11. Saat Adam Jatuh Cinta

"Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu."
(QS. Al-Hadid 57: Ayat 20)

🍁🍁🍁

Duhai purnama aku bertanya lewat pelantara doa. Sudikah kau mencintaiku? Maafkan aku purnama, sebab aku telah jatuh cinta padamu

-Cinta Dalam Luka-

🍁🍁🍁

Angin malam berhembus sangat pelan. Rembulan berselimut awan. Bintang absen malam itu. Sepi. Ia sendiri.

Kutemukan mutiara yang berharga. Pertama aku berjumpa dengannya. Saat itu juga sisi hatiku yang kosong terisi. Tentang dia. Dibawah cahaya rembulan aku menatapnya berdiri sendiri dipelataran mesjid mengadahkan tangan menerima setiap rintikan hujan kala itu. Wajahnya seperti cahaya rembulan aku tertunduk dalam. Hatiku berdebar. Aku jatuh cinta.

Adam tak pernah jatuh cinta. Satu kali. Pemuda itu sudah sering jatuh cinta semasa ia SMA. Namun cinta itu sudah lama ia tinggalkan. Jangan memberi cinta kepada wanita jika itu hanya sementara. Jangan katakan cinta jika kamu belum bisa bertanggung jawab untuk mempertahankannya. Hati wanita seperti daun jika ia diterpa begitu keras, maka sekuat apapun ia. Ia pasti akan jatuh. Bagaimana kita mengembalikan daun ke batangnya seperti semula saat daun itu sudah jatuh? Mengertilah... Begitulah perasaan wanita saat ia jatuh cinta berakhir dipatahkan.

Semenjak ia menerima kalimat itu. Adam berhenti untuk jatuh cinta kesembarang wanita. Ia tidak akan jatuh cinta lagi. Sampai ia dijumpakan dengan seorang wanita berhati mutiara, yang mampu menggetarkan hatinya. Bagaimana ia bisa menolak atau mecegah kedatangan cinta? Gadis itu sungguh mempesona meski baru satu kali berjumpa. Adam kembali jatuh cinta untuk pertama kalinya setelah sekian lama menjaga hati.

Pagi itu udara segar dari desa, membuat siapa saja yang menghirupnya akan terasa kebhagiannya apalagi jika sedang jatuh cinta rasanya sampai masuk kerelung jiwa paling terdalam. Pemuda itu duduk disalah satu kursi rotan. Mengelamun. Sesekali ia menunduk sesekali ia mendongak. Gadis purnama namanya. Nama yang diberikan oleh Adam sendiri untuk cinta dalam diamnya.

"Apa yang kamu pikirkan, Adam?" Seseorang menepuk pundak pemuda itu. Lalu duduk disamping Adam.

Adam menoleh menatap siapa sekarang yang ada di sampingnya. Danar Abinya.

Tersenyum Adam. Begitupula Danar. Lelaki itu tau apa yang ada dihati anaknya sekarang. Dari tingkahnya Danar sudah bisa menebak. Anaknya sedang jatuh cinta.

Kepada purnama
Kutitipkan rindu
Kepada angin
Kutitikpan kata
Aku mencintainya

Adam menatap keluar jendela. Tangannya berhenti sejenak menulis. Dia tersenyum sebab purnamanya seperti berdiri tepat dihadapannya. Diluar jendela ia memandang purnamanya tersenyum menyapa kucing disana.

"Astaghfirullah...," pemuda itu segera menunduk saat tak sengaja pandangan mereka bertemu. Purnamanya tahu bahwa dia menatap.

Berpura-pura sibuk. Itulah yang dilakukan Adam. Walau sesekali ia tetap menoleh kearahnya. Saat menatap hatinya berdebar.

Inilah yang disebut cinta.

Adam segera bangkit dari duduknya berjalan keluar tidak lupa dengan payung. Cuaca tak bisa ditebak akhir-akhir ini. Dengan sekejap malam menjadi pekat bintang-bintang tertidur dengan cepat digantikan oleh hujan. Sangat deras. Purnamanya masih disana.

Gadis itu terkejut bukan main. Saat hujan tak lagi membasahi tubuhnya. Siapa gerangan yang telah berbaik hati melindunginya? Gadis itu benar-benar penasaran. Untuk memuaskan rasa penasaran gadis itu menoleh kebelakang.

Hingga akhirnya mereka kembali terpaku. Mata mereka saling bertemu sebelum akhirnya mereka saling menunduk. Saat seperti ini hujan seakan menjadi melodi dan nada setiap menit yang tercipta. Sunyi tak berbicara. Mungkin mereka memilih berbicara dalam hati padahal mengucapkan lebih baik daripada saling diam lalu memberi kode.

"Mari kuantar...," Suara adam sedikit nyaring. Hujan sangat deras.

Gadis itu terdiam cukup lama.

"Tidak. Saya bisa pulang sendiri. Terima kasih atas tawarannya." Berbeda dengan Adam suara gadis itu sangat pelan. Syukurlah pemuda itu masih bisa mendengar.

"Tak apa biar kuantar. Bagaimana kamu bisa pulang saat hujan lebat seperti ini? Apa kamu mau berdiri disini terus sambil menunggu hujan reda yang bahkan tidak tahu kapan itu akan terjadi. Jangan khawatir aku akan menjaga jarak. Aku hanya ingin mengantarmu pulang."

