3. Luka

"Belajar, tidak hanya kepada orang yang lebih memahami ilmu dibandingkan kita, tapi belajar bisa kepada orang yang lebih mengenal kehidupan dibandingkan kita. Pelajaran bisa datang dari siapa saja, termasuk dari seorang anak kecil sekalipun."

🍁🍁🍁

Jika kamu merasa tidak memilikki siapa-siapa di dunia ini, maka ingatlah ada Allah yang akan selalu bersamamu

-Cinta Dalam Luka-

🍁🍁🍁

Proyek pembuatan panti asuhan, yang saat ini dikerjakan oleh Alif dan Adam, sudah hampir selesai. Alif, pria itu tidak mengerti tentang harinya akhir ini. Gadis itu kembali ada dihadapannya. Berulangkali Alif mencoba mengalihkan pandangannya, namun nyatanya hal itu tidak bisa ia lakukan, ia telah melakukan zina mata, dalam diamnya ia telah mencuri pandang terhadap gadis itu.

"Alif! Kau denger gak sih?" kesal Adam.

Alif memandang Adam, dengan tatapan dinginnya, tanpa bicara ia langsung pergi, ia benar-benar harus sholat.

Gadis itu telah mencuri pikirannya.

"Mau kemana?" teriak Adam, ia sedikit jengkel terhadap sahabatnya itu.

"Sholat." balas Alif teriak.

*****

Khaila menghampiri seorang anak kecil yang duduk sendiri di bangku taman memandang bangunan panti asuhan yang sedang di renovasi.

"Assalamualaikum." Sapa Khaila duduk disamping anak kecil itu.

Khaila menatap anak kecil itu, ia tersenyum kala ia tak mendapatkan respon yang baik.

"Nama kamu siapa?" tanya Khaila.

Anak kecil itu akhirnya menoleh, menatap Khaila. "Naira."

Khaila tersenyum mendengar jawaban itu. "Nama kamu bagus, kamu juga cantik, pasti mama kamu juga cantik." Puji Khaila.

Naira gadis kecil itu menatap Khaila, tatapannya begitu dingin namun ada kekecewaan di dalamnya. "Aku gak punya Mama!" jeda Naira beberapa detik, "aku juga gak punya Ayah, Kakak,Adik. Mereka semua pergi. Mereka gak sayang lagi sama aku."

Sorot mata gadis kecil itu meredup. Lalu gumpalan mendung yang sejak tadi bergayut diwajah gadis itu memecah hujan. Tidak deras. Namun setiap tetes begitu menyayat, seolah mewakili duka yang tersimpan.

Khaila nampak terkejut mendengar, melihat air mata itu mengalir begitu saja, tak mengerti luka apa yang membuat gadis kecil itu menangis. Khaila memeluk tubuh Naira memberikan ketenangan.

"Naira, pengen seperti mereka!" tunjuk Naira pada beberapa keluarga yang sedang bermain bersama di taman. Khaila ikut memandang matanya kembali menoleh ke arah Naira. Hujan dimata gadis itu semakin deras.

Khaila menyeka air mata Naira, tersenyum lembut.

"Jangan bersedih. Allah akan selalu bersama kita, meski semuanya telah meninggalkan kita."

Tak pernah Khaila duga, luka itu telah datang menyapa pada gadis kecil yang baru genap berusia delapan tahun. Seluruh keluarga meninggalkannya sendiri, dalam suatu kejadian yang tak luput dari rencana Allah. Kebakaran. Api itu menjadi musuh terbesar Naira, Api yang dengan kejam merenggut nyawa orang yang disayang Naira, gadis kecil itu.

Perempuan itu menyeka air matanya, menghela nafas panjang. Mata mereka saling menatap. Khaila semakin erat memuluk tubuh Naira yang dingin. Setelah mendengar cerita singkat yang penuh luka dari Naira, Khaila tak bisa berkata apa-apa lagi.

Khaila merasa menjadi orang yang tidak bersyukur karna ia sering mengeluh dalam masalah yang sepele. Ia tidak menyadari banyak orang yang diluar sana yang merindukan kasih sayang dan hangatnya sebuah keluarga, seperti yang diinginkan oleh gadis kecil seperti Naira.

