39 | Pergi Tanpa Pamit

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

🎵Hanin Dhiya - Biar Waktu Hapus Sedihku🎵

🥀🥀🥀

Arraya membuka matanya perlahan dan menyesuaikan dengan pencahayaan di hadapannya. Kepalanya yang terasa berat membuat Raya mengangkat tangannya untuk menekan bagian kepalanya yang sakit.

"Arraya, kamu tidak apa-apa?"

Mendengar suara pria di dekatnya, Raya langsung melirikkan matanya perlahan ke samping. Wajah Muaz yang tampan langsung tertangkap dalam manik hitam Arraya. Sedikit menghadirkan kejutan bagi Raya yang melihat Muaz ada di hadapannya.

"Arraya, kamu baik-baik saja, kan?" Pertanyaan yang sama itu kembali meluncur dari bibir Muaz. Garis wajahnya yang khawatir menatap sendu kedua mata Arraya.

"Ra, apa kamu ingat kalau kamu tadi pingsan di bandara?"

Raya menggeleng sebagai jawabannya. Ia menatap langit ruang rawat sambil menjelajah kembali pada beberapa saat yang lalu. Yang ia ingat terakhir kali adalah saat ia sedang berjalan keluar dari bandara untuk mencari taksi.

"Hampir tiga jam kamu pingsan tidak sadarkan diri, Ra."

Benarkah itu? Raya jadi semakin kepikiran. Memang benar jika sejak kemarin Raya merasakan tubuhnya yang tak sefit biasanya. Ia jadi mudah merasa pusing dan lelah.

Arraya mencoba untuk bangkit duduk. Ia sedikit berjengkit kaget saat merasakan ada lengan yang menyentuh bahunya saat ia mencoba untuk bangkit duduk. "Saya hanya berniat untuk membantu, jangan berpikiran yang tidak-tidak."

Raya masih memilih diam tak berkomentar. Ia memeriksa seluruh pakaiannya yang alhamdulillah masih utuh beserta kerudungnya, yang walaupun sudah tidak jelas bentuknya.

"Saya sudah banyak merepotkan Bapak. Saya minta maaf," ujar Arraya setelah banyak berdiam diri.

Muaz menggeleng. Ia sama sekali merasa tak masalah dengan segala hal yang ia lakukan untuk Arraya. "Kamu buat saya khawatir, Arraya. Jika saja saya tadi tidak kebetulan juga habis pulang dari Singapura, mungkin saya juga tidak akan melihat kamu yang lagi dibopong sama orang-orang karena kamu pingsan."

Raya menghela napas panjang sambil menunduk. "Maaf Pak, tapi yang saya ingat adalah saya merasakan kepala saya pusing tiba-tiba, lalu berikutnya saya tidak ingat apa-apa lagi."

"Kata dokter, kamu stres berat, Ra. Apa kamu ada masalah?"

Raya sontak menolehkan kepalanya menatap Muaz.

"Kenapa? Apa kamu sungguh ada masalah? Jika ada, kamu bisa berbagi cerita sama saya, Ra. Saya janji akan jaga rahasia kamu."

Raya tersenyum kecil. Muaz yang sekarang berbeda sekali dengan Muaz yang dulu. Jika saja Luthfi masih ada, Raya jadi penasaran, apakah sikap cueknya Muaz itu masih ada? Jika saja Luthfi masih ada, Raya jadi penasaran, apakah Muaz tetap bersikap tak acuh pada Arraya? Karena Muaz yang pernah Raya kenal dulu adalah Muaz yang tidak pernah mengajaknya berbicara. 

🥀🥀🥀

Muaz keluar dari toilet dengan tangan yang masih basah karena air. Lengan kemejanya ia gulung hingga siku. Sembari melangkah, ia sembari mengingat beberapa saat lalu. Bibirnya menorehkan sebuah senyum tipis tanpa sadar. Akhirnya, ia bisa merasakan bagaimana rasanya mengobrol normal0 dengan Arraya.

