21 | Keinginan Adnan

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Pagi ini, Adnan kembali terbangun. Kantung matanya semakin menghitam di bawah mata. Ia sangat terlihat berantakan. Sudah tiga malam ini ia tidak bisa tertidur nyenyak. Ia jadi sering mengingat Arraya dan juga memimpikan tentang gadis itu.

Adnan masuk ke dalam toilet dan menatap dirinya yang berada di dalam cermin.

Mengenaskan!

Adnan terlihat mengenaskan. Wajahnya terlihat lusuh, seperti tak dirawat berhari-hari. Rupanya, gadis bernama Arraya itu bisa memporak-porandakan hati dan hidupnya.

Tiga hari ia tak bisa menemui Arraya, dan tiga hari itu pula Adnan merasa hancur. Nyawanya seolah mengambang di dalam tubuhnya. Ia bernyawa tapi merasa tak bernyawa. Sarapan yang dibuatkan Bi Ira selalu ia tolak. Ia bahkan sudah memecat 2 karyawannya hanya karena masalah sepele. Temperamennya jadi sering tak terkendali. Dan itu semua diakibatkan oleh satu orang. Arraya Kirania.

Selesai mandi dan bersiap, Adnan langsung berangkat kerja tanpa menyentuh sarapan yang dibuatkan Bi Ira. Bi Ira yang melihat kepergian Adnan hanya bisa menghela napas panjang sambil mengurut dada. Terkadang Bi Ira bahkan mendengar suara teriakan dan barang pecah dari dalam kamar Adnan.

Saat Bi Ira datang ke kamar Adnan, Adnan langsung mengusir Bi Ira agar pergi. Lelaki itu tak lagi membiarkan Bi Ira mengusik daerah pribadinya. Bahkan jika Bi Ira ingin membersihkan, Adnan juga langsung menolak.

"Apa kita akan mampir lagi ke rumah Non Raya dulu, Pak?" tanya Pak Budi disela perjalanannya dengan Adnan menuju kantor.

"Tidak perlu," jawab Adnan tanpa ragu. "Kita langsung ke kantor saja."

Sejak hari pertama sampai tadi malam, Adnan selalu berkunjung ke rumah Arraya. Ia selalu berusaha meminta maaf dan mengusahakan agar Raya dan orangtuanya mau memberikannya kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya dari awal. Tapi Arraya dan kedua orangtuanya seakan sudah menutup pintu rapat-rapat. Adnan tak lagi dibukakan pintu, apalagi bertemu dengan Arraya.

Sampai di kantor, Adnan langsung menghempaskan bokongnya ke atas kursi kebesarannya. Selepas agenda briefing pagi yang diadakan di kantornya, Adnan langsung memanggil salah satu stafnya ke ruangan.

"Apa maksud grafik ini?" Adnan membanting laporang yang diberikan stafnya itu ke atas meja.

"Oh itu, Pak... Itu...karena...."

"Bikin grafik pertumbuhan saja tidak bisa! Banyak sekali angka keliru di dalam laporan itu!"

"Ma..maaf Pak."

"Maaf kamu bilang?!" bentak Adnan. "Ini hanyalah pekerjaan sederhana yang bahkan anak SMA pun bisa melakukannya dengan lebih baik!"

Staf itu semakin menunduk takut. Pintu ruang kerja Adnan yang terbuka, mengakibatkan pembicaraannya dengan stafnya itu didengar oleh yang lainnya.

"Pak, saya benar-benar minta maaf. Akan saya perbaiki segera kesalahan yang telah saya lakukan."

Adnan mengendurkan dasi yang melilit lehernya. Ia menarik napas panjang lalu kembali berkata, "Keluar dan urus segera surat pengunduran dirimu dari kantor ini!"

"Tapi Pak..."

"Kamu tidak dengar apa yang baru saja saya katakan?" tatapan Adnan terlihat mengerikan. Walau Adnan terbilang tegas di perusahaan, ia tidak pernah menggunakan kewenangannya untuk memecat karyawan seenaknya.

"Keluar dan urus segera surat pengunduran diri kamu dari kantor ini!"

