13 | Tamparan

Surga Dalam Luka

Raya menghela napas sekali lagi. Merasakan kepalanya yang terus berdenyut tiada henti. Raya memejamkan mata sembari terus menekan kepalanya. Berharap sakit kepala ini akan segera pergi agar Raya bisa segera pergi bekerja.

"Non Raya..."

"Ya, Bi?" jawab Raya tanpa mengangkat kepalanya. Suaranya juga pelan dan terdengar lirih menyapa telinga Bi Ira.

Bi Ira mendekati Raya yang sedang duduk di atas sofa. Ia berjongkok dan menyentuh kedua lutut Raya dengan tangannya. "Non mau Bibi buatkan bubur?"

Tanpa mengangkat kepalanya, Raya menggeleng. "Nggak usah repot, Bi. Saya lagi nggak pengen makan."

"Kalau gitu Bibi buatkan teh hangat, ya?"

"Nggak usah, Bi." Raya tetap menolak tawaran Bi Ira dengan halus.

"Non...perut Non Raya itu belum diisi dari pagi. Kemarin juga cuma sarapan dan makan malam sedikit. Kalau begini terus, nanti Non bisa sakit. Neng harus sehat, nanti mamahnya khawatir lagi loh."

Mendengar Bi Ira yang terus bicara, Raya mengangkat kepalanya. Ia tersenyum simpul pada Bi Ira. "Teh hangat boleh, Bi."

Bi Ira tersenyum puas. Akhirnya Raya mau menerima tawaran Bi Ira. "Siap Non, tunggu sebentar ya..."

Raya tersenyum lagi sambil mengangguk kecil. Setelah meminum teh hangat yang dibuatkan oleh Bi Ira, Raya pamit untuk pergi bekerja. Mau tidak mau ia memang harus pergi bekerja. Sakitnya tidak boleh menjadikannya lemah lalu lantas tidak masuk kerja. Lagi pula dengan ia bekerja, Raya bisa sedikit melupakan masalahnya dengan Adnan.

Adnan, bagaimana kabar suaminya itu sekarang? Apakah Adnan makan dengan lahap? Apakah Adnan merasa bahagia? Apakah Adnan merasa puas dengan semua yang terjadi antara dirinya dengan Raya? Entahlah, memikirkan itu hanya akan membuat Raya sedih.

鹿鹿鹿

Adnan mengerjapkan matanya beberapa kali saat sakit kepalanya kembali menyerang. Tangannya mengerat pada ujung meja. Pulpennya ia geletakan begitu saja di dekat buku catatannya. Walau sulit, ia tetap berusaha untuk fokus menatap screen presentasi di depan sana.

"Nan, lo kenapa?"

Adnan masih diam dengan mata terpejam saat mendengar pertanyaan dari Rangga, rekan kerja yang menjabat sebagai manajer marketing cammunication division.

"Nan? Lo sakit?" mendengar intonasi Rangga yang sedikit lebih tinggi membuat semua karyawan yang ada di ruangan itu lantas menoleh menatap Rangga dan Adnan bergantian. Mereka mulai berbisik mengenaik keadaan Adnan.

"Nan! Adnan!"

Adnan mendesah panjang. Ia mengangkat sedikit kepalanya dan tersenyum tipis pada Rangga. "Berisik lo."

"Gue serius nanya. Lo baik-baik aja?" tanya Rangga yang masih terlihat begitu khawatir.

Adnan mengangkat bahu dengan kelewat santai. Padahal Rangga sudah sangat panik karena melihat wajah Adnan yang tampak begitu pucat. Lelaki itu seperti akan menumbangkan dirinya sebentar lagi ke lantai.

"Lo pimpin meeting, ya. Kepala gue lagi nggak enak dari kemarin."

"Yaelah. Udah sana lo ke dokter dulu. Atau istirahat dulu sana. Dari hari senin lo udah kebanyakan lembur, kan? Kayak nggak ada yang nunggu di rumah aja."

Adnan mendadak ingin menulikan pendengarannya dari ucapan terakhir Rangga barusan. Sindiran sekaligus tamparan yang nyatanya kurang berasa untuk dirinya yang masih memiliki hati batu.

"Kalau gitu gue balik duluan ya." Adnan memilih menghindar dan mengabaikan kalimat Rangga. Seolah ia tidak mendengar kalimat terakhir itu terlontar dari mulut Rangga. Ia segera keluar dari ruang meeting dan menuju ruangannya untuk membereskan semua barang-barangnya

Soal Raya, ada begitu banyak hal yang Adnan sendiri belum mengerti sampai sekarang. Padahal dulu hubungannya dengan Raya sangat kelewat baik saat mereka masih dalam jurusan dan kampus yang sama. Dulu hubungan mereka sangat baik hingga Adnan bahkan bisa tertawa lepas di depan Raya. Tapi kini, kenapa hanya untuk menatap gadis itu saja Adnan enggan?