Rasanya masih seperti mimpi. Padahal dulu untuk menyapa saja ia enggan. Hanya untuk melirik saja bahkan Muaz tak pernah membayangkannya.

Gerak langkah kakinya semakin bergerak cepat, maju mendekati ruang rawat Arraya. Bertepatan saat tiga langkah lagi ia mendekati ruang rawat tersebut, seorang pria yang berdiri di depan kamar rawat Arraya menghentikan langkah kaki Muaz. Pria dengan perawakan tinggi yang memandang ke arah dalam dari kaca transparan berukuran kecil di pintu ruang rawat.

Adnan, Muaz yakin jika pria tersebut adalah Adnan. Tidak ada lagi pria lain yang ada di dekat Arraya selain Adnan, suaminya sendiri. Enggan mengakui tapi itulah faktanya.

"Mm ..." baru niat ingin menahan Adnan untuk masuk ke dalam ruang Arraya, Adnan sudah terlanjur membuka pintu tersebut. Membuat Muaz terpaku di posisinya.

Muaz memerintahkan kakinya untuk berbalik dan segera pergi dari sana, tapi kakinya malah bergerak maju, tak mengindahkan perintahnya. Muaz memandang dari luar kejadian yang ada di dalam. Rasanya seperti ada yang menjatuhkan dirinya dari ketinggian menuju sebuah kenyataan.

Adnan terlihat sedang memeluk erat tubuh Arraya, seolah tak ingin menghadirkan jeda di antara keduanya.

Muaz hanya bisa menatap gamang pemandangan di depannya. Saat di mana tubuh Raya berada persis di dalam dekapan tubuh Adnan. Satu langkah kaki Muaz mundur ke belakang. Kepalanya langsung ia tolehkan ke arah lain. Ke arah manapun, asal bukan melihat Adnan dan Arraya yang sedang berpelukan di dalam ruang rawat tersebut.

Penyesalan memang selalu terjadi belakangan. Muaz baru saja menyesali keputusannya yang memilih untuk menghubungi Adnan beberapa jam lalu agar menyusul segera ke rumah sakit.

Perasaannya salah, Muaz tahu akan hal itu. Mencintai seseorang yang sudah menjadi milik orang lain adalah hal yang salah. Karena mencintai bukan hanya perkara kebahagiaan tapi juga perkara mengikhlaskan.

🥀🥀🥀

Sesampainya di rumah, Adnan langsung keluar dari mobil dan membantu Arraya untuk keluar dari mobil. Ia merangkul bahu Arraya dengan perlahan, sementara Arraya hanya diam mengikuti langkah kaki Adnan yang membawanya masuk ke dalam rumah.

Sebelumnya Arraya pernah membayangkan, bahwa mereka berdua akan pulang liburan dari Raja Ampat dengan binar bahagia tiada tara. Bahwa mereka berdua akan pulang dengan senyum mengembang, rindu akan kebersamaan. Namun ini, keduanya pulang kembali ke rumah justru dengan perasaan sedih. Arraya sakit, merasa sedih jika mengingat pesan yang dikirimkan Tasya padanya, begitu pula Adnan yang tadi terus mengucap maaf saat di rumah sakit. Entah mengapa, Arraya mulai bosan mendengar Adnan mengucapkan kata maaf padanya.

"Non Raya!!" Bi Ira lari tergopoh-gopoh mendekati Arraya dan langsung mengambil alih tubuh Raya dari rangkulan Adnan. "Ya Allah Non, Bibi teh kangen pisan sama Non Raya..."

Pelukan erat dari Bi Ira secara tak sengaja membuat Raya jadi kesulitan bernapas dan akhirnya terbatuk-batuk. Bi Ia segera menjauhkan tubuhnya dan memasang ekspresi panik menatap Raya.

"Non Raya kenapa?"

