6. Luka seorang Khaila

"Jika akhirnya kamu tak bersama dengan orang yang sering kamu sebut dalam doamu, mungkin kamu akan dibersamakan dengan orang yang selalu mendoakanmu dalam diam."

🍁🍁🍁

Oh Allah jika bukan dia, lantas siapa? Kepada siapa hati ini akan berlabuh? Kepada siapa mahkota ini kan ku serahkan?

-Cinta Dalam Luka-

🍁🍁🍁

Khaila Nayyara Zahabiya

Khaila wanita itu dibalik khimarnya ia menunduk dalam. Gadis itu tiada henti berdzikir didalam hati bermunajat pada Allah, meminta pertolongan kepada Allah, agar dihapuskan dari rasa cintanya kepada Alif, yang hanya menjadi angannya hari ini dan seterusnya.

Cinta dalam diam, yang ia simpan rapih harus berakhir begitu cepat. Khaila tidak tau sejak kapan ia mulai menyukai Alif, yang ia tahu semenjak bertemu di panti asuhan rasa untuk selalu bersama telah muncul pada dirinya. Ia tidak tahu rasa ketertarikannya berakhir rasa cinta dan patah hati.

Saya terima nikahnya Khalisa Nayyara Zahabiya binti Syakir Muhamad dengan seperangkat alat sholat dan sebuah surah Ar-Rahman dibayar tunai.

"Bagaimana para saksi?"

Semua orang yang menyaksikan tersenyum bahagia seraya mengucapkan kata sah.

Khaila meremas gamisnya kuat, menahan isakan tangis yang siap kapan saja keluar. Air mata yang memiliki arti berbeda dengan orang lain. Alif, pria yang ia cintai telah resmi menjadi suami adiknya sendiri. Khaila tidak pernah menduga pria yang akan dijodohkan dengan Khalisa adalah pria yang namanya sering ia ceritakan kepada Allah.

Ya rabb iznikan hamba menghapus rasa ini, rasa yang semakin bermetafosa menjadi rasa cinta, meski rasa ini hadir karna-Mu, izinkan hamba meninggalkannya, izinkan hamba untuk melepaskannya dengan mudah, hilangkan rasa sakit ini jika melihat dia bersama wanita lain. Hadirkan dia yang belum kau tunjukkan menjadi jodoh hamba, dekatkan dia kepadaku dengan ridhomu.

"Khaila, lihat deh nak Alif, ia sangat tampan, hafalannya juga fasih, ia benar-benar pemuda yang sholeh, beruntung adikmu mendapatkannya." Puji Ainun disamping Khalisa. "Semoga suatu saat nanti kamu dipertemukan dengan seorang pemuda seperti nak Alif, yang akhlaknya begitu baik." Harap Ainun disamping Khaila.

Khaila menutup matanya menahan air matanya, ia tersenyum getir. Andai ia bisa memutar waktu, ia ingin sekali ada di hari perjodohan itu dimulai, mengatakan bahwa ia mencintai pria itu.

"Sayang, Bunda pengen deh punya satu menantu lagi seperti nak Alif. Nak Alif begitu sholeh...-" terpotong saat Khaila bangkit berdiri meninggalkan resepsi pernikahan.

"Sayang, kamu mau kemana?" tanya Ainun.

"Aku mau ke kamar dulu, bentar Bun."

*****

Khaila menutup pintu kamarnya tidak lupa ia mengunci. Tubuhnya seakan menjadi lemas, air mata yang ia tahan akhirnya bisa ia tumpahkan. Hujan semakin deras keluar dari mata teduh milik Khaila.

"KENAPA HARUS DIA?" teriak Khaila.

Khaila menautkan kedua kakinya, kepalanya tertunduk menangis dengan ditutupi tangan.

*****

Ditempat yang cukup jauh dari keramaian acara akad. Dua orang menangis, hati mereka tersayat. Luka itu tertancap begitu jelas sangat dalam.

Satu jam yang lalu menjadi awal terciptanya luka itu.

"Kenapa kamu mengganti bajumu sayang?" Alif bertanya dengan lembut, senyum terus merekah, langkahnya berjalan menghampiri sang istri yang tampak damai memandang pemandangan gedung-gedung tinggi.

Tangan Alif sudah ingin menggenggam tangan sang istri yang bergetar, namun urung saat wanita itu menjauh darinya.

Alif terkejut menatap sang istri yang jauh dari kata baik, air mata menghiasi wajah cantik milik wanita itu, tatapan terluka terhias. Seperti kaca yang retak.

