42 | Hal yang Sebenarnya

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Jangan lupa follow dulu sebelum membaca :')

"Mohon maaf semuanya karena harus saya tinggal keluar sekarang. Meeting lanjutannya akan dipimpin oleh Rangga."

Walau meninggalkan banyak tanya karena tak seperti Adnan yang biasanya, Adnan tetap pergi meninggalkan ruangan meeting. Lagipula memang sudah hak semua karyawan untuk istirahat ketika jam istirahat sudah tiba. Tapi terkadang, untuk beberapa kondisi, meeting tetap dirasa lebih penting hingga menyebabkan jam istirahat harus berkurang untuk karyawan tersebut.

Adnan langsung masuk ke dalam lift khusus VIP dengan gerakan terburu-buru. Saat keluar meninggalkan lobi ia juga berlari. Semua orang yang melihatnya pasti paham jika ia sedang dalam urusan mendesak, entah apa itu. Ia langsung segera masuk ke dalam mobil hitamnya dan berlalu pergi meninggalkan area kantor.

Saat keempat roda mobilnya terus berputar, Adnan kembali membuka ponselnya. Membuka kembali pesan yang tadi masuk secara terus-menerus saat meeting sedang berlangsung. Pesan yang ia dapatkan dari ibunya Afifah.

Adnan, tolong ke rumah sakit sekarang.

Afifah sempat kejang dan dia selalu panggil dan cari kamu.

Dan saat ia mendapat pesan itu sebelumnya, Adnan sudah membalaskan kalau ia tak ingin pergi ke rumah sakit. Tapi ibunya Afifah terus memaksa dan mengganggu Adnan dengan pesan berantainya. Hingga pada akhirnya Adnan mengiyakan.

Begitu Adnan keluar dari aplikasi whatsapp, foto wallpaper ponselnya membuat dirinya merasa jadi pria sekaligus suami yang jahat. Foto wallpaper dirinya bersama Arraya saat bulan madu ke Raja Ampat. Foto di mana Arraya sedang berusaha mencium pipinya dengan kaki yang berjinjit. Melihat foto bahagia itu, seketika melahirkan senyum getir di wajah Adnan.

"Hanya sebentar. Mas janji, Ra. Mas akan selesaikan semua ini secepatnya."

Sesampainya di rumah sakit, Adnan langsung dihampiri oleh Yanti, ibunya Afifah, sebelum ia mendekat ke ruang rawat Afifah.

"Adnan, tolong bantu Ibu."

"Bu, ini sudah di luar perjanjian. Saya nggak bisa. Saya punya istri yang harus saya jaga perasaannya."

"Adnan, Ibu mohon... temui Afifah sekali lagi, dia sangat butuh kamu. Kamu tahu kan, kalau keadaan dia bukannya membaik tapi malah memburuk?"

Yanti menangis di hadapan Adnan. Sudah terlalu sering, hingga Adnan tak lagi ikut merasa sedih. Yang ada hanya perasaan kesal dengan semua keadaan rumit yang kini menimpa semua.

"Bu, ini berat untuk saya."

"Adnan, Ibu mohon... bertahan sebentar lagi, kamu pasti bisa menemani Afifah di sisinya sampai nanti waktunya yang tinggal sebentar lagi berakhir."

Adnan mendesah frustasi. Ia menjambak rambutnya sendiri. Setelah berpikir sejenak, Adnan mengangkat kepalanya. Menatap mata Bu Yanti dengan lurus. "Ini adalah yang terakhir. Setelah ini jangan paksa saya lagi melakukan hal yang bertolak belakang dengan hati saya."

Adnan langsung menyingkir untuk menyiapkan diri masuk ke dalam ruang rawat Afifah. Ia merasa jadi manusia paling bodoh dan munafik. Tersenyum padahal tak ingin, menyapa padahal tak rela.

"Mas Adnan!" Afifah yang melihat kehadiran Adnan masuk ke dalam ruangannya langsung melukiskan senyum yang begitu cerah dan lebar. Perempuan itu langsung bangkit duduk dari tidurnya. Selang infus masih setia menempel di pergelangan tangan kirinya, beserta selang bantu oksigen yang membantu pernapasan Afifah melalui kedua lubang hidungnya.

