28 | Ketakutan yang Sama

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Arraya memasuki lobi kantornya dengan gerakan terburu-buru dan gusar. Kepalanya yang terus saja memikirikan hal yang tidak-tidak, membuat Raya hampir tersandung langkah kakinya sendiri.

Gadis itu memencet tombol lift dengan tak sabaran. Ia ingin sampai di kubikelnya. Kembali bekerja dan melupakan perihal foto perempuan lain di dompet suaminya. Raya sadar, harusnya ia bisa sedikit tahu diri. Harusnya ia bisa sadar posisinya sekarang.

"Kamu telah mengambil lelaki dari perempuan koma yang tidak tau apa-apa, Ra. Bagaimana jika nanti dia terbangun lalu meminta Mas Adnan kembali ke sisinya?"

Air mata tak dapat ia tahan lagi. Cairan bening itu terjatuh tanpa bisa ia cegah begitu kepalanya semakin menjadi memikirkan hal buruk yang mungkin saja menimpa rumahtangganya.

Awalnya Raya tak terlalu memikirikannya. Tapi kini kepalanya baru menyadari sesuatu buruk yang kemungkinan besar akan terjadi. Bagaimanapun, Adnan bukanlah lelaki single tanp4a pasangan saat menikah dengannya. Adnan memiliki seorang perempuan yang sudah lebih dulu bertahta di dalam hati lelaki iti. Dan, Arraya, Raya hanyalah pemeran pengganti di hati Adnan. Menggantikan posisi perempuan itu dan akhirnya menikah dengan Adnan.

"Bukankah orang baru sampai kapanpun tak akan pernah bisa menggantikan orang lama yang sudah terlanjur jauh ada di dalam hati?"

Arraya menyesal. Kenapa baru sekarang ia memikirkan semua kemungkinan itu? Kenapa baru sekarang ia merasa takut jika suatu saat sesuatu yang ia takutkan pada akhirnya akan terjadi?

Bertanya langsung pada Adnan? Arraya terlalu takut untuk melakukannya. Ia takut, jika yang meluncur dari bibir suaminya bukanlah yang ia harapkan melainkan suatu hal yang ia takutkan.

Raya segera menghapus seluruh air matanya saat tanda panah di pintu lift menunjukkan pergerakan turun ke lantai 1. Ia tidak mungkin menangis di hadapan orang-orang yang mungkin saja akan keluar dari lift itu sebentar lagi. Arraya memasang kepalanya tertunduk dalam-dalam. Begitu pintu lift terbuka dan tidak melihat ada sepasang kaki yang keluar ia langsung berniat menjajakkan kakinya masuk. Namun baru selangkah Raya maju ke depan, ia merasakan bahunya menabrak tubuh seseorang dari dalam sehingga kakinya refleks mundur lagi ke belakang dan tak jadi masuk ke dalam lift yang akhirnya segera tertutup.

"Maaf..." Arraya menundukkan kepalanya karena merasa bersalah tidak melihat orang yang ingin keluar dari lift.

"Arraya?"

Arraya langsung mengangkat kepalanya. "Pak Muaz?" ia menatap Muaz bingung sebentar, lalu kembali menundukkan kepalanya. Jangan sampai Muaz tahu jika ia habis menangis. Jangan sampai Muaz melontarkan sebuah pertanyaan yang mencurigainya.

"Maaf Pak, saya tidak sengaja."

Muaz memperhatikan Arraya dengan seksama. Walaupun hanya sepersekian detik ia perhatikan, Muaz tak bodoh untuk tak menyadari perubahan raut wajah Arraya. Begitu terlihat kontras dengan wajah Arraya yang pagi tadi ia perhatikan. Penuh senyum dan aura bahagia. Kini sebaliknya, pandangannya terlihat gusar dan sembab seperti habis menangis.

"Ra..." panggilan tenang itu kembali membuat Raya mengangkat kepalanya. Bola matanya tertangkap dalam manik mata pekat milik Muaz.

"Apa kamu habis menangis?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya sebelum otaknya memberikan persetujuan. Muaz tahu seharusnya ia tidak bertanya to the point seperti itu pada Arraya, tapi sudah terlanjur. Antara bibir dan otaknya, keduanya sedang sulit diajak bekerja sama.

Raya sontak menutupi kedua pipinya. "Tidak, Pak."

"Kamu sungguh baik-baik saja?"

Raya mengangguk ragu. "Ya, Pak. Saya tidak apa-apa. Saya baik-baik saja."

