14 | Mengalah

Surga Dalam Luka 

"Arraya, kamu nggak papa?"

Sayup-sayup, Raya mendengar suara pria di dekatnya. Raya mencoba membuka matanya perlahan dan menoleh. Ternyata yang memanggilnya barusan adalah Bima, kakak kandung Adnan.

Melihat Bima datang, Arraya segera berdiri menyambut kakak iparnya yang datang beserta Rossa, istrinya.

"Ra, kamu sakit?" tanya Bima.

Raya yang sebenarnya merasa sakit kepala berusaha menggeleng. Seolah menjamin bahwa ia memang baik-baik saja. "Aku nggak papa, Mas. Aku baik-baik aja."

"Muka kamu pucet, Ra."

"Iya, muka kamu pucet. Kamu semalaman nunggu di sini, Dek?" tanya Rossa yang kini merangkul bahu Raya. Raya terlihat pucat dan lemas. Bahkan terlihat ringkih untuk berdiri dan membuat orang yang melihatnya jadi takut kalau Raya akan terjatuh.

"Iya Mbak. Aku minta Mama Lidya dan Papa Adam untuk pulang semalam. Lagian Mama juga lagi nggak enak badan, makanya biar aku yang bisa jaga Mas Adnan."

Adam menyusul hadir tak lama setelah dirinya hadir semalam. Saat itulah Raya merasa sangat bersalah. Berkali-kali ia minta maaf karena merasa yang terjadi pada Adnan saat ini adalah karena dirinya. Tapi Lidya justru mengatakan kalau ini semua bukanlah salah Raya. Lidya tahu kalau Adnan memang anak yang keras kepala. Dan Lidya juga berpesan agar Raya tidak terlalu ambil pusing perkataan Tasya semalam. Lidya bahkan meminta maaf pada Raya karena Tasya yang telah menampar pipinya.

Raya jadi mengulas masa itu. Saat di mana ia dipaksa bercerita tentang keadaan sebenarnya. Kedua mertuanya tahu bahwa Adnan dan Raya memang sedang terlibat percekcokan kecil. Mereka tahu semua itu dari Bima. Tapi Bima masih merahasiakan fakta bahwa Adnan menginginkan perceraian untuk Raya.

"Sungguh Ma, buku itu murni perasaanku saat masa kuliah dulu. Aku tidak pernah mencoba memaksakan perasaanku. Bahkan perasaanku pada Mas Adnan, aku berusaha kubur sejak 5 tahun yang lalu. Dan buku itu, aku sudah tidak pernah lagi menyentuh buku itu sejak saat itu, Mah. Percaya sama aku."

Saat menjelaskan perihal masalah utamanya dengan Adnan, Raya terisak. Ia menceritakan semuanya sambil menangis. Sedih akan dirinya yang seolah berdosa karena telah memiliki cinta diam-diam dengan seorang lelaki. Memang apa salahnya cinta diam-diam? Toh ia tidak pernah tebar pesona atau mencari segala cara untuk mendapatkan hati Adnan.

Karena sejak Raya tahu Adnan menyukai Alya, maka ia memilih mengalah pada cinta sepihaknya. Raya memilih untuk melupakan Adnan tanpa pernah ia berniat untuk mengungkapkan perasaannya pada Adnan.

Lidya menarik tubuh Raya ke dalam dekapannya. Ia mengusap punggung ringkih Raya. Membisikkan bahwa semua itu bukanlah salah dirinya. Karena memang Raya tidaklah salah. Setiap orang berhak memiliki perasaan terhadap lawan jenis. Hanya tinggal bagaimana menyikapi perasaan yang dimiliki agar tidak membawa dalam lubang maksiat. Dan posisi orang yang salah memanglah Adnan. Tidak seharusnya Adnan menyalahkan Raya atas perasaan cinta gadis itu.

Pilihannya hanya dua, Adnan yang belum mengerti atau Adnan yang tidak mau mengerti tentang Arraya Kirania.

"Mama akan bantu bicara dengan Adnan," kata Bu Lidya.

