22 | Di Bawah Gelapnya Langit
🥀 Surga Dalam Luka 🥀
Adnan melangkah keluar dari rumah Raya dengan perasaan yang sulit untuk dijabarkan. Di lain sisi ia senang karena bisa melihat Arraya, ia senang bisa menggenggam tangan yang selama ini ia selalu abaikan, ia juga senang karena bisa mengungkapkan perasaannya walaupun gadis itu tertidur dan ia hanya bicara seorang diri. Tapi tak bisa dipungkiri jika Adnan juga pergi dalam keadaan kecewa yang teramat dalam.
Adnan membenci dirinya sendiri. Ia seperti lelaki yang tak punya iman, yang tak tahu bagaimana caranya memperlakukan wanita dengan baik. Adnan jadi teringat ucapan ibundanya, yang kecewa jika seandainya ada di posisi Arraya saat ini.
Kaki Adnan berhenti berjalan setelah ia melangkah cukup jauh dari rumah Arraya. Ia mendongakkan kepalanya, menatap pekatnya angkasa yang jauh di atasnya. Ia membiarkan wajahnya merasakan perih dari guyuran hujan yang langsung menerpa kulit wajahnya. Jika ada kata yang lebih dalam dari sebuah penyesalan, maka itu yang Adnan rasakan.
Air mata yang mengalir dari sudut matanya, bersatu dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Adnan merasakan bagaimana sebuah penyesalan menggerogoti dadanya. Ia menjambak rambutnya. Menyesali semua kebodohan-kebodohan yang ia lakukan.
"Kenapa bisa aku begitu bodoh?"
Lagi-lagi pertanyaan itulah yang terlintas di kepala Adnan. Mengapa bisa ia begitu bodoh? Mengapa bisa ia begitu butanya pada perasaan Arraya? Adnan jadi semakin membenci dirinya sendiri.
Andai waktu dapat diputar. Andai waktu dapat diulang kembali. Andai ia tidak pernah menyakiti Arraya. Andai ia bisa lebih peka terhadap perasaan seorang perempuan. Andai ia bisa memperbaiki semua kesalahan yang sudah terjadi, dan serangkaian andai dengan pembenaran bahwa seharusnya waktu dapat diputar.
Nyatanya waktu akan terus berjalan ke depan. Menangis, meraung, menjerit, atau meratapi waktu yang telah berlalu tak akan membuat Tuhan memutar balik waktu atau mengirim Adnan kembali guna memperbaiki keadaan. Karena Adnan hanya bisa memutar kenangan baik sekaligus buruk bersama Arraya.
Adnan menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan berat. Ia mengusap seluruh wajahnya. Berdiri dengan tegap dan menatap ke depan. Ia mencoba untuk mengusir rasa sedihnya. Mencetak senyum di bibir pucatnya dengan sedikit paksaan. Tapi detik berikutnya Adnan malah merasakan matanya kembali menghangat. Deraian air mata penuh sesal bersatu dengan guyuran hujan membasahi wajahnya.
Bertepatan saat Adnan merasakan kedua kakinya melemah, ia mendengar ada suara dari arah belakang yang memanggil namanya.
"MAS ADNAN!!"
Arraya Kirania, gadis itu berteriak memanggil nama Adnan dari arah belakang. Dirinya yang tak memakai payung langsung dikejar oleh hujan yang bermain secara berkelompok.
"MAS ADNAN!!"
Arraya meneriakkan nama Adnan sekali lagi, karena lelaki itu tak kunjung membalikkan badannya. Arraya khawatir jika seandainya Adnan tak mendengar teriakannya.
Adnan bergeming di tempatnya. Ia mendengar namanya dipanggil beberapa kali. Adnan membuka matanya lebar-lebar. Memastikan bahwa ia tidak salah mendengar. Adnan merasa sedang berhalusinasi saat ini.
"Apa Mas nggak dengar suaraku?"
Adnan membelalakkan matanya. Suara Raya terdengar begitu dekat saat ini. Bahkan teramat dekat hingga ia merasakan darahnya berdesir hebat saat mendengar lembutnya suara Raya menyapa telinga.