"Tapi wajah kamu—" kalimat Muaz terpotong begitu Raya mengatakan, "Maaf, saya permisi dulu, Pak."

Muaz hanya bisa memandangi kepergian Arraya yang menghilang masuk ke dalam lift. Jelas-jelas ia bisa melihat ada bekas air mata di wajah Arraya. Jelas-jelas Raya sedang terlihat tidak baik-baik saja. Dan kembali untuk kali ini, ia tak memiliki hak apapun untuk mendekat. Ia bukanlah siapa-siapa, dan mungkin, sampai kapanpun memang tak akan pernah menjadi siapa-siapa untuk Arraya.

🥀🥀🥀

Adnan mengerutkan keningnya bingung saat telepon kesebelasnya hari ini tidak ditanggapi oleh sang istri. Kebingungannya mulai terjadi saat ia terbangun dari tidurnya siang tadi dan ia sudah tidak menemukan ada Arraya di sampingnya. Gadis itu pergi dan tanpa memberikan kabar apapun padanya.

Adnan mendesah panjang, mendadak ia khawatir mengenai kemungkinan buruk yang sedang terjadi pada Arraya karena gadis itu tak mengabarinya sama sekali. Jika meetingnya kali ini bisa ia selesaikan dengan segera, sudah pasti Adnan akan langsung bertolak menuju rumah pribadinya.

"Nan, lo kenapa?"

Adnan sontak menoleh. Mendapati Rangga yang menatapnya sedikit khawatir. Adnan mengulas senyum tipis seraya menggeleng kecil. "Oke kok, nggak papa."

"Sure?" Rangga mencoba memastikannya sekali lagi.

"Yap," jawabnya singkat.

"Oke, so bisa kita fokus dulu? Main hapenya nanti lagi. Ini meeting penting untuk pembahasan kesepakatan besar kita bareng William cs."

Adnan meringis pelan. Rupanya Rangga memperhatikan dirinya yang sejak tadi selalu memegang ponsel. "Oke, sorry." Adnan langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku jasnya.

Rangga mengangguk sambil menepuk bahu Adnan dua kali. Untuk memfokuskan pikirannya lagi dalam meeting, jujur terasa berat untuk Adnan. Ia sudah terlanjur sangat mengkhawatirkan Arraya. Ia sendiri bahkan masih tak percaya, jika cintanya untuk gadis itu akan secepat ini berkembang.

Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam lebih 10 menit. Meeting baru saja selesai. Karena peserta meeting termasuk Adnan tak ada yang memiliki jadwal kosong saat sore, sehingga mereka baru bisa mengagendakan meeting pada jam 7 malam.

"Kalau Mas pulang kerja malam, akan lebih baik jika Mas Adnan sudah solat isya sebelum pulang ke rumah. Bahkan Allah akan lebih menyukai jika Mas Adnan solat berjamaah di masjid atau solat di awal waktu."

Ingat akan pesan istrinya, juga karena ingat ia belum melakasanakan solat isya, Adnan menyempatkan diri untuk berwudhu dan melaksanakan solat di ruang kerjanya.

Di waktu yang sama, seorang pria paruh baya juga ikut keluar dari ruangannya dan hendak menuju ruang kerja Adnan. Ia adalah Fajar, papah kandung Adnan yang saat ini sudah menjabat sebagai anggota komisaris berdasarkan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).

"Di mana Adnan?" pertanyaan inti itu langsung diajukan oleh Fajar begitu ia sampai di depan ruang kerja Adnan. Sekretaris Adnan, Warna, segera berdiri dan mengatakan bahwa Adnan sedang ada di dalam.

"Kenapa dia belum pulang?"

"Tadi Pak Adnan baru selesai meeting, Pak."

Fajar mengangguk singkat lalu langsung masuk ke dalam ruangan Adnan tanpa mengetuk terlebih dahulu. Pupil matanya yang ada di balik kacamata melebar saat melihat putra bungsunya sedang melaksanakan solat isya. Untuk pertama kalinya, ia melihat pemandangan langka seperti itu.

Ada sesuatu yang bergetar di dadanya. Fajar memutuskan untuk duduk di sofa tanpa berniat membuat suara yang akan mengganggu kekhusyukan solat Adnan.

Sepasang mata tajamnya yang terlihat jelas keriput di sekitar sudutnya terlihat sedikit menyipit. Tersenyum tipis melihat putranya. Ada buncahan rasa syukur yang memenuhi relungnya.