Air mata jatuh begitu saja dari staf Adnan. Ia tak percaya bahwa ia harus mengundurkan dirinya hanya karena masalah yang sebenarnya masih bisa ia perbaiki. Ia akui ia salah, tapi rasanya ia juga berhak mendapatkan kesempatan lagi.

Adnan menghela napas gusar begitu stafnya berlalu dari ruangannya. Saat matanya melirik ke arah pintu, Adnan langsung terkesiap saat melihat papahnya berdiri di ambang pintu dengan menatapnya lurus dan tajam.

Fajar langsung masuk ke dalam ruang kerja Adnan, membuat Adnan seketika gugup dengan kehadiran pria itu yang telah menutup rapat pintu ruangannya.

Plak!

Fajar langsung menampar pipi Adnan tanpa aba-aba. Tanpa pembicaraan pembuka dan tanpa Adnan bisa menghindari tamparan itu. Adnan menyentuh pipi kanannya yang menyalurkan rasa panas ke seluruh tubuhnya. Seumur hidupnya, walaupun ia sering bertengkar dengan papahnya dan berdebat tentang ini dan itu, papahnya itu tak pernah sekalipun bermain dengan tangannya.

"Maksud Papa apa datang ke sini langsung menampar aku?" tanya Adnan dengan nada tak terima dengan hadiah tamparan di pipinya.

Semua karyawan yang ada di lantai yang sama dengan Adnan langsung saling berbisik menyaksikan adegang Adnan yang ditampar oleh papah kandungnya juga sang komisaris di perusahaan. Semuanya langsung bergosip mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Kenapa? Mau satu lagi tamparan di pipi kiri kamu?" tantang Fajar balik dengan menatap lekat mata putranya.

Adnan diam mengartikan tatapan sang papah untuknya.

"Begini cara kamu bersikap sebagai atasan? Memecat karyawan seenaknya dengan mengedepankan perasaan pribadi? Kamu benar-benar tidak profesional!"

"Aku pecat dia karena kerjanya nggak becus, Pa. Jadi wajar jika aku pecat dia."

Fajar tersenyum miring. "Ini bukanlah sikap seorang pemimpin yang bijak. Kesalahannya bahkan hanya masalah sepele, dan kamu langsung memecatnya tanpa berpikir dan memberikan kesempatan lain? Apa kamu pikir ribuan karyawan yang ada di perusahaan ini main-main? Mereka punya keluarga yang harus mereka nafkahi dari hasil kerja keras mereka di perusahaan ini!"

"Jabatan pimpinan perusahaan ini sudah jatuh mutlak atas diriku, Pa. Jadi aku berhak menjalankan sistem kepimpinan di perusahaan ini."

"Dan kamu tidak boleh lupa jika kamu diangkat menjadi pimpinan atas keputusan para dewan komisaris dan para pemegang saham. Dan jabatan kamu dapat diturunkan suatu saat. Jadi jangan sombong dan meninggikan diri kamu seperti itu!"

Adnan terkekeh pelan. Rasanya ia mau gila sekarang. Kepalanya terasa mau pecah. Ingin teriak karena masalah yang datang secara beruntun.

"Kalau memang Papa dan yang lainnya ingin menurunkan aku, dengan senang hati aku menerima, Pa. Karena sejak awal pun aku tidak pernah menginginkan jabatan ini!" Adnan langsung melewati papahnya. Bertepatan saat ia hendak menarik gagang pintu ruangannya, papahnya itu mengucapkan kalimat yang membuatnya langsung diam di tempat.

"Apa sikap kekanakkan kamu ini datang karena masalahmu dengan Arraya?"

Adnan sontak menoleh dan membalas tatapan tajam papanya.

"Apa kamu pikir Papa tidak tau akan perubahan sikapmu sejak Arraya meninggalkan kamu? Emosi kamu jadi sering tidak terkendali dan bahkan kamu suka bertindak seenaknya sendiri."

"Papah tidak berhak ikut campur atas masalahku."

"Kenapa? Apa kamu sekarang mulai menyesali semua perbuatan kamu pada Arraya?"

