08 | Hati Yang Beku

Surga Dalam Luka 

Arraya tertegun dalam. Ia hanya bisa menunduk sambil berusaha keras untuk menahan tangis. Sudah cukup. Ia ingin semuanya berhenti. Ia sudah tak lagi sanggup mendengarkan semuanya. Adnan memang selalu berhasil mematahkan hati gadis itu. Kata-katanya seperti belati tajam yang sedia setiap saat menancap di hatinya. Sedikit demi sedikit merobek hatinya, membuat luka, sampai pada akhirnya luka itu terbuka menganga secara sempurna.

"Adnan, jangan bicara dengan nada tinggi sama Papa kamu." Kini giliran Lidya yang menegur Adnan. Mereka bertiga seperti sumbu yang disulut dengan api. Meledak-ledak hingga membuat seisi ruang makan itu, suasana itu, menjadi memanas. 

Tidak ada yang berani membuka mulutnya sedikitpun kecuali Adnan dan kedua orangtuanya. Arraya bahkan juga berani mampu membela dirinya sendiri dari sikap Adnan yang seolah ikut merendahkannya saat ini. Kakek bahkan hanya diam sambil menikmati makanannya, seolah sama sekali tak merasa terganggu dengan keluarganya yang sedang ribut.

"Arraya, kita pulang sekarang."

Mendengar ajakan dingin dari Adnan barusan, Raya sontak mendongak. Adnan berdiri dan langsung meninggalkan meja makan. Tanpa pamit. Membuat semua orang di meja itu menatap kepergiannya dengan tatapan terkejut bukan main.

Sepertinya Adnan benar-benar marah. Sampai namanya dipanggil dua kali, Adnan tetap tak mau menyahut. Langkahnya sudah pasti, ia memang ingin pulang. Meninggalkan acara keluarga yang justru menyulut emosi terpendamnya.

Urusan orang tuanya, biarlah ia urus nanti. Yang jelas Adnan memang harus pulang ke rumahnya sendiri. Ia harus menenangkan dirinya sendiri.

"Pulanglah." Merasa ada yang menyentuh lengannya, Arraya segera menoleh. Kakek menatap gadis itu dengan tersenyum simpul. Hanya kakek yang sejak tadi tetap diam dan tenang. "Temani dan tenangkan Adnan. Sejukkan hatinya, dan jangan diambil hati ucapan kasarnya tadi. Bagaimanapun juga kamu adalah menantu Kakek, cucu Kakek juga."

Kedua sudut bibir Arraya yang sejak tadi miris tanpa senyum, kini akhirnya mengeluarkan binarnya. Membentuk senyum haru pada kakek. Ia tak menyangka jika pria baya seperti Kakek ternyata diam-diam memperhatikan dan sangat memahami perasaannya.

"Terima kasih, Kek," katanya dengan langsung pamitan singkat pada keluarga Adnan.

Sepanjang perjalanan, Arraya dan Adnan hanya saling diam. Hawa di dalam mobil terasa panas. Emosi yang Adnan bawa dari rumah itu benar-benar sangat terasa sampai ke mobil. Kedua alisnya menyatu. Bibirnya juga mengerut ke depan, mempertajam penglihatan orang lain kalau Adnan memang sedang dalam posisi marah.

"Mas, Mas Adnan!" tubuh Raya yang saat ini sudah merasa tak enak badan berusaha mengejar langkah kaki Adnan yang terlalu lebar dan terburu-buru saat keluar dari mobil. Tapi berkat usaha jalan cepatnya, Raya berhasil meraih ujung kemeja Adnan.

Bisa gadis itu lihat bagaimana wajah suaminya yang begitu memerah karena emosi. "Apalagi, sih?" sulut Adnan dengan kesal.

"Mas kenapa main pergi gitu aja? Kamu bahkan belum sempat pamit sama Kakek dan orang tua kam—" belum sempat Raya menyelesaikan kalimatnya, Adnan sudah lebih dulu menepis tangannya dengan kasar.

Arraya mengerutkan keningnya bingung. Tak paham dengan kelakuan suaminya saat ini. "Mas sendiri yang minta aku untuk datang ke acara makan malam tadi, kenapa sekarang malah Mas yang bersikap seperti ini?" lanjut Arraya tak gentar. Mungkin Arraya memang harus lebih berani saat ini dengan Adnan. Ia tidak bisa terus diam tanpa berbuat apa-apa.

Apa yang dikatakan Kakek padanya memang benar. Ia adalah istri sah Adnan. Jadi jika Adnan sedang dalam masalah atau sedang emosi, maka Arraya sebagai istrinya harus bisa menenangkannya.

"Papa duluan yang mulai." Adnan menunjuk ke arah pintu. Seolah di sana adalah restoran tempat makan tadi beserta semua manusia di dalamnya. "Lagian kamu juga, harusnya kamu nggak ke makan pujian Kakek."