"Sejak kapan Bapak duduk di sana?"

Pertanyaan itu sontak membuat Fajar mengerjapkan matanya. Sejak kapan Adnan selesai solat? Sejak kapan Adnan sudah menatapnya dingin seperti ini? Apakah sejak tadi ia melamun? Dan kalau melamun berapa lama?

"Ini sudah lewat dari jam kerja, kamu bisa panggil Papa tanpa panggilan formal."

Adnan melipat sajadahnya, memperlihatkan tak tertariknya ia dengan kehadiran sang papa. Ia bahkan tak ingin lagi menanyakan tujuan si bos besar itu ada di ruangannya.

"Apa pekerjaan kamu itu selalu menumpuk di meja seperti itu?" hanya kalimat itu yang bisa Fajar pikirkan. Ia bukanlah orang yang bisa basa-basi, terutama jika berhadapan dengan Adnan.

Adnan menghela napas panjang. Ia duduk di kursi kerjanya dan menatap Fajar dengan tatapan dinginnya. Padahal semua berkas yang menumpuk di mejanya itu sudah setengah ia selesaikan hari ini.

"Aku cape, Pa, mau langsung pulang. Nggak ada waktu kalau Papa ngajakin aku debat sekarang."

"Siapa yang ngajakin kamu berdebat? Apa bertanya saja tidak boleh?"

Adnan memilih diam tak menjawab. Lebih baik ia membereskan semua barang-barangnya agar bisa sesegera mungkin juga tak bertemu dengan papahnya dan pulang ke rumah untuk bertemu dengan Arraya.

Fajar terlihat berpikir. Kalimat apa yang selanjutnya harus ia ucapkan atau tanyakan pada putranya? Bagaimana caranya membuat percakapan yang baik sebagai ayah dan anak? Ia bingung, tak tahu harus bagaimana. Ia juga tak mengerti, kenapa hubungannya dengan Adnan tak pernah ada baiknya. Selalu bermula dengan tatapan dingin dan akhirnya berujung pada perdebatan. Selalu seperti itu.

"Sudah makan malam?"

Sudut bibir Adnan tertarik. Pertanyaan papahnya sungguh menggelitik telinganya. "Apa inti kedatangan Papa ke sini?"

"Jangan menjawab pertanyaan dengan sebuah pertanyaan yang lain, Adnan. Papa sedang bertanya pada kamu."

"Tidak perlu bertanya hal itu. Aneh rasanya."

Fajar berdeham pelan. Ia jadi berpikir, memang seberapa anehnya seorang ayah bertanya pada anaknya tentang hal tersebut? Apakah itu buruk? Apakah itu tidak pantas?

"Biasanya juga tidak pernah bertanya. Jadi tidak perlu memaksakan diri sendiri," ujar Adnan yang masih enggan menatap papahnya.

Fajar mendesah, sepertinya memang sulit mencoba memperbaiki sesuatu yang sudah terlanjur retak sejak awal. "Beristirahatlah di minggu ketiga bulan ini."

Adnan langsung berhenti dari kegiatannya memasukkan laptop di tas saat mendengar kalimat papahnya. Adnan menoleh dan menatap kedua manik papahnya lurus. "Kenapa? Apa Papa sudah memiliki penerus pengganti yang lebih kompeten?"

"Apa kamu akan selalu suudzon seperti ini?"

"Jangan menjawab pertanyaan dengan sebuah pertanyaan lain. Belum ada lima menit yang lalu Papa mengatakan hal itu. Apa sekarang sudah lupa?"

Fajar menghela napas frustasi. Apakah selalu sesulit ini hanya untuk bercakap dengan anak kandungnya? "Sejak awal penerus Papa, ya kamu. Kenapa harus bertanya hal seperti itu?"

"Hanya ingin memastikan. Biar aku bisa menyiapkan diri untuk mencari pekerjaan baru," kata Adnan yang kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Ini juga sudah memasuki minggu pertama, dan Adnan tidak mengerti maksud permintaan papahnya.

"Tidak perlu memastikan hal yang sudah pasti." Ujar Fajar dengan nada dingin.

"Aku sudah selesai." Adnan beranjak berdiri tiba-tiba. Ia juga sudah menenteng tas di tangannya. "Kalau Papa masih mau di sini, silakan, tapi aku mau pulang."

"Papah bahkan belum bicara apa yang mau Papa sampaikan sama kamu."