Adnan mengepalkan erat tangannya saat mendengar pertanyaan sang papah yang memancing emosinya.

"Dengan sifat kamu yang kekanakkan dan temperamental seperti ini, sampai kapan pun Arraya tidak akan lagi membuka hatinya untuk kamu. Kamu sudah menyakitinya bahkan memberikan talak untuknya. Kamu sudah melakukan hal yang paling Allah benci, Adnan."

Tangan Adnan semakin mengepal dengan kencang. Buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras dan wajahnya memerah. Tanpa membalas semua ucapan papahnya, Adnan langsung pergi meninggalkan ruang kerjanya. Ia ingin pergi kemanapun, asal jauh dari tempat yang sejujurnya itu adalah tempat yang teramat ia tak sukai.

🥀🥀🥀

Sudah hampir lima belas menit Arraya menatap secangkir kopi yang ada di hadapannya. Kopi sudah berubah dingin. Tak ada lagi uap panas yang dihasilkan dari kopi dingin itu. Arraya terlalu lama mengabaikan kopi itu.

Pandangan Arraya sejak kopi itu belum dihidangkan sampai kopi itu dihidangkan bahkan sudah mendingin tetap tidak berubah. Tatapannya kosong menatap kopi pekat itu. Raya sengaja memesan secangkir kopi. Katanya efek kafein dari kopi mampu membuat mood membaik. Nyatanya secangkir kopi tetap tidak membuatnya berselera. Arraya sudah membiarkan perutnya kosong sejak pagi dan kini ia malah ingin menghadapkan lambungnya langsung dengan secangkir kopi.

"Perlu saya pesankan kopi yang baru?"

Arraya sontak mengerjap. Ia menoleh perlahan saat mendengar ada seorang lelaki yang berbicara dengannya.

"Pak Muaz?"

Muaz tersenyum tipis. Ia duduk di meja kosong yang ada di samping Arraya. Ia menatap sekilas wajah Raya lalu melirik secangkir kopi Arraya yang ada di atas meja.

Raya yang seakan mengerti lirikan Muaz langsung mengikuti. "Oh...tidak usah, Pak. Terima kasih, tapi saya sudah tidak ingin minum kopi."

"Kalau gitu mau saya pesankan yang lain?"

Arraya menggeleng sambil menolak sopan tawaran Muaz.

"Kamu sudah makan siang?"

Raya menggeleng sebagai jawaban jujurnya. Muaz menghela napas panjang. "Kamu mau buat pipi kamu itu semakin tirus lagi kalau tidak mau makan terus?"

Arraya langsung menangkup kedua pipinya. Ia merasa malu karena ucapan Muaz yang seakan memperhatikan dirinya dengan begitu lekat. Raya akui memang, berat badannya sudah turun beberapa kilogram, dan Raya sadar benar apa penyebabnya.

Muaz langsung berdiri dan memesankan makanan untuk Arraya. Tak menunggu lama, Muaz datang dengan membawa sepiring menu makan siang untuk gadis itu. Muaz duduk tepat di hadapan Arraya. Tatapan matanya mendesak agar Raya mau memakan makan siang yang sudah ia bawakan.

Arraya menghela napas panjang. "Tapi saya tidak lapar, Pak."

"Kamu tetap harus makan, Ra. Saya tidak suka ada karyawan saya yang nantinya pingsan karena dianggap terlalu banyak bekerja padahal karyawan sayalah yang menyiksa diri sendiri dengan tidak makan."

"Pak! Saya tidak menyiksa diri saya. Saya katakan yang sejujurnya, saya tidak lapar makanya saya tidak memesan makan."

"Jangan beranggapan anggota tubuh kamu yang lain sekuat hati kamu, Arraya. Mungkin kamu memiliki hati yang kuat, tapi tidak dengan anggota tubuh kamu yang lain. Apa kamu mau masuk rumah sakit karena tubuh kamu yang melemah tidak pernah diberi makan?"

Arraya mendengus sebal. Ia baru tahu jika Muaz ternyata bisa bawel juga.

"Tenang saja. Kamu bisa makan itu dengan tenang karena saya tidak akan menarik bayaran atas apa yang kamu makan."

