29 | By My Side

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

A

rraya menatap bingkisan kotak persegi dengan pita merah di atasnya dengan kening mengerut tipis. Sesaat ia pulang bekerja, Bi Ira langsung menyodorkan kotak tersebut kepadanya. Seingatnya ia tidak memesan barang online apapun.

"Dari siapa ini, Bi?"

Bi Ira memperlihatkan senyum lebarnya. Kedua alisnya bergerak ikut memberikan reaksi pada kotak persegi yang saat ini sudah beralih pada tangan istri majikannya. "Non buka sendiri saja biar tau," ujarnya.

Walau dengan ekspresi bingung, akhirnya Raya membuka tutup kotak tersebut secara perlahan. Manik hitamnya sontak melebar begitu ia melihat isi yang ada di dalam kotak tersebut adalah sebuah dress berwarna hitam.

"Bi, ini...." mata Raya beralih pada secarik kertas kecil yang ada di atas dress hitam tersebut.

Dress for you, Ra.
Aku jemput kamu jam 6.30 ya.
Dandan yang cantik and see you soon.
Love, Adnan.

"Jadi ini dari Mas Adnan, Bi?"

Bi Ira mengangguk sambil tersenyum malu-malu. "Den Adnan ada undangan makan malam di hotel dengan pebisnis yang kerja sama dengan perusahaannya, Non."

"Berarti acara formal ya, Bi?" tanya Arraya dengan meringis pelan diam-diam.

Bi Ira mengangguk sekali lagi. Raya hanya masih merasa belum pantas. Ia hanya merasa takut. Takut jika nanti malah akan mengecewakan apalagi membuat Adnan malu di depan rekan-rekan kerjanya.

"Ayo, Non harus siap-siap sekarang."

"Bibi yakin saya pantas ikut Mas Adnan ke acara koleganya?"

"Iya yakin atuh, Non. Non sekarang mandi dulu ya, nanti Bibi bantu Non siap-siap."

"Nggak usah dibantu, Bi. Saya bisa sendiri kok."

"Aih si Non ini, masih aja sungkan sih sama Bibi. Lagian dari pagi Den Adnan juga sudah minta tolong Bibi untuk memastikan Non Raya tampil cantik hari ini."

"Jadi Mas Adnan sudah merencanakan ini dari pagi?" tapi Arraya justru tidak tahu apa-apa soal undangan tersebut.

"Sebenarnya sudah dari lusa lalu, Non. Den Adnan kelihatan nggak sabarannya buat ngenalin Non Raya ke semua rekan bisnisnya."

Raya mengangguk kecil. Entah apa ia harus merasa senang atau justru merasa sebaliknya. Yang jelas ia merasa tidak enak jika memikirkan acara nanti malam.

🥀🥀🥀

"Bi, kayaknya ini berlebihan deh. Lipstick nya apa nggak terlalu merah?"

Bi Ira berdecak gemas melihat reaksi Arraya dari dalam pantulan cermin. Gadis itu terlihat begitu mengkhawatirkan penampilannya malam ini. "Nggak, Non. Ini mah warnanya bukan merah kok, jadi cocok banget sama Non Raya."

"Tapi Bi, ini kayaknya berlebihan. Saya nggak suka." Raya memang melihat orang yang ada di dalam cermin bukanlah dirinya. Yang ada di dalam cermin terlalu cantik untuknya.

"Terus gimana kalau Den Adnan suka melihatnya? Bukankah seorang istri tampil cantik untuk suaminya juga?"

"Tapi Bi, ini terlalu...."

"Percaya sama Bibi, dandanan Non Raya sama sekali nggak berlebihan. Ini karena Non Raya nggak biasa dandan aja, jadinya merasa berlebihan. Tapi beneran nggak kok, karena lipstick yang Non Raya pakai masih warna bibir."

"Beneran nggak berlebihan?"

"Tidak Non cantik... Bibi yakin, Den Adnan pasti akan makin kesemsem sama Non Raya." Bi Ira menggerakkan kedua alisnya naik turun, menggoda Raya. Dan karena guyonan Bi Ira, akhirnya Raya mulai bisa tersenyum sedikit.

"Assalamu'alaikum!!"

"Wa'alaikumsalam, Den!" Bi Ira balas berteriak dari dalam kamar. "Non, Den Adnan sudah sampai tuh. Ayo buruan turun ke bawah."

