36 | Arus Kebahagiaan Arraya

🥀Surga Dalam Luka 🥀


Sudah akan menghabiskan hari kedua waktu liburan mereka, Adnan dan Arraya benar-benar memanfaatkan waktu mereka berdua. Bersenang-senang, main ke pantai, berkeliling menelusuri pulau menggunakan speed boat, dan serangkaian hal lainnya yang memang sudah direncanakan oleh Fajar. 

Melihat Arraya yang begitu bahagia, sehingga Adnan mau tidak mau ikut menerima semua pemberian papanya dengan lapang. Pada awalnya yang ada dipikiran Adnan adalah bagaimana harus mengganti semuanya agar ia tak merasa terbebani dengan pemberian papanya, kini terlupakan karena yang ada dipikirannya saat ini hanyalah kebahagiaan Arraya.

Arraya pun jadi semakin lengket dengan Adnan. Sifat manjanya sesekali muncul jika Raya menginginkan sesuatu. Seperti saat semalam, Raya merengek pada Adnan agar dicarikan buah kelapa. Hingga akhirnya Adnan harus keluar tengah malam hanya untuk mencari buah kelapa seperti yang diinginkan istrinya. 

"Ra, kamu ke mana aja sih? Mas cariin kamu dari tadi loh."

Arraya menunjukkan cengirannya. Perempuan itu baru saja muncul dari belokan lobi hotel mereka. Membuat Adnan sejak sejam yang lalu sibuk mencari keberadaan Arraya yang tiba-tiba menghilang.

"Maaf, Mas."

"Kalau mau ke mana-mana itu, izin sama Mas dulu. Jangan main pergi gitu aja yang akhirnya malah buat Mas khawatir."

Mulai malam ini, Adnan sudah mengganti panggilan untuk dirinya sendiri berkat permintaan kecil dari Raya. Saat mereka berjalan ke dermaga pagi tadi, Raya mengatakan jika ia ingin Adnan memanggil dirinya sendiri dengan sebutan 'Mas'.

"Mas, coba sebut diri kamu sendiri dengan sebutan 'Mas', deh."

"Untuk apa?"

"Coba aja, aku mau denger, Mas."

"Maksudnya, Mas harus bicara seperti ini?"

Raya tersenyum puas. "Iya, mulai detik ini, Mas nggak boleh pake aku-aku lagi, panggil diri Mas dengan sebutan 'Mas'."

"Iya Mas, maafin aku ya..."

"Jadi kamu habis dari mana aja tadi?"

"Ada deh," kata Raya sok misterius.

"Iih kamu ini!" Adnan langsung menghadiahi cubitan pada hidung mungil istrinya. Bukannya merasa menyesal, Raya justru malah tertawa sambil memeluk sisi kanan tubuh Adnan.

"Pak Adnan!"

Adnan dan Raya kompak menoleh sambil memutar tubuh ke belakang. Seorang petugas hotel perempuan dengan tubuh tinggi dan wajah cantiknya itu mendekati mereka berdua. Seragam slim fit dan juga rok yang sejengkal di atas lutut itu membuat Raya jadi mengawasi kedua mata Adnan. Khawatir jika nanti suaminya malah fokus ke arah lain. Walau pada kenyataannya, mata Adnan justru mengarah sedikit dari ke arah lain.

"Yang Mas lihat hanya kamu, Sayang."

Arraya langsung membulatkan mata saat ketahuan oleh Adnan jika dirinya sejak tadi menatap awas suaminya. "Maaf, Mas."

"Yang tertutup akan jauh lebih menggoda," bisik Adnan pada akhirnya. Ia langsung menarik pinggang Arraya agar lebih mendekat padanya. Menolak pikiran negatif istrinya yang ternyata sangat mudah cemburu. 

"Permisi, tempat yang Bapak minta sudah siap saat ini. Mari saya antarkan ke sana."

