05 | Bukan Pernikahan Impian (2)

Surga Dalam Luka

Sepanjang perjalanan tak ada yang membuka suara sedikitpun. Baik Arraya ataupun Adnan, keduanya sama-sama hanya saling diam. Hanya suara deru kendaraan sekitar yang meliputi perjalanan mobil pengantin mereka berdua. Ekspresinya saat ini sangat kontras dengan mimik wajah ekspresi Adnan selama kami menyambut tamu dan keluarga. Wajahnya diliputi binar bahagia. Senyum dan tawa yang terdengar begitu renyah di telinga Arraya. Tak seperti sekarang ini, seakan menatap wajah Arraya saja rasanya Adnan enggan.

Supir pribadi keluarga Adnan berhasil membawa mereka berdua ke dalam rumah pribadi milik Adnan. Di umurnya yang kedua puluh enam, bisa dibilang Adnan sudah cukup sukses. Memang pada dasarnya Adnan berasal dari keluarga yang kaya raya. Saat ini ia bahkan menjadi kandidat terkuat untuk menjadi penerus papahnya di perusahaan sebagai Direktur Utama.

Sejak dulu Arraya tahu, Adnan memang lelaki yang pandai dan pekerja keras. Adnan mampu menyelesaikan skripsinya di semester 7 dan lulus gelar Sarjana dengan mendapat predikat cumlaude. Mencari pengalaman selama setahun setelah lulus kuliah, Adnan kembali melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Indonesia untuk meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi.

Sesampainya di bangunan dengan dominan cat berwarna hitam-putih, Arraya ikut turun dari mobil begitu Adnan sudah keluar dari mobil lebih dahulu. Adnan masih bungkam, tak membuka suaranya sedikitpun pada Arraya. Saat Arraya hendak membuka suara, Adnan sudah lebih dulu meninggalkannya sendiri.

"Non, nggak masuk?"

Arraya menoleh dan mendapati Pak Rudi, supir keluarga Adnan, sedang menatapnya penuh heran.

"Sa ... saya...."

"Arraya, segera masuk ke dalam." Suara lantang Adnan langsung membuat Arraya menoleh cepat ke arah pintu. Setelah memerintahkan Arraya untuk masuk, tak Arraya lihat lagi sosok lelaki yang telah sah menjadi suaminya sekitar 6 jam yang lalu.

Arraya melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah yang masih terlalu asing untuknya. Selama 25 tahun ini, Arraya selalu hidup satu rumah dengan keluarganya dan tak pernah jauh dari kedua orang tuanya.

Rumah Adnan ternyata cukup besar untuk ukuran hanya tinggal bersama 3 orang, dengan pembantu dan satpam. Arraya pernah mendengar secara singkat dari Bima, kakak kandung Adnan. Katanya, rumah itu adalah satu-satunya hal berharga yang Adnan miliki. Walaupun orang tuanya memberikan modal cukup besar untuk rumah tersebut, tapi Adnan juga menghabiskan tabungannya untuk rumahnya ini.

Desain amerika klasik menyelimuti ruang tamunya. Warna hitam putih menghias figura di dinding, disempurnakan dengan tata letak desain perabotan yang membuat rumah tampak minimalis tapi terlihat begitu elegan.

"Kamu bisa taruh barang kamu di kamarku. Tidak perlu disusun rapih, nanti biar asisten rumah tangga yang melakukannya." Adnan membuka lebar pintu kamar miliknya.


"Nggak papa, Kak. Raya bisa merapihkannya sendiri."

"Kalau aku bilang nggak usah dikerjakan, maka jangan dikerjakan. Lebih baik sekarang kamu mandi."

"Ah ... I ... iya." Baru selangkah kakinya maju, Arraya baru teringat akan sesuatu. "Kalau Kak Adnan mau mandi duluan, Raya bisa menunggu nanti. Kak Adnan pasti cape, jadi—"

Adnan menghela napas panjang. Matanya melirik kesal ke arah Raya yang terus saja membantah ucapannya. "Jangan membuatku mengulangi kalimat yang sudah ku katakan, Raya. Aku bisa mandi di kamar mandi lain. Jadi sekarang lebih baik kamu yang mandi duluan."