"Malu ah, Bi. Malu kalau saya dandan kayak gini ketemu Mas Adnan."

"Oalah Gusti... Non kan waktu nikahan juga di dandanin, atuh kenapa sekarang malu?"

"Tapi Bi, dulu kan dandan karena nikah. Sekarang kan nggak."

"Udah Non, ayo cepet. Kita harus turun sebelum Den Adnan nyusul ke sini."

Arraya menghela napas panjang dan menuruti saja kemauan Bi Ira, walaupun ia masih sangat tidak pede dengan penampilannya malam ini. Bukan salah dress nya, hanya saja ia yang tidak percaya diri dengan dirinya yang harus memakai dress sebagus itu.

Kaki Raya berhenti sebelum ia berhasil menuruni barang satu anak tangga pun. Saat ia menoleh ke belakang, ia melihat Bi Ira yang menyemangati dirinya dengan wajah penuh binar bahagia.

Raya tampak cantik dan anggun menggunakan dress berwarna hitam yang memayung di bagian bawah dress. Gemerlap mutiara juga menambah kesan elegan dan mahal yang ada pada dress tersebut. Pasmina yang menutupi mahkota kepalanya serta heels 7 cm berwarna abu muda membuat penampilan Arraya terlihat sempurna malam ini.

Tangan kirinya mengerat pada tas jinjing yang ia bawa, satu tangannya mencoba menutupi pipi kanannya. Jujur, Raya merasa malu. Ia belum pernah berdandan seperti ini di depan Adnan. Untuk sehari-harinya bahkan untuk bekerja Raya tidak pernah terlalu mementingkan diri untuk ber make up sampai seperti malam ini. Apalagi dengan heels setinggi 7 cm sungguh sangat membuatnya takut untuk melangkah. Memikirkan bagaimana malunya ia di depan Adnan jika sampai terjatuh, membuatnya melangkah super hati-hati. Mendadak ia merasa jadi putri Solo.

Mata Raya mengintip sedikit ke arah depan. Ia semakin gugup kala melihat Adnan yang hanya diam di depan pintu dan menatapnya dengan lekat. Apakah segitu mengagetkannya dandanannya? Apakah terlalu berlebihan? Apakah jelek? Apakah tidak pantas untuknya? Banyaknya praduga membuat jantung Raya berdetak cepat.

Raya sampai di anak tangga terakhir. Ia merasa kakinya bergetar saat harus terus maju mendekati Adnan. Padahal harapannya adalah Adnan yang berjalan menghampirinya, agar ia tak perlu sampai merasa segugup ini.

"Non Raya sudah siap, Den."

Suara Bi Ira membuat Arraya terlonjak kaget. Sejak kapan Bi Ira berdiri di sampingnya? Tapi yang membuat Arraya bingung, kenapa setelah mendapati Bi Ira bicara, Adnan masih tetap diam tak bicara? Raya juga bingung karena mendengar gemuruh tawa tertahan dari Bi Ira di sampingnya.

Karena Adnan diam saja, Raya jadi memberanikan diri untuk mengangkat pandangannya. Tapi sebelum itu, ia meniti penampilan Adnan dari bawah. Sepatu hitam mengkilap dengan celana slim fit berwarna hitam, juga tuxedo berwarna hitam dengan kemeja dalam berwarna putih dan dasi berwarna gelap, khas eksekutif. Bahu Adnan yang lebar membuat lelaki itu menjadi lebih mempesona. Pandangan Arraya naik ke atas, perlahan meniti dagu Adnan yang kini mulai ditumbuhi rambut halus, rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung, juga kedua mata yang ..... menatapnya dengan begitu dalam saat ini.

Arraya mendadak membeku. Ini pertama kalinya ia mendapati Adnan menatapnya seperti itu. Tatapan Adnan benar-benar lurus dan jatuh padanya. Tidak bergeser barang seinchi pun. Dan Raya, ia seolah ikut terkunci dalam tatapan Adnan. Terjebak, dan tak bisa meloloskan diri.

"Den Adnan? Non Raya?"

Kontak mata mereka langsung terputus begitu saja. Baik Adnan ataupun Arraya sama-sama mengerjapkan mata dengan cepat.

"Kapan mau berangkat atuh, Den? Nanti keburu telat."

"Oh.... ya... ya... kit..kita harus berangkat sekarang!"