"Ada apa denganmu sayang? Luka apa yang membuatmu menangis dihari berbahagia kita, berbagilah sayang." Ucap Alif dengan lembut. Mencoba menggapai wajah sang istri namun selalu dihindari wanita itu.

"Kenapa kamu nenjauh. Kita sudah sah sekarang, kita sepasang suami istri."

Wanita itu tetap menunduk, semakin menangis dia. Hatinya rasanya sangat sakit mendengar setiap kata yang tedengar lembut namun rasanya menyakitkan.

"Khalisa Nayyara Zahabiya. Bicaralah. Jangan menangis, istriku."

Hiks... Hiks... Hiks...

"Kamu kenapa? Jangan buatku takut."

Wanita itu menatap Alif dengan terluka.

"Pergilah ke istrimu." Ucap wanita itu terbata-bata.

"Istri? Maksud kamu apa, sayang?"

"Pergilah. Aku bukan istrimu."

"Jangan buat aku semakin tak mengerti, Nayyara."

"A-aku bukan Khalisa Nayyara Zahabiya."

"Kamu bercanda sayang? Jika bukan, lantas kamu siapa?" Kekeh Alif menenangkan hatinya sendiri.

"Aku Khaila Nayyara Zahabiya. Wanita yang telah bodohnya mencintai adik iparnya sendiri." Semakin deras air mata itu terjatuh, bibirnya bergetar mengucapkan.

"KENAPA KITA DIPERTEMUKAN, DIDEKATKAN, BEGITU DEKAT?"

Alif mundur beberapa langkah, matanya memerah. Apa yang dikatakan wanita itu membuat relung hatinya terluka, sangat terluka.

"Kamu Nayyara wanita yang kucintai. Jangan bercanda sayang, ini sama sekali tidak lucu."

"Nayyara yang kamu kenal ada dua. Nayyara yang sering kamu jumpai di panti asuhan, dan Nayyara yang baru saja ku nikahi, dialah istri kamu."

"Ma-maksud kamu?"

"Kami kembar." Getir Khalisa.

Jantung Alif berdetak sangat cepat, rasa sesak menyelimuti hatinya. Air mata keluar dari pelupuk mata pria itu, terluka, sangat terluka sama halnya wanita yang ada dihadapannya tertunduk menangis disana.

*****

"Kamu serius mau pergi? Kenapa?" tanya Ainun kaget. Bukan Ainun saja yang kaget semua anggota keluarga ikut kaget mendengar keputusan mendadak dari Khaila, namun tidak bagi pria yang masih menggunakan baju pengantin.

Khaila memandang sekilas wajah tenang dari pria itu. Ia tersenyum kecut. Keputusannya sudah bulat ia akan pergi bersamaan dengan perasaannya.

"Kenapa Aila? Adik kamu juga baru menikah kan? Kenapa kamu tiba-tiba mau temui tante Sasa buat lanjutin kuliah S2 kamu?" tanya Ainun beruntun.

Khaila menarik nafasnya gusar. "Bun, Aila mau ke Jogja, mau kuliah. Kenapa  Bunda malah harus tanya kenapa?" tanya balik Khaila.

"Gimana Bunda gak tanya kenapa. Orang kamu perginya dadakan. Kamu harus kasih jawaban yang logis biar Bunda percaya." Tegas Ainun menatap Khaila yang hanya diam tak bersuara.

"Kamu punya masalah disini? Kamu kenapa?" tanya Ainun sekali lagi.

Khaila hanya menunduk diam membiarkan mamanya berbicara.

"Seperti tidak suka sama pernikahan Khalisa saja. Kenapa tiba-tiba pergi." Ucap Ainun tenang.

Deg...

Khaila mendongakkan kepalanya, ia terkejut wajahnya pucat pasi, bagaimana bisa mamanya mengatakan hal itu. Khaila harus mengakui naluri ibu memang benar hebat. Namun didetik berikutnya dia menetralkan wajahnya menjadi tenang.

Khaila terkekeh menyembunyikan kebenaran, "Bunda ini ngomong apa, masa iya aku gak suka sama pernikahan adikku sendiri. Aku pengen ke Jogja karna mau belajar mah, apa salah? Aku juga mikir tante Sasa juga sendirikan di rumah, Om Haris kan lagi di Maroko, jadi aku pengen ke Jogja pengen lanjutin kuliah ku, sekalian jagain tante Sasa." Jelas Khaila.