"Ak..ku nggak papa, Bi." batuk Raya yang terus menjadi langsung membuat Adnan menatap tajam Bi Ira. Memang kebiasaan Bi Ira, sangat suka jika memeluk Raya dengan pelukan yang erat. Padahal tubuh Raya itu dua kali lipat lebih kecil dibandingkan tubuh Bi Ira.

"Raya lagi sakit, Bi. Bibi tolong buatkan bubur dan air hangat sekarang ya."

"Oalah Gusti... maaf ya Den, Bibi nggak tahu."

"Nggak papa, Bi." Raya tersenyum tipis dan mengusap bahu Bi Ira, sekaligus menandakan bahwa ia baik-baik saja.

Adnan merangkul bahu Arraya kembali untuk menuju kamar mereka di lantai atas. Arraya berjalan dengan perlahan. Tubuhnya masih belum pulih sepenuhnya, tapi ia sudah memaksa untuk pulang dan memilih untuk memulihkan kesehatannya di rumah saja.

"Mas gendong ya, Sayang?"

Raya mendelik sekilas lalu menggeleng atas saran suaminya. "Aku masih kuat jalan, Mas."

"Takut kamu jatoh, Ra."

"Nggak us---Mas!!" Raya langsung memekik kaget saat detik berikutnya ia merasakan tubuhnya melayang dan sudah berada di atas gendongan kedua lengan Adnan.

"Mas turunin!"

"Mas gendong cuma sampai kamar, Ra."

"Nggak mau. Turunin."

"Nggak boleh membantah suami, Ra."

Arraya mengerucutkan bibirnya maju karena kesal. Jika sedang dalam keadaan sehat, ia pasti akan sanggup jika harus berdebat adu mulut dengan Adnan.

Sesampainya di kamar, Adnan langsung mendudukkan Arraya di tepi ranjang. Melihat wajah Raya yang masih ditekuk perihal gendong-menggendong, Adnan menekuk lututnya di depan Arraya.

"Cuma gendong naik tangga sebentar, masa ngambek sih, Ra?"

"Ada Bibi, Mas. Malu..."

Adnan terkekeh. Inilah yang ia rindukan dari seorang Arraya. Sikap Arraya yang terkadang di luar dugaan. Sifat manja dan juga rengekan suaranya yang membuat Adnan merasa gemas dengannya.

"Mas siapin air hangat untuk kamu bersih-bersih, ya?"

"Nggak mau mandi."

Adnan menempelkan punggung tangannya pada dahi Raya, guna memeriksa suhu tubuh istrinya tersebut. "Badan kamu masih hangat, jadi nggak usah mandi. Mas bantu kamu usap badan kamu aja."

"Kalau itu aku bisa sendiri."

"Mas tau kamu bisa sendiri, tapi Mas mau membantu. Apa nggak boleh?"

Raya mendelik sekali lagi. "Niat Mas di sini sama nanti di kamar mandi apa bisa dipertanggungjawabkan?"

Adnan tergelak mendengar sindiran Arraya untuknya. Istri yang sangat tahu pikiran suaminya. "Kamu lagi sakit, Ra. Mas nggak mungkin apa-apain kamu."

Arraya diam menatap kedua manik mata Adnan dengan serius. Benarkah Adnan yang ada di hadapannya kini suaminya? Benarkah pria yang kini membuka utuh bibirnya hingga jajaran gigi terlihat adalah suaminya? Apakah yang sejak tadi merasa gelisah hanya dirinya seorang? Apakah yang sejak tadi merasa takut hanya dirinya seorang? Apakah yang sejak tadi tenggelam dengan segala ketakutannya hanya Raya, sedang Adnan masih bisa senyum dan tertawa?

Untuk kali ini, Raya masih mencoba menahannya. Apa yang ingin ia tanyakan ia tahan di dalam hati. Apa yang ingin ia katakan ia coba diamkan di dalam hati untuk sejenak.

