30 | Melodi Cinta

👑 Surga Dalam Luka 👑

Acara tersebut akhirnya berakhir tepat jam 9 malam. Acara semakin meriah saat semuanya saling bersulang minuman di tengah pusaran perhatian. Arraya yang melihatnya jadi merinding. Ia bahkan melihat Adnan ikut bersulang minuman di depan sana. Ia tak menyangka jika dunia bisnis yang sesungguhnya cukup menyeramkan. Dan mungkin saja, orang akan saling tersenyum di depan, tapi sebenarnya saling menusuk dari belakang.

Arraya mengambil gelas kecil yang ada di atas meja. Menunggu Adnan yang sedang ada di depan membuatnya merasa haus. Bertepatan saat bibirnya ingin menyentuh permukaan gelas, sebuah tangan besar menahannya dan menarik gelas dari tangannya.

"Ini sampanye sayang, jangan kamu minum."

Mata Raya terbelalak. "Sampanye?!"

Adnan terkekeh kecil sambil kemudian menjawab, "Iya, ini sampanye."

"Astaghfirullah Mas, hampir aja aku masukin minuman haram ke tubuh aku," bisik Raya terselip khawatir mendalam.

Adnan terkekeh lagi. Ia mengganti minuman Arraya dengan air mineral sesungguhnya. "Kamu minum ini aja."

"Terus kenapa pas di depan kamu malah minum ini?"

"Aku nggak minum, Ra. Di depan tadi aku cuma ikut cheers aja, terus diem-diem aku tumpahin isinya ke karpet hotel."

Arraya mengernyit tak percaya, membuat Adnan tertawa lagi. "Aku tahu batasan halal dan haram, Ra. Dari dulu, Papa juga selalu pesen biar aku nggak keluar koridor yang seharusnya. Bahkan Papa juga yang ajarin aku buat tumpahin minuman diem-diem kayak tadi."

Akhirnya Raya bisa membuang napas lega. "Aku udah takut aja tau, Mas. Aku sampai sedih ngeliat Mas di depan tadi, takut kalau ternyata kamu suka minum-minum yang haram. Dan kasian banget karpetnya pasti jadi basah karena ulah Mas dan Papa."

Adnan tertawa. Ia menoel hidung Raya gemas. "Nggak lah, Ra. Oh ya, mau pulang sekarang?"

Arraya mengangguk. "Pegel Mas, sepatunya tingginya banget."

Adnan tertawa. "Maaf ya, jadi buat kamu tersiksa pakai sepatu itu. Lain kali akan aku belikan yang nyaman untuk kamu."

Arraya bersemu. Mengapa malam ini Adnan begitu manis padanya? Arraya jadi merasa menjadi istri bahagia malam ini.

"Ya udah ayo kita pulang. Aku juga udah pamit sama yang lain."

"Sama Papa?"

"Nanti aku whatsapp aja."

"Masa pamit lewat whatsapp, Mas?"

"Udah malem, ayo kita pulang." Ujar Adnan tak mau membahas lebih lanjut. Adnan menggenggem jemari Raya di dalam kepalan tangannya yang besar. Mereka berdua mulai melangkah keluar dari ruang acara.

Arraya menurut saja. Lagipula ia juga sudah sangat ingin pulang. Kakinya benar-benar pegal karena harus berdiri selama 2 jam lebih dengan heels setinggi 7 cm, yang bahkan mengalahkan heels yang ia kenakan saat menikah.

"Eh, Mas, aku ke toilet dulu deh ya. Mas tunggu di depan aja."

"Mau ditemenin?"

Arraya menggeleng atas tawaran Adnan. "Aku sendiri aja, Mas."

"Hati-hati, Ra. Jangan sampai tersandung." Raya tertawa kecil mendengar guyonan Adnan yang melirik heels nya.

Setelah membuang hajatnya, Arraya bercermin di depan wastafel toilet. Ia menyentuh kedua pipinya. Apakah terlalu banyak dipoles blush on hingga pipinya masih terus memerah sampai saat ini? Atau memang karena ia yang tak berhenti bersemu di dekat Adnan?

Arraya menutup wajahnya. Ia tersenyum bahkan tertawa. Ia benar-benar merasa senang bahkan bahagia. Jika di awal ia begitu tidak percaya diri, maka Adnan malah memperlakukannya seperti seorang putri. Adnan selalu menyediakan lengannya untuk Raya berpegangan. Adnan selalu menyunggingkan senyum. Dan Adnan juga memperlakukan dirinya dengan sangat baik, hampir semua orang yang Adnan kenal kini mengetahui jika Arraya adalah istrinya.