Senyum Arraya merekah sedikit, lucu mendengar Adnan bicara denga terbata-bata. Walau ia belum mendengar pujian apa pun dari Adnan malam ini, tapi tidak apa, karena Arraya pun terlalu minder untuk mengharapkannya. Ia tahu dandanannya malam ini sangat tidak pantas. Sebentar lagi mungkin Adnan akan memarahinya atau menyuruhnya menghapus seluruh make up nya.

"I..iya, Mas. Ayo berangkat."

"Iya, ayo!" seru Adnan dengan suara yang terdengar bersemangat. Ia langsung berbalik dengan cepat dan -- Dugh!

Kepala Adnan membentur daun pintu yang terbuat dari kayu jati.

"Astaghfirullah, Mas!" Arraya langsung buru-buru menghampiri. Bibirnya berkedut karena berusaha menahan tawa. Ia mengusap dahi Adnan yang saat ini memerah karena benturan barusan.

"Mas nggak papa?" Arraya masih terus mengusap dahi Adnan. Beruntung saat ini ia memakai heels 7 cm, sehingga tak terlalu membuatnya kesulitan menyamakan Adnan yang memiliki tubuh tinggi.

Adnan menahan lengan Arraya, membuat gadis itu menghentikan gerakannya mendadak.

"Kamu ... jangan deket-deket aku. Aku nggak kuat, kamu terlalu cantik malam ini." Adnan langsung pergi begitu saja setelah mengatakannya. Wajahnya memerah. Antara malu juga merasa bodoh akan dirinya sendiri.

Arraya bergeming, mematung di posisinya. Apa yang baru saja Adnan katakan? Ia terlihat cantik malam ini? Sungguh?

Senyum Arraya sontak merekah. Ia menyentuh pipinya yang terasa panas karena rona-rona merah memenuhi wajahnya. Pujian Adnan barusan berhasil menerbangkan hatinya. Darahnya berdesir, jantungnya berdegup.

"Bibi...." Arraya berbalik, menemukan Bi Ira yang juga sama-sama sedang tersenyum malu sambil menunduk. "Makasih udah bantuin saya malam ini."

"Apa Bibi bilang, Non itu cantik banget malam ini. Liat tuh Den Adnan, mulutnya sampai melongo liat Non Raya. Udah kayak liat bidadari Surga aja."

Raya terkekeh pelan. "Kalau gitu saya pamit ya Bi, assalamu'alaikum."

🥀🥀🥀

Mobil BWM hitam mewah itu berhasil tiba di sebuah hotel bintang lima di salah satu kawasan Jakarta Selatan. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Sebentar lagi acara akan dimulai, dan beruntung Adnan dan Arraya tidak terjebak macet parah di jalan.

Keadaan rupanya masih canggung. Baik Adnan atau Arraya tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun. Adnan terlalu malu saat mengingat kejadian yang tadi. Bagaimana bisa ia menabrak pintu ketika pintu itu benar-benar besar dan berada tepat di depannya? Adnan menghela napas kala mengingatnya.

"Den, kita sudah sampai."

"Ya, saya tahu." ujar Adnan singkat. Ia memberanikan menolehkan kepalanya pada Arraya. Rupanya gadis itu sibuk menunduk sejak tadi dengan kedua tangan terkait di atas pahanya.

Tangan Adnan dengan beraninya terulur menggenggam erat tangan Arraya. "Kita turun sekarang yuk?"

"Aku malu, Mas..." cicit Arraya dengan suara yang sangat pelan namun tetap dapat didengar oleh Adnan.

"Kenapa kamu malu?"

"Malu, takut dandanannya berlebihan dan malah nggak cocok. Takut bikin malu kamu."

"Pak tolong keluar dulu, beri saya waktu dengan istri saya." Sopirnya mengangguk patuh dan segera keluar dari dalam mobil. Membiarkan majikannya memiliki waktu yang diinginkannya.

"Kamu mau tahu sesuatu, Ra?"

"Apa?" tanya Raya dengan wajah masih menunduk.

"Lihat mataku dulu."

Dengan sedikit ragu, Arraya mengikuti perintah Adnan. Ia mengangkat kepalanya dan menatap kedua mata Adnan. Detik berikutnya, matanya membulat saat Adnan mencium bibirnya sekitar 3 detik. Bibir yang sejujurnya sudah membuatnya tidak fokus sejak tadi.

"Mas Adnan ..."