Adnan sontak berbalik. Kedua bola matanya membulat sempurna saat ia melihat kehadiran Raya di depan tubuhnya. Gadis itu mengenakan piyama yang dirangkap dengan jaket dan kerudung hitam.
"Ar...raya?" panggil Adnan dengan terbata. Rasanya ia telah berhalusinasi saat ini.
"Apa kamu benar Arraya?" Tangannya terangkat, bergetar ingin menyentuh wajah Raya. Ingin memastikan bahwa yang di depannya itu memanglah Arraya, bukan halusinasi semata.
Arraya diam. Tubuhnya mematung merasakan tangan Adnan yang mulai menangkup pipinya. Sentuhan Adnan membuat sesuatu yang ada di dalam dirinya berdenyut rindu.
Saat Adnan sudah bisa memastikan bahwa yang di depannya itu memanglah Arraya, Adnan langsung bertanya secara refleks. "Kamu ngapain di sini?" Kamu harus balik ke rumah. Ini sudah malam dan hujan deras." Adnan baru menyadari jika Arraya keluar tanpa membawa payung sehingga pakaian gadis itu terlihat basah kuyup. Arraya bahkan tidak memakai sandal. Kakinya telanjang menginjak aspal.
Adnan meletakkan tangannya di atas kepala Arraya. Raut wajahnya terlihat begitu mengkhawatirkan gadis di depannya. "Ra, kamu harus pulang. Nanti kamu bisa sakit," lirih Adnan.
"Ra?"
Arraya masih diam di posisinya. Matanya menatap dalam mata Adnan yang mengerut. Ia bisa melihat gurat khawatir di wajah Adnan yang saat ini juga menatap tepat di matanya.
"Ra, kamu harus pulang sekarang. Kamu bisa sakit kalau hujan-hujanan terus begini!" Adnan langsung menggenggam tangan Raya dan menarik tangan gadis itu agar mengikuti jalan untuk pulang ke rumah.
"Aku nggak mau pulang." Arraya membalas. Ia refleks menepis tangannya dari dalam genggaman tangan Adnan.
"Arraya Kirania!" seru Adnan dengan nada berteriak dan langsung memutar tubuhnya menghadap Arraya. "Apa kamu mau sakit lagi kalau hujan-hujanan seperti ini?" tanya Adnan dengan suara yang lebih pelan dan terdengar tenang tetapi tetap menatap khawatir Arraya.
"Mas juga akan sakit kalau hujan-hujanan seperti ini..."
Adnan termangu mendengar kalimat yang terlontar dari bibir mungil Arraya.
Arraya mendongakkan kepalanya. Menatap dalam mata Adnan. Ia mencari kejujuran yang terpancar dari kedua manik hitam milik Adnan. Dan ia menemukannya, tak ada lagi keraguan dan kebencian yang terpancar dari kedua mata Adnan kala menatapnya saat ini.
"Kita pulang sama-sama, biar aku ataupun Mas Adnan tidak akan ada yang sakit karena hujan."
"Arraya, jangan bicara melantur. Ayo, kamu harus pulang sekarang."
Arraya kembali menepis tangan Adnan yang ingin membawanya pulang ke rumah. "Dibilang aku nggak mau pulang ke rumah! Aku cuma mau pulang kalau Mas Adnan juga ikut aku pulang!"
Air mata berhasil lolos dari pelupuk mata Adnan. Ia tidaklah sebodoh itu untuk dapat mengerti kata demi kata yang lolos dari bibir Arraya.
"Aku denger semua yang Mas katakan saat aku tertidur." Kalimat Arraya itu akhirnya menjadi jawaban ketidak mengertian Adnan sejak tadi atas semua ucapan Arraya saat ini.
"Arraya, kamu ..." Adnan menggantung kalimatnya. Tak sanggup jika harus kembali membuat kata demi kata untuk bicara.
"Aku denger semua yang Mas katakan saat di kamar. Aku denger semuanya Mas ...."