"Terima kasih. Kalau begitu apakah aku bisa meminjam payungmu. Biar aku pulang dengan sendiri saja. Itu tidak masalah kan?"

Adam terdiam. Gadis itu ikut terdiam berharap pria yang ada dihadapannya sekarang mau meminjamkan payung untuknya.

"Maaf, saya hanya tidak ingin ada fitnah diantara--"

"Ambilah....," Adam memberikan payungnya.

Purnamanya tersenyum menatap payung itu, perlahan payung itu telah berpindah tangan.

"Terima kasih. Aku akan mengembalikan payungmu secepatnya."

"Adam." Ucap Adam. Memperkenalkan diri. Hatinya berdebar menunggu jawaban.

Gadis itu menunduk, entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Khalisa."

Suara gadis itu begitu pelan. Nada yang begitu malu. Adam tersenyum ia tertunduk.

"Assalamualaikum...," Gadis itu pamit. Berjalan sedikit tergesa. Seakan berjalan dengan cepat menghindari pria yang sekarang malah berbunga-bunga.

Duhai purnama
Ternyata kau punya nama
Khalisa namamu
Kau mengatakannya dengan malu-malu

Duhai purnama
Sudahkah surat itu kau terima
Aku menitipkannya pada merpati
Sudahkah kau baca?
Sudahkah berjumpa dalam mimpi?

Jatuh cinta adalah sumber inspirasi yang sangat luar biasa. Orang akan mudah mendapatkan inspirasi karena cinta seperti pemuda bernama Adam saat ia jatuh cinta maka ia akan pandai berpuisi akan lebih sering tersenyum.

*****

Pesantren rasanya jauh lebih indah dimata pemuda yang jatuh cinta seperti Adam. Sebab ia berjumpa dengan bidadarinya disini. Siang malam Adam selalu membuat puisi, apa yang merasuki dirinya sehingga pemuda itu menjadi seorang yang puitis. Tak lelah Adam bermunajat berdoa kepada sang maha kuasa, diatas sajadah ia mengadahkan tangan, mengharap kebaikan atas cinta yang ia miliki.

Khalisa telah benar-benar membuat Adam jatuh cinta. Gadis itu seperti purnama dimata Adam. Tak jarang ia mencuri pandang.

Polpen hitam seakan menari diatas kertas putih setiap waktu, seakan tinta hitam itu takkan habis. Danu bergidik ngeri menatap Adam yang berubah drastis. Saban malam Adam selalu membacakan puisi untuk Daju

Danu merasa takut atas kejiwaan sahabatnya itu.

Duhai mutiara
Aku ada bersamamu
Bila butuh bahu
Maka pintalah aku
Aku akan menghapus air mata itu

Rindu ini kutitipkan padamu
Duhai permaisuriku
Cinta ini kukatakan pada-Nya
Kutitipkan pada angin malam
Angin itu telah terbang
Duhai purnama
Sudah sampaikah kalimat cinta itu?

Adam menutup buku puisinya. Matanya menatap Danu yang berdiri terpaku, tak memejamkan mata, persis seperti patung. Adam yang melihat menyunggingkan senyumnya.

Jika laki-laki saja terpana dengan puisi ini, maka tidak menutup kemungkinan jika Khalisa gadis purnama itu juga terpana dengan puisi yang ia buat. Pemikiran Adam yang telah dicampur positif thingking akibat cinta. Adam benar-benar tulus mencintai gadis purnama itu.

"Danu, kuharap kamu tidak jatuh cinta padaku." Ucap Adam sebelum berlalu pergi.

Danu menatap kepergian sahabatnya itu, memegang dadanya yang berdebar sekujur tubuhnya bergidik ngeri.

"Ya Allah jin apa yang telah merasuki Adam."

"Cinta itu gila...," Danu menarik kesimpulan. Langkahnya berjalan memutuskan mengambil air wudhu segera membaca Qur'an.

*****

Gadis itu terus menatap heran benda pipih berbungkus rapi berwarna cokelat, sebatang cokelat berpita merah tak tahu punya siapa sudah ada di atas meja belajar miliknya terlebih lagi sebuah puisi yang mangkin membuatnya bingung.

Benarkah ini untuknya?

Gadis itu terus saja bertanya.

Sarah yang ada disamping Khalisa tersenyum simpul menatap kepolosan yang dimiliki oleh kawan sekamarnya itu.

"Kamu masih bingung yaa?"

Khalisa mengangguk.

"Sa, seharunya kamu tidak polos lagi. Nih, ada cokelat dan sebuah puisi romantis, jelaslah ini semua datang dari ikhwan yang suka sama kamu." Sarah mencoba menjelaskan.

"Suka sama aku? Itu gak mungkin Sarah." Elak Khalisa.

Sarah merasa gemas sendiri melihat tingkah Khalisa yang kelewat polos. "Coba deh kamu ingat, siapa kira-kira  ikhwan yang berkenalan denganmu akhir-akhir ini, atau yang sering temuin kamu dari berbagai alasan."

Khalisa terdiam sejenak memikirkan, siapa pemuda yang dimaksudkan Sarah. Cukup lama berpikir hingga akhirnya ia menemukan satu nama, yang sikapnya hampir sama dikatakan Sarah : berkenalan, dan sering berjumpa akhir-akhir ini.

Adam...

Komentar