Setelah dicium, Raya malah merasa lebih malu. Kepalanya semakin menunduk tak karuan.

"You're so beautiful tonight, really. Look like so perfect for me, Ra." Adnan menangkup kedua pipi Arraya. "Jadi angkat kepala kamu dan jangan menunduk lagi. Ada aku di samping kamu, malam ini pasti akan berjalan sempurna untuk kita berdua."

Kata-kata Adnan membuat senyum di bibir Arraya kembali merekah. Gadis itu menganggukkan kepalanya. Mereka berdua akhirnya turun dari mobil. Adnan meminta Raya untuk mengaitkan tangannya di lengan besarnya. Adnan ingin semua orang tahu, bahwa perempuan cantik nan menawan di sampingnya itu adalah istrinya, miliknya.

Mata Raya berbinar menatap sekeliling. Rupanya acara malam ini benar-benar berisi orang penting. Seperti pestanya para pejabat. Semua pria memakai tuxedo atau jas, sedangkan yang perempuan memakai dress yang begitu cantik dan indahnya. Tapi sayang, rata-rata perempuan yang datang ke acara itu hanya sedikit yang berkerudung. Pakaiannya terbuka, memamerkan punggung juga kaki tinggi yang putih mulus. Raya khawatir mereka akan kedinginan.

"Kenapa, Ra?"

Arraya menoleh. Ia menatap sepasang mata Adnan, tersenyum sambil menggeleng. "Nggak papa, Mas."

"Adnan?"

Si Bos besar, salah satu anggota Komisaris perusahaan, sekaligus orang tua kandung dari Adnan langsung menemukan keberadaan putranya begitu Adnan semakin masuk ke dalam dan kini berdiri di dekat meja prasmanan bersama Arraya.

Mata tajam Fajar teralih fokus pada kaitan lengan Adnan dan juga Arraya yang begitu dekat hingga terlihat mesra. Apakah yang dilihatnya itu sungguhan? Apakah yang dilihatnya itu hanyalah pencitraan putranya di depan rekan bisnis mereka? Atau karena mereka sudah berbaikan sehingga terlihat mesra malam ini?

"Papa apa kabar?"

Bukan Adnan yang lebih dulu menyapa, melainkan Arraya. Gadis itu melepaskan tangannya dari kaitan lengan Adnan lalu mendekati dan mencium punggung tangan pria paruh baya tersebut dengan sopan.

"Hm, Arraya, saya baik." Fajar bukanlah orang yang pandai berbasa-basi. Tapi sepertinya ia harus mencobanya. "Bagaimana kabarmu?"

"Seperti yang Papa lihat, alhamdulillah kabar saya baik."

"Hm, begitu rupanya. Baguslah.."

"Mama Lidya tidak ikut datang, Pa?"

"Tidak, karena dia sedang menjenguk temannya yang sakit dan dirawat di RS."

Raya menganggukkan kepalanya singkat, sementara mata Fajar bergeser menatap Adnan. "Adnan?" Fajar masih menunggu Adnan mau menyapanya.

"Mas ...." Arraya mengelus punggung Adnan lembut. Menatap suaminya dengan mata teduhnya, meminta Adnan secara makna agar mau menyapa papah kandungnya.

Adnan akhirnya mantap menatap papahnya. "Bagaimana kabar Anda, Pak? Semoga senantiasa sehat, ya?"

Fajar menatap Adnan jengah karena sapaan formal itu. Fajar memilih mengalah. Ia sedang berada di tempat umum. Banyak orang penting yang hadir di sana. Dan tak mungkin jika ia terlibat perdebatan dengan Adnan, lagi, di sana. Untungnya Lidya tak ikut dengannya malam ini, kalau ikut, sudah pasti Adnan akan mendapat ceramah dari ibunya.

Fajar menyentuh bahu Adnan. Meremasnya dengan cukup kuat. Matanya menatap lurus mata Adnan, dan untuk dua detik Adnan melihat senyum tipis yang terukir wajah papahnya.

"Papa bangga sama kamu, Adnan. Terima kasih." Fajar segera berlalu setelah mengatakan kalimat itu.

Harusnya Adnan merasa senang bukan? Itu adalah pujian pertamanya yang ia dengar dari bibir papa kandungnya. Tapi mendengar pujian itu malah membuat perutnya merasa tergelitik. Adnan membuang napas dan mengalihkan pandangannya.