"Terima kasih, Allah. Aku harap malam ini tak akan segera usai."

Arraya meninggalkan toilet dengan senyum yang masih mengembang. Sejak tadi ia juga terus menatap telapak tangannya dengan tak percaya. Tangannya bahkan masih terasa hangat karena genggaman Adnan.

"Mas Ad—" Arraya menjeda panggilannya saat ia sudah tak melihat di mana suaminya itu. Tatapannya berubah khawatir. Mungkinkah Adnan bosan menunggunya dan akhirnya memutuskan untuk pergi?

Manik Arraya mencoba mencari kehadiran Adnan. Sesekali ia meringis nyeri karena kakinya yang sudah pegal dan sakit karena heels. Arraya membuka ponselnya, mencari kontak Adnan dan berniat untuk menghubungi lelaki itu.

"DOR!!!"

Mata Arraya membulat kaget saat melihat Adnan muncul dari balik dinding padahal ia baru saja ingin menggeser tombol hijau di ponselnya.

"Mas ngagetin ih!"

Adnan terkekeh. "Kamu lama sih, jadi aku bosen dan milih untuk jalan-jalan dulu."

Arraya mengerucutkan bibirnya maju. "Aku pikir Mas tinggalin aku," katanya lirih.

"Ya nggak lah, Sayang." 

Bisakah Arraya menghitungnya? Sudah berapa kali Adnan memanggilnya 'Sayang'?

"Oh ya, aku bawa sesuatu buat kamu."

"Apa?"

Adnan mengeluarkan sesuatu dari belakang tubuhnya. "Taraa!!"

Kening Arraya mengerut heran. "Sandal hotel?" tanyanya.

Adnan mengangguk sambil tersenyum. Detik berikutnya ia berjongkok di depan Arraya. "Aku sedih liat kamu tersiksa pakai sepatu tinggi kayak gitu. Jadi mendingan ganti dengan sandal, biar kamu nyaman."

"Tapi kan kita masih di sekitar tempat acara, Mas. Masa aku jalan sama kamu pakai sandal kayak gini?"

Adnan tetap menatap mata Arraya lekat dari bawah. Istrinya itu benar-benar membuat Adnan terpesona malam ini. "Memangnya kenapa? Aku nggak masalah kok. Aku justru nggak mau bikin kaki kamu makin sakit, Ra. Jadi ayo ganti sepatu kamu pakai sandal ini."

"Mas serius?" Arraya hanya masih belum yakin. Sepertinya akan memalukan jika ia berjalan dengan menggunakan sandal tipis di area itu.

Adnan mengangguk mantap. "Sini pegangan."

"Mas!" Arraya kembali dikejutkan saat Adnan menarik tangannya dan meletakkannya di atas kepala Adnan. "Nggak sopan ah."

Adnan kembali meletakkan tangan Arraya di atas kepalanya, agar tak membuat Arraya terjatuh saat ia melepas sepatu gadis itu. "Jangan membantah, Ra. Oke?"

Ditatap seperti itu oleh Adnan akhirnya membuat Arraya mau tidak mau menurut. Adnan kembali menundukkan kepalanya. Ia melepaskan satu persatu sepatu Arraya dengan perlahan. Ia juga mengusap pergelangan kaki serta tumit Arraya yang terbalut kaos kaki.

Arraya tersenyum haru. Sikap sederhana Adnan yang manis kembali ia temukan malam ini. Sementara Adnan menggantikan sepatunya dengan sandal, Arraya justru memainkan rambut Adnan yang kaku karena pomade.

"Selesai!" Arraya langsung menunduk begitu Adnan berdiri. Ia menatap kedua kakinya yang kini sudah berganti memakai sandal. Bibir Arraya menyunggingkan senyum dengan begitu mudahnya.

"Makasih, Mas."

Adnan menghadiahi kecupan singkat di kening Arraya. Membuat Arraya menghasilkan rona-rona merah di pipinya. "Get ready for home, Princess?"

Arraya sontak tertawa renyah saat melihat tatapan Adnan yang seolah menggodanya dan menjulurkan lengannya bak seorang pangeran yang ingin menjemput putri untuk naik ke kereta kuda. "Sure," balas Arraya dengan menerima uluran lengan Adnan.

"Sure My Prince, itu baru bener Arraya." Koreksi Adnan.

"Oke. Sure my Prince..."