Tanpa sadar, Arraya menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyum tipis. Muaz yang melihatnya sampai bergeming beberapa detik. "Jadi Bapak traktir saya?"

"Ya. Kapan-kapan kamu juga harus traktir saya."

"Jadi Bapak tidak ikhlas traktir saya?"

"Saya hanya ingin berjaga-jaga jika suatu saat saya tidak punya uang untuk makan siang."

Arraya tertawa pelan selama lima detik. Entah karena ucapan Muaz yang sedikit menghibur atau karena ia yang ingin menghibur dirinya sendiri dengan sebuah tawa.

Tanpa Arraya dan Muaz sadari, Adnan berdiri tepat di luar restoran. Adnan sudah ada di sana sejak Arraya duduk seorang diri. Adnan memperhatikan gadis itu yang melamunkan sesuatu untuk waktu yang lama. Rasanya ingin Adnan masuk ke dalam dan mengajak Arraya berbicara, tapi rasanya ia terlalu takut. Ia takut jika Arraya akan menolak bicara padanya lagi.

Dan kini, Adnan sadar jika kehadiran Muaz memang berbahaya untuknya. Adnan merasa takut. Takut jika semua prasangka buruk yang mengelilingi kepalanya akhirnya terjadi.

🥀🥀🥀

Tok Tok!

"Masuk," ucap Raya dengan masih berkutat fokus pada buku bacaan di tangannya.

Sang pahlawan, jagoan dalam hidupnya, pria terbaik sekaligus papa kandungnya masuk ke dalam kamarnya.

Adam ikut duduk di ranjang di samping Arraya. Tangan besarnya membelai lembut puncak kepala Raya. "Anak Papa lagi baca buku apa?"

Arraya tersenyum lalu menutup buku bacaannya. "Kisah Sayyidatina Khadijah, Pa."

"Buku yang sangat bagus. Kisah perempuan sekaligus istri yang hebat. Sangat setia menemani perjuangan Rasulullah dalam memperjuangkan Islam."

Arraya mengangguk setuju. Ia juga kerap meneteskan air matanya tatkala membaca kisah idola wanita favoritnya itu. Apalagi jika membaca kisah romantisme Khadijah dengan Nabi Muhammad yang begitu kuat. Arraya jadi ingat impian kecilnya, bahwa ia akan memberikan kesetiannya pada satu orang lelaki hingga akhir hayat menjemput. Tapi kini, lelaki impiannya itu sudah tak lagi ada. Ia sudah melupakan Adnan. Sungguh.

"Papa mau bicara sama kamu, Arraya."

Arraya terkekeh pelan, "Bicara saja, Pa. Papa ini, masa hanya untuk bicara saja pakai izin segala?"

"Papa ingin bicara serius, Ra. Masalah kamu dengan Adnan."

Mendengar papahnya menyebutkan nama Adnan, Raya refleks terkejut. Senyumnya sontak memudar, berganti raut khawatir yang jelas terlihat sedang diusahakan agar tertutupi.

Arraya mengalihkan pandangannya cepat dari mata papahnya. Ia menatap ke arah lain.

"Udah nggak ada lagi yang perlu dibicarakan tentang aku dan Mas Adnan, Pa. Aku sudah yakin dengan keputusanku untuk berpisah dengan Mas Adnan."

"Arraya, tatap mata Papa saat Papa mengajakmu bicara."

Raya menggeleng, menolak saran dari Adam. "Raya ngantuk, Pa. Raya ingin istirahat lebih awal malam ini."

"Kamu masih mau menghindar lagi? Kamu pikir Papa tidak tau apa yang sebenarnya kamu rasakan?"

Akhirnya Raya menatap kedua mata papanya dengan lurus dan lekat. "Menghindar dari apa? Perasaan apa yang Papa tau dari aku?"

"Kamu menghindari Adnan, sayang. Kamu selalu menghindari pembicaraan tentang Adnan. Bahkan kamu tidak mau bertemu sama sekali sama Adnan."

