15. Khaila, Alif, Khalisa

Sebuah kisah sederhana yang mengandung makna. Semoga bermanfaat❤

🌹🌹🌹

Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, terdapat seorang sahabat bernama Abu Dujanah. Setiap usai menjalankan ibadah shalat berjamaah shubuh bersama Baginda Nabi, Abu Dujanah selalu tidak sabar. Ia terburu-buru pulang tanpa menunggu pembacaan doa yang dipanjatkan Rasulullah selesai.

Pada satu kesempatan, Rasulullah mencoba meminta klarifikasi pada pria tersebut. 

“Hai, apakah kamu ini tidak punya permintaan yang perlu kamu sampaikan pada Allah sehingga kamu tidak pernah menungguku selesai berdoa. Kenapa kamu buru-buru pulang begitu? Ada apa?” tanya Nabi. 

Abu Dujanah menjawab, “Anu Rasulullah, kami punya satu alasan.”

“Apa alasanmu? Coba kamu utarakan!” perintah Baginda Nabi. 

“Begini,” kata Abu Dujanah memulai menguraikan jawabannya. “Rumah kami berdampingan persis dengan rumah seorang laki-laki. Nah, di atas pekarangan rumah milik tetangga kami ini, terdapat satu pohon kurma menjulang, dahannya menjuntai ke rumah kami. Setiap kali ada angin bertiup di malam hari, kurma-kurma tetanggaku tersebut saling berjatuhan, mendarat di rumah kami.” 

“Ya Rasul, kami keluarga orang yang tak berpunya. Anakku sering kelaparan, kurang makan. Saat anak-anak kami bangun, apa pun yang didapat, mereka makan. Oleh karena itu, setelah selesai shalat, kami bergegas segera pulang sebelum anak-anak kami tersebut terbangun dari tidurnya. Kami kumpulkan kurma-kurma milik tetangga kami tersebut yang berceceran di rumah, lalu kami haturkan kepada pemiliknya. 

Satu saat, kami agak terlambat pulang. Ada anakku yang sudah terlanjur makan kurma hasil temuan. Mata kepala saya sendiri menyaksikan, tampak ia sedang mengunyah kurma basah di dalam mulutnya. Ia habis memungut kurma yang telah jatuh di rumah kami semalam.” 

Mengetahui itu, lalu jari-jari tangan kami masukkan ke mulut anakku itu. Kami keluarkan apa pun yang ada di sana. Kami katakan, ‘Nak, janganlah kau permalukan ayahmu ini di akhirat kelak.’ Anakku menangis, kedua pasang kelopak matanya mengalirkan air karena sangat kelaparan. 

Wahai Baginda Nabi, kami katakan kembali kepada anakku itu, ‘Hingga nyawamu lepas pun, aku tidak akan rela meninggalkan harta haram dalam perutmu. Seluruh isi perut yang haram itu, akan aku keluarkan dan akan aku kembalikan bersama kurma-kurma yang lain kepada pemiliknya yang berhak’.” 

Pandangan mata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sontak berkaca-kaca, lalu butiran air mata mulianya berderai begitu deras.

Baginda Rasulullah Muhammad shallahu alaihi wa sallam mencoba mencari tahu siapa sebenarnya pemilik pohon kurma yang dimaksud Abu Dujanah dalam kisah yang ia sampaikan di atas. Abu Dujanah pun kemudian menjelaskan, pohon kurma tersebut adalah milik seorang laki-laki munafik. 

Tanpa basa-basi, Baginda Nabi mengundang pemilik pohon kurma. Rasul lalu mengatakan, “Bisakah tidak jika aku minta kamu menjual pohon kurma yang kamu miliki itu? Aku akan membelinya dengan sepuluh kali lipat dari pohon kurma itu sendiri. Pohonnya terbuat dari batu zamrud berwarna biru. Disirami dengan emas merah, tangkainya dari mutiara putih. Di situ tersedia bidadari yang cantik jelita sesuai dengan hitungan buah kurma yang ada.” Begitu tawar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.  

Pria yang dikenal sebagai orang munafik ini lantas menjawab dengan tegas, “Saya tak pernah berdagang dengan memakai sistem jatuh tempo. Saya tidak mau menjual apa pun kecuali dengan uang kontan dan tidak pakai janji kapan-kapan.” 

Tiba-tiba Abu Bakar as-Shiddiq radliyallahu 'anh datang. Lantas berkata, “Ya sudah, aku beli dengan sepuluh kali lipat dari tumbuhan kurma milik Pak Fulan yang varietasnya tidak ada di kota ini (lebih bagus jenisnya).” 