Senyum Adnan terlukis tipis. Ia menoleh menatap istrinya yang masih sedikit bingung. Jemarinya langsung Adnan selipkan di sela-sela jari Arraya. "Yuk, Sayang?"

Petugas perempuan itu memberikan senyum terbaiknya pada Arraya, kala mata Arraya menatapnya penuh bingung. "Mari saya antarkan ke sana Ibu..."

"Ke mana, Mas?"

"Ikut aja, yuk!"

Akhirnya mau tidak mau Raya mengikuti langkah kaki Adnan yang menggandeng tangannya. "Mas, mau ke mana sih?" Raya terus bertanya karena masih penasaran. Kini mereka sudah akan berada di belakang taman hotel, tapi Adnan hanya senyum-senyum, merahasiakan ke mana keduanya akan menuju ke suatu tempat.

"Rahasia. Tapi Mas harap kamu akan suka."

Begitu pintu otomatis hotel yang menghubungkan antara hotel dan taman, Adnan menghentikan langkahnya.

"Kok berhenti, Mas?" tanya Arraya semakin tak mengerti.

Adnan masih bertahta pada senyumnya. "Sekarang jalannya harus merem."

"Merem?" ulangnya.

"Iya, merem."

"Nggak mau ah, nanti aku jatoh, Mas."

"Nggak lah Sayang, kan Mas gandeng."

"Tapi, Mas..." Raya tak jadi melanjutkan kalimatnya setelah melihat ekspresi Adnan yang berubah keruh. Dengan helaan napas panjang, Raya mulai memejamkan matanya dengan suka rela. Senyum Adnan langsung kembali cerah. Tangannya menggenggam tangan Raya dengan begitu erat. Membantu menghilangkan keraguan Raya yang takut terjatuh.

Adnan menuntun langkah Raya dengan sangat seksama karena langkah Arraya yang jauh lebih pelan dan lambat dari biasanya. Sesekali Adnan terkekeh karena tingkah istrinya yang menggemaskan.

"Mas, udah sampe belom?"

"Gimana mau sampe kalau jalan kamu kayak siput, sayang?"

"Ih, Mas! Lagian Mas sok misterius deh!" omel Raya yang membuat Adnan langsung tertawa mendengarnya.

"Mas Adnan! Ini kita ke mana sih, Mas?!" Raya semakin panik saat dengan jelas merasakan sandalnya sedikit tenggelam ke dalam pasir. Raya juga langsung merasakan angin yang berembus cukup kencang ke arahnya. Deburan kencang ombak yang menabrak karang juga begitu jelas Raya dengar.

"Sebentar lagi, Sayang..."

Setelah berjalan beberapa meter ke depan yang telah mereka habiskan hampir selama 15 menit, akhirnya Adnan menghentikan langkahnya sehingga membuat Raya ikut berhenti seketika.

"Mas?" Raya mencoba meraih tangan Adnan yang saat ini sengaja menjauh darinya.

"Sekarang buka mata kamu ...."

Raya menurut. Perempuan itu membuka kedua matanya dengan perlahan. Matanya sontak menyipit karena banyaknya cahaya lampu yang berada di sekitarnya. Saat pandangannya sudah tak lagi kabur dan menjadi lebih jelas, Arraya terdiam termangu di tempatnya.

Ada lilin-lilin yang menyala, berbaris membentuk sebuah hati berukuran besar, dengan meja dan dua kursi yang ada di tengahnya. Langit malam yang terang, juga air laut berwarna biru yang membentang di bibir pantai menjadi latar indahnya malam itu. Embusan dinginnya angin malam sama sekali tak memberikan efek dingin bagi Arraya.

Selangkah demi selangkah dilakukan oleh Raya mendekati tempat indah tersebut. Pandangan matanya mengabur dipenuhi bulir-bulir air mata yang mulai memenuhi pelupuk matanya. Sulit baginya untuk mempercayai segala pemandangan menakjubkan di hadapannya.

"Mas..."