"Maaf, Kak," ucap Arraya dengan kepala menunduk. Adnan memang bukan lagi Adnan yang Arraya kenal dulu. Melihat mimik wajahnya saat ini, maka yang Arraya ingat dari Adnan adalah kata-kata menyakitkan yang ia lontarkan setelah akad berlangsung tadi.

"Kalau gitu Raya mandi sekarang ya," Raya mengalah dan memilih undur diri dengan cepat dari hadapan Adnan, sebelum amarahnya kembali meluap lagi nantinya. Pernikahan bahkan belum berlangsung selama 24 jam, tapi hawa dingin begitu menyelimuti suasana mereka berdua.

Selepas membersihkan diri dan berganti dengan pakaian tidur, Arraya menatap wajahnya yang berada di cermin meja rias. Arraya masih merasa jadi orang jahat. Jahat pada Luthfi, juga merasa jahat pada tunangan Adnan yang terpaksa ditinggalkan Adnan karena harus menikahi dirinya.

Ah, tapi semuanya telah terjadi. Kini, Arraya harus menghadapi semuanya dan berfokus untuk menjadi seorang istri. Bagaimanapun, kini sudah ada lelaki yang harus ia layani dania taati sebagai seorang suami.

Menyadari jika ini adalah malam pertamanya dengan Adnan membuat jantungnya terus berdebar. Arraya kembali menatap pantulan wajahnya dari dalam cermin. Wajahnya sudah semerah tomat sekarang. Arraya bahkan baru sadar, kalau kamar tidur Adnan memiliki aroma tersendiri. Seperti aroma malam pengantin.

"Arraya?"

Arraya sontak berdiri karena kaget. Dengan gelagapan ia mencari kerudung hitam tapi tak juga menemukannya. Akhirnya Arraya menyerah, ia hanya berani menatap lantai marmer kamar dengan kepala tanpa hijab. Rambut panjang hitamnya ia biarkan tergerai, menjuntai hingga perut.

"Ya ... ya, Kak?"

Hening. Arraya tak mendengar Adnan melanjutkan kalimatnya. Tapi saat ia mendongakkan kepala, ia malah melihat Adnan sedang memperhatikannya dengan pandangan yang lekat.

"Kenapa, Kak?" tanyanya sekali lagi. Arraya meremas ujung baju tidurnya karena tak kuasa menahan debaran jantung yang semakin menggebu hebat.

"Tidak jadi," jawaban yang singkat. Tidak seperti kepalanya Arraya yang justru memikirkan hal aneh-aneh.

Sesekali Arraya melirik Adnan yang kini sedang menyibukkan diri dengan menata beberapa buku miliknya di lemarinya. Mereka berdua belum banyak bicara dan mengobrol.

Hal yang katanya ingin dibicarakan oleh Adnan pun, sampai sekarang belum terlaksana. Adnan selalu tutup mulut, maka Arraya pun begitu. Rasanya begitu canggung untuk membuka percakapan pada Adnan. Padahal dulu semasa kuliah, Arraya yang paling suka mengajak Adnan bicara lebih dulu. Arraya suka caranya Adnan berbicara. Arraya suka caranya Adnan menyampaikan pendapat dan memberikan saran. Arraya suka caranya Adnan tersenyum, dan ia juga suka jika Adnan tertawa.

"Aku mau pergi," ucapnya setelah beberapa menit hanya berdiam.

Arraya gantian menatap ke arah mata Adnan, sementara Adnan malah menundukkan matanya. Detik berikutnya Adnan kembali mengangkat pandangannya. Tatapan matanya datar. Tak ada sorot kasih yang terpancar dalam matanya saat menatap Arraya.

Arraya jadi berpikir, sebagai apa Adnan memandangnya saat ini?

"Kakak mau ke mana?"

Arraya bahkan menyadari jika Adnan tidak memakai piyama tidur, melainkan kemeja dan juga celana hitam. Dilihat dari pakaiannya saat ini, tentu tidak mungkin jika ia ingin beranjak tidur.