Si munafik berkata kegirangan, “Oke, ya sudah, aku jual.”

Abu Bakar menyahut, “Bagus, aku beli.” Setelah sepakat, Abu Bakar menyerahkan pohon kurma kepada Abu Dujanah seketika. 

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Hai Abu Bakar, aku yang menanggung gantinya untukmu.”

Mendengar sabda Nabi ini, Abu Bakar bergembira bukan main. Begitu pula Abu Dujanah. Sedangkan si munafik berlalu. Ia berjalan mendatangi istrinya. Lalu mengisahkan kisah yang baru saja terjadi. “Aku telah mendapat untung banyak hari ini. Aku dapat sepuluh pohon kurma yang lebih bagus. Padahal kurma yang aku jual itu masih tetap berada di pekarangan rumahku. Aku tetap yang akan memakannya lebih dahulu dan buah-buahnya pun tidak akan pernah aku berikan kepada tetangga kita itu sedikit pun.”

Malamnya, saat si munafik tidur, dan bangun di pagi harinya, tiba-tiba pohon kurma yang ia miliki berpindah posisi, menjadi berdiri di atas tanah milik Abu Dujanah. Dan seolah-olah tak pernah sekalipun tampak pohon tersebut tumbuh di atas tanah si munafik. Tempat asal pohon itu tumbuh, rata dengan tanah. Ia keheranan tiada tara. 

Dalam kisah ini, dapat kita ambil pelajaran, betapa hati-hatinya sahabat Rasulullah tersebut dalam menjaga diri dan keuarganya dari makanan harta haram. Sesulit apa pun hidup, seberat apa pun hidup, seseorang tidak boleh memberikan makanan untuk dirinya sendiri dan keluarganya dari barang haram.

Setiap kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah subhânahu wa ta’âla sepuluh kali lipat sebagaimana janji Baginda Nabi Muhammad. Adapun panen dari pada janji itu bukankan kontan sekarang, namun di akhirat kelak. Karena dunia ini adalah dâruz zar‘i (tempat bercocok tanam), bukan dârul hashâd (tempat memanen). 

Kisah di atas disarikan dari kitab I’anatuth Thâlibîn (Beirut, Lebanon, cet I, 1997, juz 3, halaman 293) karya Abu Bakar bin Muhammad Syathâ ad Dimyatîy (w. 1302 H). (Ahmad Mundzir) 

🌹🌹🌹

Selamat membaca :)

Alif hanya diam saja. Pria itu lebih banyak mendengar ketimbang menyahut. Ia hanya menyahut seperlunya saja.

Semenjak Khalisa hamil. Gadis itu berubah banyak. Seperti sekarang, gadis itu menjadi suka makan. Sehari bisa lima kali. Maa syaa Allah. Alif hanya dapat mengelus dada melihat tingkah laku Khalisa yang berubah drastis. Selain itu, emosinya gak bisa ketebak, kayak cuaca. Padahal cerah tiba-tiba mendung hujan deh, waktu hujan eh tiba-tiba mendadak ada pelangi. Mood istrinya itu menjadi mudah berubah-ubah.

Alif yang pertama kali mengalami, merasa bingung awalnya lalu secara bertahap dia paham, seiring bertambahnya usia kandungan Khalisa semakin bertambahlah tangisan Khalisa, rengekkan Khalisa. Pria itu ditugaskan dengan hati yang sabar dalam merawat Khalisa, mengertikan Khalisa.

"Mas, kamu gak laper ya?" Suara Khalisa menyadarkan lamunan singkat Alif.

Alif menautkan keningnya terlihat bingung.

"Kalau gak laper, biar aku aja yang abisin yah!? Mubazir Mas gak dihabisin. Kata Mbak Aila dulu waktu Icha kecil, kita gak boleh makan itu gak habis, selain mubazir nanti makanannya nangis." celutuk Khalisa. Dengan seutas senyuman.

Alif menatap senyuman itu dengan tatapan yang berbeda. Bukan karena ia kagum atau sangat suka dengan senyuman itu, tapi karena senyuman yang dimilikki Khalisa sama persis dengan senyuman yang dimiliki oleh Khaila. Bedanya, pada senyum Khaila ia bisa bertemu rasa cinta namun pada Khalisa sampai sekarang ia belum bisa menemu cinta.

Entah, apa dia yang tidak bisa menemukan cinta itu atau ia yang tidak mau mencari, dan memilih tetap setia pada rasa yang sama.

