14. Sedalam luka
🌹🌹🌹
Ada sebuah kisah dimana Rasulullah juga pernah jatuh cinta dan patah hati.
Peristiwa itu terjadi ketika beliau masih muda. Cinta pertama. Namun bukan Siti Khadijah yang menjadi cinta pertama beliau, melainkan seorang gadis asal suku Quraisy bernama Fakhitah.
Siapakah gadis itu?
Waktu itu paman sekaligus pelindung nabi paling gigih. Abu Thalib. Memiliki tiga orang putra dan beberapa orang putri. Beberapa ada yang sebaya dan menjadi teman sepermainan nabi seperti anak tertua Abu Thalib yang bernama Thalib, Aqil yang berusia empat belas tahun dan Ja’far yang lebih muda. Nabi senang bermain bersama mereka, ditambah mereka juga pribadi-pribadi yang cerdas.
Di antara anak-anak Abu Thalib ini ada salah satu yang menarik perhatian nabi. Ia adalah putri keempat Abu Thalib yang bernama Fakhitah ibn Abu Thalib atau yang kerap dipanggil dengan Umm Hani’. Perasaan cinta pun tumbuh di antara mereka berdua.
Muhammad muda pun menemui pamannya itu. Beliau pun yakin bahwa perasaan cinta ini bukan main-main belaka. Beliau pun ingin meyakinkan Abu Thalib untuk segera menikahkan mereka berdua. Lagi pula, keduanya juga telah mencapai usia nikah. Namun, Abu Thalib sudah punya rencana lain.
Jika saja waktu itu Muhammad datang lebih cepat menemui Abu Thalib, bisa jadi ceritanya akan lain. Ternyata, sebelum Muhammad datang menemui pamannya itu, Umm Hani’ telah dilamar oleh seseorang. Pria itu juga memiliki kemampuan yang istimewa di mata Abu Thalib dan tampak mencintai putri kesayangannya tersebut.
Pria itu bernama Hubayroh, putra saudara ibu Abu Thalib yang berasal dari Bani Makhzum. Ia sendiri juga bukan sekadar pria yang kaya, tapi juga berilmu, bijak dan juga seorang penyair berbakat, sama seperti halnya Abu Thalib sendiri. Ditambah, kekuasaan bani Makhzum di Mekah demikian meningkat seiring dengan kian merosotnya kekuasan Bani Hasyim.
"Pamanku..." kata nabi. "Mengapa kau tidak menikahkannya padaku?" tanyanya, lembut.
Tatkala keponakannya itu kembali mendekati, Abu Thalib hanya tersenyum dan menjawabnya, "Mereka telah menyerahkan putri mereka untuk kita nikahi."
Perkataan itu merujuk pada Ibunda Nabi sendiri, Aminah ibn Wahab, yang juga merupakan gadis dari suku yang sama dengan Hubayroh.
"Maka, seseorang pria yang baik haruslah membalas kebaikan yang sama dengan apa yang telah mereka berikan pada kita." Tambah Abu Thalib.
Akhirnya, kepada pria tersebut Umm Hani’ dinikahkan. Dan Nabi dengan lapang menerimanya. Beliau sadar bahwa Umm Hani’ memang bukan ditakdirkan oleh Allah untuk bersanding bersama dirinya. Bahkan, nabi berdoa untuk kebahagiaan mereka berdua.
Kelak, beliau akan menemukan perempuan tangguh yang sangat ia cintai. Sebuah cinta sejati. Dan cinta sejati itu bernama Khadijah.
*Diceritakan ulang dari buku Martin Lings, Muhammad: His Life Based on The earliest Sources diterjemahan oleh Qomaruddin SFMuhammad (2013) dan Muhammad ibn Saad dalam Kitab al-Tabaqat al-Kabir, vol. 8. Translated by Bewley, A. (1995), The Women of Madina.
🌹🌹🌹
"Dan nasihatilah kamu sekalian terhadap wanita dengan baik-baik, karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Oleh karena itu, jika kamu memaksa dalam meluruskannya maka akan hancurlah ia, dan jika kamu tinggalkan maka ia bengkok selama-lamanya. Maka, nasihatilah baik-baik terhadap wanita."
