20| Tidak Ada Kesempatan Kedua

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Tak sekali dua kali Adam melirik putrinya yang duduk di belakang bersama istrinya. Arraya masih terlihat pucat dengan mata terpejam sambil bersandar pada bahu istrinya. Gadis itu juga terus menggenggam erat tangan Maya. Adam tahu jika sejak tadi Raya sedang menahan tangis. Hatinya ikut sakit melihat kondisi putri sematawayangnya. Ia tidak menyangka jika Adnan akan menyakiti Arraya sampai seperti ini.

Saat Arraya keluar dari rumah sakit bersama Muaz, Raya langsung masuk ke dalam mobil tanpa pamit pada Muaz.

Roda mobil berhenti berputar saat tiba di depan rumah besar berwarna cokelat muda. Arraya dirangkul turun oleh Maya. Sedangkan Adam menyusul sembari membawakan semua barang Arraya ke dalam rumah.

"Kamu baik-baik saja sayang?" tanya Maya dengan pelan dan lembut pada putrinya. Arraya menggeleng kecil sebagai balasan pertanyaan mamahnya. Maya mengantar Arraya sampai ke depan kamar, dan saat ia ingin ikut melangkah masuk Arraya menahannya tiba-tiba.

"Raya mau sendiri dulu Ma, boleh kan?"

Maya menatap khawatir putrinya. Ia tadi mendengar cerita Muaz yang mengatakan bahwa Adnan datang ke rumah sakit untuk bertemu Arraya. Maya tidak habis pikir dengan menantunya itu. Seseorang yang ia percayai untuk menjaga, melindungi, dan mencintai putrinya malah menyakiti dan ingin menceraikan.

"Mama akan temani kamu sebentar di dalam ya?" Maya yakin jika sendiri, maka Arraya pasti akan bersedih lagi. Maya hanya takut jika kesehatan Arraya tak kunjung segera pulih sepenuhnya. Ia tahu betul jika putrinya memang sering drop jika memiliki masalah yang terlalu menguras emosi dan tingkat stress.

Arraya menggeleng sekali lagi. "Nggak, Ma. Raya ingin sendiri dulu dan tidak ingin ditemani."

Maya masih tidak ingin pergi meninggalkan Raya. Ia ingin tetap ada di samping putrinya itu. Ia tidak ingin lagi melihat Raya bersedih apalagi jika sampai mengakibatkan kesehatan Raya kembali menurun.

"Boleh sayang, tapi dengan syarat."

Maya dan Arraya kompak menoleh saat suara bariton terdengar di dekat mereka. Adam berdiri di dekat keduanya dengan senyum simpul menatap Raya. "Syaratnya adalah kamu harus langsung istirahat."

Raya menggigit bibir bawah dalamnya. Ia mengangguk ragu dan akhirnya masuk ke dalam kamar. Tak lupa menguncinya rapat-rapat.

"Papa gimana sih, kenapa malah biarin Raya sendirian?" kesal Maya karena membiarkan Raya seorang diri.

"Arraya sudah dewasa, Ma. Dia juga butuh waktu untuk menenangkan dirinya. Biarkanlah, dia pasti kaget melihat kedatangan Adnan yang tiba-tiba di saat posisi mereka berdua yang sedang tidak baik."

"Tapi Pa, kalau Raya dibiarkan sendiri dia pasti akan lebih bersedih lagi..."

Adam mencoba tersenyum kecil, sambil merangkul erat bahu sang istri. "Tenanglah Ma, serahkan semuanya sama Allah. Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuk putri kita."

Di dalam kamarnya, Raya duduk di tepi ranjang. Ia duduk termenung menatap jemarinya, tepatnya di jari manisnya. Benda mengkilap yang melingkari jari manisnya.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Muhammad Adnan bin Muhammad Fajar dengan Arraya Kirania binti Adam Arrafiq, dengan mas kawin berupa emas murni seberat 20 gram dan alat solat dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Arraya Kirania dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."

