23 | Di Atas Ranjang Yang Sama

🥀Surga Dalam Luka🥀

Arraya duduk di tepi ranjang sambil memeriksa pakaiannya. Ia sudah mandi dan mengganti baju tidurnya dengan yang baru beserta kerudung berwarna biru muda.

Matanya menerawang ke depan. Ia terus memikirkan saat ia dan Adnan berbaikan di bawah derasnya hujan. Kenangan yang begitu manis untuk diingat. Bibirnya melengkung tanpa sadar. Ia masih ingat jelas bagaimana tatapan Adnan yang begitu dalam menatapnya, dan hangatnya pelukan Adnan. Rasanya masih tak percaya.

"Ra?"

Suara bariton Adnan yang menyapu pendengarannya membuat Raya menoleh refleks.

"Astaghfirullah!" pekik Raya dengan langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia juga menutup kedua matanya yang baru saja melihat pemandangan menakjubkan tetapi juga membuatnya malu setengah mati.

Adnan berdiri tepat di depan pintu toilet dengan hanya mengenakan handuk putih yang melilit bagian bawah tubuhnya. Sedangkan tubuh atasnya terbuka dan masih menyisakan tetesan air yang mampu tertangkap jelas oleh mata Raya. Raya bahkan masih melihat jelas bagaimana bugarnya tubuh Adnan.

Adnan menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena reaksi Raya. "Maaf, Ra, tapi aku bingung harus ganti pakai baju apa." Adnan mengatakannya dengan kelewat polos. Saat selesai mandi ia baru sadar jika ia tidak membawa baju ganti.

Arraya membuka wajahnya. Ia baru ingat jika tadi papanya memberikan satu stel pakaian tidur untuk Adnan gunakan. Dan pakaian Adnan ada di dalam pelukannya sejak tadi.

"Ini baju yang dikasih Pap—" Arraya mendadak menggantungkan kalimatnya. Ia jadi tidak fokus dan malah semakin gugup sendiri melihat Adnan yang top less. Gadis itu segera mengalihkan pandangan untuk membuang rona-rona tipis di wajahnya.

"Maaf Mas, Raya lupa." Raya menunduk sambil menyodorkan pakaian untuk Adnan kenakan.

"Nggak papa, makasih ya. Oh, ya, Ra, tidak perlu lagi mengalihkan pandangan kamu jika melihatku telanjang dada seperti ini. Aku kan suamimu, jadi halal untuk kamu lihat." Adnan memberikan senyum tipisnya pada Raya yang diam-diam malu menatapnya.

Selama Adnan memakai baju di dalam toilet, Raya menunggu di tempat semula. Ia duduk di tepi ranjang seperti tadi. Ia menyentuh kedua pipinya yang terasa panas. Bekas rona merah rupanya masih tersisa di kedua pipinya. Entahlah, rasanya kamarnya jadi tipis oksigen. Raya merasa kesulitan bernapas.

"Kamu belum tidur juga rupanya," gumam Adnan setelah ia keluar dari toilet dan menutup pintunya.

Arraya sontak berdiri dan menggeleng. "Mas bisa tidur di kamarku malam ini, biar aku yang tidur di ruang tamu."

Adnan mengerutkan keningnya bingung. "Kenapa harus kamu tidur di ruang tamu?"

Arraya berpikir sejenak kemudian menjawab, "Kalau Mas nggak nyaman di kamarku, Mas boleh tidur di kamar tamu kok. Kamarnya tadi sudah Raya bersihkan saat Mas mandi."

"Apa tidak boleh jika kita tidur satu kamar?"

"Apa Mas bilang?" tanya Raya ragu. 

"Kasur kamu kan besar," Adnan melirik ke arah ranjang milik Raya. "Sangat cukup untuk kita tidur berdua satu ranjang."

"Ap... Apa?" Raya merasa dirinya bermimpi.

Adnan dan Arraya saling bertukar pandangan. Keduanya saling menatap untuk beberapa saat. Setelah sadar pikiran yang tiba-tiba melintas tanpa diduga, keduanya kompak memutuskan kontak mata.

"Ekhm!!" Adnan berdeham keras. Ia menampar pelan pipinya untuk menyadarkan diri. "Lebih baik kita tidur sekarang. Sudah malam," Adnan bergerak cepat dan langsung mematikan lampur kamar Raya secara tiba-tiba.

Adnan mendengar Raya yang memekik pelan. "Mas, Raya nggak bisa lihat! Terlalu gelap." Raya merasa harus menyesuaikan matanya dalam keadaan gelap yang tiba-tiba menyelimuti. Meski awalnya merasa panik, Raya mulai merasa tenang saat ada sebuah tangan yang menyentuh lengannya.

Tangan itu menuntunnya naik ke atas ranjang. Saat ada sebuah tangan lain yang menyalakan lampu tidur di atas nakasnya, Raya mulai bisa menghela napas lega.

Adnan tersenyum melihat ekspresi Raya. "Aku baru tau kalau kamu ternyata takut gelap."