"Kalian tidak bisa terus-terusan bersikap seperti ini. Kalian itu suami istri, dan kamu...kamu mendapat restu penuh dari Mamah, Ra. Mamah tidak ingin jika kalian sampai bertengkar apalagi sampai bercerai," lanjut Bu Lidya dengan suara yang lembut namun menuntut. Seolah menegaskan bahwa Raya dan Adnan memang tidak boleh sampai bercerai.

Saat diberi nasihat oleh Bu Lidya, Raya hanya bisa diam sambil menangis. Sesekali Bu Lidya mengusap punggungnya untuk menenangkan dan juga memeluk tubuhnya. Raya seolah mendapat kekuatan baru dari mertuanya itu. Raya pikir, pernikahannya sudah benar-benar akan kandas tak bersisa. Tapi ternyata masih ada orang yang mendukungnya untuk mempertahankan pernikahan yang hingga saat ini hanya menghasilkan rasa sakit.

"Kalau kamu butuh sesuatu, sampaikan saja pada Kami. Jangan sungkan, karena kamu sekarang adalah istri dari anak kami, menantu kami. Papah yakin, suatu saat, keras hatinya itu akan bisa melunak karena tulusnya perasaan kamu."

Teruntuk Adam yang belum secara jelas menunjukkan rasa sayang dan pedulinya pada Raya, kata-katanya kali ini mampu menghangatkan hati Raya.

"Ya udah sekarang biar kita yang gantian jaga Adnan. Kamu pulang dulu aja, istirahat."

Raya menggeleng atas saran Rossa. "Nggak, Mbak. Aku mau di sini aja. Mau nunggu sampai Mas Adnan bangun."

Semalaman memang Raya menjaga Adnan. Raya duduk di samping Adnan yang masih terbaring tak sadarkan diri. Untungnya kata dokter, Adnan baik-baik saja. Hanya kelelahan dan faktor beban pikiran yang membuatnya jadi drop dan akhirnya pingsan.

Jika Adnan tahu apa saja yang sudah dilakukan Raya selama ia tertidur, Adnan pasti tidak akan menyia-nyiakan istri seperti Arraya Kirania.

Bahkan semalaman Raya tidak tidur. Ia terus membacakan ayat Al-Qur'an untuk Adnan. Menjaga Adnan jika lelaki itu terbangun dan membutuhkan sesuatu. Menyelimuti Adnan dan menggenggam tangannya agar Adnan tak merasa kedinginan.

Raya bahkan hanya tertidur sebentar dengan posisi duduk di bangku panjang yang berada di luar ruangan Adnan. Akhir-akhir ini memang kesehatan Raya sedang bermasalah. Dan sakitnya itu malah semakin terasa saat ini.

"Nggak, nggak. Kamu harus pulang. Mbak takut kalau nanti malah kamu yang gantian sakit setelah Adnan."

Bima mengangguk menyetujui. "Lagian Adnan juga baik-baik aja kok. Mungkin jam 8 nanti dia udah bisa sadar," kata Bima setelah mengintip keadaan Adnan dari kaca kecil yang menempel di ruang rawat Adnan.

"Tapi Mas..."

"Ra, percaya sama kita. Kita yang akan jagain Adnan di sini. Nanti setelah kamu sarapan dan istirahat sebentar di rumah, kamu boleh balik lagi ke sini."

Raya diam menimang sejenak penawaran Rossa. Memang sih, matanya juga sudah terasa pedas dan tubuhnya merasa benar-benar lelah. Ia butuh merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya untuk istirahat sejenak. Tapi Raya juga sangat ingin menjaga Adnan dan menjadi orang pertama yang ada di sampingnya ketika lelaki itu membuka matanya.

"Kalau gitu boleh Raya tengok Mas Adnan sekali lagi ke dalam?"

"Boleh atuh, Ra. Sana, kamu masuk ke dalam dulu."

Arraya berdiri setelah dapat persetujuan dari Rossa yang sebenarnya memang tidak membutuhkan persetujuan.

Raya membuka pintu ruang rawat suaminya dengan perlahan. Ditariknya kursi yang berada di samping ranjang dan duduk dengan perlahan. Ia tak ingin mengganggu tidur suaminya.