Raya merasa seperti ada yang meremas dadanya saat kepalanya kembali mengulas ingatan akad nikah yang ia dan Adnan lakukan. Di hari bahagia itu, beberapa saat setelah mereka sah menjadi pasangan, Arraya mendapatkan ancaman langsung dari Adnan. Kata Adnan, pernikahan mereka hanyalah sandiwara dan kepura-puraan. Sehingga kedekatan mereka pun hanya akan berlangsung ketika berada di dekat keluarga besar.

Air mata tak ayal menetes membasahi pipi Raya. Ingatan singkat yang menyakitkan. Pernikahannya dengan Adnan masih seumur jagung. Arraya bahkan belum pernah merasakan mendapat perhatian dan juga kepedulian dari Adnan.

Raya menutup seluruh wajahnya. Ia kembali menangis. Teringat kembali saat ia membaca kata demi kata yang tertera dalam kertas selembar itu. Kertas yang menandakan bahwa Adnan akan menggugat cerai dirinya secara hukum negara.

🥀🥀🥀

Adnan menatap rumah berwarna cokelat muda di depannya dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia keluar dari mobilnya. Perasaan yang terlalu dominan dalam dirinya saat ini adalah perasaan takut. Takut bertemu kedua orangtua Arraya, takut membayangkan bagaimana ia menjelaskan pada orangtua Arraya, juga takut berhadapan dengan Arraya. Ia takut jika gadis itu tak ingin menemuinya. Ia takut jika Arraya tak akan memberikan kesempatan untuknya berbicara. Ia takut jika semuanya tak akan membuahkan hasil yang baik.

Adnan turun dari mobilnya setelah merasa sedikit lebih yakin. Ia mengetuk pelan daun pintu yang terbuat dari kayu tersebut.

"Assalamu'alaikum," suaranya terdengar sedikit bergetar. Beberapa saat ia menunggu, pintu akhirnya terbuka dari dalam.

"Wa'alaikum....salam," balasan salam untuk Adnan terjeda sekitar 3 detik. Adnan melihat orang yang membukakan pintu untuknya. Ia melihat papah kandung Arraya tepat di hadapannya.

Lidah Adnan berubah kelu melihat papah mertuanya. Mata mertuanya itu menatap Adnan dengan lurus dan lekat. Guratan wajahnya juga terlihat kaku dan seakan sedang menahan sesuatu di dalam dirinya.

"Pa ..."

"Oh... Adnan? Ada perlu apa kamu ke sini?"

Adnan sedikit terkejut mendengar pertanyaan Adam. Ia bukan hanya terkejut soal pertanyaan mertuanya itu, melainkan ia juga terkejut saat melihat ekspresi wajah Adam yang sedikit berubah. Mertuanya terlihat lebih santai dengan senyum tipis yang Adnan lihat. Senyum yang sangat tipis sekali untuk dianggap sebagai sebuah senyuman.

"Saya ingin bertemu Arraya, Pa. Apa Arraya ada di sini?" suara Adnan sudah terdengar lebih stabil. Suaranya tak lagi bergetar, dan ia sudah mampu membalas tatapan lurus mertuanya.

"Boleh saya menampar wajahmu?"

Suara Adam sontak terdengar berbeda. Senyum amat tipisnya itu juga hilang seketika. Yang ia lihat kini adalah wajah pria paruh baya yang menatapnya penuh amarah dan benci.

Adnan refleks menampilkan wajah bingungnya. Ia meremas tangannya sendiri. "Pah, izinkan saya bertemu dengan Arraya sebentar saja."

"Pergilah Adnan," perintah Adam dengan membalik badannya membelakangi Adnan. "Lebih baik kamu pergi sekarang sebelum saya mendaratkan tangan di pipi kamu itu."

"Tapi Pa, ada yang perlu saya sampaikan pada Raya, Pa. Saya harus ketemu sama Raya dan bicara sama dia."

"Raya anak saya, jadi sampaikan pada saya apa yang ingin kamu sampaikan."

