12 | Menanti Yang Tak Datang

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

"Arraya, silahkan diminum dulu." Muaz menyodorkan secangkir minuman untuk Arraya. Melihat ArArraya yang hanya diam tanpa membuka suara, Muaz akhirnya duduk di depan gadis itu. Menatap Arraya yang sejak tadi diam menatap jendela ke arah luar. Menampakkan jalanan Jakara yang cukup padat siang ini.

"Arraya?"

"Saya ingin kembali ke kantor. Kenapa Bapak malah bawa saya ke sini?" Arraya bertanya pada Muaz, tetapi pandangannya tetap menatap ke luar jendela.

"Apa saya harus membawa karyawan yang terlihat sedang patah hati ke kantor? Kamu bukannya membantu, yang ada nanti malah merepotkan karena sikap kamu hari ini."

Mendengar ucapan Muaz, Arraya menoleh dan menatap Muaz. Gadis itu terdenger menghela napas pelan sebelum akhirnya kembali menatap ke luar jendela. "Saya tidak sedang patah hati, Pak."

"Lalu bagaimana dengan air mata dan tatapan sendu kamu saat menatap pria tadi?"

"Pria yang Bapak maksud itu suami saya." Entah dari mana datangnya keberanian dari suara Arraya saat menjawab sindiran dari Muaz.

Muaz semakin menatap Arraya lekat. Kini gadis itu malah menatapnya dengan kesal. Ini pertama kalinya Arraya menatapnya seperti itu. Ini juga pertama kalinya mereka duduk berdua dan membicarakan masalah diluar pekerjaan. Pertanyaan yang dilontarkan Muaz berikutnya sukses membuat Arraya diam tidak berkutik.

"Saya juga tau dia suami kamu."

"Lalu apa maksud Bapak bersikap seperti ini?" tanya Arraya penasaran dengan maksud Muaz bersikap seperti ini padanya.

Muaz memasang posisi duduk tegapnya. Ia menyesap kopi hitamnya sebelum kembali fokus pada gadis di hadapannya. "Saya hanya sedang bingung. Apa ada suami yang tega mengabaikan dan membuat istrinya menangis seperti tadi?"

Arraya sudah membuka mulut ingin menjawab, tapi yang ada ia hanya kembali merapatkan kedua bibirnya. Ia ingin sekali menjawab tidak, tetapi hatinya malah mengatakan iya. Rupanya memang benar ada suami yang dimaksud Muaz tadi. Dan naasnya itu terjadi pada dirinya saat ini.

"Biarlah persoalan pribadi saya menjadi urusan saya, Pak."

Muaz menarik tiap sudut bibirnya. Ia membentuk senyum tipis sambil menatap cangkir minuman Arraya yang belum tersentuh.

"Luthfi ...."

Mendengar satu nama terlontar dari bibir Muaz, Arraya langsung menatap balik pria itu. "Apa kamu terkadang masih sering memikirkannya?"

Tentu saja iya. Bagaimana mungkin Arraya dengan mudahnya melupakan lelaki baik seperti Luthfi? Arraya tidak akan sekejam itu melupakan semuanya.

"Saya juga terkadang masih sangat memikirkannya. Sangat sulit menerima fakta jika sahabat saya itu memang benar-benar sudah tiada. Candaannya yang garing dan nasihatnya yang selalu membekas di hati rupanya tinggal kenangan yang bisa kembali diingat. Terkadang saya marah dengan takdirnya, karena nyatanya orang yang paling saya sayang tidak berumur panjang."

Muaz yang bercerita, namun Arraya malah ikut menahan napas. Apa yang Muaz katakan benar-benar apa yang pernah terlintas di pikirannya.

"Tapi saya sadar, bahwa keputusan Tuhan adalah yang paling terbaik di atas segalanya."

"Mungkin itu karena Allah lebih sayang dengan Mas Luthfi."

Muaz tersenyum kecil mendengar sahutan Arraya padanya. "Ra, tahukah kamu jika Luthfi pernah menyampaikan pesan terakhirnya pada saya?"

Pupil mata Arraya sedikit melebar. Pesan terakhir? Pesan seperti apa yang disampaikan oleh Luthfi pada Muaz? Arraya penasaran akan hal itu.

"Pesan ... apa?"

"Minum dulu minuman kamu itu."

Arraya mendelik dan menurunkan pandangannya mengikuti pandangan mata Muaz. Ia menatap isi minuman di cangkir yang ada di hadapannya. "Kalau saya minum?"

"Mungkin akan saya sampaikan pada kamu, pesan apa yang pernah Luthfi titipkan pada saya."

Arraya mengerutkan keningnya. "Kenapa mungkin? Mungkin, berarti bisa jadi Bapak menolak untuk menyampaikannya pada saya. Kalau Bapak sudah bilang, harusnya dilanjutkan biar saya nggak penasaran."