"Mas..." Raya mengambil tangan Adnan dan menggenggamnya penuh kelembutan. Berulang kali Raya mengusap punggung tangan Adnan. Diciumnya punggung tangan itu dengan tangan yang bergetar. Tangan yang hanya bisa ia genggam dengan sepuasnya saat Adnan tidak sadarkan diri. Saat di mana dirinya dapat menggenggam tangan hangat milik Adnan, suaminya.

Raya bersyukur, setidaknya ia diberikan kesempatan untuk merasakan hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Cepet sembuh ya..." Raya menatap wajah Adnan dengan tatapan sendu. Ia benar-benar sangat merindukan Adnan. Walaupun Adnan tidak pernah sekalipun menganggapnya sebagai seorang istri, Raya tetap merindukan Adnan. Walaupun Adnan tidak pernah menganggapnya ada, Raya tetap mencintai Adnan.

"Maaf jika selama ini aku banyak salah sama kamu. Maaf jika selama ini aku belum bisa jadi istri yang baik untuk kamu. Aku berharap kamu bisa segera sadar dan pulih."

Raya merasakan matanya menghangat. Padahal ia sudah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan menangis di depan Adnan seperti ini. Tapi rupanya matanya memiliki kehendak lain.

"Tapi jika kamu pulih nanti, apakah keputusanmu akan pernikahan kita bisa berubah?" Air matanya tak dapat ia tahan. Raya menangis tanpa suara.

"Aku nggak mau kita bercerai, Mas. Aku mau jadi istri kamu untuk selamanya. Aku mau dampingi kamu sampai waktuku di dunia Allah cabut selamanya."

Genggaman tangannya pada tangan Adnan menjadi lebih erat. Dadanya terasa ditimpa beban batu yang besar, hingga sulit untuknya bernapas. Pada akhirnya Raya terisak. Ia menahan tangan Adnan di depan wajahnya yang mulai basah akan air mata.

Pada akhirnya ia merasa takut jika Adnan terbangun nanti, keputusan Adnan masihlah sama seperti saat itu.

鹿鹿鹿

Selesai meeting dengan bagian bisnis manajemen, Muaz kembali masuk ke dalam lift untuk turun ke lantai lobi. Sesekali Muaz melirik jam tangan silver yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, itu artinya jam istirahat sedang berjalan.

Pintu lift terbuka di lantai sebelas. Beberapa orang terlihat masuk ke dalam lift hingga Muaz memilih untuk berdiri di pojok kanan paling depan. Muaz membalas senyum beberapa staf yang dilemparkan padanya. Tapi saat Muaz perhatikan sekali lagi, rupanya di antara rombongan orang yang masuk ke dalam lift tidak ada seseorang yang ia maksud.

Tepat saat pintu lift akan tertutup, Muaz menahannya dengan kaki. Membuat beberapa orang di sana tampak terkejut karena ulahnya.

"Maaf, saya lupa kalau ada urusan di lantai 11." Mengundang kerutan kening di beberapa staf, Muaz keluar dari lift. Ia mengedarkan pandangannya ke semua kubikel bagian kerja lantai sebelas. Ia mencari seseorang, tapi tak kunjung menemukannya.

"Pak Muaz?" Muaz menoleh begitu ada yang memanggilnya dari belakang. Seorang pria muda berkacamata menghampiri dirinya.

"Maaf, tapi Bapak terlihat seperti sedang mencari seseorang. Bisa saya bantu, Pak?"

"Oh...itu. Saya cari Arraya Kirania, tapi tidak lihat sejak tadi. Apa kamu tahu di mana dia sekarang?"

"Arraya hari ini izin kerja, Pak. Kata Mbak Wulan sih, sakit dan sedang di rawat di rumah sakit sekarang."

Pupil mata Muaz melebar. "Sakit?" ulangnya memastikan pendengarannya.

"Iya Pak," kata pria muda tersebut.

"Arraya sakit apa? Dan dirawat di mana dia sekarang?"

Pria muda tersebut diam dan terlihat tertegun. Bingung harus menjawab pertanyaan Muaz yang terdengar mendesak, karena ia pun tidak tahu Arraya sakit apa dan dirawat di rumah sakit mana.

