41 | Cinta Yang Memaksa

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Terima kasih untuk apresiasinya di part 40 🌷
Di part ini kamu mungkin akan lebih kesel, jadi tahan emosi ya 😬

Jangan lupa follow!


🎵Playlist : Rio Febrian - Aku Bertahan🎵

🥀🥀🥀

"Afifah memang pernah menjadi perempuan yang sangat Mas cintai, tapi itu dulu. Afifah adalah masa lalu, Mas, sedangkan masa depan Mas sekarang adalah kamu, Ra. Kamu yang akan menjadi satu-satunya istri yang Mas punya di dunia ini."

"Mas merasa sangat beruntung bisa Allah berikan jodoh perempuan solehah seperti kamu. Mas cinta kamu, Ra."

"Kamu tau persamaan kamu dan bintang?"

"Nggak tau, memangnya apa bedanya?"

"Sama-sama bisa bersinar, walau dunia dan seisinya gelap gulita. Sama seperti kamu yang selalu bisa menerangi setiap kekurangan aku."

Tangis Raya sudah tak dapat lagi dibendung. Ia melepas semua perasaannya sepanjang kakinya melangkah. Memori menyenangkan juga membahagiakan yang pernah terjalin bersama Adnan kini malah menyakitkan untuk diingat. Berbagai tatapan yang ia dapatkan sama sekali tak menyurutkan kesedihan Arraya. Yang ada justru Raya semakin merasa menyedihkan.

Jika bisa tak menangis, sudah Raya lakukan sejak tadi. Jika bisa tak menangis, mungkin ia tak akan mendapat banyak tatapan kasihan untuknya. Tapi mau bagaimana lagi, Raya tetap merasa hatinya hancur. Bukan hanya hatinya, tapi ia merasa seluruh hidupnya hancur.

Kedua kaki Raya berhenti tepat sebelum ia meninggalkan halaman rumah sakit. Selangkah lagi ke depan, maka ia sudah tidak akan lagi berada di bawah lindungan atap kanopi rumah sakit. Kepalanya ia dongakkan dan menatap langit di atasnya. Langit terlihat begitu terang kebiruan di atas sana. Sangat kontras dengan kondisi hatinya saat ini.

Bertepatan saat kedua kakinya maju selangkah ke depan, suara orang yang memanggil namanya dari belakang membuat Raya kembali menoleh ke belakang. Entah suara siapa, yang jelas suara perempuan yang belum pernah ia dengar sekalipun.

"Kamu bener yang namanya Arraya, kan?"

Arraya mengusap seluruh wajahnya yang kini memerah dan mulai sembab. Ia menatap wanita paruh baya yang kini tampak ingin bicara padanya.

"Iya, saya Arraya."

"Saya ibunya Afifah."

Netra hitam milik Raya melebar. Ia jadi menatap lekat wajah wanita paruh baya di hadapannya. Benarkah yang ada di hadapannya itu adalah ibu dari Afifah? Lalu untuk apa memanggil dirinya?

"Saya mau bicara sama kamu. Ada hal yang harus saya sampaikan."

Seolah ada yang mencubit hatinya. Sedikit namun sakitnya membekas. Padahal Raya belum tahu apa yang ingin disampaikan oleh ibunya Afifah, tapi ia seolah sudah bisa merasakan sakit yang nantinya akan ditimbulkan dari hal yang ingin dibicarakan.

"Maaf, Bu. Tapi saya buru-buru." Raya sudah tidak kuat lagi. Yang ia inginkan adalah segera pergi dari rumah sakit itu. Tubuh serta hatinya sudah menolak untuk tetap berada dan bertahan di tempat tersebut.

"Tapi yang saya ingin sampaikan adalah hal yang penting. Saya mohon sama kamu ...." Yanti, ibu kandung dari Afifah memohon dan memasang ekspresi sedihnya kepada Arraya.

Air mata yang tadinya mulai surut kini berjatuhan kembali membasahi pipi Arraya. Hanya ada 2 hal yang kini berputar di kepalanya. Antara hal baik atau justru buruk yang memang akan terlontar dari bibir ibu Afifah.

"Tadi saya lihat kamu ada di depan ruang rawat anak saya. Saya yakin kamu sudah lihat dan dengar semuanya. Kamu pasti sudah lihat juga kan, bagaimana Afifah dan Adnan masih sangat mencintai?"