"Mas, kamu baik-baik aja?" Arraya menyentuh tangan Adnan yang entah sejak kapan terkepal dengan begitu erat.

"Aku bahkan nggak tau apa yang keluar dari mulut Papa itu pujian atau sindiran."

"Maksud Papa insyaAllah baik, Mas." Arraya mengusap punggung Adnan lagi. Ia tahu sedikit jika memang hubungan Adnan dan Fajar tidaklah begitu baik. Pantas saja tatapan mereka berdua seolah melambangkan pertempuran sengit.

"Adnan!"

Sang empu nama segera menoleh. Air mukanya langsung berubah 180 derajat. Senyum merekah di bibirnya. "Hi, Austin!" balas Adnan menyeru. Pria tinggi dari negeri Perancis yang memiliki tinggi hampir 190 cm itu langsung menghampiri Adnan dan memeluknya. Beruntung setelah bertemu dengan bos besar, Adnan menemukan teman lamanya. Sehingga ia bisa kembali menyunggingkan senyum dan menikmati acara malam ini.

"Hai bro, what's up?!" Austin memeluk Adnan ala pria, yang tentu dibalas oleh Adnan.

"Greatfull, Austin. Wow, i still don't believe met you in here..."

"Me too! Nice to see you tonight, Adnan." Keduanya tertawa bersamaan. Manik hijau Austin bergerak ke kanan, tepatnya ke arah Arraya yang sejak tadi hanya berdiri diam memperhatikan keduanya.

"Who is she? Your girlfriend?" Mata Austin tak lepas memandangi Arraya, sedangkan Arraya hanya menatap pria itu sekilas dengan senyum tipis.

"No, Austin." Adnan meraih jemari Raya dan meminta gadis itu untuk mendekat. "She's my wife."

Mata hijau Austin melebar. Tak percaya dengan yang baru saja ia dengar dari teman lamanya itu. "Wife? Really? Wow, are you married?"

Adnan mengangguk semangat seraya tertawa melihat ekspresi Austin yang begitu terkejut mendengar kabarnya menikah. Adnan menoleh dan menatap Arraya dari samping. "Sayang kenalin, ini temen lama aku, namanya Austin, dia dari Perancis."

Austin mengulurkan tangannya secara tiba-tiba pada Arraya. "I'm Austin. What is your name?"

Arraya tersenyum sedikit pada Austin. Ia memilih menangkupkan kedua tangannya dibandingkan menjabat balik tangan Austin. "My name is Arraya. Nice to meet you tonight, Austin."

"Huh?" Austin mengerutkan keningnya dalam. Bule itu menatap tangannya yang dingin, tak dijabat Arraya. Sebelum raut wajahnya berubah semakin parah, Adnan segera berbisik pada Austin. Kepala pria bule itu mengangguk-angguk, dengan bibir sibuk membentuk huruf O.

"I feel so sorry, Arraya. I don't know about that." Austin baru mengerti jika dalam Islam, perempuan tidak boleh bersentuhan dengan lelaki yang bukan bagian dari mahramnya.

Senyum Arraya semakin melebar. Tak menyangka jika Austin akan begitu sopan menerima cara seorang muslimah berinteraksi. "Its ok, Austin, pleasure if you could understand me. Thank you so much."

Austin berdecak kagum melihat wajah Raya yang tersenyum padanya. "Oh, Adnan!" Austin menyenggol lengan Adnan, "You know what, your wife is so beautiful. She's smart and has beautiful eyes and smile."

"Yup, she's mine."

Arraya tersenyum malu-malu mendengar pujian Austin yang ditujukan untuknya juga ucapan Adnan yang sederhana namun berkesan untuknya. Arraya jadi merasa sedikit tenang malam ini. Ini barulah awal kegiatannya sebagai istri seorang Adnan. Karena pada saat-saat selanjutnya, Adnan begitu semangat memperkenalkan dirinya di hadapan semua teman juga rekan bisnisnya. Bukan hanya pada Austin, tapi hampir pada setiap orang yang mereka temui. Adnan begitu membanggkan Arraya. Mengatakan jika Arraya adalah istrinya; bahwa Arraya cantik; baik; solehah; dan perempuan yang membuatnya tergila-gila.

🥀🥀🥀🥀🥀

Dikasih yang manis kan???

Mau lagi? Vote dan komen yaaa

Jazakumullah ya Khair

Komentar