Khaila melepaskan pelukannya menatap mata teduh milik Naira dengan tersenyum. "Naira, kamu sudah menyadarkan Kakak akan satu hal, bahwa kita tidak seharusnya mengeluh akan keadaan. Jika kita memiliki masalah, kita tidak boleh mengeluh apalagi putus asa, bukankah Allah tidak akan memberi masalah kecuali hambanya bisa melaluinya. Jika kita merasa dibawah maka ketahuilah ada orang lagi dibawah kita, jika kita merasa diatas maka ketahuilah ada orang lagi yang berada diatas kita. Jadi, jangan berputus asa ketika kita terjatuh, dan jangan berbangga diri ketika kita sedang berjaya."

"Naira tahu itu Kak. Ayah Naira pernah mengatakan itu."

"Naira, nanti tinggal di panti asuhan ini kan?" tanya Khaila setelah beberapa saat hening.

Naira tersenyum lalu mengangguk.

"Kak, Naira boleh tanya gak?" Naira menatap Khaila.

"Silahkan."

"Nama kakak siapa?"

Khaila tersenyum, dia lupa memperkenalkan diri sedari tadi.

"Nama kakak Khaila Nayyara Zahabiya."

Naira mengangguk mengerti. "Naira boleh gak panggil Kakak, Kak Nayyara?" Pinta Naira.

"Kenapa, Kak Nayyara?"

Naira tersenyum tipis. "Karena dulu Kakak Naira, juga punya nama yang sama kayak Kakak."

"Oh ya, siapa?"

"Kak Nayyara. Jadi bolehkan kalo Naira panggil Kakak dengan sebutan Kakak Nayyara?"

Khaila tersenyum mengangguk. "Tentu saja, kamu boleh panggil Kakak dengan sebutan Kak Nayyara. Kakak senang mendengarnya." Ucap Khaila.

"Mau ikut Kakak gak, kita main yuk!" Ajak Khaila menatap Naira.

"Main apa Kak?" tanya Naira.

Khalisa sempat berpikir sebelum kembali mentap gadis anggun itu. "Hmm, kita main petak umpet, gimana mau gak?"

Naira yang mendengar itu mengangguk senang. Sudah lama kiranya ia tak bermain permainan lama itu.

"Yaudah ayo kita mulai permainannya
Naira sembunyi disekitar taman ini, nanti Kakak yang cari, gimana?"

Naira mengangguk, "oke Kak!"

"Yaudah Kak Nayyara hitung 1-10 yaa, Naira cari persembunyian, ok."

Setelah mendapatkan aba-aba dari Khaila, Naira pun akhrinya berlari mencari tempat persembunyian dengan waktu yang terbatas.

Hingga akhirnya Khaila telah selesai menghitung. Khaila mencari akan sosok Naira, di sekitaran taman.

Sekitar beberapa menit, Khaila belum bisa menemukan sosok Naira. Membuat hatinya gelisah.

"Kak Nayyara!" ucap seorang dari belakang, yang bisa Khaila ketahui itu adalah suara Naira.

Khaila menoleh menatap Naira bersama seorang pria yang tidak Khaila ketahui.

"Kak Nayyara, kenalin dia ini Kak Alif."

Khaila menatap sekilas, setelahnya ia mensejajarkan tubuhnya untuk menghadap Naira. "Kak Alif?"

Naira mengangguk pasti. "Dia sama kayak Kakak, Kak Alif ini orang yang merenovasi panti asuhan Naira. Kak Alif sama seperti kak Nayyara, Kak Alif baik sama Naira."

Khaila menatap pria yang disebut Naira bernama Alif. Khaila nampak pernah melihat wajah pria itu namun Khaila tidak bisa mengingatnya secara pasti.

"Naira, Kakak kerja lagi yaa, Assalamualaikum Naira, Nayyara." Pamit Alif.

Khaila menatap pria itu, masih bingung.

"Jadi tadi Naira pergi sama Kak Alif?"

Naira mengangguk tersenyum.

"Kok Naira bisa kenal sama kak Alif?"

Naira tersenyum, "waktu itu Kak Alif pernah tolongin Naira waktu Naira hampir ditabrak motor."

"Oh yaa." Jeda beberapa detik, "Naira pasti capek kita pulang yuk!" ajak Khaila.

Naira yang mendengar ajakan itu tersenyum mengangguk.

*****

"Permisi pak." Seseorang menyapa.