Begitulah kadang cinta. Cinta itu buta. Meski sekalipun datang yang jauh lebih baik, jika hati kita tertaut pada satu nama apalagi karena Allah dengan rasa yang tulus, maka butuh waktu lama untuk menghapus semuanya. Jika diharuskan melupakan. Itulah yang dirasakan Alif.

Pria itu sudah sering mengikari janji pada hatinya sendiri yang sebelumnya ia tidak pernah mengingkari. Tapi karena cinta, ia menjadi lebih sering mengingkari, lebih sering mengemis pada hatinya, hanya meminta satu permintaan. Berhenti untuk mencintai Khaila Nayyara Zahabiya. Namun seperti yang sudah-sudah Alif selalu kalah akan hal itu. Hatinya menang.

Khalisa diam menatap lamat wajah Alif yang menatapnya begitu kosong. Sebenarnya apa yang sedang dipikirkan oleh suaminya? Khalisa dibuat penasaran akan itu.

"Mas, kamu kenapa?"

"Ah, ya, kenapa Nayyara?" Nama itu keluar begitu saja.

Nayyara. Ah, nama indah yang pernah ia bicarakan pada Allah.

Sedangkan Khalisa merasa senang dengan panggilan Nayyara itu, baginya itu panggilan sayang dari Alif untuknya.

Khalisa mengulas senyum, "Kamu bengongin apa sih, Mas. Di kantor lagi ada masalah? Atau jangan-jangan hati kamu lagi yang ada masalah." Celutuk Khalisa.

Alif tidak menangggapi. Ia berusaha menampilkan wajah tenang padahal sedaritadi ia menahan mati-matian debaran jantung karena Nayyara-nya sedang berjalan menghampirinya dengan seutas senyuman yang selalu disukai Alif.

Ya! Setelah beberapa hari kedatangan Khaila. Khaila dan Khalisa menjadi akrab. Mereka sering pergi keluar bareng berdua. Namun hari ini, mereka bisa pergi bertiga karena atas permintaan Khalisa yang ingin makan bertiga diluar bersama kembaran dan suami. Dua manusia yang dicintai Khalisa. Dan Alif tidak bisa menolak, apalagi Khaila atas dorongan dari kedua orang tuanya, akhirnya ia menurut mau. Gadia itu tidak bisa menolak permintaan kedua orang tuanya.

"Ca, kamu mau makan punyaku kan? Ambil aja, nih." Ucap Alif menyodorkan segera makanannya yang belum dimakannya sekalipun.  Pikiran pria itu terlalu kacau.

Alif menaikkan kedua sudut bibirnya melihat kegirangan Khalisa memakan jatah makan miliknya. Pria itu tersenyum hangat, tangannya terulur untuk mengacak puncuk kepala Khalisa yang tertutup oleh jilbab. Gemas. Khalisa tidak menggubris gadis itu mebiarkan saja Alif melakukan itu, ia sibuk memakan makanan yang terlihat lezat dimatanya. Selain itu, Khalisa memang suka diperlakukan seperti itu, baginya perlakuan kecil seperti tadi sangat manis.

"Makannya pelan-pelan aja, sayang. Nanti keselek." Gemas Alif menatap Khalisa yang makan seperti anak TK. Sangat lucu.

Khalisa hanya mengangguk.

Sorot mata Alif menatap gadis itu yang akan semakin dekat kesini. Pria itu menenangkan hatinya agar tidak segugup dulu, namun sayang ia selalu gagal mengontrol hatinya.

"Sayang, aku tunggu di mobil yaa. Sekalian ada yang mau aku kerjain. Nanggung soalnya."

"Iya Mas." tanpa menaruh curiga Khalisa mengiyakan saja.

Alif segera bangkit berdiri "Assalamualaikum," pria itu segera berjalan keluar. Menghirup udara bebas sedikit lega. Dirinya sudah tidak semenegangkan saat didalam restoran tadi.

Khaila yang baru sampai, ia menatap ke jalan sana, melihat pria itu berjalan tenang memasuki mobil. Gadis itu semakin yakin, bahwa sudah tidak ada lagi cinta dihati pria yang sampai sekarang dengan bodohnya masih dicintainya.

Khaila menghela napas beratnya. Gadis itu tidak ingin menangis konyol disini.

"Mbak Aila kenapa menghela napas kek gitu? Ada masalah?" tanya Khalisa disela makannya.

Khaila menatap kembarannya itu, masih ada rasa iri dihati Khaila pada Khalisa. Ia tahu ia salah. Ia harus buang-buang segera rasa irinya itu.