Muaz kembali mengeluarkan senyum simpulnya. Ia bersyukur Arraya kini sudah cukup banyak bicara padanya. Setidaknya tidak seperti saat perjalanan mereka ke mari, penuh diam tanpa ada pembicaraan sedikitpun.

Karena melihat Muaz tidak mengeluarkan perkataan apa pun lagi, akhirnya Arraya meminum minuman yang telah dibelikan oleh Muaz. Lagipula ia memang sangat ingin tahu pesan terakhir yang pernah disampaikan Luthfi. Jujur, itu adalah hal yang paling Arraya sesalkan, karena ketika Luthfi meninggal ia tidak dapat mendengarkan pesan terakhir dari pria itu. Jangankan pesan, suara yang sangat ingin Arraya dengarkan saja tidak dikabulkan.

"Saya sudah minum. Sekarang sampaikan pada saya, apa pesan terakhir yang pernah disampaikan Mas Luthfi pada Bapak?" Arraya menghela napas lega, ternyata minuman itu bisa melegakan tenggorokannya yang masih merasa seperti tercekat sesuatu sejak melihat Adnan mengabaikannya beberapa saat lalu.

Muaz menatap Arraya. Lekat dan lamat. Ia menatap gadis di hadapannya untuk beberapa saat. Dan Arraya pun membalas tatapan itu. Keduanya seakan tak sadar dengan lamanya mereka saling beradu pandang seperti itu.

"Luthfi ingin kamu bahagia, Arraya Kirania."

Seperti ada yang mencubit hatinya. Seperti ada yang menampar wajahnya. Pesan Luthfi begitu membekas dan memberi arti tersendiri di hati Arraya. Arraya sontak menunduk. Menahan air mata yang hendak meloloskan diri.

"Saya serius membicarakan ini sama kamu. Luthfi berpesan pada saya agar kamu bahagia. Dia sangat menginginkan perempuan yang dicintai bahagia dengan pilihan hidupnya."

🥀🥀🥀

Adnan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Ia menghela napas panjangnya. Entah kenapa hari ini begitu melelahkan untuknya. Tenaganya seakan terkuras habis-habisan.

Adnan menatap langit-langit apartemennya. Putih dan bersih. Tenang dan sepi. Ini sudah masuk malam ketiga ia memilih tidur di apartemen, dibandingkan rumahnya sendiri.

Adnan menghela napas panjang sekali lagi. Ia bangkit duduk, menarik satu laci dari nakas yang ada di samping tempat tidur.

Amplop cokelat sudah berpindah ke tangannya. Adnan membuka amplop tersebut perlahan dan menarik selembar kertas yang ada di dalamnya. Tertera jelas judul yang diketik tebal di atas kertas tersebut 'Surat Permohonan Gugatan Perceraian', lengkap dengan materai 6000 yang sudah menempel di kolom kosong tanda tangan.

"Aku sudah tidak tahan dengan pernikahan ini. Mari kita bercerai."

Adnan menghela napas panjang saat mengingat kalimat terakhir yang ia ucapkan pada Arraya sebelum ia memilih angkat kaki dari rumahnya. Jika diingat, itu memang kalimat terakhir yang pernah Adnan katakan pada Arraya sampai detik ini. Setelahnya, setiap Arraya menghubunginya, setiap gadis itu berusaha bicara dan menemuinya, Adnan tidak pernah menanggapinya. Ia akan dan selalu mengabaikan gadis itu.

"Mas, sudah solat isya?"

Adnan sontak menoleh karena mendengar suara Arraya menyapa telinganya.

Kosong. Tidak ada orang di sana. Tidak ada yang memanggilnya. Tidak ada yang bicara dengannya. Tidak ada Arraya. Tidak ada siapa pun.

Sudah tak terhitung lagi panggilan masuk dari Arraya yang ia abaikan. Sudah terlalu banyak pesan masuk yang Arraya kirimkan untuknya. tak pernah ada yang pernah ia baca. Adnan pun tidak berminat membacanya.

Drrt drrt!

Suara getaran ponselnya mengalihkan perhatian Adnan. Tanpa menyingkirkan kertas di tangannya, Adnan meraih ponsel dan mengecek panggilan masuknya.

Arraya's calling

Adnan mendesah panjang. Ia me-reject telepon dari Arraya tanpa pikir panjang. Ini sudah telepon keenam Arraya yang ia abaikan hari ini.

Tak lama setelahnya, muncul lagi getaran di ponselnya. Adnan benar-benar tidak habis pikir dengan gadis itu. Beraninya gadis itu masih menghubunginya atas apa yang telah gadis itu sembunyikan selama ini.

Arraya

Mas... Kapan kamu mau bicara denganku?
Please ... Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.

