32 | Menyerah?

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

"Tasya, sekarang Mas sudah sadar tidak seharusnya Mas bersikap tidak pantas pada Arraya dulu, dan sekarang Mas mencintai Arraya dengan tulus dan dengan sepenuh hati Mas, Tasya. Mas sangat menyayangi Arraya jadi Mas mohon kamu harus menerima Arraya sama seperti kamu menerima Afifah."

Mendengar penuturan Adnan yang terus membela juga malah mengutarakan kata cinta untuk Arraya, membuat Tasya semakin merasa geram hingga kedua tangannya terkepal erat.

"Lalu gimana dengan Mbak Afifah, Mas?" lirih Tasya. Ia menatap Adnan dengan tatapan tak percaya. "Apa Mas tega suatu saat nanti ketika Mba Afifah bangun, Mas malah melupakannya. Apa Mas pernah mikir gimana perasaan Mba Afifah?"

Adnan terdiam sesaat. Sudah punyakah ia jawaban atas pertanyaan Tasya barusan?

"Tasya, hentikan tolong. Mas mau pulang sekarang. Tolong jangan memperpanjang dan memperumit keadaan. Mau dijelaskan pun kamu nggak akan ngerti."

Satu sudut bibir Tasya tersenyum miring. Ia menggeser kepalanya dan melirik Arraya yang ternyata diam-diam juga sedang menatapnya. "Apa karena dia, Mas jadi jahat seperti ini sama Mba Afifah?" Tasya menggeser tubuh Adnan ke samping hingga saat ini ia berhasil berhadapan secara langsung oleh Arraya.

"Tasya, tolong jangan seperti ini." ujar Adnan yang mengkhawatirkan Tasya mengamuk di depan Arraya.

Tasya kembali menoleh menatap Adnan. "Emang apa yang udah dia lakuin sampai Mas rela mau ninggalin Mba Afifah?"

"Tasya..." panggilan itu berasal dari Arraya. Gadis itu mencoba memberanikan diri untuk membela dirinya. Berhadapan dengan Tasya, maka anak itu akan selalu berusaha menjatuhkan harga dirinya.

Plak!!

Tubuh Arraya menegang seutuhnya. Adnan memekik kaget dan langsung mendorong tubuh Tasya pelan ke belakang, tapi cukup hingga membuat gadis itu sedikit terhuyung. Kejadiannya begitu cepat hingga Adnan dan Arraya sama-sama tidak ada yang menyangka kalau Tasya akan berani menampar Arraya.

"Gue nggak ngomong sama lo! Apa kita udah saling kenal sampai lo berani ngomong sama gue?!"

Arraya memejamkan matanya dan memegang pipinya. Rasa panas, perih, dan sakit di pipi kanannya langsung menyebar ke seluruh tubuhnya. Tidak hanya bagian pipi dan tubuhnya saja yang sakit, tapi hati dan perasaannya juga sakit. Apa salahnya hingga ia harus mendapat dua kali tamparan dari Tasya?

Sehina itukah dirinya di mata Tasya?

"Kamu keterlaluan Tasya!!" bentak Adnan. Baguslah, kini mereka bertiga sudah benar-benar menjadi pusat perhatian khalayak.

Tasya tersenyum sinis pada Arraya. "Dasar wanita munafik!" teriak Tasya hingga membuat semua mata semakin merasa terundang menatap mereka bertiga.

"Wanita tidak tahu diri! Lo kasih guna-guna apa sampai Mas Adnan jadi luluh kayak gini? Harusnya lo sadar, kalau lo cuma wanita pengganti!" seru Tasya sambil menunjuk Arraya yang sedang menundukkan kepalanya.

Adnan berusaha menenangkan Tasya, tapi gadis itu menolak. Tatapannya masih menyalang menatap Arraya.

"Setelah Mbak Afifah sadar dari komanya dan kembali pulih pasti lo akan di ceraikan! Camkan itu!" ancam Tasya kepada Arraya.

