49 | Menghapus Benci

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Komen di setiap partnya, boleh? 

Komen atau kritik isinya boleh kok, yang penting jangan komen next atau lanjut doang :'(

Ambil baiknya buang buruknya. 

Happy Reading

🥀🥀🥀

Hari ini Arraya sudah boleh kembali ke rumah. Bukan rumah orang tuanya atau rumah yang ia sewa selama ia pergi, melainkan ia kembali ke rumah Adnan. Mobil mereka kini sudah sampai di garasi. Adnan langsung keluar dari mobilnya dan membukakan pintu untuk istrinya keluar.

"Pak, tolong bawa masuk semua barang yang di bagasi ya," perintah Adnan pada supir pribadinya. Adnan langsung menntun Arraya untuk berjalan bersama masuk ke dalam rumah.

"Aku bisa jalan sendiri, Mas." Arraya menggeser pelan tangan Adnan yang kini melingkar erat di pinggangnya. Seolah takut jika Arraya tidak mampu berjalan dengan kedua kakinya sendiri.

"Nggak, Mas harus jaga kamu."

"Mas ih, nggak boleh posesif gitu," ujar Arraya dengan tertawa kecil.

"Mas nggak posesif, Ra. Mas cuma mau semuanya aman kembali. Mas beneran nggak bisa tanpa kamu."

Arraya akhirnya memilih untuk berhenti melangkah. Ia menolehkan kepalanya ke samping dan menatap lekat wajah suaminya. "Mas tahu nggak?" tanyanya.

"Nggak. Ada apa emangnya?"

"Mas jelek banget sekarang. Brewokan, kumisan, kantung matanya hitam, mukanya lesu, jelek pokoknya."

Adnan berdesis panjang. Ia menghukum istrinya itu dengan mengecup bibirnya sekilas. "Ini semua karena kamu, Ra. Kamu ninggalin Mas, sampai Mas nggak ada yang ngurus begini, dan sekarang malah kamu sendiri yang bilang kalau Mas jelek."

"Iya makanya, karena Mas jelek aku nggak mau deket-deket sama Mas."

"Ih kok jahat gitu?"

Arraya tertawa kembali. Bisa kembali bersama Adnan rupanya ikut mencairkan ekspresi suramnya yang sering membuatnya terasa kosong. Tapi baru bersama Adnan 2 hari ini, sudah bisa membuat Arraya beberapa kali tertawa tanpa dipaksa.

Arraya mengangkat kedua tangannya. Jemarinya membelai wajah Adnan dengan lembut. Ia mengabsen jambang dan kumis suaminya yang terasa kasar juga geli di telapaknya. "Aku bantu rapihin, mau?"

Adnan menahan haru hatinya. Rasanya masih seperti mimpi. Padahal di tempatnya ia berdiri kini bersama Arraya, beberapa waktu yang lalu adalah saat gelap dalam hidupnya. Saat Arraya memutuskan untuk berpisah dengannya dan akhirnya memilih untuk pergi.

Adnan mendekatkan tubuhnya dan membawa Arraya ke dalam pelukannya. Ia memeluk Arraya dengan erat. Memastikan sekali lagi jika yang ia rasakan kini bukanlah ilusi atau mimpi. "Mas sayang kamu, Ra ... "

Arraya ikut tersenyum. Kedua tangannya membalas pelukan Adnan dengan sama eratnya. Rasanya ingin terus berdekatan, ingin terus berpelukan, ingin terus berduaan sampai waktu yang lama sekali.

"Ekhm!" Bi Ira tiba-tiba muncul dari arah dapur dan membuat Adnan melayangkan tatapan tajamnya karena diganggu.

"Bibi ganggu tahu nggak?" sindir Adnan.

Tidak merasa bersalah, Bi Ira justru memukul bahu Adnan karena kesal. "Aden tahu nggak kalau Aden menyebalkan? Harusnya kalau Non Raya pulang ke sini kasih tahu Bibi, kan biar Bibi bisa siapin makanan yang enak."

Arraya tersenyum dan memeluk tubuh Bi Ira. Ia tahu jika Bi Ira pasti juga sangat mengkhawatirkan dirinya.

"Non Raya ... makasih ya udah kembali ke rumah ini. Bibi seneng ngelihat Non Raya baik-baik aja."

"Maafin aku ya Bi, udah bikin Bibi khawatir."

"Non jangan pergi ke mana-mana lagi ya, Bibi kesepian nggak ada Non Raya di rumah ini."

