifah bukan berasal dari keluarga berada, sifat humble dan ramahnya membuat Mas saat itu jadi jatuh hati sama dia."

"Apa sekarang Mas masih jatuh cinta dengan Mba Afifah?"

Adnan langsung menolehkan kepalanya. Menatap wajah sang istri yang tetap mempertahankan sebuah senyuman di wajahnya.

"Kamu sudah janji sama Mas tidak akan menanyakan pertanyaan seperti itu."

Getaran di ponselnya membuat lamunan Raya kembali terpecahkan.

Mas Adnan's calling

Begitu nama Adnan mulai tertera masuk dalam panggilannya, air mata yang sejak tadi berkumpul di pelupuk matanya mulai menjatuhkan diri satu-persatu. Sudah puluhan panggilan masuk ia abaikan. Sudah puluhan pesan Adnan juga Raya abaikan.

Panggilan masuk terputus, satu pesan kembali muncul.

Mas Adnan

Ra, kamu di mana???
Jangan buat Mas cemas.
Angkat panggilan Mas sekarang, Ra!

Bukannya membalas pesan dari Adnan, Raya justru membuka pesan yang sudah ia baca sekitar 3 jam yang lalu saat ia masih berada di kamar hotel.

Tasya

Sampai kapanpun lo itu nggak pantes untuk Mas Adnan!
Mas Adnan udah bahagia sama Mba Afifah, jadi mending lo pergi jauh!
Pengganti, akan selamanya tetap jadi pengganti!

Ps : hanya sebagai alat bantu imajinasi untuk model foto yang dikirimkan Tasya ke Arraya 

Matanya tak lepas memandangi foto Adnan yang sedang memeluk seseorang yang Raya yakini adalah Afifah. Bukan rasa cemburu yang kini bertahta di hatinya, melainkan rasa takut. Takut akan segala pikiran yang berkelebat di dalam kepalanya.

"Tidak apa, Ra. Ini bukan salah siapa-siapa. Kamu hanya perlu tutup mata sesaat. Biarkan semuanya terjadi dan terselesaikan dengan baik tanpa kamu ikut campur di dalamnya."

Jemari Raya terangkat untuk mengusap lembut pipinya yang basah. Ia berbicara dengan dirinya sendiri di dalam hati. Berusaha untuk membuat rangkaian kata yang ia harap akan bisa menenangkan dirinya, namun yang ada malah terus-terusan gagal.

Sepertinya angin sedang tidak bersahabat dengan Raya. Angin sore yang terlalu kencang membuat kedua mata Raya jadi memerah hingga terus mengeluarkan air mata. Sebesar apapun usahanya, air mata akan terus berjatuhan tanpa tahu kapan akan berhenti.

Pantai adalah tempat kesukaannya. Pantai adalah tempat indah yang selalu Raya sukai. Anginnya, lautnya, pasirnya, ombaknya, karangnya, burung camarnya, pohon kelapanya, dan semua yang berada di sekitar pantai adalah kesukaannya. Tapi hari ini, pantai begitu jahat. Angin memberikan dingin tanpa memberikan tempat ke mana Raya harus menghangatkan diri.

Riuh deburan ombak tak lagi dapat menjadi alasan untuknya tetap tersenyum. Riuh deburan ombak tak lagi dapat menjadi alasannya menciptakan tawa. Riuh deburan ombak seolah menarik semua rasa rindunya tanpa sisa. Riuh deburan ombak sudah menyeret semua kebahagiannya dalam sekejap.

Raya menangis. Kedua lututnya tertekuk hingga menenggelamkan wajahnya. Menangis seorang diri. Menangisi dirinya yang malah menangis karena keputusan yang ia ambil sendiri. Kini, Raya benci dirinya sendiri.

🥀🥀🥀

Tisu mana tisu???

Gimana gimana ?
Masih sanggup nemenin Ara pulang ke Jakarta buat nemuin Afifah?

Jangan lupa dukungannya 🥀

❤ Jazakumullah ya Khair ❤

TAMAT : 17 MEI 2020
REVISI : 11 SEPTEMBER 2020

Komentar