Keduanya sama-sama tertawa karena guyonan sederhana mereka. Arraya memeluk lengan Adnan dengan erat. Membuat orang-orang di sekitar mereka menatap iri juga heran saat melihat kaki Arraya yang hanya memakai sandal sementara sepasang sepatunya Adnan pegang di tangan kiri.

🥀🥀🥀

Tampaknya Adnan dan Arraya sama-sama kelelahan. Mobil telah sampai dan terparkir rapi di rumahnya, tapi tak satu pun dari keduanya turun dari mobil. Sopir pribadi Adnan, melirik ke arah kaca spion. Ia tersenyum melihat apa yang ia lihat dari kaca tersebut. Adnan dan Arraya sama-sama tertidur dengan kepala Arraya bersandar di bahu Adnan. Ia bahkan melihat Adnan yang menggenggam erat tangan Arraya.

Bahagia rasanya jika melihat majikannya tampak akur seperti ini. Sudah lama juga pria paruh baya itu tak melihat tawa Adnan yang begitu lepas. Ia bahkan tak percaya jika Adnan begitu perhatian pada Arraya.

"Den, maaf, kita sudah sampai."

Adnan mengerjapkan matanya pelan. Ia menegakkan tubuhnya dan menoleh. Saat ia sadar mobil sudah sampai di depan rumahnya, Adnan langsung menoleh, tak sadar jika sang istri ternyata masih pulas tertidur di atas bahunya.

Menghela napas kecil, Adnan menyentuh pipi Arraya. Sebenarnya tidak tega membangunkan Arraya, tapi ia lebih tidak tega jika membiarkan Arraya tertidur di mobil. "Ra, bangun. Kita sudah sampai di rumah."

Yang tertidur tak kunjung membuka mata, yang membangunkan pun jadi semakin tidak tega. Setelah berpikir beberapa saat, Adnan keluar dari mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh supirnya. Ia mengangkat tubuh Arraya perlahan agar bergeser ke dekat pintu. Rupanya Adnan berniat untuk menggendong Arraya sendiri ke dalam rumah.

"Perlu saya bantu, Den?" tanya supirnya dengan maksud baik untuk membantunya.

Adnan melirik tajam. "Arraya istri saya. Tidak ada yang boleh menyentuhnya kecuali saya."

Dengan raut sedikit terkejut karena lirikan tajam Adnan, supir itu hanya bisa menunduk. "Maaf, Den."

"Tolong bantu bukakan pintu saja," ujar Adnan dengan lirikan yang sedikit lebih ramah.

"Ya Den, siap!" Supirnya itu langsung bergegas membukakan pintu rumah.

Adnan membawa tubuh Arraya ala bridal style. Ini pertama kalinya ia menggendong Arraya. Ia melangkah perlahan, membawa tubuh Arraya tetap aman hingga nanti sampai di kamar. Sesekali Adnan melirik wajah Arraya yang tetap terlelap di dalam gendongannya.

Bi Ira langsung kembali menutup pintu kamar setelah Adnan masuk ke dalam kamar bersama Arraya. Wanita paruh baya itu tak kuasa untuk tidak merasa senang. Ia begitu bahagia melihat kedua majikannya yang begitu mesra. Rasanya masih seperti mimpi melihat perubahan Adnan yang terbilang cukup drastis.

Adnan merebahkan tubuh Arraya ke atas kasur dengan perlahan. Tangannya mengusap pipi Arraya yang sedikit terasa dingin. Lagi-lagi ia terpesona dengan cantiknya Arraya malam ini. Jika diingat, Arraya sudah pasti jauh terlihat cantik saat menggunakan gaun putih pernikahan, tapi karena saat itu Adnan belum mencintai Arraya maka yang ia lihat dari gadis itu hanyalah tatapan kebencian.

Cup!

Tanpa bisa dicegah, bibir Adnan mendarat di bibir Arraya. Kecupan yang hanya terjadi dalam beberapa detik. Dan sesungguhnya, sejak awal ia sudah sangat menahan diri.

Sudah akan berjalan sebulan sejak Adnan membawa Arraya kembali ke rumahnya, namun mereka belum pernah berhubungan layaknya suami istri.

Bukan karena Adnan tak mau. Memangnya suami mana yang bisa menahan hasrat ketika mendapat istri yang cantik dan baik selalu berbaring di sampingnya setiap malam tanpa menggunakan kerudung? Bahkan hanya dengan melihat ceruk leher Arraya atau melihat betis Arraya yang terkadang tersingkap saat tidur, Adnan sudah merasa tersiksa. Terkadang ia sampai harus berendam air dingin hanya untuk menghilangkan hasratnya.