Adnan meringis kembali saat tubuhnya sudah berada di depan lift. Kepalanya semakin berdenyut tidak karuan. Adnan sampai harus membungkuk karena tidak kuat menahan sakitnya. Tertatih ia masuk ke dalam lift dan menekan tombol lobi.

"Mas Adnan!" saat mendengar panggilan itu menyapa begitu pintu lift terbuka, tubuh Adnan seakan memiliki daya untuk kembali berdiri dengan benar. Walaupun dengan ekspresi menahan sakit yang belum bisa ia hilangkan, Adnan tetap mengangkat kepalanya.

Pandangannya sedikit buram. Mungkin efek sakit kepalanya. Tapi Adnan tidak menyerah. Ia menyipitkan matanya, berusaha menatap lebih jelas ke arah depan.

Seseorang yang memanggil namanya melambai padanya. Kaki itu bergerak maju menuju ke arahnya. Langkahnya terlihat riang. Seperti bukan langkah kaki yang sering terlihat takut saat di dekatnya.

"Mas?"

Adnan menggelengkan kepalanya, menepis rasa pusing. Saat kaki gadis itu sudah semakin dekat ke arahnya, tubuh Adnan menjadi lebih lemas seketika. Adnan baru sadar, gadis itu tidak menggunakan kerudung. Gadis itu bukan Arraya. Gadis itu bukan istrinya. Gadis itu adalah Tasya. Adik sepupunya.

Tapi aneh, bukankah Adnan saat ini seperti sedang mengharapkan kehadiran Arraya?

"Mas nggak papa?" Tasya langsung merangkul lengan Adnan yang seperti akan roboh sebentar lagi. "Mas pucet banget!" serunya saat melihat banyak keringat dingin memenuhi wajah Adnan.

Adnan hanya bisa kembali meringis. Ia menutup erat kedua matanya sampai hal terakhir yang Adnan sadari adalah di mana Tasya meneriakkan namanya dan mengguncang tubuhnya hingga Adnan merasa dunianya berputar dan yang bisa ia lihat hanyalah kegelapan.


Entah sudah berapa lama Raya mengaduk-aduk sup yang tersedia di depannya. Supnya bahkan sudah tidak lagi panas atau hangat. Dingin, itulah yang pastinya terasa, karena Raya belum juga selesai makan setelah Bi Ira selesai masak dan juga mencuci semua peralatan masak.

Dering telepon rumah membuat Raya menarik semua lamunannya. Saat ia hendak beranjak untuk mengangkat telepon rumah, Bi Ira sudah lebih cepat mengangkat telepon masuk.

"Iya, halo?"

Setelah melihat Bi Ira mengangkat telepon masuk itu, Raya memilih untuk meminum susu putih yang telah dibuatkan oleh Bi Ira. Setidaknya ia tetap harus mengisi perutnya dan menjaga kesehatannya walaupun jadi sulit karena Adnan masih mengabaikannya.

"Astaghfirullah! Ada apa Ibu dengan Den Adnan!"

"Mas Adnan?" mendengar suara Bi Ira yang terdengar panik, Raya langsung bergegas berdiri. Tapi karena kepalanya yang masih pusing, Raya sampai hampir saja terjungkal dengan langkah kakinya sendiri.

"Bi, Mas Adnan kenapa?" tanya Raya dengan nada mendesak begitu Bi Ira mematikan sambungan teleponnya. Bukannya menjawab Bi Ira malah menangis, membuat Raya merasa khawatir tidak karuan.

"Bi!" Raya menarik napas panjang berusaha sabar. "Bi, kasih tau aku ada apa dengan Mas Adnan? Kenapa Bibi menangis?" tanya Raya dengan tangan yang mulai bergetar karena takut.

"Aden masuk rumah sakit, Non. Siang tadi saat di kantor, Aden pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit."

"Astaghfirullahaladzim...."

Mendengar kabar bahwa Adnan sakit dan dibawa ke rumah sakit, membuat dunia Raya seolah runtuh. Ia tak pernah mengharapkan Adnan sakit seperti ini. Kabar itu seolah menampar Raya, bahwa ia sebagai istrinya tapi tidak bisa melakukan apa pun untuk suaminya.