***

Setelah makan yang begitu mengenyangkan bagi Khalisa. Maka permintaan ibu hamil tidak sampai disitu, gadis itu meminta agar dibawa ke mall. Maka dengan sabar hati Alif mengiyakan diikuti Khaila yang duduk dibelakang mereka. Sedaritadi gadis itu hanya jadi pendengar.

"Kamu masih inget gak, waktu dipanti ada anak kecil cantik banget, yang manggil kamu Kak Alif dan manggil aku Kak Nayyara. Duh aku pengen deh punya anak nantinya kayak anak itu, Mas. Udah cantik, sholehah lagi." Seru Khalisa bercerita.

"Namannya siapa ya? Aku lupa. Kamu inget, Mas?" tanya Khalisa begitu semangat.

"Naira, sayang. Namanya Naira, Nayyara." Ucap Alif begitu lembut.

"Hah kenapa!?"

Khalisa menoleh kebelakang menatap kakaknya yang tiba-tiba menyahut. Gadis itu terlihat bingung sekaligus penasaran kenapa kakaknya itu yang menyahut. Sedangkan Alif, ia merutukki dirinya sendiri dalam hati, ia lupa! Benar-benar lupa. Ia tidak mengingat kejadian yang dibayangkan Khalisa namun ia malah mengingat kenangan disaat bersama Khaila. Waktu pertama kali akhirnya ia bisa berdialog wajar pada gadis itu, meski lewat sapaan singkat, namun itu sukses membuat ia tidak bisa tenang tidur.

Khaila merutukki dirinya. Ia lupa. Ia refleks menjawab saat Alif menyebut nama Nayyara. Panggilan yang ia dengar dari dua orang saja. Dari Meira dan Alif. Dua manusia yang sangat ia cintai dengan porsi berbeda. Detik itu juga, Khaila ingin menangis, ia merindukan panggilan itu.

Apa panggilan itu sudah bukan haknya lagi? Apa panggilan Nayyara bukan lagi ditujukan untuknya? Namun untuk kembarannya, Khalisa.

"Ah, nggak ini Mbak nerima telpon dari Meira, Cha." Alibi Khaila. Gadis itu berpura-bura mengangkat telepon. Biarlah sekarang seperti ini.

Khalisa mengangguk dengan senyuman yang takkan pernah hilang dari paras cantik gadis itu. "Ohh, dikirain kenapa. Yaudah Mbak Aila lanjutin aja telponnya."

Khalisa akhirnya bisa bernapas lega. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah jalan. Menatap nanar begitu hampa. Satu bulir air mata keluar begitu saja. Dengan cepat Khaila menyekanya.

Allah, hamba tidak sanggup melihat ini semua. Sadarkan aku tentang yang seharusnya bukan untukku, mudahkan aku melupakan semua hal yang menyesakkan. Berikan padaku keikhlasan dan kesabaran yang luas untuk menerima. Sungguh hamba hanya manusia lemah, yang mudah sekali patah.

Di depan Khaila. Alif dan Khalisa kembali saling bergurau sedangkan dibelakang diam-diam menangis.

Aku sadar siapa diriku
Yang tidak mungkin bisa menggapaimu
Kau terlalu indah
Untuk jadi kenyataan

Sebuah lagu dari Fiersa Besari berjudul Temaram menggema didalam mobil. Khaila diam mendengarkan lagu itu yang sekaan ditujukan padanya. Yang telah gagal dalam mendapatkan cinta.

"Ih, lagunya ganti Mas. Gak cocok buat kita. Ini kan lagunya ditujukan buat orang yang patah hati karena rasa cintanya tak berbalas." Gerutu Khalisa.

Tanpa menunggu aba-aba dari Alif. Gadis itu malah mengganti musik itu sendiri.

Waktu pertama kali
Kulihat dirimu hadir
Rasa hati ini inginkan dirimu
Hati tenang mendengar
Suara indah menyapa
Geloranya hati ini tak kusangka

Khalisa ikut bernyanyi pelan. Akhir-akhir ini gadis itu suka dengan lagu dari Andmesh Kamaleng yang berjudul Cinta Luar Biasa. Baginya lagu itu sangat menggambarkan kisah cintanya pada Alif. Ia sangat suka.

