1. Pelataran Mesjid

Jika kita pikir. Waktu itu singkat, berlalu begitu saja. Kenangan seakan menjadi masa lalu, dan misteri kehidupan menjadi masa depan.

Benar kata orang, bahwa masa putih abu-abu adalah masa yang indah. Aku menghabiskan waktuku begitu menyenangkan, dan sekarang aku sudah berada di semester akhir kuliahku, rasanya baru kemarin aku menjadi mahasiswi baru. Ternyata benar waktu itu terus berjalan.

Khaila Nayyara Zahabiya. Salah satu sosok sang pemeran utama dalam cerita ini. Pemilik paras cantik, dan cerita rahasia.

"Kamu hari ini jadi kan ambil sepatu, ke Mbak Sarah?" tanya seorang perempuan. Dia Meira sahabat Khaila.

Khaila menatap Meira. "Iya jadi. Kenapa?" Khaila balik bertanya.

"Kalo kamu ambil sepatu bareng yaa, soalnya aku mau ambil pesanan Mama ku juga." Kata Meira.

Khaila tersenyum menutup novel nya. "Kalo gitu sekarang aja, soalnya udah mau Ashar juga, jadi setelah ambil pesanan kita langsung ke masjid dekat rumah Mbak Sarah, gimana?" usul Khaila.

Meira mengangguk tersenyum. "Yaudah yuk!"

***

"Makasih yaa Mbak." Ucap Khaila tersenyum.

"iyaa, sama-sama." Jeda beberapa detik, "habis ini kalian mau kemana?" tanya Sarah.

"Gak ada rencana lagi sih, balik ke rumah ajalah Mbak." Ucap Meira.

"Ohh yasudah, hati-hati loh bawa motornya jangan lupa helm nya."

"Iyaa Mbak Sarah ku yang cantik." Ucap Khaila, "yuk Mei, naik!"

Meira mengangguk, dan duduk di belakang Khaila. "Kami pulang dulu yaa! Assalamualaikum." Pamit Meira.

"Assalamuailakum mbak Sarah." Ucap Khaila setelahnya.

"Waalaikumsalam, hati-hati."

Beberapa meter dari rumah Mbak Sarah, Khaila dan Meira akhirnya sampai di rumah Allah 'mesjid' Khaila memakirkan motornya, sedangkan Meira membenarkan khimarnya.

Setelah mengambil air wudhu Khaila dan Meira duduk di staf pertama sembari membuka Qur'an kecil yang selalu mereka bawa. Surah Al-Kahfi menjadi bacaan mereka kala itu sambil menunggu Adzan Ashar berkumandang.

Allah akbar... Allah akbar...

Kedua gadis itu mengakhiri bacaan mereka saat Adzan mulai terdengar.

"Suara adzan nya bagus yaa." Ucap Meira kepada Khaila yang hanya di berikan senyuman simpul oleh Khaila. Meira yang melihat itu mengerucutkan bibirnya kesal.

Khaila yang menyadari itu tersenyum, "Iya-iya suara adzan nya bagus. Udah ah mending kita siap-siap pakai mukena." Ajak Khaila, yang hanya di berikan anggukan pelan oleh Meira.

Begitulah pertemanan mereka. Khaila yang lebih dewasa pemikirannya dan Meira yang sedikit kekanakan, masih memiliki sifat tidak sabaran.

***

Hujan akan segera tiba. Cepat sekali langit berganti suasana. Beberapa motor yang terparkir dihalaman mesjid perlahan mulai meninggalkan mengendarai sedikit lebih cepat agar tidak kehujanan dan tidak perlu berteduh. Kota yang sekarang mereka tinggali ini lagi ramainya kedatangan hujan.

Seorang pria nampak kebingungan mencari sendalnya yang hilang entah kemana, di sekitar pelataran mesjid sudah ia cari namun hasilnya tidak menemukan apa-apa.

Apa mungkin sendalnya ketuker? Tapi gak mungkin kalau ketuker pasti ada tukerannya. Lah ini kosong.

Apa mungkin sendalnya dibawa orang? Gak mungkin juga. Mengingat ia datang ke mesjid ini hanya menggunakan sendal jepit.