Bukannya tak ingin, justru Adnan sangat ingin memintanya. Hanya saja Adnan terlalu takut dan malu untuk memintanya. Tak pernah sekalipun Adnan bisa melupakan kesalahan yang pernah ia buat pada Arraya dulu. Perasaan bersalah itu selalu menghantuinya. Sikap tidak pedulinya, ucapan kasarnya, perbuatan buruknya, semuanya membuat Adnan jadi takut dan malu untuk menyentuh Arraya lebih dari seharusnya.

Tanpa Adnan sangka ternyata Arraya membuka kedua matanya. Gadis itu justru terbangun tepat saat Adnan menciumnya. Adnan segera menjauhkan wajahnya.

"Maaf, Ra."

Dengan wajah memerah karena bersemu malu, Arraya menggeleng kecil. "Nggak perlu minta maaf, Mas." Arraya mencoba untuk bersikap biasa saja mendapat ciuman dari Adnan barusan. Ia mencoba menghilangkan gugupnya, walau pada akhirnya ia selalu merasa gugup.

Bukan hanya wajah Arraya memerah, tapi Adnan juga. Wajah lelaki itu bahkan merah padam. Adnan memilih mengalihkan pandangannya. Tak kuat jika ia terus memandangi wajah Arraya terus menerus.

"Ngomong-ngomong, Mas yang gendong aku ke sini?"

"Iya, nggak tega kalau harus bangunin kamu karena kamu kayaknya nyenyak banget."

Arraya bangkit duduk sambil menatap heran suaminya karena Adnan yang terus menatap ke arah jendela. "Mas kenapa? Ada yang dipikirin?"

Terdiam beberapa saat, Adnan akhirnya menjawab, "Mikirin kamu."

Arraya tersenyum geli, mengira jika Adnan bercanda. "Aku di sini, kenapa masih dipikirin?"

Adnan menghela napas panjang. Haruskah ia memilih berendam kembali di kamar mandi malam ini?

"Aku mau kamu, Ra."

Satu kalimat jawaban yang meluncur dari bibir Adnan berhasil membuat Arraya terdiam. Ia berusaha mencerna kalimat Adnan barusan. Mau kamu? Apa maksudnya? Atau sebenarnya ia tahu, tapi berpura-pura tidak tahu?

"Ma ... maksud, Mas?"

Adnan menoleh. Kali ini ia berani menatap wajah Arraya kembali. "Aku mau kamu, Ra. Aku mau kamu dan aku.... menyatu."

Bibir Arraya setengah terbuka mendengar kata terakhir Adnan yang memelan. Inikah saatnya? Inikah saatnya di mana ia harus merelakan sesuatu yang selalu ia jaga sampai detik ini pada Adnan suaminya?

Tak dapat dipungkiri, Adnan sedikit merasa kecewa melihat ekspresi Arraya. Lelaki itu mengambil inisiatif untuk bangkit berdiri. "Maaf, Ra. Aku lagi cape aja makanya ngomongnya ngelantur. Aku sadar, nggak seharusnya aku minta sesuatu yang berharga dari kamu. Harusnya aku malu minta itu ke kamu."

Bertepatan saat Adnan ingin memutar tubuh, Arraya meraih satu jemari Adnan. "Mas mau ke mana, aku kan belum jawab?"

Adnan menghela napas panjang. Harusnya ia tidak usah memulai. Harusnya ia bisa lebih menahan diri. Tapi detik berikutnya, Adnan sungguh tak menyangka melihat Arraya menganggukkan kepalanya seraya berkata, "Mas suami aku, jadi Mas berhak mendapatkan itu."

🥀🥀🥀

Arraya terus mengerjapkan matanya. Wajahnya memerah bak tomat saat Adnan merebahkan tubuhnya dan mengurungnya di bawah tubuh Adnan. Posisi intim seperti itu, baru pertama kali ini terjadi di antara keduanya. Arraya merasa sebentar lagi ia akan mengalami serangan jantung saking gugupnya. Tubuhnya terasa lemah, seperti tak bertenaga, dan tak mampu bergerak ke manapun.

Adnan menatap Arraya lurus dan lekat. Jemarinya menyusuri tiap inchi wajah istri yang ada di bawah tubuhnya itu. Sentuhan ringan yang baru Adnan mulai sudah membuat tubuh Arraya menegang.