Alif memberhentikan langkahnya menuju mesjid. "Kenapa?"

Perempuan itu menatap Alif sekilas. "Maaf pak jika saya lancang, tapi bolehkah saya bertanya?"

Alif menatap perempuan itu, "mau tanya apa?"

"Apa kita pernah bertemu, sebelumnya?" Khaila bertanya ragu.

Pria itu tersenyum. "Sudah Adzan, saya permisi dulu Nayyara. Assalamualaikum."

Khaila terdiam menatap punggung lelaki itu mulai pergi menghilang.

******

Khaila sungguh tak mengerti tentang hari ini, tentang hatinya yang selalu mempertanyakan pria itu, dan tentang pikirannya yang tak pernah luput dari satu nama 'Alif'

Musim hujan yang tengah melanda kota Khaila tak pernah bisa ditebak, kadang disaat cuaca cerah, tiba-tiba turun hujan, dan kadang disaat hari mendung, hujan malah tidak hadir, dan kadang tanpa memberi pertanda, hujan langsung hadir. Kali ini Khaila lagi-lagi lupa membawa payungnya, selepas sholat Ashar, Khaila terpaksa harus berteduh di pelataran mesjid, padahal dia harus segera pulang.

"Lagi berteduh yaa?" tanya seorang disamping Khaila.

Khaila menoleh, terkejut. "Pak Alif! Ngapain disini?" Nayyara bertanya. Sedetik kemudian ia tetunduk merentukki pertanyaan konyolnya.

"Hujan." Jawaban singkat padat dapat dimengerti.

Khaila memainkan khimarnya gugup, perasaan canggung seperti apa ini. Khaila terus merutuki dirinya sendiri, kenapa ia harus bertanya hal yang bahkan jawabannya bisa diketahui sendiri.

"Pak Alif berteduh? Kenapa? Bukannya Pak Alif bawa payung ya?" Khaila kembali bertanya sedikit ragu.

Pak Alif menatap Khaila tersenyum tipis. Gadis itu tertunduk, mata pria itu sungguh menyeguhkan hati.

"Saya suka hujan."

"Kenapa?"

"Pernakah kamu berpikir bagaimana bisa air turun dari atas, bagaimana sebuah awan menghasilkan hujan. Bukankah itu adalah keajaiban alam yang bekerja sangat menakjubkan? Rintikannya bisa dijadikan melodi indah tercipta sebuah lagu, dan sebuah puisi menawan imajinasi bekerja."

Khaila terdiam, mengangkat kepalanya, mata mereka bertemu saling berdialog melalui tatapan. Diam. Hujan menjadi melodi diantara mereka. Mungkin akan ada yang jatuh cinta, seperti puisi indah tentang hujan.

"Ah, pakailah payung saya. Kamu membutuhkannya lagi, bukan?"

"Hah?"

"Kamu sedang terburu, ingin cepat pulang. Jadi bawalah payung ini." Sebuah payung plastik transparan diberikan kepada Khaila yang masih terdiam.

"Besok kamu bisa kembalikan lagi. Ambilah."

Khaila menatap payung itu sejenak, lalu mengambil dengan ragu. Assalamualaikum terucap menutup pembicaraan mereka, Khaila berjalan dibawah rintikan hujan dengan rasa yang berkecamuk entah rasa apa itu.

"Kak Khaila!" tepuk seorang dari belakang, sedikit berteriak.

"Astaghfirullahalazim."

Orang itu duduk disamping Khaila, "kak Khaila kenapa bengong?"

"Hah nggak kok, kamu kenapa manggil."

"Bengongin apa sih kak, dari tadi itu aku liat kaka loh yang bengong sambil senyum-senyum sendiri."

"Jatuh cinta yaa." Selidik Khalisa.

"BUNDA! Kak Aila jatuh cinta!" teriak Khalisa, segera Khaila menutup mulut Adiknya agar tak berteriak lagi.

"Apaan sih, kamu ini sok tahu deh. Aku gak jatuh cinta." Bantah Khaila. Khalisa hanya tersenyum sambil terus memggoda.

"Kamu kenapa panggil Kakak?"

"Dipanggil bunda, katanya penting."

Khaila yang mendengar itu langsung keluar dari kamarnya, meninggalkan Khalisa yang masih dalam keadaan bertanya.

Komentar