Adnan mendekati ranjang Afifah, dan berdiri tak jauh dari sana. "Gimana kabar kamu?" tanyanya setelah meletakkan parcel buah di atas meja.

Afifah tersenyum miris. Merasa unik dengan jalan takdir yang digariskan semesta untuknya. "Ya masih gitu, Mas. Memang kabar apa yang diharapkan dari manusia penyakitan kayak aku?"

Adnan ikut tersenyum miris seperti Afifah. "Jangan pernah bicara begitu, Fah. Kamu pasti bisa sembuh. Kamu adalah perempuan yang kuat."

Adnan membulatkan matanya saat Afifah melingkarkan tangan ke pinggangnya secara tiba-tiba. Perempuan itu bahkan memeluk Adnan dengan begitu erat.

"Mas tau nggak, semalam aku mimpi kalau kamu akan tinggalin aku."

Adnan hanya diam. Otaknya tak dapat berpikir apa-apa. Ia juga hanya diam dengan pelukan yang Afifah berikan. Tak menolak juga membalas.

"Padahal aku masih mau nikmati hidup ini lebih lama. Aku masih ingin nikmati hidup ini bersama Mas Adnan."

"Fah, kamu harus istirahat."

Afifah menggeleng di atas bahu Adnan. Ia memejamkan matanya sejenak, nyaman dengan pelukannya walau Adnan tak membalas.

"Aku selalu merasa punya harapan hidup kalau melihat Mas Adnan ada didekatku."

"Fah, kamu—" kalimat Adnan terjeda saat Afifah menarik tangannya untuk membalas pelukan perempuan itu.

"Makasih untuk semuanya, Mas. Aku sungguh mencintai kamu."

Adnan membulatkan matanya sekali lagi. Ia berusaha menarik tangannya tapi Afifah menahannya. Pelukan mereka justru lebih erat, karena Afifah semakin menarik leher Adnan mendekat padanya.

"Terima kasih sudah mencintai aku sampai dengan detik ini," ujar Afifah lagi.

Adnan merasa semuanya semakin berlebihan. Ia melakukan semua ini bukan karena perasaannya masih sama dengan yang dulu.

Ingin agar Adnan jujur? Adnan sudah melepas semua perasaannya pada Afifah. Sejak malam di mana ia diberi kesempatan oleh Arraya, Adnan sudah tahu mengenai konsekwensinya jika ia harus melepaskan cintanya yang dulu hanya terjaga untuk Afifah. Cintanya saat ini sudah penuh dan berat pada Arraya.

Adnan langsung menarik dirinya dengan sedikit paksa. Membuat Afifah jadi terkejut dengan sikap Adnan.

"Mas, kamu..."

Adnan menggeleng, mengucap istighfar dalam hati. Ada sesal yang seketika menyeruak di dalam dada. Menyesal karena membiarkan dirinya dipeluk erat oleh Afifah, juga karena membiarkan dirinya membalas pelukan itu. Apa pun alasannya, itu tak menjadikan sebuah kebolehan bagi Adnan bersentuhan dengan yang bukan mahramnya.

"Aku rasa, kamu perlu tahu hal yang sebenarnya."

"Hal apa, Mas?" tanya Afifah.

"Hal yang sebenarnya. Hal yang seharusnya dan wajib kamu tahu."

"Tentang apa?" Afifah mengerjapkan matanya lambat. Matanya jadi mengerut tipis, ikut gugup karena ekspresi Adnan yang berubah serius.

"Kalau aku sud-" dering di ponsel Adnan secara tidak sengaja membuatnya tak jadi melanjutkan kalimat yang ia utarakan pada Afifah. Adnan menatap ponselnya lalu melirik Afifah sesaat.

"Angkat dulu, Mas. Siapa tau penting."

Mendengar Afifah yang mempersilakannya, Adnan langsung mengangkat panggilan pada ponselnya. "Ya, halo?"

Adnan mengerutkan keningnya dalam saat mendengar lawan bicaranya bersuara di telepon.

"Oke, saya balik ke kantor sekarang. Kamu arrange meeting sekarang dan kontak semua Head of Division yang terlibat untuk meluangkan waktu 15 menit jam 1 nanti."