Raya menarik napasnya panjang-panjang. Sesuatu yang sudah ia tahan-tahan akhir-akhir ini mulai bergejolak di dalam dada. "Karena aku tau tidak ada yang perlu dibicarakan lagi dengan Mas Adnan, Pa! Aku hanya ingin membiarkan Mas Adnan memilih sesuatu yang sejak awal dia inginkan. Aku tidak ingin menghalangi cintanya pada perempuan lain!"

Raya merasakan matanya memanas. Tatapannya tajam menatap sang papah.

"Sayang, lalu bagaimana jika Adnan memilih untuk mencoba mencintaimu?"

Raya tertawa pelan. Bukan tawa kebahagiaan yang Adam lihat melainkan sebuay tawa miris penuh kesedihan. Dan bertepatan saat itu, air mata mulai mengalir dari pelupuk matanya. Raya menepis kasar air matanya.

"Mas Adnan ke sini bukan karena dia mencintai Raya, Pa. Mas Adnan ke sini hanya karena ... hanya karena ...." Arraya merasa kerongkongannya tercekat hingga sulit untuk melanjutkan ucapannya. "Mas Adnan ke sini hanya karena merasa bersalah sama Raya. Mas Adnan ke sini hanya karena merasa kasihan. Karena Mas Adnan memang nggak pernah cinta sama aku!"

Adam menangkup kedua pipi putrinya. Ia mengusap pipi Raya yang basah karena air mata. Ini pertama kalinya Raya bicara padanya dengan suara yang menggebu. Adam tahu, jika Raya memang menyimpan perasaannya seorang diri.

"Jangan menangis, Sayang ...."

"Memangnya Papa ingin aku bagaimana?" lirih Raya dengan air mata yang sukses membanjiri wajahnya. Ia tidak mampu lagi menahan air matanya. "Apa Papa ingin aku kembali bertemu Mas Adnan? Menatap wajahnya? Mendengar suaranya? Itu hanya akan buat aku merasa lebih tersiksa lagi, Pa ... Aku hanya ingin melupakannya dengan tenang."

"Tapi kamu tau kan, kalau perceraian adalah salah satu hal yang Allah tidak sukai?"

Raya menggigit kuat bibirnya. "Aku tau itu, Pa. Tapi aku benar-benar sudah tidak sanggup lagi jika harus kembali bersama Mas Adnan, Pa. Mohon mengertilah ..."

Adam tidak tega melihat Arraya yang terisak di hadapannya. Ia langsung membawa putrinya ke dalam pelukannya.

"Arraya anak Papah, istighfar sayang... Minta perlindungan dan petunjuk Allah agar membimbing kamu dalam memutuskan kelanjutan rumahtangga kamu dengan Adnan."

Raya mencengkeram kaos papahnya sambil terus terisak. Isakan anak yang ikut menyayat hati seorang ayah.

"Raya memang masih mencintai Mas Adnan, Pa. Raya juga nggak bisa melupakan Mas Adnan. Tapi Raya juga takut, takut jika Raya kembali maka Mas Adnan akan bersikap seperti yang berkesudahan."

Adam semakin mengeratkan pelukannya pada putri semata wayangnya. Dalam pernikahan Adnan dan Arraya, ia hanyalah orang ketiga. Tugasnya adalah mencoba menjadi penengah dan membantu mencari solusi jika ada masalah yang terjadi pada Adnan dan Arraya.

Sesungguhnya bukan hanya satu iblis yang bekerja untuk memisahkan suami istri, namun mereka adalah suatu pasukan yang selalu berkoordinasi dan berkonsolidasi.

Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air (laut), kemudian ia mengutus bala tentaranya. Maka yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar fitnahnya. Datanglah salah seorang dari bala tentaranya dan berkata, "Aku telah melakukan begini dan begitu". Iblis berkata, "Engkau sama sekali tidak melakukan sesuatupun". Kemudian datang yang lain lagi dan berkata, "Aku tidak meninggalkannya hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan istrinya". Maka Iblis pun mendekatinya dan berkata, "Sungguh hebat engkau" (HR Muslim).