🥀🥀🥀

Adnan masuk ke dalam kamar setelah membawa mangkuk bubur dan juga gelas kosong setelah Arraya pakai untuk makan malam. Di atas ranjang, Arraya rupanya sudah memejamkan matanya dengan rapat. Adnan mengerti, gadisnya itu pasti merasa sangat lelah. Setelah perjalanan udara yang cukup lama juga waktu yang dihabiskan di bandara untuk menunggu bahkan sampai masuk rumah sakit, Raya pasti merasa sangat kelelahan.

Adnan ikut merangkak naik ke atas ranjang. Ia memiringkan tubuhnya menghadap Arraya yang tidur dengan posisi terlentang. Satu tangannya tertekuk, menopang sisi kepalanya. Ia menatap wajah istrinya yang tampak tertidur dengan pulas.

"Kenapa bisa kamu menahan apa yang sebenarnya ingin kamu katakan, Ra?"

Adnan bicara sendiri dalam hati. Mengenal Arraya selama ini, Adnan tahu jika Arraya adalah tipikal orang yang akan selalu memendam semuanya seorang diri.

"Kamu boleh katakan semuanya yang kamu rasain, Ra. Kamu boleh katakan semuanya yang selalu kamu pendam sendirian."

Adnan sudah tahu akar permasalahan sebenarnya. Semuanya pasti karena kehadiran Afifah yang begitu mendadak untuk Arraya. Sejak kemarin, saat kabar Afifah sadar mulai terdengar, Raya langsung meminta Adnan pergi ke Jakarta tanpa pikir panjang. Entah apa yang ada dipikiran Raya kemarin, Adnan masih belum mengerti.

Adnan mengangkat tangannya dan mengusap permukaan pipi Arraya yang masih terasa dingin padahal AC sudah diatur dalam suhu tertinggi. "Maafin Mas, Ra."

"Mas nggak bisa pergi gitu aja." Tasya berdiri dan menahan tubuh Adnan yang ingin melengos pergi dari ruang rawat Afifah.

Adnan menghela napas panjang dengan kelakuan Tasya yang kekanakkan. "Tasya, Mas harus pergi. Istri Mas sudah menunggu di bandara, dan Mas harus jemput dia!"

"Cewek itu bisa pulang sendiri naik taksi, nggak usah dimanjain lah, Mas."

"Bisakah kamu sedikit sopan memanggil Arraya? Arraya itu umurnya lebih dewasa dibandingkan kamu. Jadi harusnya kamu bisa sedikit lebih sopan."

"Nggak bisa, Mas!" Tasya memang selalu menolak berbuat baik pada Arraya. "Sampai saat ini yang aku anggap sebagai keluarga aku adalah Mba Afifah, bukan istri pengganti Mas yang satu itu!"

Kedua tangan Adnan sudah mengepal erat di sisi pahanya. Haruskah mereka kembali berdebat seperti malam itu saat mereka sedang berada di Mall? Dan Adnan, rasanya sudah lelah memberikan teguran pada Tasya. Karena pada intinya, hati Tasya belum terbuka untuk Arraya.

"Tasya, cukup! Mas nggak mau debat sama kamu di sini. Ini rumah sakit, kita bisa mengganggu pasien yang lainnya."

"Mas, makanya turutin aku kali ini. Mba Afifah masih butuh Mas untuk ada di sisinya. Mba Afifah butuh banyak dukungan biar bisa cepet pulih dan pulang ke rumah."

"Mas sudah di sini dari kemarin, Tasya. Mas bahkan tetap memilih bertahan di sini, walaupun sebenarnya Mas ingin pergi. Arraya baru aja sampai di Soetta setelah Mas nggak tahu kalau dia milih tetep stay di sana. Mohon mengerti kalau Mas juga khawatir sama istri Mas."

"Selingkuh kali dia di sana, makanya suaminya nyuruh pulang tapi malah tetep milih di sana dan nggak mau pulang ke Jakarta."