Setiap kata yang meluncur dari bibir Adnan katakan barusan terus saja mengundang kerutan di kening Arraya. Arraya benar-benar tidak mengerti jalan seperti apa yang dipilih oleh kepala suaminya. "Jadi Mas Adnan nyalahin aku?" tanyanya tak percaya. "Aku bahkan nggak bicara apa-apa ketika ucapan Mas tadi seakan merendahkan diri aku, Mas. Aku bahkan mencoba sabar dan menahan diri aku untuk nggak balas ucapan kamu di sana."

"Kenapa? Kamu nggak terima? Kamu sakit hati?" tanya Adnan tanpa memikirkan bagaimana perasaan istrinya saat ini. 

Sungguh, di mana lagi Arraya harus mengumpulkan stok kesabarannya jika terus berhadapan dengan karakter Adnan yang seperti ini?

"Bukannya kamu juga setuju dengan ucapanku tadi? Yang menyukai pernikahan ini hanyalah Papa dan Mama? Dan yang aku omongan tadi memang benar. Sejak awal, takdirlah yang salah."

"Astaghfirullah Mas, istighfar kamu! Apa yang kamu katakan sungguh benar-benar bisa melukai hati aku." Arraya mengatakannya dengan suara bergetar. Kelopak matanya bergelinang air mata. Mungkin dalam hitungan detik genangan air mata itu akan tumpah ruah membasahi pipinya.

"Itu memang fakta, Arraya!" bentak Adnan.

Arraya menggelengkan kepalanya. Adnan memang benar-benar menguji kesabaran hatinya.

"Apa Mas lupa kalau yang menyebabkan Mas Luthfi kecelakaan dan akhirnya meninggal adalah Mas Adnan sendiri? Kamu lupa itu, Mas?!" Arraya menatap mata Adnan dalam dan lekat. Seolah menerobos masuk dinding milik Adnan yang terlalu tinggi dan tebal untuk ia lampaui.

Arraya masih ingat dengan jelas, bagaimana sedihnya ia ditinggalkan oleh Luthfi. Saat itu memang Arraya belum bisa membalas perasaan Luthfi, tapi ia bahkan sudah bisa berjanji pada dirinya sendiri kalau ia akan mengabdikan hidupnya jika suatu saat nanti Luthfi benar-benar menjadi pendamping hidupnya.

Luthfi dan Adnan sangat berbeda. Cara kedua lelaki itu memperlakukan Arraya sangatlah berbeda. Luthfi selalu menghargai Arraya dan mengerti perasaan gadis itu. Makanya, Luthfi tak pernah memaksakan perasaannya pada Arraya.

Tapi Adnan yang dulu juga sangat berbeda dengan Adnan yang sekarang. Adnan yang dulu adalah lelaki yang baik, ramah, dan sering tersenyum. Tidak seperti sekarang. Adnan yang sekarang hanya memiliki wajah datar, tidak pernah tersenyum, apalagi bersikap baik pada Arraya. Yang dilakukannya kian hari hanya mengabaikan dan mengabaikan Arraya. Menganggap Arraya tak pernah ada di hidupnya.

"Kalau malam itu kamu dalam posisi fokus, mungkin Mas Luthfi nggak akan jadi korban sasaran mobil kamu Mas!"

Kini keadaan menjadi berbalik. Adnan lah yang kini bungkam. Perihal itu memang salah Adnan sepenuhnya. Adnan yang tidak berhati-hati saat mengemudi. Hingga akhirnya menyeret nyawa orang lain dalam kecelakaan yang ia ciptakan.

Adnan menelan salivanya. Kedua tangannya mengepal kuat. Rahangnya mengeras. Ia membalas tatapan nanar Arraya dengan tatapan dingin miliknya. Ia tahu jika saat ini memang ia sudah keterlaluan pada Arraya. Tapi biarlah, ia justru ingin gadis itu membencinya. Tak tahan dengan dirinya, sampai gadis itu sendiri yang pada akhirnya menginginkan perceraian dengannya.

"Itu bukan salahku lagi. Dari awal aku ingin bertanggung jawab secara hukum, tapi orang tua kita yang tidak setuju. Aku bahkan rela mendekam seumur hidup daripada menanggung beban pernikahan sama kamu."

Arraya mengusap bulir demi bulir air matanya. Air mata sedihnya karena mendengar kata-kata suaminya yang terus saja merobek hatinya. Seperti selembar tisu yang terkoyak karena disiram oleh air.

"Tega kamu Mas bicara seperti itu sama aku? Aku ini istri kamu, istri sah kamu. Haruskah Mas selalu bicara jahat seperti ini?"

"ARRAYA!" bentak Adnan. Arraya sampai memejamkan matanya karena berjengkit kaget.

Berapa banyak lagi rasa sakit yang ingin Adnan berikan utuk Arraya? Berapa banyak lagi kawah sabar yang harus Arraya perlebar untuk Adnan?