Adnan tersenyum tipis. Ia jadi ikut memandangi hasil dekorasi yang sejujurnya sudah lebih dari yang ia harapkan. "Hadiah kecil untuk kamu, Ra. Maaf, cuma ini yang bisa Mas lakuin untuk kamu."

"Mas..."

"Kenapa, Ra? Kamu nggak suka ya?"

Arraya memutar tubuhnya dengan cepat. Bibirnya merekahkan senyum haru dengan binar mata yang begitu terpancar. "Ini bagus banget, Mas! Bagus banget!"

Adnan mengucap syukur dalam hati. Ia merentangkan tangannya dengan lebar. Memberikan isyarat untuk Arraya agar segera mendatangi pelukannya. Arraya tak lagi membuang waktunya. Ia langsung berlari dan berhambur ke dalam pelukan erat Adnan. Perempuan itu langsung terisak. Sedih juga bahagia karena baru kali ini Adnan memperlakukannya dengan begitu romantis. Rasanya seperti dirinya yang sedang berada dalam sebuah buku novel romantis bertajuk islami. Ketika sang suami menghadiahi dinner makan malam romantis untuk istrinya. Dan itu, Arraya rasakan malam ini.

"Kamu kenapa malah nangis?"

"Ini romantis banget, Mas. Aku berasa jadi pemeran utama novel romantis, tahu."

Adnan tergelak. Ia mengurai pelukannya dan mengusap kedua pipi Raya yang basah karena air mata. "Ini Mas sampai meeting semalaman sama manajemen hotel. Tahu nggak?"

"Ooh, jadi pas aku semalam kebangun dan nggak ada Mas, itu Mas lagi meeting?"

"Iya," Adnan nyengir. "Kapan lagi sempetnya kalau nggak meeting semalam?"

"Iiih, aku udah sedih aja karena mikir Mas bakalan ninggalin aku sendirian di ujung Indonesia ini."

Adnan tertawa lagi. Bersama Arraya, ia jadi lebih sering tersenyum bahkan tertawa. Seperti tak ada lagi beban dalam benak dan juga hatinya. "Nggak mungkinlah Mas ninggalin kamu. Kan kita ke sini buat berduaan sampai puas tanpa ada yang ganggu." Adnan berbisik, menggoda telinga Arraya dengan suara rendahnya.

"Mas Adnan!" Adnan langsung meringis begitu Raya menghadiahi cubitan kecil di perutnya. "Ini tempat umum," kata Raya dengan gemas.

Tawa Adnan pecah. Rasanya jadi tak sabar menunggu makan malam berakhir, hingga ia akan menuntun Raya kembali ke atas ranjang.

🥀🥀🥀

Adnan memandangi wajah Arraya dengan lekat. Saat bagaimana istrinya itu bicara, saat bagaimana istrinya tersenyum, dan saat bagaimana istrinya tertawa dengan lebar hingga semua jajaran gigi putihnya terlihat.

"Mas tahu nggak, dulu, waktu Mas pernah jajanin aku es krim sekali waktu semester 3, aku sampai nggak nyenyak tidur selama seminggu. Selama seminggu juga jantung aku terus deg-degan sampai terus kebayang muka Mas Adnan yang ganteng itu."

Raya bahkan masih ingat detail es krim yang pernah Adnan berikan padanya secara cuma-cuma, tanpa ada niat lebih, dulu.

Adnan terkekeh malu. "Dulu mah kayaknya Mas masih cupu deh, Ra."

"Mana ada! Mas itu dari dulu selalu jadi inceran temen-temen aku dan cewek di kampus. Yang ngantri banyak, makanya aku nggak berani buat ungkapin perasaan aku ke Mas yang dulu dicintai banyak orang."

"Apa Mas dulu terlalu mempesona begitu sampai bikin kamu kesemsem setengah mati?" Adnan bertanya itu sambil terkekeh. Tertawa menertawai dirinya sendiri yang kini malah merasa geer dengan pengungkapan jujur Arraya tentang masa lalu merelka.