"Kamu cantik malam ini, Ra. Cantik sekali..."

Adnan kembali berkata-kata yang selalu mampu melahirkan rona-rona merah di wajah Arraya. Gadis itu senang akan pujian yang diberikan Adnan. Dan ia juga tidak bisa lagi menghitung berapa kali Adnan memujinya cantik malam ini.

Adnan menyentuh jemari Arraya, mengecup ujung jemari lentik gadis itu. Bibirnya segera berubah haluan pada wajah Arraya. Diciumnya tiap inchi wajah Arraya dari mulai dahi, alis, mata, hidung, pipi, dan dagu. Arraya memejamkan matanya, menerima semua sentuhan yang Adnan berikan padanya.

"Arraya Kirania... malam ini kamu akan menjadi milikku seutuhnya."

Adnan mendekatkan wajahnya kembali pada Arraya. Mengikis jarak di antara mereka dengan gerakan perlahan. Mereka mulai saling berbagi napas ketika jarak wajah hampir menghilang seutuhnya. Dua hidung mancung itu bersentuhan. Adnan memiringkan wajahnya, memejamkan matanya, dan mencium bibir Arraya dengan lembut.

Debaran jantung sudah menggebu-gebu di dalam dada. Darah mereka sama-sama berdesir hebat. Arraya ikut memejamkan matanya. Ia sudah memasrahkan dirinya malam ini untuk Adnan. Bibir Arraya sedikit terpaksa terbuka karena ciuman yang Adnan berikan menjadi lebih menuntut dan dalam. Tapi sesuai janjinya, Adnan melakukannya dengan lembut. Adnan berusaha membuat Arraya senyaman mungkin dengan sentuhannya.

Keduanya menjauh sesaat. Ada kilatan hasrat yang mulai terpancar dari mata keduanya. Dahi mereka masih menempel, Adnan mengusap pipi Arraya pelan. Wajah Arraya menjadi terlihat jauh lebih cantik berkali-kali lipat saat itu.

"I love you, Arraya Kirania..."

Ciumannya terus menjadi semakin dalam. Keduanya sama-sama terbuai. Ibadah yang disunnahkan. Berhadiah pahala bagi pasangan suami istri yang melakukannya. 

"Mas..." Arraya membuka matanya cepat. Tangannya bergetar menyentuh tangan Adnan yang sebentar lagi akan membuka dress nya malam ini.

"Tenanglah, aku akan melakukannya dengan perlahan."

Arraya masih menahan gerakan tangan Adnan yang sebentar lagi akan membuka resleting dress nya. Saat ia masuk ke dalam manik mata Adnan, Arraya melihat ada hasrat yang begitu menggebu di dalam sana, Arraya menyingkirkan tangannya begitu saja. Ia membiarkan Adnan membuka resleting bajunya, hingga tampaklah tubuh putih mulus Arraya yang belum pernah Adnan lihat sekalipun.

Adnan mengalihkan rasa takut Arraya dengan kembali membubuhi gadis itu dengan ciuman lembutnya. Ia meminta Arraya untuk mengalungkan tangan di belakang lehernya.

Minimnya pencahayaan kamar yang hanya mengandalkan cahaya dari ventilasi jendela dan pintu. Gerimis yang ikut menyapa setelah awan mendung hadir, mengantarkan bagaimana penyatuan cinta Adnan dan Arraya terjadi. Seperti alunan melodi, mereka berdua juga berharap apa yang mereka lakukan malam ini seperti sebuah melodi cinta. Beribadah bersama. Mendapatkan pahala bersama. Dan memberikan kebahagiaan tak ada duanya untuk satu sama lain.

Ternyata Tuhan benar-benar mengabulkan doanya malam ini. Saat di hotel tadi, Arraya sempat berdoa diam-diam dalam hati, jika ia menginginkan kebahagiaan malam ini terjadi lebih lama lagi.

Dan kini bukan hanya ia seorang yang berharap, melainkan Adnan juga. Mereka berdua sama-sama mengharapkan, jika hari esok dan seterusnya akan selalu seperti malam ini.

Tak ada lagi yang perlu mereka takutkan. Tak ada lagi yang perlu mereka khawatirkan. Yang mereka harapkan hanya segala kebahagiaan yang akan mereka ciptakan bersama.

🐧🐧🐧

Hening ya gaes
Jangan diganggu 💃

❤❤ Jangan lupa vote dan komennya untuk part spesial ini ❤❤

Komentar