"Bagaimana? Arraya sakit apa? Dan dirawat di rumah sakit mana?" Muaz kembali menanyakan hal yang sama. Kali ini tanpa sadar ia mencengkeram lengan baju pria tersebut. Ia butuh jawaban cepat atas pertanyaannya.

鹿鹿鹿

Mata Adnan telah terbuka sempurna sejak dua jam yang lalu. Dan orang yang ada di samping Adnan ketika ia membuka mata adalah Bima. Saat ini Adnan bahkan sudah bisa bicara jika diajak mengobrol. Wajahnya memang masih pucat, tapi bibirnya masih pedas setiap Bima mengajukan pertanyaan atau mengajaknya bicara.

"Mau makan buah, Nan?" tawar Rossa dengan menunjukkan buah apel yang terlihat menggiurkan.

"Nggak nafsu, Mbak. Nanti saja," tolak Adnan lembut.

"Kalau istri gue yang nanya jawabnya bae lo. Giliran gue yang nanya jawabnya ketus banget."

Adnan hanya berdecak pelan mendengar keluhan dari Bima lagi. "Bisa nggak usah banyak omong? Kepala gue masih pusing."

Bima tak bisa menahan diri untuk tidak menjitak kepala adiknya itu. Menyebalkan sekali mendengarkan Adnan berbicara.

"Bim, kok dijitak sih kepala adiknya?"

"Dia ngeselin, sayang."

Adnan berdecih mendengar Bima mengadu manja pada Rossa.

"Tapi kan Adnan lagi sakit, Bim. Padahal kan kamu udah janji mau jagain Adnan selama Arraya pergi."

"Oh iya, janjiku. Maaf, aku jadi lupa."

Adnan sedikit mengangkat sebelah alisnya saat mendengar sindiran Rossa pada kakaknya. Arraya? Benar juga. Di mana gadis itu sekarang? Kenapa tidak ada saat Adnan kini sudah puli

"Adnan!"

Adnan mengerjap cepat. "Ya?"

"Lo bengong dari tadi?"

Adnan mengangkat alisnya mendengar pertanyaan Bima. Memang siapa yang bengong? Dan kalaupun iya, apa yang sebenarnya Adnan pikirkan?

"Mas Adnan?"

Suara Arraya memecahkan keheningan yang terjadi beberapa saat di dalam lamunan Adnan. Semuanya menoleh ke arah pintu termasuk Adnan. Matanya bahkan terbuka lebih lebar saat melihat sosok Arraya Kirania yang berdiri mematung di ambang pintu.

"Mas sudah sadar?"

Adnan melihat ada binar bahagia yang terlihat dari mata Arraya. Mata yang seolah bersinar karena rasa syukurnya. Tapi tak lama setelahnya, mata Raya berubah sendu ketika Adnan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Buat apa kamu ke sini?"

Raya baru tahu, kalau ditampar oleh kata-kata itu ternyata rasanya jauh lebih sakit.

Mata Bima membulat. Ia hampir menghantamkan tinjunya ke wajah adiknya itu jika saja tak ada Raya di dekatnya. Untuk saat ini, Bima memilih mengalah. Ia menggandeng tangan Rossa, dan keluar dari ruang rawat. Membiarkan Raya dan Adnan memiliki waktu dan tempatnya berdua.

Raya mengulas senyum simpul. Senyum yang susah payah ia keluarkan di saat hatinya terus terluka karena ucapan Adnan yang seperti belati.

"Mas Adnan.... Gimana keadaan Mas? Apa sudah lebih baik rasanya?" Raya mendekat dan berdiri di sisi ranjang Adnan.

"Kamu tidak perlu repot datang ke sini." Adnan membuang pandangannya ke arah lain.

Raya berusaha menahan diri untuk tidak menghempaskan amarahnya saat ini. Ia masih bisa bersabar, dan ia memang harus lebih bersabar lagi menghadapi lelaki berhati dingin seperti Adnan.

"Aku khawatir sama kesehatan kamu, Mas."

Adnan menolehkan kepalanya. Matanya menatap Raya dengan kilatan tidak suka. "Tidak perlu khawatir, karena aku harus segera sehat untuk mengurus surat cerai kita ke pengadilan secepatnya."