(HR Bukhari dan Muslim)
🍁🍁🍁
"Oh Allah, Jika mencintai bisa semudah membalikkan telapak tangan, kenapa melupakan harus begitu melelahkan?"
-Cinta Dalam Luka-
🍁🍁🍁
Semenjak pertemuan singkat malam itu. Membuat Alif tak bisa kembali bernapas dengan tenang. Setiap detiknya seperti ada yang mencekam. Kilatan air mata itu membuat hati Alif serba salah. Merasa terhanyut ikut terluka dan juga tak bisa berbuat apa-apa. Karena semuanya berbeda. Alif prustasi.
"Kutarik kembali ucapanku dulu, bahwa aku tidak akan pernah jatuh cinta dengannya, Adam." Wajah kusam pria itu tanpa ada senyuman.
"Jadi apa? Kamu mau menanamkan luka pada istrimu? Atau menanamkan luka pada dia cinta pertamamu?" Adam bertanya.
Sedari tadi gemuruh marah dihati Adam, terus bergejolak. Dia harus akui, bahwa ia juga masih mencintai Purnamanya. Bagaimana bisa melupa jika setiap ia memandang malam ia selau teringat wajah menyenangkan Purnamanya. Namun itu semua apa boleh buat dia tidak bisa marah. Hak apa ia bisa marah? Semuanya sudah berbeda.
Seharusnya jika ia tidak bisa membuat orang yang kucinta bahagia. Seharusnya Allah tidak membiarkan mereka bersama. Semakin bersama semakin ada yang terluka. Kenapa Allah memberi jalan seperti ini?
Alif diam.
Adam menghela napas. "Kamu mau berpoligami?" Pertanyaan yang sangat sensitif.
Alif mendongakkan kepalanya. Terkejut. Tentu saja. Pertanyaan macam apa itu. Jelaslah ia tidak akan mau berpoligami.
"Jika kamu masih mencintainya, jangan buat orang yang saat ini bersamamu terluka semakin dalam. Tinggalkan orang yang bersamamu sekarang, yang tidak kamu cintai. Lalu pergilah ke orang yang selama ini kamu cintai, orang yang selama ini terus menghantui pikiranmu."
"Khalisa lagi hamil, Dam." Alif berkata lemah.
Ini adalah berita terluka kedua setelah kabar pernikahan. Adam berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Apa masalahnya? Tinggalkan dia sebelum semuanya semakin berlarut-larut." Ucap Adam. Tidak ada yang salah dengan perkataan Adam. Pria itu hanya tidak ingin melihat Purnamanya semakin terluka karena ulah sahabatnya sendiri.
"Kamu kenapa sih?" Alif semakin tidak mengerti kenapa sikap Adam yang selalu berbeda bila berbicara tentang dirinya dan pernikahannya.
Adam menghela napas.
"Kamu yang kenapa! Lif, jatuh cinta memang mudah tapi melupakan itu adalah masalah. Kamu bisa menipu semua orang, tapi kamu gak bisa menipu aku. Jangan siksa hati kamu sendiri. Aku tahu kamu masih menyukai Nayyara-mu. Dia yang sekarang bersamamu juga punya perasaan, semakin kamu berbohong dengannya semakin kamu membuatnya terluka. Dan masih banyak lagi hati yang terluka karena ulahmu."
Adam menarik napas, mendekati Alif yang masih kalut pada permasalahannya. "Semua keputusan ada padamu. Aku tidak bisa memintamu untuk tinggalkan Khalisa, dan juga aku tidak bisa memintamu untuk berhenti mencintai Khaila. Segala pertanyaan yang kamu tanyakan padaku, tidak bisa aku jawab. Sejatinya jawaban itu ada pada kamu. Berdoalah. Semoga apa yang kamu pilih tidak membuat banyak hati terluka."
Alif mengusap wajahnya prustasi. Menghela napas berulang kali. Menatap kosong kepergian Adam.