Raya menoleh, menemukan Adnan yang duduk di sampingnya dan menatap dirinya dari balik cahaya temaram lampu tidur. "Bukannya takut, tapi kalau kayak tadi terlalu gelap, Mas."

"Sama saja. Itu namanya kamu takut gelap."

"Nggak, Mas. Harusnya Mas nyalakan lampu tidur yang ada di atas meja sana."

Adnan terkekeh pelan. Membuat Raya yang pertama kali menyaksikan tawa Adnan jadi termangu. Akhirnya, untuk pertama kalinya ia bisa melihat Adnan tersenyum kembali bahkan tertawa walaupun hanya sebentar.

"Iya, kamu tidak penakut. Tapi kamu sedikit penakut," ucap Adnan yang masih ingin meledek Arraya. 

"Iya, terserah Mas saja." Raya membaringkan tubuhnya. Awalnya ia tidur terlentang, tapi saat ia kembali sadar jika Adnan tidur di sampingnya malam ini, Raya langsung merubah posisinya menjadi miring membelakangi Adnan. 

Arraya mencoba memejamkan matanya. Lama ia mencoba untuk terlelap tapi ia tak kunjung menemukan rasa kantuknya. Raya juga tak lagi mendengar suara Adnan. Mungkin lelaki itu sudah tertidur, pikir Raya.

Raya menolehkan kepalanya perlahan disusul dengan tubuhnya. Penasaran sekaligus ingin memastikan jika Adnan memang benar-benar sudah tertidur.

Tapi perkiraannya salah. Adnan belumlah tertidur. Lelaki itu masih terjaga. Bahkan tubuh Adnan dalam posisi miring dan menghadap menatap punggung Raya sejak tadi.

Arraya diam di posisinya. Mata Adnan seolah mengunci matanya agar tidak menatap ke arah lain selain mata tajamnya. Ia dan Adnan kini hanya berjarak sekitar 30 cm. Keduanya sudah tertutup selimut putih sebatas pinggang mereka masing-masing

"Apa kamu marah?"

Arraya diam dengan hanya menatap kedua mata Adnan yang seolah mengkilap karena cahaya lampu tidur yang memantul.

"Aku cuma bercanda tadi, Ra," lanjut Adnan yang masih khawatir jika Arraya marah padanya.

Arraya menggeleng. "Aku nggak marah sama Mas. Aku tau maksud Mas hanya bercanda."

Adnan tersenyum kecil, puas mendengar jawaban Arraya. Keduanya kembali terdiam untuk beberapa saat. Hanya tatapanlah yang bermain di antara keduanya.

Arraya merasa matanya berat. Ia mulai mengantuk. Menatap kedua mata Adnan dengan lekat dan tenang membuatnya ingin tertidur. Arraya membuka tutup matanya dengan gerakan yang lebih lambat. Gadis itu memang benar-benar mengantuk.

Saat mata Arraya tertutup dengan sempurna, Adnan tersenyum melihatnya. Kini akhirnya ia bisa melihat wajah istrinya dari jarak yang begitu dekat. Terlalu banyak rasa yang tak dapat dijabarkan oleh Adnan. Yang pasti satu rasa dominan, yaitu bersyukur. Ia bersyukur mamu rujuk dengan Arraya. Dan ia sangat bersyukur karena pernikahannya dengan Arraya bisa ia selamatkan di saat-saat terakhir.

Adnan mendekati Arraya dengan perlahan, berusaha tak menimbulkan suara. Tangannya naik ke atas pinggang Arraya. Ia mendorong pelan kepala Raya agar menempel di dadanya. Ia juga membenarkan letak selimut hingga menutupi lagi bagian atas tubuh mereka.

Adnan ikut memejamkan matanya. Ia mengecup kening Arraya dengan lembut tanpa sepengetahuan gadis itu. Adnan bahkan bisa mencium jelas aroma stroberi dari rambut Raya yang sudah terlepas dari hijab.

"Maafin aku, Ra..."

Rasa bersalah tak pernah bisa ia hilangkan dari dirinya. Seberapa banyak ia menyakiti gadis itu, bicara kasar, dan melakukan banyak hal lainnya yang membuat Raya tersakiti

"Maafin aku..."

Adnan memeluk erat tubuh Arraya di dalam dekapannya. Ia terus mengulang kata maaf itu berkali-kali hingga dirinya pun ikut terlelap karena lelah. Ia berharap esok mentari akan bersinar cerah membawa cintanya kembali.

🥀🥀🥀

⚠️ Semua tokoh yang ada di cerita ini adalah tokoh fiksi yang segala bentuk karakternya dibuat untuk mendukung jalannya cerita. Tidak ada manusia sempurna, yg ada hanya manusia yg mencoba untuk menjadi lebih baik ⚠️

Last, tidak ada perubahan alur dalam revisi cerita, karena perubahan besar alur cerita dan perbaikan karakter tokoh hanya akan dilakukan di versi Novel.

❤ Jazakumullah ya Khair ❤

Komentar