"Rumah sakit," jawabnya singkat.

"Kak Adnan sakit? Mau Raya siapkan obat?" tanya Arraya yang jadi mengkhawatirkan keadaan Adnan.

"Aku baik, nggak lagi sakit."

"Lalu?" tanyanya lagi dengan hati-hati.

"Kamu nggak perlu tau. Jika jam 10 aku belum pulang, kunci semua pintu dan tidurlah di kamar. Jangan menungguku pulang."

Setelah mengatakan kalimatnya, Adnan langsung berbalik badan. Pergi keluar kamar tanpa memberikan kesempatan pada Arraya yang ingin mencium punggung tangannya dan mengucapkan salam.

Oh Allah, apakah ini awal dari ujian yang akan Kau berikan pada hamba?

鹿鹿鹿

Helaan napas panjang dan berat keluar dari lubang hidung Adnan. Ia memijit pelipisnya yang terasa begitu berat. Malam pertama pernikahannya dengan Raya, ia malah pergi meninggalkan gadis itu seorang diri. Ia memilih mengunjungi tunangannya yang saat ini terbaring lemah di rumah sakit dengan banyaknya alat bantu yang menancap di tubuhnya.

Kini Adnan merasa menjadi lelaki yang jahat. Tapi mau bagaimana lagi, hatinya pun tak kuasa menjalani semua ini. Ia mencintai perempuan lain, tapi ia dipaksa harus menikahi perempuan yang lainnya.

"Den Adnan!" ketukan dan suara dari luar membuat Adnan refleks menoleh dan mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Den Adnan ngapain di sini?"

Lagi, Adnan menghela napas panjang. Ia akhirnya keluar dan menyerahkan kunci mobilnya pada Pak Rudi. "Tolong bawa masuk mobil saya, Pak." Adnan melangkah perlahan menuju pintu rumahnya. Kini ia sudah tak lagi seorang diri di dalam rumah itu. Ada seorang perempuan yang kini menyandang gelar sebagai istri sahnya. Sah menurut agama dan hukum Indonesia.

Bertepatan saat Adnan ingin membuka pintu rumahnya, seseorang dari dalam sudah lebih dulu membukakan pintu dengan lebar. Pupil mata Adnan sedikit melebar saat melihat gadisnya berada di hadapannya.

"Akhirnya Kak Adnan pul—" kalimat Raya tak sempat terselesaikan begitu Adnan menghujamnya dengan pertanyaan.

"Kenapa kamu di sini? Kenapa kamu belum tidur? Bukankah sudah kukatakan, jika sampai jam 10 aku belum pulang maka jangan menunggu dan tidurlah lebih dulu."

"Raya nggak bisa tidur, Kak," cerita Raya dengan jujur. "Raya juga khawatir sama Kakak. Raya takut terjadi apa-apa sama Kak Adnan."

Alih-alih menjawab, Adnan justru ngacir ke lantai atas dengan meninggalkan suara decakan kesal. Membuat Raya jadi merasa serba salah. Apa yang ia katakan dan lakukan seolah selalu salah dimata Adnan. Padahal, Raya memang belum bisa tidur. Selain ia khawatir pada Adnan, Raya juga merasa takut dan belum terbiasa tinggal di rumah Adnan. Sehingga untuk tidur seorang diri, sedikit menyulitkan untuknya.

Adnan masuk ke dalam kamar. Mengambil satu stel piyamanya dan kembali keluar. Saat itulah langkahnya terhenti karena Raya sudah ada di depannya.

"Kak Adnan mau ke mana?" tanya Raya dengan mata menatap piyama di tangan Adnan.

"Ganti baju, Raya."

"Terus baju itu mau Kakak bawa ke mana?"

"Kamar sebelah."

"Kamar sebelah? Kalau Kakak mau ganti baju, Raya bisa keluar dulu kok. Jadi Kak Adnan nggak perlu ke kamar sebelah hanya untuk ganti baju."