***
Malam itu menjadi keputusan terakhir bagi perempuan itu. Jauh dari kata baik. Jika kalian bertanya bagaimana kondisi dia sekarang. Tidak pernah absen setiap harinya selalu ada air mata disana, entah pagi, siang, sore, ataupun malam. Menangis kiranya sudah menjadi hobi perempuan itu. Semalamlah final nya berdebat dengan sahabatnya.
"Kamu sudah tahu, keseluruhan kisahku. Kamu tidak akan mengerti. Tentang seorang putri yang terkurung di istana besar sendiri, lalu untuk sekian lamanya akhirnya langit berbaik hati memperkenalkan seorang pangeran, sampai putri itu jatuh cinta. Tidak. Keduanya saling jatuh cinta. Namun langitlah yang buta. Tidak melihat betapa tulusnya kedua hati itu. Betapa inginnya merajut masa tua bersama. Dalam sekejap putri kehilangan pangerannya. Kembali kesemula setiap harinya selalu bersapa pada air mata." Khaila menyeka air matanya.
"Itu menyakitkan..." Bibir Khaila bergetar. Menahan isakan tangis.
Gadis itu sangat mencintai pangerannya. Yang telah pergi.
"SEKARANG! APA KAMU MASIH MAU BILANG BAHWA ALLAH ITU ADIL?"
Meira memejamkan matanya. Ia tidak tahu sebegitu besar luka yang ditanggung sahabatnya. Dibalik senyum ceria yang selalu ia temui, ada luka yang bersembunyi.
"Aku paham apa yang sekarang kamu rasakan. Tapi balas dendam bukanlah jalan yang benar. Ini semua sudah takdir. Suka tidak suka kamu harus menerimanya."
"KAMU GAK NGERTI PERASAAN AKU. AKU TERLUKA DISINI. APA AKU HARUS SELALU MEMASANG TOPENG BAHAGIA JIKA TOPENG TERLUKA LEBIH ADA. KHALISA BOLEH AMBIL KEDUA ORANG TUA KU. TAPI DIA TIDAK BOLEH AMBIL ORANG YANG KUCINTAI. AKU AKAN AMBIL KEMBALI HAK KU YANG PERNAH ADA. KALI INI AKU TIDAK INGIN MENGALAH. AKU LELAH JIKA HARUS BERDARAH LAGI."
"Sadar Nayyara. Kamu gak bisa merebut Alif dari adikmu sendiri. Kamu sama saja merusak rumah tangga orang. Apa kamu bahagia melihat adikmu hancur."
"DIA BUKAN ADIK AKU! SEHANCUR HANCURNYA DIA, AKU JAUH LEBIH HANCUR!"Gadis itu tak bisa lagi dinasihati. Seisi otaknya telah kalut oleh amarah, dendam, dan kebencian.
"Astaghfirullah hal adzim, Nayyara istighfar. Jangan hilangkan agamamu. Mana Nayyara yang kukenal dulu. Kamu seharusnya sadar, jangan seperti ini. Apa setelah kamu berhasil menghancurkan pernikahan adikmu sendiri, apa kamu yakin Alif bisa menjadi milik kamu? Kamu yakin Alif masih mencintaimu setelah dia tahu jika pernikahannya hancur karena kamu."
"Lepaskan Alif, Nay. Dia bukan orang yang tertera di lauhul mahfudzmu. Ikhalskan dia. Yakinlah pada ketetapan Allah."
Khaila terduduk lemas di sofa. Menangis tersedu disana.
"Kenapa Allah gak pernah berbuat baik padaku? Kenapa harus aku? Kenapa tidak Khalisa saja?" Suara Khaila begitu parau bertanya lirih, bahunya bergetar hebat. Menangis.
Meira memejamkan matanya, menyeka bulir air mata yang terjatuh begitu saja. Ia paham apa yang terjadi pada sahabatnya. Ia tahu luka yang tengah ditanggung sahabatnya. Tapi mendukung sahabatnya untuk ke jalan yang salah, ia tidak bisa tinggal diam. Walaupun ia tahu bagaimanapun juga Khaila lah yang paling terluka disini.