"Yaudah. Kalau kamu mau lanjutin kuliah ke Jogja. Ayah dan Bunda tidak akan mencegah niat baikmu. Biar nanti Ayah pesankan tiketnya besok." Ucap Syakir.

Khaila menggeleng, "nggak perlu Ayah, Aila sudah beli tiketnya barusan." Jelas Khaila.

Ainun menautkan keningnya bingung, ia merasa ada yang salah dengan Khaila hari ini, "kamu kayaknya sudah merencanakan ini. Udah niat banget kayaknya."

Khaila tersenyum tipis, "perasa Bunda aja kali."

"Ijinkan Aila menimba ilmu di Jogja, sekarang, Ayah Bunda. Aila mohon."

"Kenapa harus terburu. Tunggulah besok pagi sayang, jika memang ingin pergi." Ainun tetap membujuk.

Khaila tersenyum. "Maaf Bunda, Keputusan Aila sudah bulat, ijinkan Aila pergi."

"Kamu ada masalah disini, Aila?" Syakir ikut bertanya.

Khaila menggeleng menyakinkan.

"Lantas apa yang membuat kamu sangat ingin pergi sekarang."

Khaila diam sesaat menunduk. "Khaila mohon Ayah."

Syakir menghela nafas panjang. Menatap anaknya yang tertunduk, tangannya menggenggam tangan sang istri yang dingin, menguatkan agar tak menangis. Ainun tertunduk.

"Ayah ijinkan kamu. Jaga diri kamu baik-baik. Semoga niatmu ini baik, tidak membuat Ayah dan Bunda berdosa."

Ainun menyeka air matanya, berat ia melepaskan putrinya untuk pergi jauh.

"Terima kasih Ayah Bunda." Khalisa tersenyum. Menyalimi kedua orsng tuanya secara bergantian, wanita itu menahan air matanya agar tak jatuh.

"Kak Aila yakin mau berangkatnya sekarang?" tanya Khalisa membuka suara setelah diam mendengarkan semua.

"Iya Ica." Senyum Khaila.

Ica adalah panggilan yang sering dipakai untuk memanggil Khalisa dari kecil. Panggilan yang manis.

"Kok bisa." Kaget Khalisa sekali lagi.

"Ya bisa lah." Kekeh Khaila menatap Khalisa.

Pandangan dua orang yang sama itu bertemu tatapan kesedihan tersirat dikedua bola mata indah milik mereka. Khaila tersenyum kecut, gemuruh didalam dadanya seakan semakin memuncak kala menatap Alif dan Khalisa bersama. Rasa cemburu yang harus segera ia singkirkan.

Khaila tersenyum menatap kedua orang itu, senyuman yang benar-benar dipaksakan oleh seorang Khaila.

"Ica baik-baik ya, jadilah seorang istri yang berbakti kepada suami kamu, cintai dia, hormati dia, sayangi dia. Surgamu ada di suamimu, jangan membuat suami kamu kecewa." Ucap Khaila membelai pucuk kepala Khalis lembut.

Khalisa yang mendengar itu tersenyum haru, ia langsung memeluk kembarannya itu. "Makasih ya kak Aila. Ica sayang Aila." Ucap Khalisa melepaskan pelukannya.

Khaila tersenyum mendengar pernyataan itu. Setelahnya pandangannya beralih ke samping Khalisa, Alif. Khaila menarik nafasnya gusar ia menatap pria itu yang juga menatapnya, pandangan sendu dipancarkan oleh kedua orang itu.

"Alif, aku titip Khalisa, jaga dia, cintai dia, sayangi dia, lindungi dia, jangan biarkan air mata itu jatuh selain air mata kebahagian. Meski, jika kamu belum bisa mencintainya, ku harap dengan cepat kamu bisa mencintai Khalisa, sama seperti kamu mencintai, perempuan yang kamu cintai sebelum Khalisa. Tanggung jawab Ayahku untuk menjaga Khalisa telah berpindah kepadamu. Jangan buat Khalisa menangis, cintai dia." Ucap Khaila tersenyum tulus sedikit berpelan mengatakannya.

Alif yang mendengar itu tersenyum singkat. Senyum yang sangat dia paksakan. Alif tidak bahagia ia sedang bersedih kekasihnya telah pergi meninggalkannya.

Alif memandang perempuan yang ada disampingnya, wajah yang begitu sama dengan wanita yang ia cintai, wajah dari keduanya nyaris tidak ada bedanya. Bodohnya kenapa ia tidak bisa membedakan.

Kenapa aku tidak bisa mencintaimu. Padahal kamu dan dirinya sama.

Komentar