Adnan kembali menghela napas panjang. Sulit sekali bicara dengan Tasya jika bertahan dengan suara tenang tanpa meninggikan intonasi. "Susah ngomong sama orang yang nggak mau buka hatinya. Kamu udah buang-buang waktu Mas di sini, Tasya. Lebih baik Mas pergi dan jemput istri Mas di bandara."

"Mas!" seru Tasya saat Adnan berani selangkah menjauh darinya. "Kalau Mas pergi, sampai kapan pun aku nggak akan pernah mau mencoba bersikap baik sama istri Mas itu."

Kalimat Tasya barusan, berhasil membuat Adnan berhenti melangkah. Ia menolehkan kepalanya perlahan lalu berkata, "Arraya itu istri Mas. Kalau kamu memang nggak pernah mau mencoba menerima Arraya, Mas nggak masalah. Mas juga cape harus selalu nasehatin kamu, jadi sekarang semuanya terserah kamu."

"Mas egois!"

"Kamu lebih egois, Tasya! Harusnya kamu liat situasi dan kondisi itu pake mata hati kamu!" Adnan memutar tubuhnya dan berniat meninggalkan Tasya.

"Mas, aku belum selesai ngomong—" Tasya langsung membungkam bibirnya begitu melihat seorang perempuan yang didorong menggunakan kursi roda berbelok dari arah koridor kanan.

Tasya berhenti bicara, Adnan juga berhenti melangkah. Keduanya diam menatap Afifah yang kini tersenyum kecil mendekat ke arah mereka. Ibu kandung Afifah juga ikut mengembangkan senyumnya dari arah sana.

Adnan mengepalkan kedua tangannya tanpa sadar. Kepalanya dipenuhi oleh sosok Arraya, tapi yang ada di depannya adalah sosok Afifah. Adnan memerintahkan kedua kakinya untuk kembali berputar dan mencari jalan keluar lain.

"M...Mas!" Adnan mendengar suara Afifah yang memanggilnya, tapi kedua kakinya seolah tak mau berhenti barang sejenak.

"Adnan! Ibu mau bicara sama kamu!" suara ibu kandung Afifah kini juga mulai terdengar. Dan Adnan masih belum mau berhenti dari langkahnya yang mulai kian menjauh.

"Adnan, ini soal rencana pernikahan kalian!"

Adnan berharap telinganya tuli untuk sesaat. Adnan berharap Tuhan menutup telinganya untuk sesaat. Kalimat itu, kalimat yang sangat tidak ingin Adnan dengar. Kalimat yang ditarik kembali pada kenyataan yang mau tak mau sudah menjadi konsekwen ucapannya sendiri, dulu.

Adnan menghela napas berat kala mengingat kejadian beberapa jam yang lalu saat di rumah sakit. Saat di mana ia berniat ke bandara untuk menjemput Arraya siang tadi. Semuanya jadi gagal lantaran dimulai dari Tasya yang terus menghalanginya pergi. Setelah Tasya, halangan berikutnya yang muncul adalah Afifah dan ibunya. Karena ketiganya, Adnan jadi terhalang bertemu dengan Arraya. Ia bahkan sampai kesulitan menghubungi Arraya karena ibunya Afifah yang selalu menuntut perhatiannya tanpa membolehkannya memainkan ponsel.

"Harusnya memang Mas nggak meninggalkan kamu sendirian di sana kemarin. Apa yang harus Mas lakukan sekarang, Ra? Semuanya malah semakin rumit, Mas bingung ...."

🥀🥀🥀

Arraya terbangun paksa saat mendengar dering ponsel di atas nakas dan menyebabkan tidurnya jadi terganggu. Arraya membuka kedua matanya yang terasa berat. Ia ingin beranjak duduk untuk menggapai ponsel Adnan yang berdering tengah malam seperti itu. Tapi gerakannya sedikit terganggu karena ada lengan Adnan yang melingkar erat di atas permukaan perutnya.