"Mungkin karena sifat Mas yang terlalu baik itu, aku sendiri sampai nggak sadar kalau aku udah jatuh cinta. Karena sifat Mas yang baik itu, Mas juga nggak sadar kalau Mas udah memberikan aku sebuah harapan lebih."

Karena melihat ekspresi Adnan yang masih tampak tak percaya, akhirnya Raya kembali berkata. "Serius aku, Mas!"

"Ra..."

"Hm?"

"Balik ke kamar yuk?"

"Kenapa, Mas?"

"Mas mau kamu." Adnan berkata dengan suara pelan nyaris berbisik.

"Apa?"

"Mau kamu, Ra." Adnan masih berbisik, hanya saja kali ini lebih kencang sedikit suaranya.

Adnan melengkungkan bibirnya ke bawah saat melihat reaksi Arraya yang tampak tak senang dengan ajakannya. Tapi Raya, melihat wajah mupengnya Adnan yang sudah terlalu jadi membuat Raya tidak tega. Mereka terpaksa harus menyudahi dinner romantis yang sebenarnya masih betah Raya berada di sana, karena kini ada suaminya yang sudah tidak sabar minta jatah.

🥀🥀🥀

Arraya mengerjapkan matanya beberapa kali karena merasa tenggorokannya yang begitu terasa kering kekurangan air. Ia meniupkan sedikit udara dari bibir bawahnya karena beberapa poni rambutnya menutupi matanya. Arraya sontak menahan napas saat kedua matanya sudah tak lagi terhalang oleh anak rambut. Dan kini yang ia bisa lihat hanyalah wajah tampan yang tampak begitu damai dalam tidurnya.

Tangan kokoh itu masih mengurung tubuh polosnya dengan begitu erat di bawah balutan selimut putih. Adnan juga masih sama polosnya seperti dirinya.

Arraya tersenyum, tangannya terulur mengusap lembut dan menelusuri wajah tegas milik suaminya. Mengingat hal semalam, membuatnya merasakan bahagia. Adnan selalu memperlakukannya dengan lembut. Tak pernah Adnan terburu-buru hingga melakukan hal kasar yang mungkin saja malah akan melukai istrinya sendiri. Untuk kali ini, Raya sudah tak lagi terlalu merasa sakit setelah mereka berdua melakukan hal intim berdua. Berbeda sekali ketika mereka melakukannya untuk pertama kalinya. Di situ Arraya sampai menitikkan air mata, menahan sakit yang luar biasa namun pada akhirnya tetap membuatnya bahagia bisa merasakan hal itu sebagai seorang istri.

Gerakan tangan Raya yang terus mengusap wajah Adnan, membuat lelaki itu membuka kedua matanya. saat kedua mata Adnan menangkap kedua matanya yang sedang sibuk menatap sejak tadi, Raya buru-buru menjauhkan jemarinya dari wajah Adnan.

"Jangan dijauhin," Adnan tersenyum sambil kembali membawa jemari Arraya ke atas wajahnya. Ia ingin dibelai lembut lagi oleh Raya seperti tadi.

Raya balik tersenyum. Ibu jarinya kembali mengulangi kegiatan sebelumnya. Ia menyingkirkan rambut-rambut yang menutupi kedua mata suaminya. Memberikan sentuhan lembut yang membuat Adnan selalu menginginkannya.

"Ra..."

"Ya, Mas?"

"Mas bahagia." Adnan menatap kedua mata Raya dengan dalam.

"Bahagia karena apa?"

"Karena Mas bisa milikin kamu."

Raya tak bisa menahan bibirnya untuk tak tersenyum lebar. "Apa Mas sungguh merasa bahagia?" Entah mengapa, yang meluncur dari bibir Raya adalah pertanyaan itu.

Adnan mengangguk. Ia memajukan wajahnya dan mencium kening Raya untuk beberapa detik.

"Kamu tau, Ra?"