"Bi, udah." Adnan langsung memisahkan Arraya dan Bi Ira yang masih saling berpelukan. "Hari ini dan besok Raya khusus buat saya, Bibi besoknya lagi." Adnan menjaga Raya untuk tetap di sisinya. Merangkul pinggang Arraya agar Bi Ira tidak bisa lagi memeluk Arraya.

"Ih, pelit." Ujar Bi Ira.

Arraya tertawa kecil. Ia mencubit perut Adnan yang sekarang malah seperti anak kecil yang takut kehilangan permen dan balonnya.

"Aden?"

Adnan menoleh karena supirnya memanggil. "Letakkan di kamar langsung aja Pak, barang-barang istri saya."

"Bukan itu, Den. Di luar ada tamu yang pengen ketemu Aden."

"Oh, ya sudah persilakan masuk saja. Saya antar istri saya dulu ke kamar."

"Mas Adnan!"

Baru tiga langkah menaiki anak tangga sambil merangkul Arraya berjalan perlahan, suara seorang perempuan dari arah pintu membuat Adnan dan Arraya sama-sama berhenti di tempat.

Adnan lebih dulu menoleh, sementara tangannya semakin erat di pinggang Arraya dengan maksud istrinya itu tidak menolehkan kepala sama sekali.

"Mas Adnan, aku mau bicara ...." Afifah, memutuskan untuk datang langsung ke rumah Adnan karena Adnan yang memutus kontak sepihak dengan Afifah maupun ibunya Afifah. Adnan sudah cukup tahu dengan semua yang terjadi.

Adnan mengeratkan rahang wajahnya. Seluruh giginya saling bergesekan menahan amarah yang ingin meluap.

"Bi, tolong bawa naik istri saya masuk ke kamarnya." Ingat masih ada Arraya di sampingnya, Adnan meminta bantuan Bi Ira.

"Mas?" jemari Arraya bergerak dan menyentuh punggung tangan Adnan yang masih berada di pinggangnya. Hanya dengan mendengar suara lirih dari perempuan di belakangnya, sudah cukup membuat Arraya yakin siapa perempuan yang datang ke rumahnya pagi ini.

"Maaf sayang, Mas nggak bisa antar kamu sampai kamar. Kamu sama Bi Ira ya, jangan keluar sampai Mas yang susul kamu ke kamar."

"Mau aku temani?" tawar Arraya masih dengan suara lembutnya.

"Mas bisa sendiri. Maafin Mas ya, Ra?"

Arraya tersenyum hangat untuk suaminya. "Sabar ya, Mas. Banyakin istighfar ...."

Adnan dan Arraya langsung berpisah begitu Bi Ira mengantar Arraya masuk ke dalam kamar sementara Adnan harus turun untuk menemui Afifah kembali.

"Ada perlu apa kamu ke mari?" tanya Adnan tanpa berbasa-basi. Ia bahkan tidak mempersilakan Afifah untuk duduk.

"Mas, aku ke sini untuk minta maaf langsung sama kamu. Entah berapa kali aku udah coba hubungin kamu, tapi kamu nggak pernah angkat telepon atau balas pesan aku, Mas."

"Apa harus aku balas pesan kamu?"

"Harus, setidaknya beri kesempatan aku untuk minta maaf." Afifah merasakan matanya memanas karena tatapan dingin yang Adnan berikan.

"Sudahlah, Fah. Aku dan istriku sudah menganggap ini semua selesai. Kalau kamu memang menyesal, pergilah dari hidupku. Jangan ganggu aku dan keluargaku lagi."

"Mas ... " satu bulir air mata akhirnya mengaliri pipi Afifah dengan bebas.

"Yang dulu kamu lakukan, dan yang sekarang ibu kamu lakukan semuanya sama-sama nyakitin perasaan aku, Fah. Jangan persulit lagi semuanya dan pergilah."

"Aku minta maaf untuk dulu, Mas. Aku sebenernya nggak bermaksud untuk duain kamu. Sungguh, itu semua diluar kendali aku."

Adnan menggeleng, tidak menerima apapun penjelasan dari bibir Afifah. "Aku nggak perlu denger itu semua, Fah. Semuanya udah berlalu, itu masa lalu. Apapun yang terjadi sekarang antara aku dan kamu, tidak akan pernah merubah status kita berdua. Aku nggak akan pernah bisa kembali sama kamu. Aku mencintai istriku, dan aku tidak akan pernah kehilangannya lagi."

"Sungguh ... tidak ada lagi tempat untukku?" bibir Afifah bergetar.

Adnan berdecih geli. "Kamu ini sebenarnya datang ke sini untuk meminta maaf atau justru mau membuat aku semakin membenci kamu?"