Adnan menggeleng kecil. "Ini adalah sesuatu yang harus saya selesaikan langsung dengan Arraya, Pa. Mohon pengertian Papah..."

Adam menarik satu sudut bibirnya lebar ke samping. Ia menatap Adnan penuh heran. "Kamu datang ke sini tanpa mengucapkan maaf, lalu meminta izin untuk bertemu dengan anak saya? Apa kamu sedang bermimpi Adnan?"

"Pa ..." suara Adnan yang kembali merengek padanya membuat Adam akhirnya berbalik dan kembali menatap mata Adnan dengan tajam.

"Apa kamu sadar berapa banyak kamu menyakiti anak saya?!"

"Pa, dengerin penjelasan saya dulu.."

"Cukup Adnan!" bentak Adam yang sudah ia tahan sejak lama. Pantas saja Adnan tidak pernah mau ia ajak bicara, ternyata lekaki itu memang sedang menyembunyikan sesuatu.

"Saya tidak mau mendengar apa pun lagi dari mulut kamu itu! Jika memang kamu tidak mencintai anak saya, maka jangan datang kemari lagi. Biarkan saya dan istri saya yang memberikannya cinta tulus tanpa sandiwara."

"Kamu urus saja berkas gugatan cerai yang ingin kamu ajukan ke pengadilan. Saya sebagai seorang pria dan juga seorang ayah dari anak perempuan, sudah ikhlas menerima jika memang pada akhirnya orang yang saya percayai melepaskan tangannya pada anak saya. Saya tidak memerlukan lelaki kaya dengan harta melintir untuk menemani anak saya. Cukup ada lelaki soleh yang mau mencintainya dengan tulus...itu sudah cukup untuk saya."

Pupil mata Adam bergetar. Kedua tangannya saling mengepal menahan air mata yang sudah berlomba memenuhi pelupuk matanya.

"Sudah cukup kamu menyakiti hati anak saya. Jangan lagi kamu lakukan itu, karena itu juga ikut menghancurkan hati saya."

Adnan menepis air mata yang entah sejak kapam sudah membasahi pipinya. "Pa, beri saya satu kesempatan lagi. Saya ingin memperbaiki semuanya dari awal."

"Cukup Adnan. Pergilah. Arraya juga tidak ingin bertemu denganmu lagi."

Adam mendorong pelan tubuh Adnan ke belakang. Ia menutup pintu rumahnya dengan terpaksa. Harusnya ia memang tidak ingin melakukan hal itu pada Adnan, tapi ia juga sudah merasa sangat kecewa pada Adnan.

Hampir setiap saat ia menelepon Arraya, putrinya itu selalu menceritakan yang baik-baik tentang Adnan. Tak pernah sekalipun Raya menceritakan sikap buruk Adnan padanya ataupun pada istrinya.

"Maaf Adnan, tapi jika kamu memang benar-benar mencintai anak saya, ini bukanlah yang terakhir kamu berjuang untuk datang ke sini." Adam mengatakannya dengan suara pelan. Dan jika memang benar Adnan mencintai putrinya, lelaki itu pasti akan berjuang yang lebih untuk mendapatkan hati putrinya. Jika memang benar Adnan mencintai putrinya, maka Adnan akan lebih berjuang agar bisa kembali rujuk dengan putrinya.

Adam hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi rumahtangga Adnan dan juga Arraya. Semoga Allah senantiasa memberikan yang terbaik untuk keduanya.

Adnan akhirnya memutar tubuhnya. Ia harus menerima kenyataan pahit bahwa kedua orangtua Raya memang sudah tak mau memberikannya kesempatan kedua. Semuanya sudah berakhir, Arraya juga tidak ingin bertemu dengannya lagi.

Tanpa Adnan sadari, Arraya sedang menatap kepergiannya melalui kaca jendela. Melihat Adnan pergi membuat Raya sedih. Ia menyentuh kaca jendela kamarnya, seolah ia sedang menyentuh tubuh Adnan.