Dari penjelasan Nabi Saw tersebut, tampak iblis sangat menghendaki perceraian antara suami dan istri. Syaikh As-Sa'di menjelaskan dalam kitab Taisir Al-Karim Ar-Rahman, "Padahal kecintaan yang terjalin diantara pasangan suami istri (sangatlah kuat) tidak bisa disamakan dengan rasa cinta yang ada pada selain keduanya; karena Allah telah berfirman tentang pasangan suami istri "wa ja'ala bainakum mawaddatan wa rahmah" -- dan Allah menjadikan di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang".

Al Munawi dalam kitab Faidhul Qadir menjelaskan, "Hadits ini menunjukan akan sesuatu yang sangat menakutkan tentang pencelaan terhadap perceraian. Perceraian merupakan tujuan terbesar iblis yang terlaknat karena mengakibatkan terputusnya keturunan. Dan bersendiriannya anak keturunan Nabi Adam (tanpa istri atau tanpa suami) akan mudah menjerumuskan mereka ke perbuatan zina yang termasuk dosa-dosa besar yang paling besar menimbulkan kerusakan dan yang paling menyulitkan".

Sehingga bagi pasangan suami istri yang sedang berada dalam ujung tanduk perpisahan, keduanya sungguh harus memikirkannya kembali dengan matang-matang.

Seperti halnya dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda: "Ada tiga hal yang seriusnya serius, dan bercandanya dianggap serius, yaitu: nikah, cerai, dan rujuk." (HR. Abu Dawud)

Islam memperbolehkan umatnya untuk bercanda, namun tetap ada batasannya dan tidak boleh berlebihan karena hal itu dilarang keras. Sehingga pantang bagi seorang suami mengucapkan sesuatu yang mendekati cerai atau rujuk. Karena dalam candaan sekalipun, semua itu akan dianggap serius dan sah di mata agama.

🥀🥀🥀

Hujan mengguyur kota Jakarta Selatan malam ini dengan begitu lebatnya. Gemuruh petirnya memekakkan telinga. Kilatannya seperti cambuk di atas gelapnya langit.

Adnan mengadahkan tangannya ke atas. Mengumpulkan air hujan di dalam telapak tangannya. Adnan benar-benar tampak mengenaskan. Rambutnya tak beraturan. Kemejanya lusuh juga basah. Dasinya sudah entah ada di mana. Adnan seperti mayat hidup yang berjalan di bawah derasnya hujan.

Adnan terus melangkahkan kakinya maju tanpa arah tujuan. Ia hanya mengikuti ke mana kakinya melangkah. Ia bahkan tidak sadar jika rumah berwarna cokelatlah yang menjadi tujuan kakinya saat ini.

Adnan tersenyum miris meratapi nasibnya yang seketika berbalik 180 derajat. Karena seorang Arraya Kirania, ia seperti orang yang kehilangan kewarasannya selama hampir beberapa hari ini.

Adnan tertawa dalam hati menyaksikan tangannya yang tanpa malu mengetuk pintu rumah Arraya. Dan pintu sungguh terbuka dengan lebar. Kali ini yang membukakan bukan lagi papahnya Arraya, melainkan mamahnya Arraya, yakni Maya.

"Astaghfirullah Adnan! Kamu kenapa bisa hujan-hujanan begini?!"

Sebagai seorang ibu, yang Maya lihat saat ini adalah anak lelaki yang pulang dengan tatapan sendu dan tubuh basah kuyup, bukan seorang lelaki yang sudah menyakiti hati anaknya berkali-kali.

Kaki Adnan tertekuk turun. Ia berlutut langsung di hadapan Maya. Kepalanya menunduk menatap lantai. Guyuran hujan menyebabkan rambutnya yang basah ikut meneteskan air hujan ke atas lantai.

"Maafkan saya, Ma ... Saya benar-benar minta maaf dan menyesal."

Maya menutup mulutnya tanda terkejut. Ia tak menyangka jika Adnan akan sampai berlutut sambil meminta maaf lagi untuk yang ke sekian kalinya.

"Mah, siapa?" suara suaminya sontak membuat Maya menoleh. Adam mendekati istrinya. Matanya langsung membulat saat menyadari bahwa yang bertekuk lutut di hadapan istrinya adalah Adnan.