"Makanya, harusnya sejak awal Papa tidak perlu repot basa-basi. Sampaikan saja apa yang memang mau Papa sampaikan."

Fajar berdecak. "Kamu ini, apakah tidak bisa mengubah tatapan kamu itu ketika bicara dengan Papa?"

"Katakan apa yang ingin Papa katakan, atau aku pergi sekarang?" tanya Adnan dengan gemas.

Fajar menghela napas panjang. Tidak bisakah Adnan mengerti, basa basinya itu hanya Fajar untuk memperpanjang percakapan mereka berdua? Itu hanyalah alibi yang Adam lakukan agar ia bisa lama menatap putra bungsunya.

"Beristirahatlah bersama Arraya di minggu ketiga bulan ini, Adnan." Fajar mengeluarkan dua buah kertas yang bisa Adnan prediksi adalah sebuah tiket. "Pesawat, hotel, dan yang lainnya sudah Papa urus. Kamu dan Arraya hanya tinggal pergi ke sana."

"Maksudnya?"

"Sejak menikah dengan Arraya, kamu belum pernah sehari pun ambil cuti. Jadi minggu ketiga bulan ini, gunakanlah hak cutimu untuk berbulan madu bersama Arraya. Papa juga sudah siapkan pengganti yang akan menggantikan kamu selama kamu cuti."

"Untuk apa Papa lakuin ini?"

"Papa sudah dengar secara singkat dari orang tua Arraya. Kamu ini, kenapa tidak pernah mau cerita jika ada masalah? Bahkan kamu juga tidak mau memberitahu Mamah."

Adnan mendengus, malas mendengarnya. Diceritakan pun untuk apa? Tak akan ada gunanya.

"Cuma ini yang bisa Papa berikan untuk Arraya. Bagaimanapun, yang kamu lakukan semuanya karena campur tangan Papa di awal. Jadi, bahagiakan istrimu dan pergilah berbulan madu."

"Baguslah kalau Papa mengerti jika semua masalah ini berawal dari Papa."

Fajar memilih bangkit berdiri, tanpa membalas sindiran putranya barusan. Ia merapihkan jasnya, menatap Adnan dengan lekat dari posisinya. "Papa tidak menerima penolakan, Adnan. Kamu dan Arraya harus pergi sesuai jadwal yang sudah diatur. Papa pergi, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Adnan menatap dua lembar tiket yang Fajar letakkan di atas meja. "Bilang saja kalau Papa merasa bersalah," gumamnya yang kemudian ikut berlalu pergi tanpa berniat mengambil kedua tiket pemberian papanya tersebut.

🥀🥀🥀

Adnan keluar dari mobilnya begitu keempat roda berhenti sempurna di depan rumah pribadinya. Salamnya saat membuka pintu hanya disambut oleh Bi Ira. Tumben, tidak biasanya hanya ada Bi Ira seorang. Karena yang biasanya, selalu ada Arraya yang ikut menyambutnya setiap ia pulang bekerja. Gadis itu akan tersenyum lebar sambil menghampirinya.

Adnan mengetuk pintu kamarnya dengan perlahan. "Assalamu'alaikum!"

Saat pintu kamarnya terbuka lebar, rupanya tak ada siapapun di kamarnya. Tapi saat ia mendengar suara keran air dari dalam kamar mandi, ia akhirnya bisa bernapas lega. Rupanya Arraya sedang berada di kamar mandi.

"Arraya!" Adnan mengetuk pintu kamar mandinya dan menyerukan nama istrinya.

Arraya yang berada di kamar mandi sedikit terlonjak kaget saat mendengar suara Adnan yang berada di luar kamar mandi. "I...iya, Mas!" Ia langsung membasuh seluruh wajahnya dengan air. Berharap sembabnya akan tersamarkan oleh air.

Saat pintu terbuka, ia semakin terkejut saat melihat suaminya itu berdiri persis di depan kamar mandi.

"Maaf Mas, tadi aku habis-" Arraya tak jadi melanjutkan kalimatnya begitu tubuh Adnan langsung menariknya dan memeluknya dengan erat.

Arraya mengerjapkan matanya cepat. "Mas, kamu-?"

"Kamu tahu seberapa aku mengkhawatirkan kamu hari ini?" Adnan memeluk tubuh Arraya dengan begitu erat. Melihat Arraya baik-baik saja di hadapannya jauh membuat hatinya merasa lega.

"Maaf, Mas..." Arraya terlalu ragu untuk membalas pelukan Adnan, sehingga kedua tangannya hanya diam di samping sisi tubuhnya.