Alif menoleh sekilas ke arah Khalisa tersenyum singkat ia melihat tingkah Khalisa yang sedikit kekanak-kanakkan. Lalu tatapannya beralih menatap gadis yang sama dibelakang melalui kaca. Alif tersenyum simpul, ada bagian hatinya yang ikut terluka saat melihat sangat jelas gadis dibelakangnya sekarang sedang menahan tangis.

"Khalisa, kita pulang aja ya. Ke mall nya kapan-kapan aja, gak papa kan." Bujuk Alif.

Pria itu tidak ingin membuat Nayyara-nya terluka begitu lama lagi. Ia tahu gadisnya itu sudah mati-matian menahan tangis. Ia tidak bisa melihat gadis itu bertopeng senyum lama-lama. Ia tidak bisa.

"Nggak mau Mas, aku maunya sekarang, aku mau belanja bareng sama Mbak Aila. Yakan Mbak!" seru Khalisa menoleh kebelakang meminta pembelaan.

Ya Allah tabahkan hatiku.

Bismillah, kuatkan aku lagi ya Allah.

Khaila mengangguk pasrah. Sebenarnya ia ingin sekali pulang lalu berlari kemar, seperti biasa bersembunyi dibalik selimut meringsut disana menumpahkan hujan. Menangis sepuasnya. Khaila ingin melakukan itu sekarang.

***

Setelah memparkirkan mobil. Mereka bertiga memasukki kawasan mall. Semua tempat yang dituju itu atas keinginan Khalisa.

Alif menaruh rasa tidak enak hati menatap Khaila gadis itu jelas sekali merasa tidak nyaman. Apalagi sekarang, sifat manja Khalisa datang, gadis itu menyenderkan kepalanya di bahu Alif dengan senyuman yang tak pernah pudar. 

Ya Allah

"Mbak, kita cari baju samaan lagi yuk!" Seru Khalisa.

Khaila tersenyum, "boleh. Kita coba lihat di toko itu deh, siapa tahu ada yang bagus."

Khalisa mengangguk senang. Mereka berdua berjalan memasuki toko itu disambut seorang Mbak penjaga toko, yang menyapa mereka begitu hangat.

"Mas, baju ini bagus gak?" tanya Khalisa meminta pendapat.

Alif tersenyum. "Bagus kok, kamu mau yang itu?"

"Menurut Mbak Aila gimana?"

"Bagus. Kebetulan ada dua juga warna yang sama." Ucap Khaila.

"Yaudah deh, aku coba bentar ini dulu yaa." Ucap Khaila, gadis itu berjalan ke ruang ganti.

Alif hanya diam.

Khaila mencoba tidak peduli. Ia menyibukkan diri mencari-cari baju.

"Loh, Mbak nya udah lahiran kok cepat banget, bukannya baru enam bulan yaa." celutuk pemilik toko merasa heran.

Khaila dan Alif saling berpandangan bingung. Detik berikutnya mereka tersadar akan satu hal.

"Bukan Mbak Dewi, dia ini Khaila kembarannya istri saya." Jelas Alif.

Orang itu sedikit terkejut mendengarnya, ia baru tahu fakta itu. Menjadi gak enak sendiri.

"Oh, salah ya, maaf yaa, habisnya gak ada celah perbedaan sih." Ucap Mbak Dewi merasa tidak enak, "sekarang istri kamu mana?"

"Dia lagi coba baju di ruang ganti."

"Yasudah, saya sapa pelanggan lain lagi yaa, kalian pilih-pilih aja." Ucap Mbak Dewi pamit pergi.

Setelah puas memilih baju. Mereka kembali berjalan yang diarahkan Khalisa. Khaila dan Alif hanya mengiyakan apa yang diinginkan Khalisa selagi itu dalam batasan normal.

Khalisa memberhentikan langkahnya matanya berbinar menatap segala buku berjejer rapi.

"Mas, aku mau ke toko buku." Seru Khalisa, menunjuk salah satu toko buku yang ada disampingnya.

Alif tersenyum mengacak puncak kepala gadis itu gemas, "yaudah kamu kesana aja. Aku tunggu disini yaa."

Khalisa tidak mempermasalahkan itu. Ia mengangguk menyetujui.

"Mbak Aila mau ikut gak!?" tanya Khalisa antusias.

Khaila menarik dua sudutnya untuk tersenyum. "Kamu aja ya. Buku Mbak masih ada yang belum habis Mbak baca."

"Yah, yaudah deh, gak papa. Mas, sama Mbak Aila tunggu bentar disini yaa. Aku mau beli buku. Habis beli buku kita makan yaa." Ucap Khalisa.