"Sudah cukup, hentikan pembicaraan kita ini." Suara Adnan mulai memelan. Ia menarik napasnya perlahan dan mengembuskannya. Mencoba menenangkan dirinya sendiri agar tak sampai menyakiti Arraya lebih banyak lagi. Tapi mau dikata apa pun, Adnan memang telah banyak menyakiti Arraya. Ia bahkan sampai meneriaki nama istrinya dengan begitu kencang. Membuat gadis itu sampai menangis terisak karenanya.

Arraya langsung terduduk saat Adnan sudah pergi menjauhinya masuk ke dalam kamar.Kedua kakinya sudah tak lagi bisa menopang beban tubuhnya sendiri karena mendengar semua kalimat cercaan dari suaminya sendiri. Gadis itu terisak hebat. Bahunya terguncang. Tubuhnya bergetar. Salah apa ia selama ini sampai mendapatkan suami dengan sifat yang subhanallah... membuatnya seperti sedang mengarungi ujian luas dari semesta.

***

Adnan membanting tubuhnya di kasur. Adnan benar-benar tidak mengerti ada apa dengan dirinya saat ini. Melihat wajah Arraya selalu saja menyulut emosinya. Padahal Adnan tahu, Arraya adalah gadis yang baik. Dan dengan sikapnya saat ini, Adnan merasa dirinya seperti pria brengsek yang berkelakuan seperti setan. Kerjaannya membentak, memarahi, menyalahkan, dan menyudutkan Arraya. Selalu, setiap saat. Seolah semua ketetapan takdir Tuhan padanya adalah kesalahan Arraya.

Adnan beranjak duduk dan mendesah panjang. Ia mengacak rambutnya frustasi. Sungguh, ia sendiri sangat tidak mengerti dirinya.

"Itu bukan salahku lagi. Dari awal aku ingin bertanggungjawab secara hukum, tapi orangtua kitalah yang tidak setuju. Aku bahkan rela mendekam seumur hidup daripada menanggung beban pernikahan sama kamu."

Adnan mendesah panjang mengingat kalimatnya untuk Arraya, tadi.

"Bodoh," cibir Adnan. "Harusnya dari awal gue lebih berusaha buat ngebatalin pernikahan ini. Karena dengan begitu, gue nggak akan pernah sakitin hati dia lebih jauh lagi."

Kini memang semuanya jadi serba salah. Di lain sisi Adnan tidak mencintai Raya. Ia juga tidak ingin menikah dengan gadis itu. Tapi di lain sisi, Adnan sangat sadar dan masih ingat dengan jelas bagaimana hubungan baiknya dengan Raya semasa kuliah.

Lalu bagaimana sekarang? Nasi sudah menjadi bubur. Semua telah terjadi. Ia dan Raya sudah resmi menjadi pasangan suami istri.

Tapi entahlah, semuanya seakan menjadi lebih rumit dari awalnya. Kalau ini terus berlalu, Adnan yakin, ia akan memberikan luka yang lebih parah dari ini untuk Raya.

Semenjak menikah, Adnan bahkan tak pernah melihat wajah Arraya yang menyunggingkan senyum. Yang ada hanya tatapan takut dan sedih. Apa yang Arraya katakan selalu salah dimata Adnan. Apa yang Arraya lakukan seolah salah semuanya. Tidak pernah ada yang benar. Karena memang seperti itulah Adnan memandang Arraya. Hubungan teman yang pernah terjalin di masa lalu bahkan tak membuat Adnan membuka sedikit hati untuk Arraya.

"Afifah ... Aku harap kamu segera sehat. Aku akan kembali padamu dan menikah denganmu. Apa pun yang terjadi, kita akan menikah dan hidup bahagia bersama."

Adnan menjatuhkan tubuhnya lagi ke kasur. Menutup mata dengan lengan besarnya. Mengingat kekasihnya, bulir air mata mengalir dari sudut matanya.

Biarkan.
Biarkan sekali ini Adnan ingin bahagia dengan pilihannya.

Dulu, Adnan pernah jatuh karena cinta. Dan kali ini Adnan tak pernah mau jatuh lagi akan perasaan yang sejenis. Untuknya melupakan Alya di masa lalu, adalah hal terberat untuk Adnan. Dan jika diminta untuk melupakan Afifah saat ini, lebih baik bunuh saja Adnan. Rasanya itu lebih baik, daripada merasa sakit yang perlahan menggerogoti hatinya.

鹿鹿鹿

To be Continued

CERITA INI SUDAH PERNAH TAMAT SAMPAI 51 PART. DAN INI ADALAH RE-POST DENGAN REVISI PERBAIKAN TATA BAHASA YANG LEBIH BAIK. 

UNTUK YANG SUDAH PERNAH BACA, TERSERAH INGIN BACA ULANG ATAUPUN TIDAK. GITU YA GENGS :)

❤Jazakumullah ya Khair ❤

Salam sayang,

Komentar