"Ada apa, Mas? Kayaknya serius banget?" Afifah langsung bertanya segera setelah Adnan mematikan teleponnya.

"Aku harus balik kantor sekarang."

"Tapi Mas belum selesaikan omongan Mas yang sebelumnya." Afifah mencoba mengingatkan jika seandainya Adnan lupa.

"Sekarang kemungkinan nggak akan bisa, tapi semoga besok aku bisa jelasin semuanya sama kamu."

"Apa sih yang sebenernya mau Mas omongin? Mas bikin aku takut."

Adnan hanya bisa tersenyum tipis. Bagaimanapun memang Afifah harus segera tahu jika ia sudah menikah dengan Arraya. Bagaimanapun memang Afifah harus segera tahu isi hatinya yang sebenarnya sekarang ini.

"Tunggu besok ya, aku ceritain semuanya sama kamu besok. Aku harus segera pergi sekarang."

"I love you, Mas."

"Kamu jaga diri, assalamu'alaikum."

Afifah sedikit tertegun dengan kalimat terakhir Adnan. Adnan tidak membalas ungkapan cintanya lagi. Padahal jelas sekali jika Adnan mendengar suaranya, tapi Adnan seolah tak ingin menjawab.

"Wa ... wa'alaikumsalam." Dengan helaan napas panjang, Afifah menatap kepergian Adnan yang terus lurus hingga keluar dari pintu ruangannya tanpa kembali berbalik hanya untuk sekadar menatapnya.

🥀🥀🥀

Hujan masih mengguyur deras Jakarta Pusat termasuk Rumah Sakit Permata Intan. Gemuruh suara petir sesekali membuat semua pengunjung rumah sakit mengelus dada dan beristighfar.

Yanti memasuki lobi rumah sakit kembali dengan tak bertenaga. Usahanya membujuk Arraya belum membuahkan hasil. Arraya pergi begitu saja setelah mengatakan dirinya jahat. Katakanlah memang Yanti jahat, tapi hingga detik ini ia masih merasa jika apa yang ia lakukan sangatlah benar. Anaknya, Afifah, berhak untuk bahagia. Dan sebagai ibu, Yanti tahu jika sumber kebahagiaan putrinya hanyalah dengan memiliki Adnan sepenuhnya.

Jemarinya menekan tombol lift dengan tidak bertenaga. Saat lift beranjak naik pun, Yanti hanya banyak diam. Kepalanya sibuk memikirkan cara apa yang akan ia gunakan selanjutnya agar perempuan bernama Arraya itu mau menuruti ucapannya. Yanti memang bersungguh-sungguh meminta Arraya untuk menceraikan Adnan. Merasa sedikit bersalah ia rasa tak apa, yang penting putrinya bahagia.

Bertepatan saat pintu lift terbuka, sepasang kaki dengan celana slim fit juga sepatu hitamnya membuat Yanti mengangkat kepala.

"Loh, Adnan? Kamu sudah mau pulang?"

"Iya, Bu. Maaf, tapi saya ada urusan penting. Saya permisi.." Adnan berpindah alih masuk ke dalam lift, dan Yanti keluar dari lift. Siang itu masih sepi sehingga yang ada di sekitar lift hanya ada mereka berdua.

"Kita sudah pernah bahas ini, Bu. Saya juga sudah meminta maaf atas semua yang sudah terjadi. Dan sejak Afifah sadar hari itu, saya sudah pernah bilang sama Ibu, kalau saya tidak bisa melepaskan istri saya dan menikahi Afifah. Karena saya tidak mungkin berbagi cinta dan merelakan hati istri saya merasa sakit sepanjang waktu." Adnan menjelaskannya dengan tenang, karena ia memang sudah menjelaskan dari awal oleh ibunya Afifah.

Yanti tertawa. Tawa miris juga sedih. Matanya sudah berlinang air mata sejak tadi. Semuanya juga membuat kepalanya frustasi. Namun beberapa detik kemudian tawa itu berubah menjadi isak tangis yang terdengar pilu.

"Anakku Afifah... malang sekali nasib kamu, Ya Tuhan..."