"Untuk minta maaf, Mas. Tapi aku juga penasaran apakah sungguh tidak ada lagi tempat untukku?"

"Hati aku itu cuma satu, dan itu sudah menjadi milik Arraya sejak aku mencintainya. Jadi jangan mengharapkan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi di antara kita!"

"Mas, tapi aku rela jadi istri kedua kamu, Mas ..."

"Apa?" kedua alis Adnan menyatu sempurna. "Apa kamu sudah gila?"

"Iya Mas, aku gila karena yang aku pengen di dunia ini cuma kamu. Awalnya aku berpikir aku sudah keterlaluan sama kamu. Tapi ketika aku pikir lagi, aku juga berhak bahagia. Aku berhak menentukan hidupku dan kebahagiaanku."

"Bahagia yang sesungguhnya itu tidak menggadaikan kebahagiaan orang lain hanya karena kamu ingin kebahagiaan yang sama!"

Afifah menangis karena suara Adnan yang terus meninggi padanya.

"Makin ke sini aku baru tahu kalau kamu ternyata wanita yang jahat."

"Mas, aku mohon ... kasih aku kesempatan kedua. Aku janji akan membahagiakan kamu, Mas."

"Pergi," ucap Adnan masih dengan suara yang tidak ia tinggikan.

"Mas, aku mohon ... "

"Pergi dari rumahku sekarang!!"

🥀🥀🥀

"Non Raya jangan menangis ... " Bi Ira menghapus air mata yang meninggalkan jejak di wajah nona mudanya. Dari dalam kamarnya di lantai 2, Arraya dan Bi Ira bahkan bisa mendengar walau samar pembicaraan Adnan dan juga Afifah.

"Apa semua ini terjadi karena aku, Bi?"

"Astaghfirullah Non, kenapa bicara begitu? Non itu nggak salah apa-apa jadi jangan merasa bersalah. Aden pasti juga nggak suka kalau Non Raya menyalahkan diri sendiri."

"Saya mau turun susul Mas Adnan, Bi."

"Jangan, Non. Non Raya kan tadi diminta untuk tetap di kamar sampai Den Adnan yang datang ke sini."

"Tapi saya nggak bisa diam aja di sini tanpa berbuat apa-apa, Bi."

"Jangan Non, Non nggak boleh—" Bi Ira tak jadi melanjutkan ucapannya begitu yang meraka bicarakan sejak tadi telah membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Dengan segera, ia langsung pamit undur diri dan memberikan ruang berdua untuk Adnan dan Arraya.

Arraya masih diam di posisinya. Matanya menatap manik mata suaminya yang saat ini juga hanya berdiri diam sambil menatap matanya lekat.

"Mas ... baik-baik aja?"

Adnan menggeleng lemah. Kakinya perlahan maju, hingga bisa Arraya lihat genangan air yang kini memenuhi pelupuk mata Adnan. Perlahan tapi pasti, Adnan menjatuhkan dagunya ke atas bahu Arraya. Ia memeluk tubuh Arraya dengan erat dan menangis.

Adnan menangis dan Arraya cukup terkejut dengan tangis Adnan. Arraya hanya diam sambil terus mengusap punggung Adnan dengan perlahan. Tanpa bertanya mengapa dan ada apa, Arraya hanya diam sambil terus mengusap punggung suaminya.

Adnan juga tak menjelaskan apa pun. Ia hanya terus memeluk Arraya sambil menangis.

🥀🥀🥀

"Udah nangisnya?" sindir Arraya bermaksud bercanda.

"Kenapa sih tadi Mas pake nangis segala?"tanya Adnan pada Arraya. "Lebay banget ya, Mas jadi geli sendiri."

Arraya tertawa. Ia kembali mengusap seluruh wajah suaminya yang kini masih terlihat sembab. Adnan sudah menenangkan dirinya, dan kini keduanya sama-sama terduduk di tepi kasur. Rupanya tadi Adnan menangis karena terlalu banyak menyimpan rasa bencinya yang menumpuk di dalam dada, yang pada akhirnya keluar dalam bentuk tangisan.

"Mas, menurut aku tadi kamu—"

"Mas nggak mau denger, Ra. Mas tahu apa yang mau kamu omongin dan Mas nggak mau denger itu sekarang."

Arraya menghela napas panjang. Ia memilih mengalah, dan membiarkan suaminya melakukan hal yang sudah menjadi keputusannya.

"Ya udah, terus Mas mau gimana sekarang? Masih jam 11 siang dan aku udah bosen di rumah."