Bukannya lelaki itu begitu sayang dengan sendalnya. Tapi waktu yang mendesak lelaki itu harus segera pulang. Dan ia tidak punya banyak waktu untuk membeli sendal baru ke warung.

"Saya pikir kamu membutuhkan sepatu ini." Seseorang yang tidak dikenali lelaki itu menyodorkan sepatu. Sukarela.

Lelaki itu menatap orang yang memberikannya sepatu dengan tatapan heran.

"Ambil saja. Saya rasa sepatu ini muat dikaki kamu." Ucap orang itu lagi.

"Nayyara, ayo nanti keburu hujan!" seorang perempuan berteriak di parkiran sepeda motor. Tidak sabaran.

Perempuan itu menoleh sekilas, mentap temannnya yang disana tidak sabaran. "Iyaa bentar!" Balas teriak perempuan itu. "Kamu ambil yaa." Pinta perempuan itu lagi.

"Kenapa?" tanya pria itu pada akhirnya.

"Karna saya rasa sepatu ini, jauh lebih dibutuhkan kamu, daripada saya. Yasudah saya pamit yaa, Assalamualaikum." Pamit perempuan itu. Setelahnya ia sedikit berlari menuju parkiran.

Perempuan tadi bernama Khaila. Dan cerita panjang dari awal ketidaksengajaan akan dimulai.

Pria itu diam termenung menatap sepatu dan seorang perempuan yang tidak dikenalnya sama sekali memberikan bantuan padanya barusan.

Siapa dia?

"Alif, gimana sendal nya udah ketemu?" tanya seorang dari belakang menyadarkan lamunan Alif.

"Loh kok sendal bisa berubah jadi sepatu baru, kamu punya ilmu yaa?" orang itu menatap takjub. Seperti anak kecil menerima hadiah ulang tahun yang banyak

Alif menoleh ke arah sahabatnya. "Ilmu apaan?"

"Ilmu supaya merubah barang. Kalo beneran ada, mau dong diajarin." Ucap orang itu memasang wajah imutnya yang sungguh demi apapun membuat Alif jijik melihatnya.

"Ilmu apaan sih! Gak, gak ada! Jangan banyak berhalusinasi deh, gak baik." Ucap Alif melangkah pergi meninggalkan sahabatnya itu.

Alif masih bingung dengan sikap perempuan tadi.

"Masang sepatu aja sambil ngelamun." Cibir orang itu.

"Apaan sih!" ucap Alif lalu ia berdiri meninggalkan sahabatnya itu.

"Alif." Panggil orang itu kembali.

Alif memberhentikan langkahnya, menatap orang itu dengan tatapan malasnya, "apa lagi sih, Adam!" jengah Alif.

Adam yang melihat sahabatnya itu terkekeh, sikap dingin dari sahabatnya itu tak pernah hilang dari dulu. "Dapat sepatu ini darimana?" Adam kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama, matanya terus menatap takjub kearah sepatu yang sekarang dikenakan Alif

Alif yang mendengar pertanyaan itu lagi, menghembuskan nafasnya gusar, setelahnya beralu pergi meninggalkan Adam. Tak peduli jika sahabatnya itu akan marah.

Sementara diperjalanan pulang Kirana dan Meira. Perempuan yang menjadi tumpangan dibelakangnya itu terus saja mengoceh tidak jelas. Karena Khaila telah memberikan sepatu yang baru saja ia beli pada orang asing. Kirana menganggap ini biasa saja lagipula sesama manusia harus saling membantu, toh rejeki udah ada yang atur. Tapi Meira berpikir lain, gadis itu menganggap bahwa perlakuan Khaila itu bisa membuat lelaki itu salah paham. Bagaimana kalau laki-laki itu mengira Khaila adalah pengagum rahasianya.

"Gimana kalau lelaki tadi cari tahu siapa kamu?"

"Gak mungkin Meira."

"Kalau laki-laki itu jadi suka sama kamu, karena sepatu. Gimana?"

"Udah deh jangan pikir aneh-aneh."

"Gimana kalian berdua ternyata berjodoh."