"Jika dari awal Ibu tidak menghalangi saya untuk menjelaskan pada Afifah, semuanya tidak akan jadi serumit ini. Ibu malah membuat Afifah jadi banyak kembali berharap sama saya. Semuanya jadi makin sulit, dan sekarang Ibu tarik istri saya untuk ikut dalam masalah ini."

"Ibu nggak mau tau, Adnan! Pokoknya kamu harus menceraikan istri kamu itu!"

Adnan menggelengkan kepalanya, lagi. "Tidak akan pernah. Saya tidak akan pernah melepaskan Arraya sampai kapanpun."

"Kamu jahat, Adnan!"

"Ibu juga jahat sama istri saya!" balas Adnan. "Saya kecewa sama Ibu. Saya sudah penuhi semua yang Ibu mau, saya bahkan melepas semua urat malu yang saya punya di hadapan Allah hanya untuk menemui perempuan yang bukan mahram saya. Saya rela harus berbohong pada istri saya, hanya untuk mengiyakan ide gila dari Ibu. Harusnya saya tau, semua ini hanyalah permainan Ibu untuk menarik saya terlibat lebih jauh lagi."

"Apa kamu pikir ini nggak berat untuk Ibu?!" Yanti berteriak. Tangannya yang terkepal memukul dada Adnan hingga Adnan mundur beberapa langkah.

"Afifah itu sekarat! Tidak ada yang bisa Ibu lakukan untuk dia selain membawa kamu masuk ke dalam kehidupannya!"

Rasanya sudah ratusan kali Adnan mendengar itu dari mulut ibu kandung Afifah. Dan kini, hati istrinya pun ia tak tahu apakah masih baik-baik saja atau juga sudah sekarat karena mendengar permintaan konyol yang menyakitkan itu.

"Selalu itu yang Ibu katakan untuk membujuk saya. Sesuai kesepakatan kita berdua, ini adalah terakhir kalinya Ibu meminta hal yang bertolak belakang dengan hati saya." 

"Saya permisi, assalamu'alaikum."

Bertepatan saat kedua kaki Adnan berbalik, Yanti langsung mencengkeram tangan Adnan. Ia kembali histeris dan berteriak meminta Adnan agar tidak pergi. Suara kencangnya itu langsung membuat area yang awalnya sepi kini mulai dikerubuni oleh banyak pasien dan juga pengunjung yang tentu merasa sangat terganggu.

Dari sekian banyaknya orang yang merasa terganggu, rupanya Afifah ikut mendengar semua pembicaraan Adnan dan ibu kandungnya. Dengan tangan yang sejak awal berpegangan pada dinding untuk membantunya berjalan, Afifah melangkah mendekat perlahan.

"Ibu... Mas Adnan..."

Yanti langsung menoleh dan melihat putrinya menatap dirinya dengan wajah berderai air mata. Afifah ikut menangis setelah semua hal yang ia dengar.

"Afifah sayang?" Yanti langsung berlari menghampiri sang putri. Tangis keduanya pecah.

Afifah menatap Adnan yang kini juga menatap dirinya, sementara Adnan juga balas menatap dirinya dengan tatapan yang terkesan dingin. Kesalahan apa lagi yang ia buat dalam hidup ini pada Adnan, hingga dua kali ia pernah mendapati tatapan itu dalam hidupnya. Satunya adalah detik ini, dan satunya lagi adalah saat kecelakaan pada malam itu terjadi.

🥀🥀🥀

Hooo...

Mas Adnan gak selingkuh gengs rupanya. 

Wkwk masih pada emosi gara" part sebelumnya gak nih? haha dimaapin gak nih adnan?

❤ Jazakumullah ya Khair ❤

NB : ❤ SELURUH PERBAIKAN ALUR DAN PEROMBAKAN ISI CERITA HANYA AKAN ADA DI VERSI NOVEL. NOVEL SAAT INI MASIH MASA EDITING, JADI BELUM TERBIT. KALIAN YANG MAU PELUK ARRAYA, BISA NABUNG DULU DARI SEKARANG❤

TAMAT : 17 MEI 2020
REVISI : 26 SEPTEMBER 2020

Komentar