"Tadi katanya mau rapihin muka aku biar ganteng lagi?" tanya Adnan sembarik memajukan wajahnya ke dekat wajah Arraya.

"Oh iya, muka Mas ini harus dirapihin. Aku nggak mau lagi Mas cium kayak pas di rumah sakit kemarin. Kumisnya tajem!"

Adnan sontak tertawa mendengar keluhan Arraya yang lucu menurutnya. "Masa sih?"

"Iya, Mas!"

"Kalau gitu sekalian kita mandi bareng aja."

Adnan langsung berdiri sambil menggendong tubuh Arraya ala bridal style. Membuat Arraya yang ada dalam gendongannya berteriak karena kaget.

Adnan meletakkan tubuh Arraya untuk duduk di dalam bath up. Ia langsung membuka keran air hangat dan menuangkan sabun ke dalamnya.

"Ih, Mas, aku kan lagi luka masa diajak mandi begini sih."

Adnan memicingkan matanya, tak terima dengan alasan istrinya. "Yang luka bagian kepala kamu, Ra. Mas janji nggak akan basahin kepala kamu."

"Tapi, Mas—"

"Bibir kamu sampai ujung kaki kamu masih baik-baik aja, Ra. Lagian Mas udah lama nggak berdua sama kamu, apa nggak boleh?"

"Bo ... boleh," cicit Arraya yang membuat Adnan tersenyum puas.

Wajah Arraya langsung terasa memanas karena malu, apalagi saat Adnan ikut masuk ke dalam bath up setelah melepas seluruh pakaiannya tanpa sisa. Arraya langsung menunduk malu. Padahal bukan pertama kali atau kedua kalinya, tapi rasanya Arraya masih malu, seperti pertama kali saat ia melakukannya dengan Adnan.

🥀🥀🥀

Adnan menahan kepala Arraya agar tidak mencelup ke dalam air dengan satu tangannya. Satu tangannya lagi memegang pinggang Arraya. Wajahnya masih belum menjauh dari wajah Arraya setelah hampir 10 menit ia mencium bibir Arraya. Suasana kamar mandi semakin memanas saat jari-jari Adnan mulai membelai tiap inci tubuh Arraya.

Arraya memejamkan matanya. Tangannya mencengkeram kulit punggung Adnan.

"Mas akan selalu berhati-hati, Sayang," ujar Adnan dengan suara rendahnya berbisik tepat di telinga Arraya.

Setelah Adnan dan Arraya selesai pada ronde pertamanya, keduanya saling menjeda untuk mengambil napas sebanyak-banyaknya. Adnan ingin tertawa melihat Arraya yang sudah begitu  terlihat lelah. Tapi menariknya, Arraya tetap tak keberatan melayani Adnan yang masih ingin melakukannya.

"Mas ... " Arraya mencoba memanggil nama Adnan di tengah kegiatan mereka yang sedang terjeda.

"Kenapa sayang? Udah capek, ya?"

"Bu ... bukan itu, tapi soal ..."

Adnan menghela napas panjang begitu sadar apa yang ingin Arraya bicarakan. "Baiklah, Mas berikan kamu waktu untuk bicara. Tapi tolong untuk jangan pernah membela dia, Ra. Mas melakukan ini karena kamu. Mas cuma ingin melindungi kamu sebagai satu-satunya yang Mas miliki."

Arraya menahan wajah Adnan yang berada di atasnya agar tetap menata matanya. "Mas ingat nggak, dulu apa yang aku rasain kalau Mas bicara dengan suara tinggi ke aku? Rasanya itu bikin takut sekaligus sedih."

"Ra, Mas nggak akan terima kalau kamu ujungnya membela dia."

"Mas dengerin aku dulu. Ada sesuatu yang mau aku sampaikan ke Mas."

Kini ketimbang merasa khawatir, Adnan malah merasa takut. Ia langsung menarik dirinya yang tengah menyatu dengan Arraya dan langsung beranjak keluar dari bath up.

"Mas ... plis dengerin aku," Arraya menahan lengan Adnan yang saat ini sudah ingin keluar dari kamar mandi. Keduanya kini sama-sama sudah memakai handuk putih yang bisa digunakan untuk melindungi sebagian tubuh mereka.

"Nggak mau. Apa yang mau kamu omongin buat Mas takut, Ra. Mas nggak mau denger," kata Adnan tanpa memutar tubuhnya.

"Memang apa yang takut untuk Mas denger dari aku padahal aku belum ngomong apa-apa?"