"Meira stop! Kamu ini semakin jauh aja mengkhayalnya. Itu gak mungkin terjadi."

"Yeay masa depan siapa yang tau." Kata Meira. "Oh iya kamu tanyain gak namanya siapa?"

"Gak."

"Yaah."

Khaila hanya terkekeh pelan.

***

Khaila, perempuan itu tampak berkutik pada buku-buku yang membuatnya merasa tersiksa, menjadi mahasiswi semester akhir membuat Khaila tidak bisa luput dari buku-buku yang bisa membuat Khaila stres.

"Khaila, makan dulu yuk!" ucap seorang di depan pintu kamar Khaila.

Khaila menoleh tersenyum "Iya Bunda, bentar yaa." Ucap Khaila.

Khaila mentup bukunya, setelahnya menyusul bundanya untuk makan malam.

Sesampai di tempat makan, sejenak Khaila diam menatap kursi kosong yang ada disebrangnya.

"Khalisa kapan pulang, Bun?" tanya Khaila.

"Katanya sih bulan depan."

"Kamu ini, giliran kumpul berantem kek anak kecil, eh giliran kepisah aja nanyain kapan pulang." Cibir Syakir ayah Khaila.

"Ish Ayah, Khaila nanya serius." Kesal Khaila.

Syakir dan Ainun yang melihat itu terkekeh.

"Ayah mau ngomong serius sama kamu!" ucap Syakir ke Khaila setelah beberapa saat hening.

Khaila menatap Ayahnya, memasang wajah serius. "Mau ngomong apa?"

"Ayah mau jodohin Khalisa sama anak dari sahabat ayah, kamu setuju?"

"Dijodohkan?" kaget Khaila, "kenapa?"

"Ayah pengen ada yang jaga Khalisa, jaga iman nya, Ayah gak mau Khalisa kembali kayak dulu setelah balik dari pesantren, Ayah takut Khalisa sikapnya balik kayak dulu, makanya Ayah mau jodohin Khalisa biar dia gak kembali kayak dulu, dan ada yang jagaain. Kamu gak papa kan, didahuluin adik kamu?"

Khaila tersenyum. "Kalo itu alasan Ayah, Khaila gak papa kok, Khaila malah seneng dengarnya." Ucap Khaila.

"Alhamdulliah kamu setuju, Bunda pikir kamu bakal marah." Ucap Ainun.

Khaila tersenyum simpul. "Masalah perjodohan ini, Khalisa udah tau?" tanya Khaila.

Syakir menggeleng, "dia belum tau, Ayah akan kasih tahu ke dia kalo dia udah ada dirumah."

Khaila yang mendengar itu mengangguk mengerti "semoga saja Khalisa mau menerima perjodohan ini." Ucap Khaila yang diaminkan oleh Syakir dan Ainun.

*****

qul innamaaa ana basyarum mislukum yuuhaaa ilayya annamaaa ilaahukum ilaahuw waahid, fa mang kaana yarjuu liqooo'a robbihii falya'mal 'amalan shoolihaw wa laa yusyrik bi'ibaadati robbihiii ahadaa

"Shadaqallahul adzim"

Alif menutup Qur'an nya, dia diam menatap pemandangan dari ruangan kerjanya, menatap bintang seakan telah menjadi rutinitas Alif tiap malam. Alif mengetukkan jarinya berulang kali kemeja kerjanya, Alif tidak mengerti kenapa pikirannya malah memikirkan gadis yang ia temui di mesjid tadi sore.

Nayyara... Nama yang indah -batin Alif.

Alif sungguh tidak mengerti, tentang apa istimewanya gadis itu, namun yang jelas Alif tertarik dengan gadis itu.

"Astaghfirullahalzim." Istighfar Alif, tidak seharusnya ia memikirkan gadis itu, berulang kali ia mengucapkan istighfar mencoba menghapus pikirannya tentang gadis itu.

Tanpa ia sadari, malam itu pikirannya selalu tertuju kepada gadis yang baru saja ia temui. Gadis yang misterius.

10 Rabi'ul Awal 1440 H❤

Komentar