"Mereka berdua adalah pasangan yang terpaksa dipisahkan oleh keadaan. Mereka berdua yang sebenarnya masih saling mencintai terpaksa harus berpisah."

"Ap ... apa maksud pembicaraan Ibu?"

"Saya rasa, apa yang saya ucapkan ini akan berlaku untuk semua ibu di dunia ini. Tidak ada seorang ibu yang ingin anaknya terus merasa sedih. Semua ibu di dunia ini pasti menginginkan anak mereka merasakan kebahagiaan yang berlimpah."

Raya masih menunggu mau di bawa ke mana pembicaraan ibunya Afifah. Ia masih menunggu dengan gelisah apa sebenarnya maksud pembicaraan wanita paruh baya itu padanya.

"Saya ingin memohon sama kamu ... Bisakah kamu memberikan Adnan untuk Afifah?"

Bak ditohok dengan bambu runcing, Raya merasa hatinya memiliki lubang yang teramat besar. Sudah terluka, disiram air garam pula. Rasanya teramat perih.

"Kamu bisa kan, berikan Adnan untuk anak saya?"

Yanti menyentuh jemari Raya dan menggenggamnya erat.

Raya masih diam mencoba mencerna permintaan yang sangat berada jauh di luar nalar dan logikanya. Rupanya ini semua sungguh bukan mimpi. Rasanya tidak ada mimpi yang menyedihkan seperti ini.

"Mas Adnan adalah suami saya," dengan suara bergetar, Raya mencoba mengutarakan penegasan yang malah terdengar seperti sebuah lirih lemah.

"Saya tahu. Anggaplah saya ini adalah orang jahat. Tapi hanya ini yang bisa saya lakukan demi kebahagiaan anak saya."

"Lalu bagaimana dengan kebahagiaan saya? Bagaimana dengan perjuangan saya selama ini untuk mendapatkan hati Mas Adnan?"

"Saya yakin perempuan baik seperti kamu akan bisa mendapat suami lain yang lebih baik dari Adnan. Saya yakin perempuan baik seperti kamu akan bisa mendapat suami lain yang lebih sempurna dari Adnan. Tapi saya mohon sama kamu, berikan Adnan untuk Afifah."

"Lepaskan Adnan dan biarkan Adnan bahagia bersama Afifah. Mereka itu saling mencintai."

"Ibu adalah seorang perempuan, pasti pernah juga menjadi seorang istri. Jika dulu Ibu ada di posisi saya, bisakah Ibu melakukannya?"

Bukannya menjawab, ibunya Afifah justru berlutut di hadapan Arraya. Memohon belas kasih dari Arraya agar mau melepaskan suaminya demi Afifah.

"Saya mohon.... berikan Adnan untuk anak saya. Saya mohon sama kamu, saya akan lakukan apa pun demi kebahagiaan anak saya."

Tangis Raya kembali pecah. Kali ini jauh terasa lebih menyakitkan dan memilukan. Ia merasa seluruh hidupnya hancur dalam sekejap. Bagaimana mungkin seorang perempuan yang juga pernah menikah dan memiliki seorang suami yang ia cintai bisa mengatakan hal menyakitkan seperti itu dengan begitu mudahnya?

"Saya mohon.... minta cerailah dengan Adnan. Biarkan Adnan hidup bahagia dengan anak saya, Afifah. Saya mohon sama kamu sebagai seorang ibu."

Raya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Kepalanya menggeleng lemah karena terus mendengar kalimat permohonan dari seorang ibu yang sedang memohon kebahagiaan anak kandungnya padanya.

"Ibu egois. Ibu adalah perempuan yang jahat."

Langit seolah melakukan konspirasinya. Dalam hitungan detik, langit berubah gelap dengan warna kusamnya. Gemuruh langit menandakan bahwa akan ada hujan yang siap membasahi bumi. Tanpa menunggu lama, tubuh Raya yang memang sudah keluar dari halaman rumah sakit, langsung dihantam oleh derasnya hujan.

Hujan lebat dengan angin kencang menjadi pemandangan Raya di hadapannya. Apakah hujan dan angin selalu menjadi teman setia yang selalu menemani kesedihan Arraya? Seolah sama berdukanya dengan hidup Arraya hari ini.

🥀🥀🥀

To be Continued•

Hoho gimana? Ngeselin gak? Masih belum yaa?? We'll see 😆

Jazakumullah ya Khair

Komentar