Dengan usahanya yang gigih, akhirnya Raya bisa meraih ponsel milik suaminya ke dalam tangannya. Ponsel itu hampir saja menjatuhi kepala Adnan saat ia melihat nama di dalam layar yang menelepon suaminya tengah malam seperti ini bernama 'Afifah'.

Raya termangu diam. Otaknya mencoba mencerna semuanya. Matanya ia usahakan untuk terbuka lebar-lebar. Tapi semua usahanya itu, yang Raya lihat dalam layar benda pipih tersebut memanglah nama Afifah.

Raya merasakan tangannya mulai bergetar. Rasa gelisah dan takut yang sejak kemarin menyelimuti dadanya mulai kembali. Raya benci rasa itu.

Dering ponsel Adnan yang terus berbunyi akhirnya ikut membuat Adnan bergerak dari posisinya. Raya langsung kembali meletakkan ponsel Adnan di tempat semula dengan cepat lalu kembali tidur seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal Raya berharap Adnan tidak akan terbangun karena dering ponselnya itu. Tapi rupanya, rencana Allah tak sama dengan harapan kecilnya.

Adnan terbangun dan langsung merogoh ponselnya yang ada di atas nakas. Ia mengucek matanya dengan telapak tangannya saat melihat bayangan nama Afifah tertera di layar ponselnya.

"Afifah?!" Adnan langsung memekik kaget saat mengetahui semua itu real terjadi. Afifah benar-benar meneleponnya. Lalu untuk apa Afifah meneleponnya tengah malam seperti ini?

Sadar akan suaranya barusan yang ia pikir akan membangunkan Raya, Adnan langsung beranjak berdiri dan terpaksa mengangkat panggilan itu.

"Halo?"

"Iya, Bu. Ada apa? Kenapa telepon saya jam segini?"

"Apa?!" Adnan memekik kaget saat mendengar berita dari seberang sana, tapi ia juga kaget dengan suara kencangnya yang kemungkinan mengganggu tidur Arraya.

"Saya ke sana sekarang."

Adnan mematikan ponselnya dengan cepat. Ia langsung menuju lemari pakaiannya. Memakai jaket hitam dan juga mengganti celananya dengan celana panjang berwarna hitam. Saat tangannya berusaha menggapai kunci mobil yang ada di atas nakas, matanya secara tak sengaja menangkap Arraya yang masih terlelap di atas ranjang.

Adnan duduk di tepi ranjang. Tangannya menggapai tangan Raya. Ia menggenggam tangan Raya dengan erat dan mengecupnya lembut. "Maaf, Ra. Mas harus pergi sekarang, Mas janji hanya sebentar. Sebelum jam 4, Mas janji sudah akan kembali untuk kamu. Mas pamit, assalamu'alaikum."

Dengan langkah berat, Adnan meninggalkan Arraya tanpa membangunkan istrinya. Ia langsung keluar dari kamar dan menuju mobilnya yang di parkir di luar.

Di kamarnya, pada kaca jendela yang terbuka dengan lebar. Dengan terpaan angin dingin yang begitu menusuk kulit, Raya menyaksikan suaminya pergi dengan wajah panik, tengah malam untuk menghampiri perempuan lain. Raya tidak mengerti, apakah izin saat ini sudah tidak diperlukan lagi? Apakah karena dirinya saat itu yang meminta Adnan untuk menyusul Afifah ke Jakarta maka Adnan sudah bisa merasa kebebasan sekarang?

Bukan, bukan itu yang Raya harap dan inginkan. Bukan itu yang hatinya harap dan inginkan.

🥀🥀🥀

Revisi alur, perubahan, serta perombakan isi cerita hanya akan ada di versi Novel. Novelnya masih lama terbit wkwk soalnya editnya gak selesai" hehe...

Jazakumullah ya Khair

TAMAT : 17 MEI 2020

REVISI : 19 SEPTEMBER 2020

Komentar