"Apa kamu akan selalu banyak bicara dan bertanya seperti ini?"

"Ma ... maaf, Kak."

Adnan mengusap wajah frustasi. "Apa kamu masih belum mengerti juga? Aku ke kamar sebelah untuk ganti baju sekaligus tidur, Raya! Memangnya apa yang kamu harapkan malam ini? Berharap aku akan tidur satu ranjang denganmu malam ini?"

Raya menatap bingung Adnan. Apa maksud pertanyaannya itu? Bukankah sudah sewajarnya jika pasangan suami istri tidur di satu ranjang yang sama?

"Maksud Kak Adnan, apa?" tanya Raya dengan hati-hati. Ia tak ingin jika Adnan sampai bicara dengan nada tinggi dan membentak.

"Pernikahan kita ini bukan berdasarkan rasa cinta. Jika kamu berpikir kita akan tidur bersama dalam satu kamar, kamu salah. Aku tidak bisa tidur sekamar denganmu, sedangkan kepalaku sibuk memikirkan perempuan lain."

Jika tadi jantung Raya berdetak cepat karena gugup, kini jantungnya semakin berdetak cepat karena merasa takut. Takut dengan tatapan Adnan, takut dengan setiap lontaran kata yang meluncur dari mulut suaminya itu.

Mendengar semua ungkapan kepala Adnan, membuat kepala Raya sontak menunduk lesu. Gadis itu meremas bajunya, menahan air mata agar tak meleleh. "Iya, Kak. Raya paham."

"Hubungan suami-istri di antara kita hanyalah status. Sedangkan hubungan yang sebenarnya di antara kita saat ini tidaklah sampai pada tahap itu."

Besit kecewa mulai memenuhi hati Raya. Tak disangka jika Adnan akan mengatakan hal seperti itu padanya. Padanya yang kini sah menyandang status sebagai istrinya.

Raya terus mendengar Adnan menghela napas panjang. Seakan bersamanya memanglah hal dan keputusan yang berat.

"Minggu depan kita akan pergi untuk ketemu dengan kakek dan kedua orang tuaku. Bersiaplah, dan tolong bersikap seakan kita baik-baik saja. Aku dan kamu harus tahu batas. Walaupun kita tidak saling cinta tapi kita harus perlihatkan pada mereka bahwa kita saling mencintai. Setidaknya biarkan mereka percaya jika aku memang berusaha mencintai kamu, walau aku sama sekali tidak mengharapkan itu terjadi."

Arraya mendengarnya dengan tenggorokan yang terasa kering dan tertohok. Bagaimana bisa Adnan berkata seperti itu padanya?

"Satu lagi, berhenti panggil aku dengan sebutan Kakak. Aku bukan kakakmu."

"Terus Raya harus panggil Kakak apa?"

Adnan berpikir sejenak. "Mas. Panggil aku Mas. Kita sama-sama orang jawa, jadi panggil aku Mas mulai besok. Tidak mungkin jika besok kamu masih panggil aku Kakak, di depan Kakek juga Mama Papa."

Raya hanya bisa menurut dengan kepala menunduk. Hingga Adnan telah keluar dari dalam kamar, gadis itu baru sanggup menggerakkan kakinya dan duduk segera di tepi kasur.

Raya terus beristighfar sambil menepuk pelan dadanya yang terasa sesak dan pengap. Ruangan ber-ac seakan tak mampu memberikan rasa tenang dan dingin untuk dirinya yang saat ini merasa panas karena semua lontaran kata dari mulut Adnan.

Bagaimana bisa seorang suami berkata seperti itu pada seorang wanita yang bahkan belum 24 jam menjadi istrinya?


Cek for typo ya syayang ❤

Jangan lupa vote, komen, share ya syayang❤

Jazakumullah ya Khair

Buat yang udah pernah baca, nggak baca lagi juga gapapa. Silahkan.

Ini saya publish ulang untuk yang belum baca, tapi kalau ada yang mau baca lagi juga silahkan, nggak dilarang :)

Tamat : 17 Mei 2020

Revisi : 15 Juni 2020

Komentar