Adnan sontak menunduk dalam. Ia merasakan bagaimana sesak dadanya mulai menyeruak. Tangannya bergetar menutupi wajahnya. Ia menumpahkan tangisnya di depan Arraya.
"Maaf, Ra. Maafin aku..." lirih suara Adnan yang bergetar masuk dengan jelas ke dalam pendengaran Arraya. Gadis itu ikut menangis dalam diam melihat orang yang ia cintai menangis di hadapannya.
"Maaf karena aku udah banyak nyakitin kamu... Maaf karena aku yang selalu egois dan tidak pernah mengerti perasaan kamu..."
"Mas..." Arraya yang teramat baik. Ia tak tega melihat Adnan seperti ini.
Adnan mengusap seluruh air matanya. Ia menatap Raya dengan mata sendunya. "Aku memang lelaki brengsek, Ra. Aku nggak pantas mencintai perempuan sebaik kamu..."
"Mas jangan bicara seperti itu..."
Raya mendongak. "Aku sudah memaafkan kesalahan Mas padaku, Mas tidak perlu sampai seperti ini."
"Kesalahan aku begitu banyak sama kamu, Ra. Aku bener-bener menyesal pernah nyakitin kamu. Maafin aku..."
"Mas ... Udah aku bilang kalau aku udah maafin semua kesalahan Mas Adnan padaku."
"Apa kamu juga dengar kalimat terakhir yang aku katakan?"
Arraya menggigit bibirnya sambil mengangguk. Mengiyakan sebagai jawaban yang memang Adnan harapkan untuk ia dengar.
"Lalu apa kamu mau rujuk kembali sama aku? Apa kamu mau mengulang semuanya kembali dari awal? Bangun pernikahan kita bersama mulai dari awal?"
Arraya menggigit bibir bawahnya kuat. Sesuatu yang ia dengar dari bibir Adnan ternyata bukanlah mimpi atau ilusinya. Semua nyata adanya.
Ia ucapkan bismillah di dalam hatinya. Tak henti ia menyebut asma Allah. Semoga pilihannya adalah pilihan yang paling tepat. Semoga tak akan lagi ada penyesalan dalam dirinya karena pilihan yang akan ia ambil saat ini.
Arraya menyentuh ujung baju Adnan. Kakinya maju selangkah lebih dekat dengan Adnan. Kedua tangannya menelusup ke punggung Adnan. Ia memeluk tubuh Adnan sebagai bukti jawaban 'iya' atas ucapannya.
Adnan termangu tak percaya di posisinya. Arraya memeluk dirinya. Adnan semakin tak percaya lagi saat ia merasakan kepala Arraya mengangguk di dalam pelukannya.
Tangis Adnan kembali pecah. Ia langsung mengeratkan pelukannya pada Arraya. Memeluk gadis itu dengan begitu erat, seolah tak ingin kehilangan.
Arraya sama menangisnya dengan Adnan. Ia juga memeluk Adnan dengan erat. Membenamkan wajahnya di dada bidang Adnan. Menumpahkan segala perasaan sedih, senang, dan rindunya menjadi satu.
Keduanya saling beradu deraian air mata. Di bawah gelapnya malam dan derasnya hujan, dua anak adam itu kembali bersatu dan saling mengucap janji bahwa mereka akan saling mencintai. Bahwa setelah ini mereka akan mencoba hidup bahagia. Melupakan semua masalah yang membuat mereka sedih dan terpuruk. Mencoba berdamai dengan segala ketetapan hidup untuk mereka lalui bersama.
🥀🥀🥀
Haphap's note :
⚠️ Semua tokoh yang ada di cerita ini adalah tokoh fiksi yang segala bentuk karakternya dibuat untuk mendukung jalannya cerita. Tidak ada manusia sempurna, yg ada hanya manusia yg mencoba untuk menjadi lebih baik ⚠️
Last, tidak ada perubahan alur dalam revisi cerita, karena perubahan besar alur cerita hanya akan dilakukan di versi Novel.
❤ Jazakumullah ya Khair ❤
Komentar
Posting Komentar