"Setiap detiknya, kamu selalu punya cara sendiri yang bikin Mas makin jatuh dan jatuh cinta lagi sama kamu. Dan semakin Mas merasa cinta dan sayang sama kamu, Mas selalu merasa jadi orang yang paling bodoh."

Raut wajah Raya berubah sendu mendengarnya. "Kenapa Mas merasa bodoh?"

"Bodoh karena Mas nggak bisa ngerasain itu dari dulu.

Jemari Raya kembali bergerak untuk mengusap-usapn pipi Adnan. "Ini semua memang sudah jalan takdir Allah untuk pertemuan cinta kita berdua."

Adnan menatap lekat kedua mata Arraya. Bibirnya mengecup bibir Arraya untuk beberapa saat.

"Allah pasti akan kasih kamu ganjaran sebuah surga, Ra. Perempuan berhati baik seperti kamu, pasti akan selalu Allah lindungi di mana dan kapan pun kamu berada."

Berdegup jantung Raya mendengar doa tulus dari bibir suaminya. "Kan aku ke surganya bareng Mas, nanti."

"Apa surga bisa menerima orang yang banyak dosa seperti Mas ini?"

"Allah selalu kasih kesempatan untuk setiap hamba-Nya yang mau berubah jadi lebih baik, Mas. Setiap manusia pasti mempunyai dosa, itu hal wajar. Dan aku tahu kalau Mas Adnan adalah orang yang baik. Di balik hati kamu yang dulu keras, aku tau hati kamu juga ternyata jauh lebih baik dan lembut."

"Kamu yang udah mengajari Mas banyak hal, Ra."

"Mas juga mengajarkan aku banyak hal."

"Mas juga yang udah banyak memberikan kamu rasa sakit, Ra."

"Mas masih aja suka bahas tentang itu. Itu masa lalu, Mas. Dan aku udah berusaha untuk lupain semua itu, jadi please jangan diungkit lagi.

"Sampai detik ini, Mas selalu berpikir cara apa yang bisa aku lakuin untuk menebus semua kesalahan Mas ke kamu. Aku bingung cara apa yang bisa membuat kamu benar-benar melupakan rasa sakit yang terlalu banyak aku kasih untuk kamu."

Lama Arraya terdiam dengan hanya menatap kedua manik hitam suaminya. Ia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Adnan dengan lembut. Ciuman darinya itu adalah sebuah jawaban, dan ia berharap Adnan akan mengerti tanpa harus ada uraian kata-kata.

Awalnya Adnan hanya diam menerima semua belaian Arraya untuknya. Tapi tak lama kemudian, Adnan mengambil alih permainan. Adnan yang memimpin dan memposisikan Arraya kembali di bawah kukungannya.

Setelah penyatuan kembali keduanya dalam romansa halal, keduanya saling menciptakan jarak untuk sejenak. Napas mulai memburu di antara keduanya. Keduanya saling mengerjapkan mata untuk saling menatap mata satu sama lain, sebelum akhirnya Adnan kembali menjelajahi bibir ranum istrinya.

Bunyi dering ponsel milik Adnan yang di atas nakas, sedikit demi sedikit mulai mengusik Arraya. Beberapa kali tangan perempuan itu berusaha menjauhkan wajah Adnan dari wajahnya, Adnan seolah tak peduli pada bunyi ponselnya.

"Mas, ada telepon masuk..."

Adnan masih tidak peduli. Ia tak lagi membiarkan Arraya kembali bicara.

"Mas..."

"Mas Adnan!"

Raya akhirnya berhasil membuat Adnan sedikit menjauh saat ia menggigit bibir bawah Adnan. Adnan langsung meringis sakit hingga dengan tidak rela ia berhenti menciumi bibir istrinya.

"Kamu kok gigit bibir Mas, sih? Sakit tahu, nanti kalau bibir Mas berdarah gimana?"

"Ada telepon masuk di hape kamu dari tadi, Mas."

"Itu nggak penting, Ra."