"Stop, Tasya!! Mulut kamu keterlaluan!"

Tidak terima dengan perlakuan Tasya pada istrinya, Adnan langsung mencengkeram pergelangan tangan Tasya dan membawa gadis itu menjauh dari istrinya.

"Mas perlu bicara sama kamu!"

Tasya yang semula ingin kembali menghujam Arraya dengan kata-kata pedasnya sontak kaget, karena ia pikir Adnan akan diam saja dan membela dirinya seperti saat lalu di rumah besar kakek mereka.

Adnan yang tanpa sadar mencekal pergelangan tangan Tasya membuat gadis itu memekik sakit. "Lepasin tangan aku, Mas! Sakit tahu!"

Mendengar Tasya yang masih meneriakinya karena marah, tidak membuat Adnan melepaskan cekalanya. Adnan justru dengan sadarnya semakin kuat memegang pergelengan tangan Tasya. Lelaki itu sudah tidak lagi peduli jika nantinya tangan Tasya memerah. Tujuan Adnan hanyalah satu, membawa Tasya jauh dari Arraya dan menceramahi gadis itu jika yang dilakukannya adalah salah.

Masih terdiam Arraya di posisinya. Kepalanya menunduk dalam, tak bergeser sedikitpun kakinya dari sana. Telinganya masih terlalu shock dengan semua ujaran kebencian Tasya. Hatinya sakit, bergejolak menahan kesal, marah, dan sedih.

Telinganya mendengar suara gunjingan orang-orang di sekitarnya. Saat ia berusaha mengembuskan napasnya lewat mulut, air matanya sontak meloloskan diri. Dengan susah payah ia melangkah menjauhi kerumanan orang-orang. Tangannya mengepal erat. Bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat. Rasanya memalukan dan menyedihkan.

Entah ke mana perginya Adnan, Raya sudah tidak mau menunggu lagi. Yang jelas ia ingin pulang saat ini. Kebahagiaan yang sedang ia rasakan, kenapa begitu cepat berlalu? Kenapa kesedihan selalu cepat datang menyapa?

Sampai di luar mall, kaki Arraya terus berjalan tak tentu arah. Kepalanya kosong tak dapat berpikir harus pulang menggunakan apa. Ia hanya mengikuti kakinya yang terus melangkah menjauh dari Mall.

Gemuruh suara langit membuat Raya sesekali tersental kaget. Langit malam semakin pekat warnanya karena mendung. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun membasahi bumi.

Pertigaan di ujung jalan depan sana menjadi tujuan Arraya. Dengan langkahnya yang sama sekali tak bersemangat. Lampu sedang merah, beberapa pengendara juga sudah mulai berhenti.

Raya ikut menyebrang. Sayangnya, dirinya yang sedang tidak fokus, membuat Raya tidak memfokuskan diri menatap jalan di sekitarnya. Raya bahkan tak memperhatikan apakah kendaraan di sekitarnya dipastikan berhenti atau tidak. Karena namanya jalanan Jakarta, bahkan ketika lampu merah pun tak jarang ada kendaraan yang tetap melaju paksa.

Tiin Tiin!!

Kedua mata Arraya yang semula meredup kini terbuka dengan begitu lebarnya. Jantungnya berdegup dengan begitu cepatnya. Arraya menatap gamang sekitarnya.

"Bodoh atau gimana sih, Mba?!! Kalau jalan tuh pake mata!!"

"Dasar cewek bego!"

Raya merasakan seperti ada yang meremas kepalanya. Pusing dan sakit. Matanya berkunang menatap ke depan. Sementara itu kedua kakinya masih tetap di tempat, tak bergeser sedikitpun. Membuat para pengendara yang terhalang karenanya jadi semakin meledakkan amarahnya. Sumpah serapah terpaksa harus Raya telan.

"Woii minggir!!!"