"Mas Adnan, maaf..." Raya tidak menyangka jika Adnan akan benar-benar datang ke rumahnya. Tapi ia tidak tahu apakah Adnan hanya merasa bersalah padanya ataukah Adnan justru sudah memiliki perasaan padanya. Tapi semuanya Raya rasa sudah terlambat. Ia tidak ingin kembali pada Adnan. Ia tidak ingin bertemu dengan Adnan juga. Dan ia ingin melupakan segala perasaannya pada Raya.

🥀🥀🥀

Adnan masuk ke dalam kamarnya dan berdiri di depan balkon kamarnya. Ia membiarkan semua angin malam menerpa tubuhnya.

"Satu minggu lagi mari kita bercerai!"

"Jika detik ini aku bisa menceraikanmu, maka sudah aku lakukan detik ini juga, Arraya!"

Adnan memejamkan matanya erat. Tubuhnya bergetar karena rasa kehilangan. Ingin rasanya Adnan membakar gugatan cerai itu. Ingin rasanya ia mengulang waktu dan memutuskan untuk merobek gugatan cerai itu sebelum akhirnya ia tandatangani.

Saat ia memasuki rumah setiap pulang bekerja, perasaan kosonglah yang terasa. Adnan merasakan rumahnya jauh lebih sunyi bahkan senyap. Sepi. Rasanya terasa jauh lebih sepi dari sebelumnya.

Rumahnya terasa berbeda. Kali ini jauh terasa lebih berbeda dari sebelumnya. Hampir seminggu tak ada Raya di rumahnya, ternyata sudah cukup merubah total suasana rumah. Semuanya tak lagi sama. Walaupun ia dan Raya tidak pernah bersikap seperti suami istri sesungguhnya, ketika ada Raya di rumah maka suasananya jelas berbeda.

Jika ia pulang kerja, maka yang ia lihat adalah Raya sedang duduk di ruang tv menunggunya. Jika ia membutuhkan sesuatu, maka Raya akan datang untuk membantu. Jika ia bangun tengah malam, maka yang ia dengar adalah lantunan ayat suci Arraya.

Dan kini, semuanya tak akan lagi ada.

Adnan membiarkan kepalanya yang mulai mengulas kenangannya dengan Arraya. Ia tidak berusaha menepis ingatannya,tetapi malah membiarkan semua itu terputar di dalam kepalanya.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Muhammad Adnan bin Muhammad Fajar dengan Arraya Kirania binti Adam Arrafiq, dengan mas kawin berupa emas murni seberat 20 gram dan alat solat dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Arraya Kirania dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."

Adnan tersenyum miris. Mengingat betapa bodoh dirinya yang sampai mengulang lafadz ijab qabul untuk Arraya sampai tiga kali. Mungkin terdengar brengsek, tapi Adnan benar-benar merasa patah saat itu juga. Ia harus menikahi perempuan lain di saat ia hampir saja mengantarkan nyawa tunangannya dalam kecelakaan maut.

Adnan terlihat kacau malam ini. Terkadang wajahnya terlihat murung dan sedih, terkadang ia tertawa tiba-tiba. Persis seperti orang gila yang tak bisa mengendalikan perasaannya sendiri.

Dan saat ia mencoba semua itu, Adnan akhirnya sadar jika ia memang bersalah. Ia baru bisa merasakan bahwa yang paling banyak tersakiti ternyata bukanlah dirinya melainkan Arraya.

"Jika kamu memang masih anak Mama, berikan tanggungjawab kamu yang sepantasnya untuk Arraya. Bawa dia kembali ke rumah, rujuk dia, dan cintai dia sebagaimana janji kamu pada Allah saat melafalkan akad nikah!"

Tapi semuanya sudah terlambat bukan? Adnan terlalu lama dengan egonya. Adnan terlalu lama belajar membuka hati. Dan Arraya sudah terlanjur pergi. Hati gadis itu sudah terlanjur ia sakiti dan ia patahi berkali-kali.

Komentar