🥀🥀🥀

Adnan menatap wajah Raya yang sedang terlelap di dalam balutan selimut. Wajah gadis itu tampak begitu tenang dalam lelapannya.

"Hai, Ra ..." Adnan memberanikan diri untuk membuka bibirnya menyapa gadis itu.

Adnan menatap telapak tangannya yang mengkerut karena guyuran hujan. Ia kedinginan dan menggigil. Saat ia berlutut di hadapan Maya dan Adam tadi, akhirnya usahanya itu membuahkan hasil. Ia diperbolehkan masuk ke dalam kamar Arraya dan menemui gadis itu.

Ia mengulurkan tangan dinginnya itu untuk menggenggam jemari Arraya. Rasa dinginnya sontak sirna. Tangan Arraya mampu memberikan kehangatan untuk dirinya.

"Maaf... Maafin aku... Aku minta maaf, Ra..."

"Aku banyak salah sama kamu. Maafin semua kesalahan aku. Aku tau, aku ini adalah suami brengsek yang nggak tau diri. Aku udah banyak jahatin kamu. Aku udah banyak buat kamu menangis dan sakit hati."

Adnan mengeratkan genggamannya pada jemari Arraya. Pandangannya mengabur menatap Arraya. Air mata telah memenuhi pelupuk matanya. Adnan menangis.

"Maafin aku ... Aku bener-bener minta maaf sama kamu. Aku minta maaf. Aku mohon maafin semua kesalahan aku, Ra... Izinin aku nebus semua dosa aku sama kamu. Izinin aku buat merujuk kamu kembali."

"Aku sadar kalau aku telah jatuh hati sama kamu. Aku mencintai kamu Arraya. Aku mencintai kamu dan aku sangat merindukan kamu..."

Adnan mencoba menahan tangisnya agar tidak terlalu bersuara. Ia tidak ingin mengganggu tidur Arraya. Beberapa saat ia bertahan di tempatnya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk bangkit berdiri.

Adnan kembali menatap wajah Arraya untuk terakhir kalinya. Ia membenarkan letak selimut agar mampu memberikan kenyamanan bagi gadis itu. Adnan merapihkan beberapa anak rambut yang menutupi kening Arraya. Ia tersenyum simpul, merasakan miris dirinya yang baru menyadari perasaannya pada Arraya.

Adnan mendekatkan bibirnya tepat di dekat telinga Arraya. "Maaf jika ucapanku terdengar omong kosong, tapi aku benar-benar mencintai kamu dan aku ingin rujuk sama kamu. Aku ingin kita kembali mengulang semuanya dari awal. Aku ingin hidup berdua sama kamu, Ra."

Adnan menepis air matanya. Dengan berat hati dan berat langkah, Adnan akhirnya keluar dari kamar Arraya. Di dalam kamar yang sudah kembali gelap dan sunyi, ada isakan kecil yang mulai terdengar.

Rupanya Arraya tidak benar-benar tertidur. Gadis itu mulai sadar saat ada benda dingin yang menggenggam tangannya. Gadis itu mendengar semua ucapan Adnan. Gadis itu mendengar dengan jelas saat Adnan mengatakan mencintai dirinya. Arraya bahkan mendengar dengan jelas jika Adnan ingin memintanya untuk rujuk kembali.

Arraya membekap mulutnya agar isak tangisnya tak lebih kencang terdengar. Untuk sesaat Arraya memilih egois. Ia berharap bahwa semua ini bukanlah mimpi semata. Ia berharap bahwa semua ini adalah sungguh adanya. Kehadiran Adnan, suara Adnan, permintaan maaf Adnan, dan pengakuan hati Adnan, Raya berharap bahwa semua itu nyata adanya.

🥀🥀🥀

Super panjang kan part ini??🙈

Silahkan mengomentari, tapi dengan bahasa yang baik ya.

Terbuka untuk diskusi. Ingatkan saya jika ada kesalahan dalam kutipan hadis dan sebagainya.


Jazakumullah

Komentar