Arraya menangis tanpa suara. Ia memanggil nama Adnan dalam hati. Meminta pertolongan suaminya agar segera datang untuk menjemput dirinya.

"Arraya!!"

Arraya tak menoleh. Telinganya hanya bisa mendengar suara klakson juga sumpah serapah  para pengendara yang terus ditujukan untuknya.

"ARRAYA!!"

Ada yang mencengkeram kedua bahu Arraya hingga gadis itu berbalik. Matanya yang terus mengurai air mata tak bisa melihat jelas siapa pria yang ada di hadapannya.

"Arraya, sadar!!" kedua tangan itu mengguncang kedua bahu Arraya. Memaksa agar Raya segera menyadarkan dirinya. Saat air matanya berjatuhan, Arraya bisa melihat sekilas bahwa pria yang ada di hadapannya ternyata adalah Muaz. Entah bagaimana bisa Muaz ada di hadapannya saat ini.

"Masuk ke mobil!"

Tangan Muaz langsung menarik pergelangan tangan Arraya agar masuk ke dalam mobilnya. Arraya hanya diam menerima perlakuan Muaz padanya. Ia sudah tidak bisa berpikir apa pun.

Ketika mobil sudah cukup jauh dari posisi lampu merah, Muaz langsung menepikan mobilnya. Napasnya yang kasar begitu terdengar masuk ke telinga Raya. Matanya menatap tajam ke depan dengan emosi yang menggebu.

Bugh!

Muaz memukul stir di hadapannya. "Saya benar-benar tidak paham dengan apa yang kamu lakukan tadi!"

Muaz menoleh, Arraya hanya menundukkan kepalanya dalam.

"Apasih yang kamu pikirkan barusan? Apa kamu mau bunuh diri? Apa kamu sudah bosan hidup? Ngapain kamu di tengah jalan kayak tadi? Apa kamu tidak tau kalau itu bahaya? Apa kamu udah kehilangan akal kamu yang pintar itu?"

"Jawab saya, Arraya!" bentak Muaz tak sabar karena Raya tak kunjung menjawab memberi penjelasan.

"Lalu kenapa Bapak malah muncul tadi?!" balas Arraya dengan berteriak. Membuat Muaz yang semula menatapnya marah jadi khawatir dengan ekspresi Arraya.

"Harusnya biarkan saja saya di jalan seperti tadi! Harusnya Bapak tidak perlu repot menyelamatkan saya! Biarkan orang-orang itu melakukan apa yang mereka mau! Biarkan mereka mencaci maki saya sampai mulut mereka puas! Karena mungkin saya memang cocok menerima semua perlakuan itu!"

Ini pertama kalinya Muaz melihat sosok yang berbeda dalam diri Arraya. Ini pertama kalinya ia melihat Arraya semarah itu. Ini pertama kalinya Muaz melihat mata Arraya menatapnya penuh tantang.

"Ra—" Muaz tak menyangka jika Arraya akan bicara seperti itu. Membicarakan soal kematian, tak pernah ia bayangkan kata demi kata berisi penyesalan akan meluncur dari bibir seorang Arraya.

Arraya menelan salivanya susah payah. Air matanya berderai menahan perih dadanya. Seperti ada luka yang sengaja disiram air garam.

"Memangnya apa salah saya? Apa saya melakukan kesalahan sampai saya harus diperlakukan seperti ini?"

Muaz semakin mengerutkan keningnya, tidak mengerti dengan apa yang barus aja Arraya katakan padanya.

"Harusnya Bapak tidak usah menolong saya... Mungkin jika takdir berjalan seperti semula, akan ada banyak orang yang dapat kembali bahagia ketika saya tidak ada..."

🥀🥀🥀

Ini belom sedih 🙈 nantikan puncak konfliknya yg penuh surprise yaaa 😚

Ramein SDL lagi doong pake vote dan komen kalian 😢😢

❤ Jazakumullah ya Khair ❤

Komentar