Kedua tangan Raya sontak menahan dada bidang Adnan yang ingin kembali nyosor. "Mas, lihat dulu. Siapa tau ada yang penting."

"Ini masih pagi buta, Ra. Itu pasti cuma operator nggak penting yang nggak ada kerjaan." Adnan berdecak karena Arraya masih terus menahan dirinya.

"Mas!"

Adnan menghela napas panjang. Padahal keduanya masih menyatu, tapi karena Arraya yang memaksa, akhirnya ia melepaskan dirinya dari Raya dengan perlahan untuk mengambil ponselnya yang ada di atas nakas.

Dengan wajah kesal karena tak rela diganggu dengan seseorang yang dengan tidak tau dirinya menelepon di saat penting, Adnan meraih ponselnya. Layar dari benda pipih di tangannya memperlihatkan panggilan masuk dari seseorang yang beberapa hari ke belakang menjadi seseorang yang cukup mengusik dirinya. Dan juga jadi sangat mengusik hubungannya dengan Arraya.

"Tasya?"

"Angkat aja Mas, kalau itu telepon dari Tasya."

Adnan menoleh, melihat Arraya yang menganggukkan kepala di bawah balutan selimut. "Nggak mau ah. Nggak penting. Mas masih marah besar sama dia." Adnan meletakkan asal ponselnya ke atas kasur kembali. Ia kembali mendekati Arraya dan berniat melanjutkan sesuatu yang sempat terjeda dengan paksa tadi.

Arraya menahan selimut yang menutupi tubuhnya kuat-kuat saat tangan Adnan berusaha menyingkirkannya. "Mas nggak boleh deket-deket kalau nggak angkat telepon dari Tasya dulu."

Adnan meringis. Panggilan dari Tasya bukannya berhenti tetapi terus berbunyi. Berdering kencang tak karuan. Benar-benar mengganggu.

Dengan setengah hati, Adnan menggeser tombol hijau di layarnya. Begitu ponsel ia dekatkan ke telinga, suara Tasya dari seberang sana yang berteriak langsung membuat Adnan menjauhkan ponselnya seketika. Arraya bahkan sampai ikut berjengkit kaget karena ia juga bisa mendengar teriakan Tasya walau Adnan tak mengeraskan volume panggilannya.

"Mas Adnan tuh ke mana aja sih di teleponin susah banget??!!!"

"Apa sih, Tasya? Ini masih dini hari, tapi kamu sudah menggangu."

"Mba Afifah itu sudah sadar dari jam 10 tadi, Mas!! mas yang ke mana susah banget dihubungin!!!"

Deg.

Raya merasakan jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik. Pandangannya mengabur, seolah Raya telah kehilangan porosnya.

"Jangan bercanda kamu, Tasya! Ini sama sekali nggak lucu!"

"Aku nggak bercanda, Mas!! Mba Afifah beneran udah sadar!!"

Mendengar suara Tasya yang begitu tegas dan sama sekali tak terdengar bercanda, Adnan merasakan tangannya lemas. Ponsel yang sejak tadi ia tempel di telinganya terjatuh begitu saja ke atas kasur.

Arraya yang sejak tadi diam dengan sibuk mendengar dan mencerna setiap kata yang ia dengar dari Tasya di seberang sana, membuat kepalan tangan Raya mengerat pada selimut. Raya merasakan desiran darah yang mengaliri darahnya begitu cepat. Jantungnya tak lagi dapat dirasa betapa besarnya suara degup itu.

Apakah kebahagiaan bisa surut begitu cepatnya? Apakah matahari begitu cepat terbenam hingga tergantikan malam dan gelap yang menyapa tanpa izin?

🥀🥀🥀

Apakah kita sudahi saja di part ini? Atau kita lanjutkan?

Hehe, tergantung vote dan komennya deh banyak atau nggak :)

TAMAT : 17 MEI 2020
REVISI : 6 SEPTEMBER 2020

Jazakumullah ya khair ❤

Komentar