Walaupun Adnan memang sudah menyatakan niatnya untuk menceriakannya, tetap saja saat ini ia masih sah menjadi istri Adnan, dan ia wajib untuk melayani suaminya. Tapi persoalannya di sini adalah, Adnan sama sekali tidak menyediakan ruang untuk Raya melakukan kewajibannya. Seolah ada sekat yang membatasi Raya dari Adnan, dan Adnan tak ingin Raya melewati batasnya.

Raya keluar dari taksi dengan air mata bercucuran. Ia takut kalau ada apa-apa yang terjadi pada Adnan. Dengan terus menyebut asma Allah dalam hati untuk menenangkan dan merapelkan doa untuk suami, Raya berjalan cepat menuju meja administrasi.

"Pasien atas nama Muhammad Adnan, di mana Sus?"

"Dicek sebentar ya Ibu." Raya mengangguk tak sabar. Begitu suster tersebut memberikan jawaban pasti, Raya langsung bergegas pergi tanpa ingat mengucapkan terima kasih. Kepalanya sudah terlalu dipenuhi dengan Adnan. Lelaki yang sudah sangat ia rindukan selama ini. Lelaki yang membuatnya seakan berdosa karena berani mencintainya.

Raya sedikit terkejut saat melihat mamahnya Adnan dan juga Tasya sudah berada di depan ruang rawat Adnan.

"Ma?" Raya mendekat dan langsung berjongkok di depan mertuanya. Ia menangkap raut khawatir dan basahnya pipi ibunda Adnan. "Mas Adnan kenapa, Mah?" tanya Raya dengan suara yang pelan.

"Masih inget suami kamu dateng ke sini?" suara itu membuat Lidya yang semula ingin menjawab pertanyaan Raya jadi terurung.

Raya menoleh, segera berdiri dan menatap Tasya yang kini berdiri dengan mata menatapnya tajam.

"Tasya..."

Plak!

Raya merasa ada rasa panas yang menjalar dari pipi kanannya. Raya membuang napas tak percaya dengan apa yang baru saja Tasya lakukan padanya. Raya menahan air matanya untuk jatuh. Ia menyentuh pipinya dan merasakan sakit yang semakin menjalar panas.

"Tasya! Kamu apa-apaan?" omel Lidya saat melihat menantunya ditampar oleh Tasya.

Kini Tasya menatap Lidya dengan kening mengerut karena berani membela gadis tidak tahu diri seperti Arraya. "Tante, cewek ini tuh nggak pantes untuk Mas Adnan! Dan dia juga nggak pantes dapet pembelaan dari Tante, setelah apa yang dia lakuin ke Mas Adnan! Dia itu cuma bisa bikin Mas Adnan menderita kayak sekarang!"

"Tasya! Sudahlah... perhatikan ucapan kamu. Ini rumah sakit."

Tasya semakin tidak terima dengan respon yang diberikan oleh Lidya. Seolah-olah yang salah ada dirinya, dan yang benar adalah Arraya. "Tante kok masih belain dia, sih? Tante liat dong dia, ke mana dia di saat Mas Adnan butuh pertolongan? Punya suami satu aja nggak diurus dengan becus!" sindir Tasya dengan menatap nyalang Raya.

"Cukup Tasya! Cukup! Kamu semakin tidak sopan!" hardik Lidya dengan mata yang menajam pada Tasya. Sedangkan Raya hanya bisa diam tanpa ingin menambah keributan.

Tamparan Tasya masih sangat terasa bekasnya. Tasya bukan hanya menampar pipi kanannya, tapi sudah menampar hatinya juga. Kalimat yang Tasya berikan begitu membekas dan menyayat hatinya.

"Tante jahat! Tante lebih belain cewek nggak tau diri ini dibandingkan aku! Padahal Mas Adnan bisa segera ditangani dokter karena aku bukan karena perempuan ini!" Tasya mengarahkan telunjuknya dengan kasar ke arah Raya. Tatapannya penuh kebencian pada Raya.

Dengan melontarkan kalimat bencinya, Tasya langsung pergi dengan sengaja menabrakkan bahunya pada Raya hingga Raya yang tak siap langsung terjatuh. Air mata yang sudah ia tahan kini malah meloloskan diri.

Rasanya, luka yang semula adalah titik hitam kini sudah semakin melebar. Kian hari kian membesar. Dan entah bagaimana caranya Raya menutupi semua luka yang ada.

鹿鹿鹿

Maaf terlambat update revisi :')

Jangan lupa vote dan komennya :*


Komentar