"Sampai kapanpun Mas nggak akan lepasin kamu. Mas nggak akan jadiin kamu yang kedua. Mas nggak bisa. Mas nggak akan pernah mau kalau kamu mohon sama Mas buat jadiin Afifah istri kedua!"

Arraya menarik lengan Adnan hingga membuat lelaki itu memutar tubuhnya tanpa menolak. "Memangnya siapa yang meminta Mas untuk menjadikan Mba Afifah istri kedua?"

"Kalau nggak ngomong itu terus kamu mau ngomong apa?"

"Makanya jangan suudzon dulu, Mas."

"Kamu buat Mas takut, Ra."

Cup!

Arraya memberikan kecupan kilat di bibir Adnan agar suaminya itu bisa lebih tenang menatapnya.

"Aku denger semua yang Mas omongin tadi sama Mba Afifah tadi. Aku sedikit bisa ngerti gimana perasaan Mba Afifah sama Mas."

"Dia yang selingkuhin aku duluan, Ra. Dia selingkuh saat aku dan dia mau menikah. Apa kamu pikir itu hal yang bisa dimaafkan?"

"Iya, Mas, aku tahu. Tapi maksud aku, setiap orang pasti melakukan kesalahan. Mas harus belajar memaafkan kesalahannya Mba Afifah, biar di hati Mas ini nggak lagi tersisa rasa sakit hati. Mas harus lupain itu semua dan jangan menyimpan dan mendendam perasaan benci di dalam sini," ucap Raya dengan menyentuh dada Adnan.

"Tapi kamu denger sendiri kan, setelah memohon maaf aja dia malah minta hal gila ke Mas, Ra. Dia minta Mas untuk menjadikan dia istri kedua. Gimana Mas nggak marah? Gimana Mas nggak emosi? Ibunya bahkan ikut nyakitin kamu. Harusnya urusan mereka hanya sama aku, tapi kamu malah ikut keseret dan ikut ngerasain sedihnya."

"Aku udah maafin mereka berdua, Mas. Aku udah lupain semuanya."

"Apa?" Adnan mengerutkan keningnya tak percaya.

Arraya tersenyum, "Serius Mas, insyaAllah aku udah lupain semuanya dan memaafkan mereka. Lagi pula buat apa sih Mas kita sesama manusia berdosa punya rasa benci begitu besar? Itu sama sekali ada manfaatnya, Mas. Lebih baik kita sama-sama berbenah diri untuk jadi lebih baik. Kita sama-sama perbaiki diri agar tidak mengulangi kesalahan yang pernah kita semua buat."

"Tapi Ra, Afifah itu—"

"Mas, percaya sama aku. Kalau nanti kita atau Mas bicara baik-baik sama Mba Afifah, mungkin aja Allah mau ketuk hatinya. Siapa tahu karena kita bicara tanpa emosi, Mba Afifah mau belajar terima semua kenyataan ini."

Adnan kembali tak percaya jika ia benar-benar suami dari Arraya Kirania. "Ra, kenapa sih kamu bisa punya hati baik begini? Mas bener-bener bersyukur bisa punya istri seperti kamu."

"Aku juga masih banyak kekurangan, Mas. Aku cuma mau membantu biar Mas lepasin semua sakit hati yang Mas pernah simpan di dalam sini. Ada aku, aku akan nemenin Mas buat hapus semua rasa benci atau dendam yang kamu punya untuk orang lain. Lupain semuanya dan cukup ambil hikmahnya dari kesalahan yang lalu."

Adnan tersenyum menahan haru. Ia kembali mencium bibir Arraya yang sudah terlihat membengkak karena ulahnya.

"Mas Adnan, astaghfirullah!" Arraya kembali berteriak karena terkejut Adnan yang sudah mengangkat tubuhnya ke dalam gendongannya. Adnan langsung membuka pintu kamar mandi dan menjatuhkan tubuh Arraya dengan perlahan di atas kasur.

"Masih bisa lanjut satu ronde kan, Sayang?"

🥀🥀🥀

Gimana? Panjang kan part ini?

Jadi, boleh dong vote dan komennya yang banyak ❤

NB : CERITA INI SEDANG DALAM MASA REVISI TOTAL. PERUBAHAN ALUR DAN PENYEMPURNAAN CERITA HANYA AKAN ADS DI VERSI NOVEL. JADI SILAKAN NABUNG DULU DARI SEKARANG, KARENA INSYAALLAH KALIAN TIDAK AKAN MENYESAL PELUK BUKU SDL ❤

Jazakumullah ya Khair ❤

TAMAT : 17 MEI 2020

REVISI : 16 OKTOBER 2020

Salam,
Haphap 🌹

Komentar