Katakan bagaimana caranya agar Raya bisa menahan air matanya? Kata demi kata yang Adnan rangkai tak pernah ada yang memikirkan bagaimana perasaan Raya saat mendengar semua itu.

"Apa perlu kamu bicara tentang hal itu di saat kondisimu seperti ini?" Suara Raya terdengar bergetar. Kedua tangannya terkepal di sisi paha. Ia berusaha keras menahan air mata.

"Harus aku ingetin berapa kali lagi, kalau pernikahan kita ini hanya sementara? Pernikahan kita ini cuma formalitas untuk orang tuaku yang memaksa aku untuk menikahi perempuan yang tidak aku cintai." Ujar Adnan tanpa ragu. Mematahkan hati Raya berkeping-keping detik itu juga.

"Cukup, Mas." Raya mengangkat kepalanya perlahan. Ia menatap lurus Adnan yang masih juga menatapnya. Ia menepis kasar air mata yang membasahi pipinya. "Kenapa hanya ada kata-kata kejam yang selalu keluar dari mulut kamu? Bahkan ketika kamu baru sadar saat ini, kenapa bisa mulut kamu itu mengatakan sesuatu yang Allah benci?"

Raya menepis lagi air matanya. Ia benci merasa lemah seperti ini. Tenggorokannya seperti dicekik sesuatu. Dadanya terasa sesak dan penuh. Rasanya sakit.

"Aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya ingin aku katakan. Dan ini sudah menjadi keputusan bulatku."

Raya menatap Adnan tak percaya. "Apa kamu menganggap pernikahan kita ini sesuatu yang menjijikan untuk kamu akui?" Lagi, Raya menepis air matanya. Ia ingin menghentikan air matanya, tapi matanya terus saja mengeluarkan air mata.

"Aku bahkan tidak pernah meminta kamu mencintaiku, tapi bisakah kamu berhenti menyalahkan pernikahan ini? Kenapa kamu tidak pernah berkaca pada dirimu sendiri? Kenapa hanya ada aku dan pernikahan kita yang selalu salah di sini?!" tanya Raya dengan suara yang meninggi.

"Kamu berani menyalahkanku?!" bentak Adnan yang membuat Raya berjingkat kaget.

Air mata Raya semakin membanjiri pipinya. Tepisan tangannya tak mampu menghalau. Adnan benar-benar menghancurkan segala perasaannya saat ini.

Raya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. "Kalau gitu sekarang terserah. Aku pasrah, dan menyerahkan semuanya sama Allah. Aku juga akan menyerah pada perasaanku dan juga pernikahan yang selalu Mas anggap pura-pura ini."

Demi Allah, Raya tidak ingin menyerah. Ia ingin berusaha lagi dalam menghadapi sikap Adnan yang tiada henti menyakitinya. Tapi hatinya sudah tidak kuat. Adnan yang selalu menyalahkannya, membuat Raya terngiang pesan Luthfi.

Luthfi ingin Raya agar bahagia. Dan Raya saat ini memang tidak bahagia. Di saat Raya ingin berusaha memperbaiki hubungannya dengan Adnan, Adnan selalu menutup pintu lebih dulu sebelum ia bisa memulai.

"Aku pamit, assalamu'alaikum."

Raya berbalik. Ia menggigit kuat bibir bawahnya. Menahan isak tangis yang sudah sangat menyesakkan tenggorokannya. Kakinya terasa berat untuk melangkah menuju pintu yang tertutup. Bahkan untuk menjawab salamnya saja, apakah sesulit itu untuk Adnan lakukan?

Saat pintu sudah ia tutup sempurna, Raya langsung berlari menjauh. Isak tangisnya pecah detik itu juga. Ia mengabaikan panggilan Bima dan Rossa yang terus memanggil namanya. Ia menepuk-nepuk pelan dadanya yang sakit. Rasanya benar-benar sakit. Dan Raya baru tahu jika pernikahannya dengan Adnan akan benar-benar berakhir dengan cara yang menyakitkan.

To be Continued •

Kasih masukan yuk, kira" apa yang kurang dari cerita ini dan perlu diperbaiki.

Jazakumullah ❤

Komentar