Alif menggelengkan kepalanya merasa heran. Baru saja mereka makan, dan sekarang Khalisa minta makan lagi. Pria itu terkekeh mendengarnya.

"Iya sayang."

Khaila yang dibelakang, menatap iri. Gadis itu menunduk dalam.

Ya Allah kuatkan hamba

Setelah kepergian Khalisa. Kini yang tersisa hanya Alif dan Khaila.

Gadis itu berusaha mati-matian untuk tidak mempedulikan pria yang ada dihadapannya sekarang. Khaila berjalan duduk disebuah kursi yang ada.

Alif mengikuti langkah Khaila. Ia duduk disamping Khaila. Refleks gadis itu menjauhkan jaraknya. Alif paham akan itu. Nayyara-nya tidak berubah, masih sama seperti dulu.

"Menangislah."

Khaila mendongakkan kepalanya. Matanya tiba-tiba saja memanas. Namun ia sungguh tidak ingin menangis sekarang. Menangis hanya membuatnya kembali lemah dihadapan pria itu. Ia tidak ingin.

"Kalau kamu gak mau nangis, kalau begitu ijinkan aku yang menangis." Ucap Alif.

Khaila tidak menjawab ia hanya diam. Gadis itu menunduk dalam.

Benar saja. Khaila dibuat tertegun mendengar suara isakan tangis. Pria itu benar-benar menangis dihadapannya sekarang.

Jujur saja, Alif sangat lelah ia ingin menangis. Kadang tangisan laki-laki itu jauh lebih tulus. Karena laki-laki tidak akan mungkin menangis kecuali ia sangat rapuh. Seperti Alif sekarang. Hatinya sangat rapuh. Ia juga lelah memasang topeng bahagia, persis sama seperti Khaila. Keduanya terjebak dalam persoalan cinta yang rumit.

Khaila menyeka ujung matanya yang berair. Ia sudah berjanji agar ia tidak menangis untuk hari ini selama bersama Alif dan Khalisa, apa pun yang terjadi. Namun seperti yang sudah-sudah ia gagal.

"Untuk apa kamu menangis?"

Kedua mata mereka bertemu. Tatapan yang didalamnya penuh sekali dengan luka yang ingin mereka buang. Khaila menatap Alif dengan dua mata yang memerah hidung yang memerah. Gadis itu percaya, bahwa tangisan Alif tadi benar sungguhan.

"Kenapa? Ada yang salah denganku menangis?" Alif bertanya balik.

"Tidak."

"Kamu masih mencintaiku?" Alif bertanya.

Khaila diam tidak bisa menjawab.

"Kenapa diam?"

Khaila menghela napasnya, "apa aku harus mengatakannya, kurasa kamu tidak bodoh untuk mengetahui jawabannya sendiri."

"Sekarang aku menjadi bodoh. Aku tidak tahu jawabanmu."

Khaila menatap Alif tidak percaya. Kenapa pria ini masih bisa bercanda. Ini sangat tidak lucu.

"Sebelum pertanyaan itu kamu tanyakan padaku, tanyakan terlebih dahulu pada hatimu. Kamu masih mencintaiku?"

"Aku masih mencintai Nayyara ku. Gadis dengan segala keajaibannya, yang dengan ajaibnya membuatku sangat mudah menjatuhkan hati padanya. Saat pertama kali ia memberikanku sepatu saat aku kehilangan sendalku. Gadis pemberi sepatu itu ternyata bernama Nayyara. Dan aku jatuh cinta saat mengetahui nama itu." Jujur Alif,  "bagaimana denganmu?"

Khaila tertegun dibuatnya. Ia tidak menyangka Alif masih mengingat awal pertama kali mereka bertemu. Dan ternyata, ia masih mencintai satu nama Nayyara. Apa ini bisa dipercaya? Saat semua kelembutan dan kebaikan yang dilakukan pria itu pada kembarannya terlihat dengan cinta dalam melakukannya.

"Nayyara." Panggil Alif lembut.

Khaila tersadar dari lamuanannya, "semoga Allah menghapus rasa cinta yang ada dihati jika ini salah dimatanya."

Alif menunduk tangannya menyeka air mata. Hatinya berdesir matanya memanas. Pria itu kembali menjatuhkan air mata.

Allah menguji kesetiaan saat datangnya orang dari masa lalu. Allah menguji perasaan saat semuanya terlihat bingung dan susah. Ujian apapun itu, Allah hanya ingin mengukur sampai dimana keimanan hambanya. Sampai mana hambanya melibatkan Allah dalam setiap permasalahan.

Komentar