Adnan langsung mematikan daya ponselnya secara total. Ia menghempaskan berkas permohonan cerainya dan ponselnya ke atas kasur begitu saja. Ia bangkit berdiri untuk menuju kamar mandi.

"Arghh..." Adnan menggeram begitu kakinya menginjak lantai kamar mandi yang dingin. Kepalanya tiba-tiba terasa begitu pusing.

Sebenarnya kalau diingat, Adnan memang belum mengisi perutnya sejak tadi siang. Padahal saat siang, ia sudah sampai ke restoran untuk makan siang, tapi selera makannya mendadak hilang karena melihat Arraya dengan seorang pria asing.

🥀🥀🥀

Arraya menatap layar ponselnya. Melihat pesan yang ia kirimkan pada Adnan dan sudah memperlihatkan tanda terkirim juga telah dibaca. Hampir lima belas menit Arraya memperhatikan layar ponselnya.

Arraya mengembuskan napas beratnya. Rasanya ia hanya ingin menangis lagi. Yang ia harapkan tak kunjung datang.

"Luthfi ingin kamu bahagia, Arraya Kirania."

Pesan terakhir Luthfi yang dititipkan melalui Muaz tadi siang mendadak kembali berputar di kepala Arraya. Dan itu membuatnya jauh lebih sedih saat ini.

Arraya juga ingin bahagia. Tapi bagaimana caranya jika kehidupan pernikahannya dengan Adnan saja malah berjalan seperti saat ini? Arraya bahkan sampai lupa kapan ia pernah tersenyum bahagia.

Arraya menepis air matanya yang mengalir. Apa begitu bencinya Adnan padanya? Begitu salahkah dirinya karena rasa cinta tulus yang ia miliki sejak dulu?

"Non Arraya?"

Arraya mengangkat kepalanya perlahan. Bi Ira berdiri di hadapannya dan menatapnya dengan khawatir. Bi Ira maju dan berjongkok di depan Arraya. Menatap wajah pucat Arraya yang belum menyentuh makan malam sedikitpun.

"Non ... Mau Bibi buatkan teh hangat?"

Arraya menggeleng pelan. "Nggak usah, Bibi tidur aja."

"Bibi akan tidur kalau Non Arraya juga tidur."

"Saya belum ngantuk, Bi. Bibi tidur duluan aja."

Bi Ira gantian menggeleng. "Tapi ini sudah malam, Non. Non Arraya juga harus istirahat. Bibi khawatir Neng jatuh sakit."

"Saya nggak papa, Bi. Saya masih mau di sini."

"Untuk apa Non duduk di ruang tamu sendirian? Ini sudah mau jam 11 malam. Non Arraya harus istirahat."

Arraya menarik napas panjang. Tiba-tiba dadanya terasa sesak. Seperti ada sesuatu yang memenuhi rongga dadanya hingga ia kesulitan bernapas.

"Saya mau tunggu Mas Adnan, Bi."

Kelopak mata Bi Ira menjadi turun ke bawah. Tatapan matanya menjadi lebih sendu menatap Arraya yang kini menunduk dengan kedua tangan tertaut.

"Ya Allah, Non Arraya..."

Bi Ira menarik tubuh Arraya dan membawa tubuh rapuh itu ke dalam pelukannya. Bi Ira tak kuasa meneteskan air matanya. Ia tahu betul bagaimana kondisi pernikahan Adnan dan Arraya. Yang sering ia dengar hanyalah Adnan yang selalu memarahi Arraya. Tak pernah wanita paruh baya itu lihat Adnan memperlakukan Arraya layaknya seorang istri.

Sudah hampir 3 hari ini, Arraya bahkan jarang sekali menyentuh makanan yang telah disiapkan Bi Ira. Bi Ira sering melihat Arraya menangis diam-diam saat malam. Tak pernah ada binar bahagia yang pernah dilihat Bi Ira terpancar dari wajah Arraya. Bahkan sejak Arraya menginjakkan kakinya di rumah itu, Bi Ira belum pernah melihat Arraya tertawa.

Arraya merasakan matanya menghangat. Tak berselang lama isakan Arraya terdengar di telinga Bi Ira. Bi Ira semakin merekatkan pelukannya pada Arraya. Mengusap punggung yang kini berguncang di dalam dekapannya.

"Non yang sabar... Jangan menangis seperti ini..."

Bi Ira bisa merasakan apa yang Arraya rasakan. Tepat saat mendengar kalimat terakhir Arraya, Bi Ira jadi ikut menangis dan memeluk Arraya jauh lebih erat. Berharap pelukannya dapat membantu menyembuhkan hati Arraya.

"Arraya rindu Mas Adnan, Bi."

🥀🥀🥀

To be continued..

Jazakumullah ya Khair

Salam rindu,
Haphap 🌹

Komentar