"Dengar, nasihatku mungkin tak seindah yang kau mau. Aku paham tentang luka yang kini meperonda-perondakkan hati kamu. Tapi apa kamu lupa dengan janji Allah? Pada setiap hambanya yang berdoa. Allah tidak akan pernah mengecewakan hambanya yang berdoa pada-Nya. Percayalah selalu, apa yang sekarang kamu anggap keputusan dari Allah ini adalah terburuk, pasti ada maksud yang belum kamu ketahui jawabannya. Bukankah Allah sebaik-baiknya pembuat rencana?" Jeda tiga detik. "Jangan hilangkan akhlakmu, akal sehatmu, karena ini. Mungkin kamu kehilangan dia yang kamu cintai begitu abadi, tapi kamu harus tahu bahwa ada cinta yang lebih besar dari kamu mencintai dia. Cinta Allah kepada kamu itu jauh lebih besar dibanding cinta kamu kepada dia. Kamu masih memiliki Allah, Nayyara."
Meira menghampiri Khaila perlahan mendekap tubuh lemah sahabatnya itu. Khaila menangis disana lebih dalam.
"Ijinkan sekali ini saja, aku memberontak...." Gadis itu benar-benar dalam keadaan terluka.
"Semua jalan pasti punya rintangan, bukan? Begitu juga ujian. Semua ujian pasti punya rintangan. Bukankah untuk mencapai pada titik bahagia kita harus lalui luka dulu untuk sementara? Bukankah ini adalah nasihat lama, yang sering kamu katakan padaku? Sekarang kemana nasihat itu? Tanamkan kembali nasihat itu dihati kamu. Kamu wanita kuat. Allah tahu itu."
Setelah perdebatan panjang malam itu. Akhirnya Khaila memutuskan pulang. Ia salah. Menghindar bukan lah keputusan yang benar. Baginya dikota yang lama dan dikota yang sekarang, sama saja. Setiap sudut kota itu tetap selalu ada bayangan orang yang ia cintai. Orang itu takkan mampu dihapus oleh Khaila. Bagaiamanapun caranya. Maka mengahadapi masalah adalah keputusan yang ia ambil. Kembali ke kota lama. Tak peduli lagi jika ia harus menangis lagi, toh selama ini air mata telah menjadi sahabatnya. Gadis itu hanya berharap semoga hatinya yang lemah itu bisa menerima kenyataan. Meski tidak menutup kemungkinan rencana balas dendam akan terjadi. Bukankah seorang bisa buta karena cinta? Karena tidak mampu mengikhlaskan membuat seseorang bisa saja hilang akal.
Sahabatnya Meira, berdoa dalam kepergian Khaila. Jika telah sampai, maka sempurnalah Khaila sendiri. Tidak akan ada lagi orang yang mencegahnya jika ingin membuat salah, tidak ada lagi yang rela berjam-jam hanya untuk mendengarkan keluh kesah dan air mata sialannya itu. Khaila persis sendiri.
Gadis itu berjalan santai keluar dari bandara. Bahkan saat kepulangannya pun tidak ada yang datang untuk menjemput. Khaila tersenyum kecut.
Khaila terdiam. Kota yang ia tinggalkan tidak ada yang berubah masih sama seperti dulu. Hanya ada beberapa pembangunan gedung tinggi di pinggir jalan, para manusia semakin sibuk mencari kekayaan yang fana.
"Gak dijemput sama keluarganya, neng." Supir itu bertanya. Basa-basi.
Khaila tersenyum. "Sengaja pak. Saya emang gak kasih tahu keluarga saya. Biar kejutan."
Bohong. Khaila sudah mengirim pesan begitu banyak, pada Ayah dan Bundanya, ia sudah menelpon untuk memberitahu. Namun ya begitu. Tidak ada balasan. Khaila hanya berdiam pasrah. Bukankah ini seharusnya sudah menjadi hal yang biasa. Tak usah lagi harus merasa sesak. Dari dulu Khaila tidak tahu, apa alasan kedua orang tuanya, memperlakukan dia dan kembarannya sangat berbeda.