Adnan melepaskan pelukannya. Ia mengusap kedua pipi Arraya dengan lembut. Ditatapnya dua pasang mata teduh itu dengan lekat. "Seharian ini, kenapa kamu nggak pernah angkat telepon aku? Kenapa juga kamu nggak bales semua pesan aku? Dan kenapa kamu nggak bangunin aku pas kamu mau pergi siang tadi? Aku khawatir sama kamu, Ra. Aku takut kamu kenapa-kenapa."

Kedua sudut bibir Arraya membentuk senyum. Matanya itu jadi melengkung ke bawah karena senyum bibirnya. "Maaf sudah membuat Mas khawatir, tapi aku baik-baik saja. Hari ini aku hanya merasa tidak enak badan sedikit."

"Apa kamu sakit?"

Arraya menggeleng. Ia tetap mempertahankan senyum di wajahnya. "Aku baik-baik aja, Mas."

Cup!

Adnan menghadiahi sebuah kecupan singkat di kening Arraya. Membuat Raya yang tak mengira hal itu hanya bisa membeku di tempat dengan kedua mata yang terkunci membalas tatapan Adnan untuknya.

"Jangan buat aku khawatir lagi, Ra. Kalau kamu merasakan sesuatu, bilang sama aku. Aku suami kamu, jadi kamu bisa mengandalkan aku."

Bisakah aku mempercayainya, Mas?

"Sikap kamu hari ini buat aku kepikiran lagi, Ra. Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari aku?" 

Dalam hatinya, Adnan memang merasa ada yang Raya tutupi. Sikap Arraya aneh pagi tadi, tapi menjadi lebih aneh lagi setelah Raya meninggalkannya seorang diri dan menolak semua panggilan juga pesannya.

Arraya menundukkan kepalanya. Memang ada yang sesuatu yang semakin mengganjal di dalam hati dan kepalanya, tapi apakah boleh ia katakan pada Adnan? Apakah pantas jika ia meminta Adnan melupakan perempuan di masa lalunya?

"Ra... kamu bisa bilang sama aku apa pun yang kamu pikirkan. Kamu bisa bilang sama aku apa pun yang kamu rasain." Adnan mengusap-usap rambut hitam milik Arraya.

"Aku takut, Mas..."

"Apa yang kamu takutkan, Ra?"

Matanya yang terasa panas dengan gerumbulan air mata, ia dongakkan ke atas. Matanya menatap sepasang mata Adnan yang menatapnya penuh khawatir. Setetes cairan bening itu akhirnya mengalir bebas ke pipinya.

"Aku takut... suatu saat nanti Mas akan tinggalkan aku."

Adnan terdiam. Termangu dengan curahan hati istrinya. Ia mencerna jelas tiap kata yang meluncur dari bibir Arraya.

Adnan menelan salivanya. Apa mungkin saat ini Arraya sudah mulai mengungkit soal Afifah? Lidahnya seketika kelu ketika ia ingin menjawab. Pikirannya mendadak kosong. Adnan tidak dapat berpikir. Mereka berdua memang belum pernah membahas topik soal Afifah, tunangan Adnan yang sampai saat ini masih koma akibat kecelakaan. 

Isakan mulai terdengar dari bibir Arraya. Gadis itu mendorong tubuh Adnan menjauh. Ia menjadi semakin takut saat Adnan hanya diam. Seolah lelaki itu menjadi ragu akan curahan hatinya tadi. "Aku mau tidur, Mas. Maaf kalau aku malah menangis nggak jelas kayak gini."

Baru selangkah Raya maju ke depan, lengannya sudah ditarik kembali oleh Adnan, hingga Arraya kembali jatuh ke dalam pelukan Adnan. Tangan Adnan melingkar erat di pinggang Arraya. 

"Nggak, Ra. Kamu nggak perlu takut, aku nggak akan ninggalin kamu. Aku janji, aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Aku akan selalu ada di samping kamu."

Mendengar kalimat Adnan, Arraya justru semakin menangis. Adnan hanya bisa lebih mengeratkan pelukannya untuk Arraya, berharap istrinya itu akan berhenti menangis dan tak akan mengkhawatirkan hal yang sejujurnya kini malah menjadi topik yang mulai Adnan takutkan juga.

🥀🥀🥀

Kasih banyak vote dan komen ya untuk part ini biar next part juga bisa cepet :)

Jazakumullah ya Khair ❤

Komentar