Oh Allah aku ingin jadi Khalisa...
***
Kembali ke tempat semula. Kota yang penuh luka. Untuk Khaila. Cerita yang ia punya ternyata belum usai. Satu hari kepulangannya. Gadis itu mengambil keputusan gila. Memaksakan bertemu dengan Alif.
Hatinya terluka untuk kedua kalinya. Rasanya sudah tidak ada lagi doa yang mampu ter-Aaminkan. Kabar jika Khalisa tengah mengandung, itu sungguh membuat hati Khaila rasanya terjatuh untuk lebih dalam lagi. Dan bertemu dengan Alif bukanlah suatu kabar gembira. Gadis itu sudah tidak dapat lagi membaca apa yang sedang dipikirkan pujaannya meski hanya lewat tatapan saja. Sungguh sudah tidak bisa. Khaila tidak dapat lagi menyimpulkan apa maksud dari sikap pria itu. Persis sudah semuanya berubah. Apa dia harus menyerah?
Menyerah bukanlah pilihan. Semakin ia menyerah maka semakin banyak ia berdarah. Tak ada obat untuk menyembuhkan lukanya. Semakin berlari melupakan semakin jelas wajah rupawan darinya meski hanya lewat bayangan. Apa cinta sejahat ini? Ditinggalkannya luka setelah lama berbahagia? Berlari setelahnya tak peduli bagaiman jadinya orang yang terluka. Harus bersusah payah untuk mengubur dalam-dalam segala kenangan. Sungguh ini sangat menyiksa.
Khaila menyeka air matanya. Masih sangat jelas diingatannya. Saat ia menangis begitu lemah didepan pria yang sudah tak lagi rasanya peduli padanya. Pria itu bungkam seribu bahasa, pergi begitu saja.
"Selamat ya..." Seorang wanita berkata lirih, menahan isakan tangis.
Pria itu hanya diam, menunduk dalam tak berani menatap.
"Atas bahagiamu yang berselimut luka dari diriku." Sambung wanita itu lagi.
Alif menarik napas panjangnya. Hatinya bergejolak entah ikut terluka atau marah. Lelaki itu tak mampu bersuara, terdiam.
Khaila memandang lelaki itu dengan kilat mata yang berkaca-kaca. Hatinya sungguh terluka. Persis seperti kaca yang retak.
"Apa dihatimu, masih terselip namaku?" Suara gadis itu begitu parau.
"Apa kau mencintainya? Sudahkah melupakanku?" Khaila bertanya menatap mata hitam milik lelaki itu.
Alif mendongak mata mereka bertemu.
"Assalamualaikum." Lelaki itu bangkit berdiri. Tanpa memberi jawaban lelaki itu melangkah pergi meninggalkannya sendiri.
Kalah sudah! Gadis itu kembali menangis. Terlihat lemah tepat dihadapan pria itu. Yang kiranya sudah tak peduli lagi.
Bagaimana caranya agar ia bisa lupa tentang semua yang sudah ada. Oh Allah, jika mencintai semudah membalikkan telapak tangan kenapa melupakan harus melelahkan? Semakin bersamanya hanya bertemu luka, tapi hati suka. Kiranya ada yang salah dengan ini semua. Entah persoalan waktu, atau takdir. Dari dulu langit memang tidak pernah berpihak padaku.
"Oh Allah, aku lelah. Kenapa rasa sakit masih ada. Kenapa cinta itu masih setia. Kenapa semua masih terasa. Allah, aku ingin pergi. Pergi dari semua yang menyiksakan dada, aku ingin melupa semua yang pernah ada. Antara aku dan dia. Ajarkan untuk ikhlas, beri aku sabar, beri aku cara untuk melupa. Allah, sungguh aku lelah. Jika dia memang bukan orang yang tertera di lauhul mahfudz ku, maka mudahkan aku melupa, jatuh cintakan aku pada dia yang memang tertulis di lauhul mahfudzku. Pada dia yang masih kau rahasiakan. Allah, bantu aku untuk berhenti mencintainya."
Komentar
Posting Komentar